Share

Menjadi Tawanan Di Malam Pernikahan
Menjadi Tawanan Di Malam Pernikahan
Author: Princess Belda

Malam tragis

Bab 1. Malam tragis

Di pinggiran kota, tepatnya di desa singgah mata, di kediaman Revandi, suasana malam ini begitu ramai karena seluruh keluarga besar sedang berkumpul di sana dikarenakan besok adalah hari pernikahan putri tunggalnya Revandi yang tidak lain adalah Kirana.

Bukan hanya ada keluarga besarnya saja, tapi para tetangga juga berkumpul di sana untuk turut membantu Tuan Revandi dalam melangsungkan pesta pernikahan putri tunggalnya itu.

Dekorasi yang indah dan mewah sedemikian rupa sudah terpasang di sana. Para ibu-ibu sibuk memasak di dapur begitu pula dengan para bapak-bapak yang juga sibuk dengan masakan rendangnya.

Parah muda-mudi sibuk dengan urusan mereka yang menghiasi ini dan itu. Mereka saling berbagi cerita dan juga tertawa. Malam ini adalah malam terakhir bagi Kirana menyandang status single.

Malam ini adalah malam kebahagiaan bagi Kirana sehingga semua temannya ikut berkumpul di sana turut bahagia melihat kebahagiaan Kirana.

Mereka terlibat pembahasan random yang biasa dibahas oleh para gadis pada umumnya.

“Kirana,” tegur Neimara ibundanya Kirana.

Gadis yang sedang sibuk bercengkrama dengan teman-temannya itu beralih menetap ke arah sang Bunda.

“iya, Bunda,” jawab Kirana sopan.

Kirana memang terkenal lemah lembut dan juga sopan santun, itu semua karena Neimara Senja Alisba yang berperan penting dalam mendidik putrinya.

“kamu istirahat sana, ini udah telat. Besok adalah hari yang cukup melelahkan untukmu,” ucap wanita yang sudah berkepala empat itu.

Kirana melihat pergelangan tangannya yang sudah menunjuki pukul 22.00 malam.

“Baik Bunda,” ucap Kirana seraya menggangguo hormat ke arah bundanya.

Gadis cantik dalam balutan khimar itu kembali beralih ke arah teman-temannya, lalu ia berpamitan kepada teman-temannya itu sebelum ia berlalu ke kamar.

“Gaess... aku pamit undur diri dulu ya! Kalian nikmatilah malam muda mudi ini,” Ujar Kirana dengan senyuman lebarnya.

“ashiappp camen,” ucap beberapa orang gadis.

“Alias calon manten,” imbuh teman-temannya yang lain.

“Ciee yang mau jadi mantet,” goda mereka kemudian.

“jangan lupa bagi-bagi ilmu kalau nanti sudah belah duren,” ucap salah satu temannya yang memang terkenal gokil.

Teman di sampingnya menggeplak lengannya. “Makanya nikah sana,” ucapannya.

“giliran ada yang lamar malah nangis bombay,” ejek temannya yang lain yang mengundang tawa para gadis yang sedang duduk berkumpul itu.

Kirana hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan abstrak temannya itu.

Tinggal di desa memang menyenangkan. Meskipun tempat tinggal Kirana bukanlah desa terpencil karena ia tinggal di kecamatan. Namun, sikap peduli dan bersosialisasi terhadap sesama masih begitu kentara di sini.

Kirana tinggal di sebuah kecamatan yang sedikit jauh dari kabupaten. Ia tinggal di kota dingin tanpa salju di kaki gunung singgah mata.

Malam merangkak semakin tinggi, Kirana terlelap di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya.

Suasana di kediamannya pun mulai lengah karena hari sudah sangat larut.

Para tetangga dan juga teman-temannya sudah pada pulang ke rumah mereka masing-masing.

Hanya tersisa beberapa orang saja yang masih terjaga, mereka semua sibuk di dapur, berkutat dengan kuali dan panci karena harus mempersiapkan hidangan untuk para tamu esok hari.

Memang sudah menjadi tradisi di kota Kirana jika daging dimasak pada sepertiga malam agar tidak mudah basi esok hari. Mungkin di tempat-tempat lain juga seperti itu halnya!

Di dekat kamar Kirana memang ada pohon kelengkeng dan juga mangga yang membuat suasana di sana sedikit gelap. Kamar gadis itu berada di lantai atas. Salah satu dahan pohon mangga memang mengarah ke balkon kamar Kirana.

Seorang pria dengan tubuh tegap menggunakan pakaian serba hitam dan juga penutup wajah sedang berdiri mematung, memandangi kirana yang tengah terlelap.

Lama lelaki itu berdiri terpaku di sana. Mungkin ia sedang mencoba manimang kembali keputusannya yang akan menculik calon pengantin esok hari. Tatapan pria itu sulit diartikan.

Lelaki yang berpakaian serba hitam itu semakin mendekat ke arah Kirana dengan tangan terulur ke wajah mulus bak pualam itu.

Kirana tidak menyadari kehadiran sosok pria itu yang entah sejak kapan sudah memasuki kamarnya.

Perlahan tapi pasti, pria itu membekam mulut Kirana dengan sapu tangan yang sudah dibaluri obat bius. Dalam lelap Kirana pingsan.

Tanpa membuang waktu, pria misterius itu menggotong tubuh Kirana layaknya karung beras. Ia bergerak begitu gesit dan lincah hingga tidak ada yang menyadari jika calon mempelai wanita yang disangkanya sedang istirahat ternyata sudah dibawa kabur oleh orang yang tidak mereka ketahui.

Fajar menyingsing di ufuk timur diiringi dengan suara panggilan yang menyerukan umat muslim melakukan kewajibannya.

Neimara yang baru saja tertidur beberapa jam kembali terbangun ketika bilal melantunkan Iqamah di mushola dan masjid seputaran kediamannya.

Wanita yang masih muda di usia nya yang mulai senja itu membangunkan suaminya yang masih terlelap di sampingnya.

“Abang, bangun. Ayo kita shalat, udah siap azan dari tadi,” Neimara terus saja mengguncang tubuh suaminya hingga lelaki berhidung mancung Itu mulai membuka matanya perlahan sambil melakukan peregangan otot-otot.

Revan yang baru tertidur sekitar tiga jam, mau tidak mau Ia harus bangun ketika merasakan gempa lokal mengguncang tubuhnya.

Semenjak Revan menikah dengan Neimara, pria itu memang banyak berubah. Ia yang dulunya berada di jalan yang salah dan begitu jauh dengan yang Maha Kuasa, kini sudah menjelma menjadi sosok pria yang religius.

Ia yang dulunya sangat jarang melakukan salat, kini selalu melakukan kewajibannya itu tepat waktu.

Memang pengaruh wanita itu cukup besar bagi seorang laki-laki.

Cinta cukup berperan penting dalam kehidupan karena ia bisa merubah api menjadi air, merubah keruh menjadi bening, merubah badai menjadi hembusan yang menyejukkan.

Neimara memilih wudhu terlebih dahulu dan melakukan salat Sunnah qobliyah subuh sambil menunggu suaminya selesai menyucikan diri.

Neimara terisak dalam doanya ketika ia memohon kebahagiaan untuk Putri tunggalnya itu.

Sejujurnya Neimara belum siap menyerahkan permata hatinya kepada orang lain yang akan memberikannya gelar baru. Namun, mau tidak mau Dia tetap harus menikahkan putrinya demi proses memperbanyak umat nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Usai salat berjamaah dengan suaminya, Neimara beranjak menuju kamar Kirana untuk membangunkan Putri semata wayangnya itu. Neimara memang sengaja tidak mengajak Kirana salat bersama subuh ini agar anaknya itu bisa beristirahat sedikit lebih lama, mengingat ia akan melangsungkan pesta pernikahan esok hari.

Neimara mengetuk pelan pintu kamar Kirana Seraya memanggil nama anaknya itu.

“Sayang, bangun,” ucap Neimara.

Setelah beberapa kali mencoba dan tidak mendapat jawaban, wanita cantik itu menjeda sejenak pergerakannya itu. Mungkin Kirana sedang salat, begitulah fikirnya.

Setelah sepersekian menit pintu kamar Kirana tak kunjung juga terbuka, Neimara kembali mengetuknya.

“Kirana....” kembali Neimara menyebutkan nama anaknya sambil terus mengedor kamar Putri tunggalnya itu.

Namun, sudah berulang kali ibu yang memiliki anak tunggal itu mengetuk dan memanggil Kirana, tetap tidak ada sahutan dari gadis jelita itu.

Neimara menajam pendengarannya, untuk mendengar apakah ada bunyi gemercik air karena mungkin saja anaknya itu tengah mandi. Namun, hanya ada kesunyian yang wanita itu rasakan. Tidak ada pergerakan apapun dari kamar putrinya itu.

Neimara mulai dilanda kekhawatiran, Ia takut sesuatu terjadi kepada putri semata wayangnya itu. Neimara memang sengaja menyuruh Kirana mengunci pintu kamarnya dari dalam mengingat saat ini sedang banyak orang di rumah mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status