MasukBab 3
Lila terdiam, isak tangisnya seketika menghilang. Ia berpikir keras. 300 juta. Jumlah itu berkelip di benaknya, mengalahkan rasa sakit dan kehinaannya.
"300 juta..." lirihnya.
Ia memikirkan kembali uang yang harus ia kumpulkan demi pengobatan sang Ibu. Bahkan jika ia bekerja keras selama setahun, uang sebanyak itu akan sulit ia kumpulkan. Ia mengusap pipinya yang basah dan berkata, "Apa aku terima saja?"
Namun, dengan cepat ia menampar pipinya sendiri. Plak! Sebuah tamparan keras untuk mengembalikan akal sehatnya.
"Sadar, Lila! Kamu bahkan tidak tahu siapa pria brengsek tadi! Besok aku akan melaporkannya ke Tuan Jonathan," putusnya tegas. Harga dirinya masih lebih tinggi daripada keputusasaan.
Lila bangkit dari duduknya. Ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuh dari sisa-sisa air mata dan keringat. Tidak ada waktu baginya untuk berlama-lama kalut dalam kesedihan. Ia harus bekerja. Malam masih panjang, dan ia punya pekerjaan lain yang harus diselesaikan.
Dengan tergesa-gesa ia akhirnya selesai mengenakan pakaian kasualnya yang sederhana, kaos dan jins, ia melihat jam tangan. "Shift ku sebentar lagi!"
Tanpa menunggu lama, ia membuka pintu kamarnya sedikit dan melihat dari celah, memastikan keadaan koridor sepi. "Aman..." gumamnya dan bergegas lari keluar, menuruni tangga belakang. Ia harus segera tiba di tempat kerjanya yang kedua yaitu The Shadow Bar. Sebuah Bar di Kawasan elit.
**
Setengah jam kemudian, Lila sudah berdiri di balik bar yang remang-remang. Aroma alkohol, asap rokok, parfum dan keringat menyambutnya. Kontras sekali dengan kemewahan Kediaman Miller. Di sinilah ia bekerja dari pukul 11 malam hingga dini hari, mengorbankan waktu tidurnya demi mengumpulkan sisa biaya operasi sang ibu.
Setelah mengganti pakaian, Lila langsung ke posisinya. Lila memaksakan senyum ramah kepada beberapa pelanggan, menerima pesanan, dan mulai meracik minuman. Ia berusaha keras mengusir bayangan kejadian yang tadi ia lalui, bayangan dari pria berwajah tampan yang kejam, yang hampir merenggut segalanya darinya.
"Satu whiskey," suara berat yang familiar tiba-tiba terdengar, membuat punggung Lila menegang.
Ia memejamkan mata sesaat. Suara itu. Suara yang baru beberapa jam lalu membuatnya menangis ketakutan.
Perlahan, Lila mendongak. Di depannya, duduk di kursi tinggi bar, dengan pencahayaan yang minim, ia melihat sosok pria yang baru saja terlintas di kepalanya.
Pria itu mengenakan kemeja hitam yang elegan, beberapa kancing atasnya terbuka, memperlihatkan sedikit dada bidangnya. Matanya yang tajam dan dingin menatap langsung ke Lila, tanpa kejutan, seolah sudah menduga akan menemukannya di sini. Di sudut bibirnya masih terlihat luka kecil, memerah, bekas gigitan Lila.
Lila merasakan darahnya mendidih. Dia mengira dirinya sudah aman.
"Kau?" desis Lila, suaranya tercekat.
Oliver menyesap asap rokok yang baru ia nyalakan. "Aku?" Ia menyeringai tipis.
“Apa kau mengikutiku?!” cecar Lila menatap lurus, tangannya mengepal erat.
Oliver berdecak, senyuman miring, “Seekor kucing akan kembali ke habitatnya.”
“Ku… kucing…?” Lila menajamkan matanya tidak paham. Apa maksudnya pria itu baru saja menyebutnya seekor kucing?
“Ternyata kau juga seorang barmaid di malam hari. Betapa... menariknya." Oliver menunjuk ke arah botol minuman, memberikan isyarat jika ia tidak ingin menunggu.
Lila mendekat, ia mencondongkan tubuhnya, berusaha menjaga suaranya tetap rendah. "Jangan ganggu saya. Dan jangan pernah muncul lagi di Kediaman Miller atau saya akan melaporkan Anda!" ujarnya sembari meletakkan gelas kaca di depan Oliver.
Oliver tertawa pelan, tawa yang tidak mengandung humor sedikit pun. Tawa yang mencekam.
"Melaporkanku?" Oliver mendekatkan wajahnya, aura dominasinya tak berkurang sedikit pun di tempat umum ini. "Kau pikir siapa yang akan lebih dipercayai? Seorang pelayan yang menjual dirinya, atau... pemilik rumah itu sendiri?"
Lila terdiam. Pemilik rumah? Pria ini adalah pemilik sah Kediaman Miller?
Oliver meraih gelas, meneguk minum itu dalam satu tegukan.
Oliver meletakkan gelasnya kembali di meja bar dengan bunyi yang lumayan keras. Tiba-tiba, ia meraih dagu Lila, mencengkramnya dengan ibu jari dan telunjuk.
"Sampai jumpa, kucing liar!" bisiknya dingin, matanya menatap tajam ke mata bulat Lila, sebuah isyarat kepemilikan.
Kemudian, ia beranjak dari duduknya. Tanpa menoleh ke belakang, Oliver meninggalkan selembar uang senilai 100 dolar di meja bar, sebagai ganti whiskey yang diminumnya.
Lila tertegun, menatap punggung Oliver yang semakin menjauh, tenggelam di antara kerumunan para wanita yang hinggap seperti lalat pada pria tersebut.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya, memijit keningnya yang tidak sakit.
Ia hanya mendapatkan informasi dari sang Ibu, jika di rumah besar tersebut hanya ada Jonathan Miller yang merupakan majikan mereka. Sang Ibu tidak menyebutkan nama lain atau silsilah keluarga lain. Apa ada yang ia lewatkan? Kenapa pria itu mengaku sebagai pemilik rumah?
Bab 8Lila terus meronta, namun setiap gerakan tubuhnya justru menciptakan gesekan yang semakin membakar gairah Oliver. Di bawah cahaya lampu tidur yang remang dan cahaya matahari pagi, Oliver menanggalkan kemejanya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap mengunci kedua pergelangan tangan Lila di atas kepala."Lepas... Tuan... ini salah..." rintih Lila dengan suara yang mulai habis. Tenaganya terkuras, napasnya tersengal-sengal di bawah beban tubuh kekar Oliver yang menekannya tanpa ampun ke dalam ranjang."Diamlah, kucing liar!” desis Oliver di depan bibir Lila.Dengan satu sentakan kasar, Oliver merobek sisa kain seragam pelayan yang sudah tak berbentuk itu. Suara kain yang koyak bergema di ruangan yang sunyi, menyisakan Lila dalam keadaan benar-benar telanjang dan terpapar di bawah tatapan lapar sang majikan. Oliver menjilati bibirnya, matanya menyisir setiap inci kulit putih bersih Lila yang kini kemerahan karena gesekan.Tangan kasar Oliver mulai menjamah. Ia meremas pa
Bab 7"Jangan seenaknya, Tuan!" Lila menyahut dengan wajah tertekuk. Amarahnya memuncak setiap kali pria ini merendahkannya. "Aku bukan tawanan Anda dan aku bukan kucing liar!""Kau..." Oliver menggeram rendah. Kalimat perlawanan Lila seolah menjadi bahan bakar bagi gairahnya yang liar.Di dalam kamar yang luas dengan pencahayaan minim itu, aroma maskulin Oliver yang bercampur dengan wangi musk terasa menyesakkan bagi Lila. Cahaya lampu tidur dan sinar matahari pagi yang temaram memberikan bayangan panjang yang mencekam di dinding, mempertegas posisi Oliver yang mengunci tubuh Lila di atas ranjang empuk.Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Oliver kembali memaksa melumat bibir Lila. Kali ini lebih dalam dan menuntut. Tangan besarnya merayap naik, mencengkeram leher Lila, tidak sampai menyakiti, namun cukup kuat untuk memberikan tekanan yang membuat napas Lila tersendat sekaligus membakar gairah yang tidak diinginkan."T-tuan O-oliver... Hen... tikan..." rintih Lila di sela-sela pag
Bab 6Ia mencondongkan wajahnya lebih dekat, hingga hidung mereka hampir bersentuhan. "Godalah dia… Buat dia bertekuk lutut padamu. Buat dia berselingkuh denganmu di rumah ini."Lila terbelalak. "Apa?! Anda gila! Saya tidak akan melakukan hal menjijikkan seperti itu!""Jangan munafik," desis Oliver. "Semalam kau hampir menyerahkan dirimu demi uang. Sekarang aku menawarkan jalan yang lebih 'bersih'. Kau tidak perlu benar-benar tidur dengannya jika kau pintar. Aku hanya butuh bukti foto atau video saat dia mencoba menyentuhmu."Oliver menarik diri sedikit, merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponsel. Ia menunjukkan sebuah foto surat kontrak operasi rumah sakit ibunya yang entah bagaimana sudah ada di tangannya."Ibumu akan dioperasi minggu depan. Biayanya 1,5 Milyar secara total, bukan? 500 juta hanya untuk uang muka. Jika kau berhasil membantuku menjatuhkan Jonathan, aku tidak hanya akan membayar 500 juta. Aku akan menanggung seluruh biaya operasi dan pemulihan ibumu sampai sembuh tota
Bab 5Jonathan berdehem, berusaha mencairkan suasana yang kaku. "Maaf Ayah tidak menyiapkan apa-apa saat kedatanganmu-"Lila pun datang kembali dari dapur, membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat sesuai permintaan Oliver. Kehadirannya membuat Jonathan menjeda percakapannya dengan putra tirinya.Tanpa mengatakan apa-apa, Lila meletakkan cangkir tersebut di atas meja, tepat di sisi tangan Oliver. Lila berusaha sebisa mungkin agar tangannya tidak gemetar, meski ia merasa tatapan Oliver yang tajam sedang menelanjangi dirinya sekali lagi. Saat ia menarik kembali nampannya, Lila dapat melihat perubahan ekspresi Oliver yang tiba-tiba mengeras, matanya tertuju pada bibir dan leher Lila yang kini tertutup rapi oleh pakaiannya."Bagaimana kalau Ayah menyiapkan pesta penyambutan kamu malam ini di hotel? Teman-teman bisnismu pasti ingin menyambut kepulanganmu ke tanah air," lanjut Jonathan dengan nada yang dipaksakan ramah.Trak!Suara benturan garpu dan pisau perak yang dilemparkan Oliv
Bab 4Lila membuka mata tepat jam 5 pagi. Kepalanya terasa berat dan berdenyut, efek dari hanya tidur selama 1 jam setelah pulang dari The Shadow Bar. Namun, rasa lelah itu kalah oleh kegelisahan yang merayap di dadanya. Ia harus kembali memulai pekerjaannya sebagai pelayan di Kediaman Miller.Pagi ini, ia harus menghadap Tuan Jonathan. Ia harus melaporkan pria asing yang sudah melecehkannya semalam. Ia tidak bisa bekerja di bawah satu atap dengan monster seperti itu, kalau pun mengundurkan diri, dia harus berkata apa pada sang Ibu?Dengan cepat ia bersiap-siap dan mengenakan seragam pelayannya yang masih bersih, untungnya ia memiliki cadangan karena seragam yang semalam telah terkoyak tragis, tak bisa di perbaiki sama sekali."Aku harus cepat sebelum Tuan Jonathan pergi ke kantor!" gumamnya sembari mengambil langkah cepat. Jari-jarinya sedikit bergetar saat merapikan kerah bajunya.Lila segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan, namun
Bab 3Lila terdiam, isak tangisnya seketika menghilang. Ia berpikir keras. 300 juta. Jumlah itu berkelip di benaknya, mengalahkan rasa sakit dan kehinaannya."300 juta..." lirihnya.Ia memikirkan kembali uang yang harus ia kumpulkan demi pengobatan sang Ibu. Bahkan jika ia bekerja keras selama setahun, uang sebanyak itu akan sulit ia kumpulkan. Ia mengusap pipinya yang basah dan berkata, "Apa aku terima saja?"Namun, dengan cepat ia menampar pipinya sendiri. Plak! Sebuah tamparan keras untuk mengembalikan akal sehatnya."Sadar, Lila! Kamu bahkan tidak tahu siapa pria brengsek tadi! Besok aku akan melaporkannya ke Tuan Jonathan," putusnya tegas. Harga dirinya masih lebih tinggi daripada keputusasaan.Lila bangkit dari duduknya. Ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuh dari sisa-sisa air mata dan keringat. Tidak ada waktu baginya untuk berlama-lama kalut dalam kesedihan. Ia harus bekerja. Malam masih panjang, dan ia punya pekerjaan lain yang harus diselesaikan.Dengan terg







