“Cukup! Berhenti, tolong... Perih...”
Selena mengerang dan mendesis pelan, menatapi kakinya yang dipegang agar tak memberontak itu mulai memerah. Kulitnya semakin rusak saat lelehan lilin menetes ke kakinya setelah lilin yang telah mengeras disingkirkan secara berkala. Damian menikmatinya, dia menunggu Selena untuk bicara sesuatu yang berhubungan dengan pacarnya secara langsung.“Aku tidak tahu apa-apa, sungguh. Aku tidak tahu jika dia mencuri sesuatu darimu. Aku juga tidak tahu apa yang dia curi.” Selena menatap Damian, memohon untuk berhenti.Untuk ke sekian kalinya, lilin yang telah mengeras di kaki Selena diambil lagi. Terlihat bagaimana kulitnya memerah dengan luka bakar di sana. Semakin lama, kulitnya semakin sensitif dan itu semakin menyiksanya. Damian lagi-lagi memiringkan lilin untuk memperoleh tetesannya lagi.“Aku tidak akan berhenti sampai kau mengatakan sesuatu yang lain selain penyangkalanmu.”Selena menatapi lilin yang mulai menetes lagi. Dan begitu cairan lilin panas mengenai kulit kakinya yang sudah terluka, Selena menjerit pelan. Tampak bagaimana dia berusaha menahan rasa sakit dengan frustasi dan hampir menangis. Wajahnya sudah semakin berkeringat.Sebuah kamera telah merekam rasa sakit yang dirasakan Selena. Rekaman ini akan dikirim untuk Axel. Untuk memperlihatkan apa yang terjadi pada mantan kekasihnya ini.“Kau masih tak mau bicara? Setelah ini, kau tidak akan menemukan lilin lagi ke depannya. Bukan artinya aku akan berhenti berusaha membuatmu bicara. Tapi kau akan masuk ke level selanjutnya. Akan ada cambuk, atau mungkin aku harus mencabut kukumu satu persatu. Bagaimana? Menarik untuk dicoba, kan?”Damian tersenyum seraya terus mengarahkan tetesan lilinnya ke kaki Selena. Dia sangat menikmati apa yang dia lakukan untuk Selena saat ini, sambil terus menatap wajah Selena yang sangat memerah.Gadis itu hanya mengerang bisa mengerang dan dengan merengek pelan. Selena berusaha menahan air matanya, namun air matanya tetap turun bersama keringatnya saat ini.“Axel... Dia sering menemui seseorang di sebuah bar kecil di pinggir kota.” Selena akhirnya buka suara, tak yakin apa yang dikatakannya akan berguna atau tidak, tapi dia berusaha mengatakan sesuatu yang akan membuat Damian berhenti menyiksanya.Kalimat Selena berhasil membuat Axel berhenti memiringkan lilinnya dan menatap Selena dengan tajam, menunggunya untuk bicara lebih lanjut dan lebih berterus terang tentang informasi yang dia berikan itu. Dan Selena menarik nafasnya yang agak tersengal karena menangis.“Setelah menjemputku dari tempatku bekerja, Axel selalu berhenti di dekat sebuah gang. Aku tak tahu apa yang dia lakukan, dia menyuruhku menunggu, tapi dia sering membelikanku es krim di sana. Jika hanya es krim, ada banyak tempat untuk membeli es krim di dekat rumah. Hingga aku sadar, itu bukan kedai es krim biasa melainkan sebuah bar.”Selena menjelaskannya dengan nafas yang sedikit tercekat dan suaranya yang serak. Dia menatap Damian, dia telah berusaha mengatakan semua yang mungkin masuk kategori informasi penting.“Bisa kau beritahu letak spesifik tempat itu?” Damian tersenyum, merasa senang dengan informasi yang diberikan Selena.“Di jalan Dannies Moul, kau akan menemukan salah satu lampu jalan yang mati, gang itu tepat di lampu jalan yang mati, hingga tempatnya agak gelap,” jawab Selena lagi.“Bagus. Kenapa kau tidak mengatakan ini dari tadi? Ini informasi yang sangat penting. Kau sangat membantu ternyata.” Damian menyingkirkan lilinnya dan melirik salah satu bawahannya yang langsung mencatat apa yang dikatakan Selena sebagai informasi.Selena merasa lega sedikit setelah Damian menyingkirkan lilin itu dan orang yang memegangi kakinya juga melepaskannya. Dan begitu Damian menjauh, Selena menunduk menatapi kakinya yang terluka. Luka bakar yang entah itu ringan atau berat. Perih, sakit dan rasanya sangat tidak nyaman.Damian melirik Selena lagi dan memberikan kode pada bawahannya untuk melepaskan Selena. Orang-orang di sekitar Selena kini tampak sibuk. Damian sendiri sekarang menolak pinggang sambil menatap laptop bawahannya. Dia sedang melihat rekaman Selena yang akan dikirim pada seseorang, siapa lagi kalau bukan Axel.“Kirimkan itu sekarang!” ujar DamianBegitu Selena lepas, Selena membungkuk mendekati kakinya. Dia tahu Damian tak akan segera membiarkannya merawat lukanya dengan baik dan pertolongan yang bisa dia lakukan untuk dirinya sendiri adalah dengan ludahnya. Dia meludah pada kakinya, yang berhasil menarik perhatian Damian. Damian melirik kaget tindakan Selena.“Apa yang kau lakukan?!“ Damian bergegas mendekati Selena dan menarik rambut Selena.“Argh!” Selena mengerang begitu Damian menjambak rambutnya hingga tubuhnya yang semula bungkuk menjadi tegak.“Menjijikkan. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?!” Damian menatap Selena, dia terlihat marah.“Aku... berusaha merawat lukaku. Enyah kau!” Selena mencengkeram tangan Damian.“Bodoh! Kau sangat kolot meski usiamu masih muda. Bawakan obat-obatannya!” Damian mengomel.Salah satu bawahan Damian bergerak cepat mengambil kotak obat. Saat itu cengkeraman tangan Damian di rambut Selena perlahan mengendur. Dan pria yang membawa obat itu segera berlutut di depan Selena dan menyeka air liur Selena yang ada di kakinya dengan tisu, lalu merawat luka bakar itu dengan baik, menggunakan alat dan bahan yang steril.“Kau cantik tapi bodoh, kolot, ceroboh, dan jorok. Jangan meludah sembarang!”Cengkeraman tangan Selena di tangan Damian perlahan mengendur juga. Selena menatapi Damian dengan menengadah, saat Damian tengah menatap bagaimana luka Selena diobati. Selena tak mengerti. Kenapa Damian melukainya, sekaligus mengobatinya.Damian melirik balik Selena, dan spontan tangannya melepaskan rambut Selena, secara tak langsung menyingkirkan tangan Selena juga darinya.“Ini lebih baik, kan? Kau tidak akan pernah tahu kandungan apa saja yang ada di ludahmu, dasar jorok!” Damian mendengus.“Aku tidak mengerti. Kenapa kau lukai aku jika kau mengobati aku juga?” ucap Selena pelan.“Jangan salah paham. Aku hanya tak suka tindakanmu barusan. Bagaimana jika itu menetes ke lantai dan menyebar virus?” Damian memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh.Selena masih tak mengerti. Dia kemudian menatapi kakinya yang dirawat cukup baik. Agak perih tapi masih bisa dia tahan. Dan kakinya dibalut perban dengan baik.“Terima kasih,” ucap Selena pada pria yang mengobatinya, meski tak direspons sama sekali.“Aku akan mengkonfirmasi langsung apa yang kau katakan tentang bar itu. Jika aku tak menemukan apa pun di sana... bersiaplah!” ucap Damian, terdengar seperti ancaman.Selena sedikit tersentak. Dia mengingat apa yang Damian katakan tentang cambuk atau mencabut kuku.“Ta-tapi jika mereka pindah mengikuti Axel?” Selena gelisah.“Itu berarti informasi yang kau miliki sia-sia, dan aku akan membuatmu bicara lagi jika kau masih tak ingin bicara tentang informasi yang jauh lebih penting. Kau pernah memotong kuku terlalu dalam sebelumnya?”Damian terkekeh di akhir kalimatnya.“Tapi itu tidak adil! Aku sudah memberitahumu semampuku!” gertak Selena.“Semua yang kulihat hanyalah hasilnya, bukan usahanya. Bawa dia kembali ke kamarnya!” Damian tampaknya langsung bersiap menuju lokasi yang diberitahukan Selena. Dan Selena didekati oleh seorang pria yang langsung menggendong tubuhnya, karena kondisi kaki Selena sedang tidak baik-baik saja. Selena menatap Damian dengan raut cemas, kelihatannya dia mulai gelisah dengan keberadaannya di mansion milik Damian itu. Selena dikurung di sebuah kamar yang cukup nyaman. Hanya saja, pemikiran apa yang akan dilakukan Damian selanjutnya tetap membuatnya tak nyaman. Dia memperhatikan kakinya, yang kondisinya agak sedikit buruk. Sangat perih ketika terkena air. “Aku harus pergi dari sini. Pria gila itu bisa terus menerus menyiksaku.” Selena semakin gelisah dan menatapi keluar jendela, di mana mansion yang begitu lega itu juga terlihat tak terjaga. Selena keluar dari kamarnya dengan hati-hati. Doa menyadari tempat itu cukup s
Selena menoleh pada Damian dan menunjukkan ekspresi terkejutnya. Dan di belakangnya, sekarang ada banyak pria yang terlihat terkejut juga dengan kehadiran Selena. Itu membuat mereka terlihat pucat lantaran mereka tak menyadari kehadiran Selena di sekitar pintu utama, yang akan membuat mereka dalam masalah karena lengah mengawasi bagian dalam mansion. Damian sendiri sekarang tak menunjukkan ekspresi senang atau kesal. Wajahnya datar dan menunggu Selena menjelaskan situasi saat itu. Dia melangkah mendekat dan melirik para bawahannya yang ada di belakang Selena itu. “Kenapa kau di sini? Kau tahu, ini cukup jauh dari kamarmu. Dan, bagaimana bisa kau sampai di sini tanpa disadari seorang pun?” Damian menatap Selena dari dekat. “Euh...” Selena menjadi sedikit gugup, apa lagi sebelum sampai di sini, dia mendapatkan bantuan dari salah satu bawahan Damian yang entah kenapa membantunya. “Apa saja yang kalian lakukan sampai-sampai tak menyadari dia sudah sampai di sini?” Damian menatapi para
“Menyentuhku? Hey, kau jangan gila!” Suara Selena terdengar tercekat. Damian terkekeh geli dengan reaksinya Selena. Di matanya yang berkelibat cahaya, reaksi Selena cukup untuk memancing dirinya, untuk melakukan sesuatu yang lebih jauh. “Kenapa? Kau takut? Kau takut untuk mengkhianati Axel? Aku sangat penasaran, seberapa marah Axel jika tahu aku menyentuhmu. Dalam rencanaku dan perkiraanku, jika aku mengirimkan sedikit saya cuplikan antara kau dan aku... bercinta, dia pasti akan memberikan reaksi yang aku inginkan. Kau itu berharga di matanya, Selena. Seperti aku menghargai apa yang dia curi.” Damian terkekeh puas sambil melepaskan jas yang dia gunakan. Dan itu membuat Selena beringsut mundur untuk menjauhi Damian. Selena tahu betul apa yang akan dilakukan Damian. Rasa takut memenuhi hatinya. Bukan tentang mengkhianati Axel seperti yang Damian pikirkan. Meski sempat terpikirkan juga, mungkin Axel menghargainya selama ini. Itulah yang membuatnya takut. Axel, sang mantan pertama dan
Darah segar mengalir bahkan menetes mengenai seprai berwarna putih gading itu. Suara isak tangis Selena terdengar nyaring, mungkin bisa terdengar sampai keluar. Kelihatannya itu sangat menyakiti Selena, karena itu yang pertama bagi Selena. Wajah Damian terkaku. Dia tak bisa memberikan ekspresi tenang untuk situasi itu. Dia baru sadar atas apa yang dia lakukan beberapa detik lalu yang mengakibatkan Selena memekik kencang dan menangis saat ini. Gadis itu berhenti meronta, kelihatannya sesakit itu sampai tak ingin bergerak. Tangan Damian yang menyilangkan tangan Selena perlahan mengendur. Damian menegakkan tubuhnya dan memastikannya sekali lagi. Setelah melihatnya untuk kedua kalinya, tangan Damian tersapu ke salah satu sisi rambutnya. Menyapu halus rambutnya dan sedikit menariknya. “Ah, apa ini...” Damian bicara dengan suara pelan. Yang Damian pikirkan sekarang adalah perasaan baru saat dia hendak bersatu dengan Selena. Selena tak pernah melakuk
Damian keluar dari kamar Selena dan menatapi lorong yang sudah sepi. Dia kemudian menuju ke kamarnya yang terletak cukup jauh dari kamar para wanitanya. Dia meluangkan waktu untuk mandi dan membersihkan dirinya. Pikiran Damian masih berada di ranjang, bersama dengan Selena. Perasaan baru yang dia temukan dari Selena berhasil membuatnya merasa pusing selama berada di kamar mandi. Di bawah shower, dia mengguyur dirinya yang masih terasa panas dan bergairah. Hingga untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia harus menuntaskan hasratnya sendirian. Setelah membersihkan diri, dia hendak kembali ke kamar Selena. Entah apa yang dia pikirkan. Namun tanpa dia sadari, ada keinginan untuk tetap di sisi Selena selama sisa malam ini. Sebelum kembali, dia bertemu dengan tangan kanannya, Luca. Luca membungkuk memberi salam pada Damian. “Anda belum tidur? Di mana selama beberapa jam terakhir? Kami mencari Anda, terakhir kali seseorang mengantar Anda ke kama
Selena mengerang pelan seraya memejamkan matanya lagi. Matanya masih bengkak akibat menangis semalaman karena digempur Damian. Matanya masih terasa berat dan dingin. “Kau tidur lebih lama dari orang pada umumnya. Kau tidur hampir 10 jam,” komen Damian. Selena tak menjawab. Pikirannya kosong. Dia ingat dia telah terbangun beberapa kali. Namun karena tubuhnya terasa sangat lemas dan sakit, dia kembali mengistirahatkan dirinya. Dia tak ingin menatap Damian, dia masih ingat betul kejadian semalam yang membuat hatinya terasa sakit. Selena mendudukkan diri dengan hati-hati. Dan dia menyadari pakaiannya telah berganti. Dia tak penasaran bagaimana, karena dia berpikir Damian menyuruh pelayannya. Damian memperhatikan Selena. Ada yang berubah di wajah Selena. Tatapan Selena yang terkesan kosong dan sangat hampa. Dia juga lebih pucat. Benar-benar mengkhawatirkan. “Perlu bantuan?” Damian mengangkat satu alisnya, memperhatikan gerak-gerik Selena. Selena tak mendengarkan, dia menutup telingan
“Ada apa ini? Kenapa kau keluar dari sana? Sejak kapan kau di kamar gadis itu?” Merry menatap Damian, terlihat jelas dari raut wajah terutama matanya, dia sedang cemburu. “Aku tak punya waktu untuk menjawab, dia terluka.” Damian berjalan begitu saja melewati mereka dan membawa Selena menuju ke ruangan yang tempatnya agak jauh dari kamar Selena. Damian meninggalkan residu kebingungan di ruangan itu. Damian tak terlihat datang ke sana sejak pagi, itu berarti dia mungkin bermalam di kamar Selena. Dan kata bermalam cukup sensitif di sana. Damian tak pernah sekali pun bermalam di kamar salah satu para wanita simpanannya itu. “Tuan... bermalam di kamar Selena?” tanya Rose, dia terlihat ingin memperjelas hal tersebut. “Omong kosong! Dia tidak mungkin melakukan itu!” tegas Merry, menyangkalnya dengan cepat. “Ah, sayangnya kita baru saja melihatnya keluar dari sana, dengan membawa Selena yang terluka. Aku pernah terluka juga di depan Tuan tapi Tuan hanya bereaksi dengan memanggilkan dokte
Selena menatapi obat yang diberikan oleh dokter tersebut. Dia berkedip beberapa kali melihat beberapa bentuk obat yang disuguhkan padanya bersama dengan segelas air. “Minum itu! Kau tidak ingin hamil begitu saja, kan? Pertama, kau terlalu muda. Kedua, kau baru melakukannya sekali. Bukankah kau bahkan belum menikmatinya dengan benar?” Damian tersenyum menggoda Selena yang segera mengambil satu persatu butir obat tersebut dan meminumnya. Damian memperhatikan sambil menyilangkan tangan di depan dada. Saat Selena meliriknya dengan tajam, Damian mengalihkan pandangan matanya ke sekeliling. Setelah meminum semuanya, Selena terdiam di sana. Dia menatapi kakinya yang terurai dari bangsal, belum menyentuh lantai. Dia menggerakkan kakinya dengan perlahan. “Kapan terakhir kali menstruasi?” tanya dokter itu untuk mencatat sesuatu. “Minggu lalu,” jawab Selena sambil menatap dokter itu. “Oh, itu cukup buruk jika kau tidak segera meminum obat kontrasepsi, kemungkinan kau mengalami kehamilan cu