Langkah Tarom, begitu tenang dengan senyum menyiratkan itikad kelam. Sebelum pria tua itu benar-benar mendatangi Nahla, langkahnya justru melewati kamar Zevaran. Ia terus berjalan menuju kamar lain dengan napas berembus tenang.“Oke ... langsung saja,” gumamnya puas, ketika semua rencana telah berjalan dengan lancar. Tarom pun segera menuju kamar putranya.Saat itu, Nahla yang sudah bangun hendak menuju kamar mandi. Tepat ketika tangannya menyentuh gagang pintu kamar mandi, pintu lain terbuka dengan kasar. Nahla kerkesiap, matanya membelalak saat mendapati sosok ayah mertuanya berdiri di ambang pintu.“Ikut aku cepat ....” Tarom meraih tangan Nahla secara paksa.“T-Tuan ... saya mau dibawa ke mana? Jangan, Tuan!” decit Nahla, mencoba memberontak.“Ayo cepat!” bentaknya, sambil menarik Nahla keluar kamar. Tangan satunya melingkar di pinggang wanita itu. Nahla terus meronta, berusaha melepaskan diri.“Tuan ... saya mau di bawa ke mana?” pekik Nahla panik.Suara bising tersebut, memancin
“Masuk cepat. Aku tidak ingin berlama-lama di sini,” ucap Zevaran singkat. Dengan canggung yang menyelimuti, keduanya masuk ke dalam mobil.Sesampainya di rumah, Zevaran langsung menuju kamar tanpa banyak bicara. Nahla melepas high heels-nya yang membuat kakinya mulai keram. Sesaat kemudian, ia menyusul ke kamar.Zevaran meminta Nahla menyiapkan semua pakaian mereka dalam koper yang terpisah. Keduanya lalu sibuk berlalu-lalang, menyiapkan barang masing-masing.Tanpa sengaja, Zevaran menabrak tubuh Nahla. Wanita itu terhuyung ke belakang, namun dengan sigap, Zevaran menangkap tubuhnya, menarik pinggulnya hingga membuat Nahla jatuh ke atas pangkuannya.Wanita itu menoleh ke belakang dengan mata terbelalak. Tatapan mereka saling bertemu dalam kecanggungan yang terasa begitu pekat.Tiba-tiba, ponsel Zevaran berdering. Suasana canggung seketika terpecah. Menjadi kesempatan untuk Zevaran menghindari Nahla.“Dia lucu juga kalau lagi salah tingkah,” gumam Nahla pelan, menatap punggung Zevaran
Malam keesokannya, Tante Zevaran mengadakan pertemuan besar. Nahla tidak menyangka bahwa Zevaran tetap membawanya, meski ia tahu bagaimana keluarga pria itu memandang dirinya nanti.Sebuah gaun mewah telah disiapkan untuknya. Tidak terlalu mencolok, tetapi cukup berkelas. Nahla meraba kainnya lembut itu, ia merasa asing dengan pakaian semahal ini. Namun, dibandingkan para wanita dari keluarga kaya raya, gaunnya pasti tampak lebih sederhana.Sepanjang perjalanan, Zevaran lebih banyak diam. Tangannya bertumpu pada kemudi, tatapannya lurus ke depan. Namun, sesekali ia melirik Nahla dari ekor matanya. Wanita itu terlihat berbeda malam ini. Dengan riasan yang tidak berlebihan kecantikannya justru semakin menonjol. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Zevaran terus ingin melihatnya.‘Sial, kenapa aku meliriknya terus!’’ sungut Zevaran, sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela."Di sana nanti, bersikap sewajarnya saja. Dan tunjukkan bahwa kamu merasa bahagia menikah denganku.” Kali
“Aku ada urusan di luar kota, supaya kamu tidak kabur. Terpaksa aku harus membawamu,” terang Zevaran.“Saya tinggal saja, Tuan. Saya janji tidak akan kabur,” tukas Nahla. Namun, Zevaran tetap bulat membawanya. Setidaknya tubuh wanita itu selamat dari siksaan Tarom.Zevaran bangkit dari duduknya, melewati istrinya begitu saja.“Siapkan pakaian tidurku,” titah Zevaran setelah mengecek kamar mandi.“Siap, Tuan.” Nahla segera membuka lemari, mencari pakaian tidur suaminya. Tanpa sadar, ia memilih baju dengan warna yang sama dengan baju tidurnya sendiri.Zevaran melirik pakaian yang disodorkan Nahla, seketika ekspresinya berubah. Ia melemparkan pakaian tersebut ke arah istrinya.“Apa kamu sengaja memilih warna ini?” tegurnya tajam.Nahla terkejut, keningnya mengernyit. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang salah.“Tuan, tidak mau memakai baju ini?” tanyanya hati-hati.Zevaran mendegus kesal. Dengan gerakan kasar, ia membuka lemari dan mengambil pakaian lain.“Aku tidak mau satu warna deng
Zevaran menerima telepon dari Hamdan. Mereka harus segera mengatur pertemuan, setelah beberapa hari lalu mendapat kabar bahwa mafia tanah tersebut telah kembali ke kotanya.Zevaran, bukan orang yang suka berurusan dengan dunia hitam. Sebagai CEO, yang paling sering dia hadapi hanyalah ormas pemalak, yang mencoba mencari keuntungan dari perusahaannya. Namun, kali ini situasinya berbeda.Dengan gerakan cepat, dia menyambar jaket kulitnya dan mengenakan topi hitam, menambah kesan dingin pada ketampanannya.Saat keluar dari kamar, tubuhnya bertubrukan dengan Nahla yang hendak masuk.Nahla terhuyung ke belakang, sebelum terjatuh Zevaran sigap menangkap tubuh rampingnya. Sejenak mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.‘Tampan sekali,’ gumam Nahla dalam hati. Jantung Nahla berdegup kencang saat napas suaminya menerpa wajahnya.Namun, momen itu tak berlangsung lama. Zevaran menarik tubuhnya menjauh lalu mendesis dingin. “Cero
Di tempat lain, pagi-pagi sekali Sinta sudah sibuk memasak makanan kesukaan putrinya. Sambil bersenandung, ia menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Hati wanita paruh baya itu terasa bahagia membayangkan bisa menemui putrinya. Padahal ia sendiri tidak tahu apakah kesempatan itu benar-benar akan ada atau tidak.“Mau ke mana, Bu?” tanya Dawin sambil menguap lebar.“Temui Nahla,” sahut Sinta datar.Dawin seketika terbelalak mendekati ibunya. “Jangan, Bu! Suaminya sangat melarang kita berjumpa dengan Nahla. Anak buah Tarom selalu memperingati itu,” tutur Dawin risau.“Itu salahmu, adik sendiri kamu jadikan tebusan. Sekarang kita enggak tahu, di sana dia hidup apa mati!” decit Sinta kesal setengah mati. Dawin hanya mampu mengusak rambutnya frustrasi.Setelah masakkannya selesai, Sinta berangkat menggunakan ojek online menuju rumah besannya. Setibanya di sana, wanita setengah baya itu berdiri mematung di depan pagar tinggi yang menjula
Semakin hari, Nahla mulai bosan dengan kehidupannya terus-menerus terkurung di dalam mansion. Ia meminta izin kepada Salma untuk duduk di halaman depan."Boleh, tapi harus ditemani oleh pelayan," tukas Salma seraya memanggil salah satu pelayan yang sedang bekerja.“Amel, temani Nahla duduk di luar.”"Siap, Nyonya!" ucap pelayan tersebut. Pelayan tersebut mengikuti Nahla keluar mansion. Mereka duduk di taman depan rumah, di mana banyak tanaman yang mencuri perhatian Nahla."Oh iya, saya mau tanya. Pelayan yang biasa memiliki tahi lalat di dekat matanya, ke mana?" tanya Nahla, mengacu pada Rada."Oh itu. Beberapa waktu lalu dipecat oleh Tuan Zevaran," sahut pelayan itu, berdiri di sisi kiri Nahla.Nahla mengerutkan keningnya. "Kenapa? Apa dia punya masalah?""Kita semua kurang tahu. Soalnya, waktu itu dipecatnya tengah malam. Kita yang ada di kamar pada kaget."‘Masa iya sih! Tuan Zevaran memecatnya kare
Zevaran mencengkeram dagu istrinya dengan keras, wajahnya tampak seperti pria bengis tak memiliki hati. "Seharusnya kamu berterima kasih! Kalau bukan aku yang menikahimu, kamu sudah mati kemarin!" cetusnya sinis. Nahla hanya mampu menutup mata dan menahan napas karena rasa takut kembali merayap di hatinya. Dengan keras, Zevaran melepaskan cengkeramannya hingga membuat Nahla sempoyongan ke sisi lain. Tatapan pria itu tajam dan bengis."M-maaf Tuan, tolong jangan menyiksaku juga," lirih Nahla, fisiknya terlalu lelah terus mendapatkan siksaan. "Masuk ke dalam,” titah pria itu, dengan bentakan yang begitu keras. Nahla buru-buru masuk dan mengunci diri di kamar mandi. Di sana ia meluapkan tangisnya tanpa bisa menahan suara, terdengar oleh Zevaran yang masih berdiri di balkon. Dengan frustrasi ia mengusap wajahnya. 🍁🍁🍁 Malam harinya, Nahla duduk di sudut kamar dengan mata sembab. Hatinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum, sulit baginya menerima kehidupan yang begitu menyeramkan
"Kamu tidur di atas.” Nahla menatap Zevaran dengan mata membesar, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Suaminya itu hanya melirik sekilas sebelum beranjak keluar dari kamar. Meninggalkan Nahla. Sesaat, Nahla terdiam. Matanya mengarah ke ranjang yang tampak lebih nyaman dibanding lantai dingin tempatnya berbaring tadi. Perlahan, ia naik ke atas ranjang. Begitu tubuhnya menyentuh kasur yang empuk, ia merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Untuk pertama kalinya setelah pernikahan ini, ia merasa sedikit dihargai. ‘Dia tidak seburuk yang aku kira.’ Nahla menatap pintu yang tadi dilewati Zevaran. Hatinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran pria itu? 🍁🍁🍁 ‘Kau gila, Zevaran. Kenapa tadi kau menyuruhnya tidur di ranjang?’ Ia mengepalkan tangan, kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya, ia tidak menunjukkan kebaikan sekecil apa pun pada Nahla. Seharusnya, ia tetap bersikap dingin seperti sebelumnya. Tapi entah kenapa, melihat wan