Seorang pria tampan blasteran berumur tiga puluhan tampak melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang bersama wanita yang tengah tertidur pulas di sebelahnya. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, namun sang pria pengendara tampak tak merasa lelah mengemudikan mobilnya itu membelah jalanan ibu kota. Saat ini sang pria tak memiliki arah dan tujuan yang pasti, hanya saja dia menggunakan instingnya untuk tetap mengemudikan mobilnya melaju jauh sampai melewati perbatasan kota. Pergi sejauh mungkin yang dia bisa untuk sesaat, seperti wanita yang tengah tertidur di sebelahnya minta.
Pria yang tak lain bernama Aziel Gibran itu sesekali mengalihkan pandangannya ke arah sang adik ipar, Amara Bramawijaya. Mata sembab dan bengkak wanita itu masih jelas terlihat di balik kedua matanya yang memejam. Hatinya bergetar ketika mengingat bagaimana wanita itu menangis keras dalam pelukannya. Bagaimana Aziel mengingat saat sang adik ipar ditampar oleh Raditya Hermansyah yang telah berkhianat dan bermain api dengan istrinya sendiri, Laura Bramawijaya.Di balik sikap diamnya, Aziel Gibran menyimpan amarah yang besar. Bukan karena sang istri telah berkhianat padanya, namun karena Raditya Hermansyah telah menyakiti cinta tulus dari Amara Bramawijaya. Harus diakui pernikahannya dengan Laura Bramawijaya bukan terjadi atas dasar cinta. Tidak, lebih tepatnya selama ini Aziel tak pernah sekalipun mencintai wanita yang masih sang menjadi istrinya saat ini, Laura. Pernikahan terjadi karena terpaksa dan semua itu Aziel lakukan hanya untuk bisa mengawasi apakah hidup Amara Bramawijaya aman dan bahagia bersama dengan Raditya.Malam semakin larut, mobil yang dikemudikan Aziel kini sudah berada di perbatasan menuju ke arah puncak. Sedikit merasa lelah, Aziel lebih memilih menepikan mobilnya di bahu jalan untuk merilekskan diri. Tak mau mengganggu tidur Amara, Aziel lebih memilih keluar dari mobil kemudian mengambil ponsel miliknya untuk menghubungi seseorang.Tak berapa lama suara pria terdengar menyahut dari balik telepon.“Ya, Tuan. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?”“Mulai sekarang kau awasi semua yang Raditya Hermansyah lakukan begitu juga istriku Laura! Kau selidiki tentang apa pun tindakan yang mereka lakukan. Kau mengerti?” suara berat Aziel terdengar memerintah.“Baik, siap. Saya mengerti, Tuan.”“Bagus! Hubungi aku secepat mungkin jika kau menemukan sedikit saja tanda-tanda yang tidak beres dari mereka!” Aziel memerintah kembali.“Siap, Tuan!”Setelah mematikan sambungan teleponnya, Aziel kembali ke dalam mobil. Dia melihat Amara masih tertidur dengan posisi yang sama. Aura gelap penuh wibawa yang ada dalam diri Aziel tadi berubah luluh seketika, saat kedua netra tajamnya melihat sosok yang sudah sejak lama mencuri hatinya itu terlelap dalam mimpinya dalam keadaan yang menyedihkan seperti sekarang.Tangannya tak kuasa lagi ingin menyentuh wajah cantik Amara yang kini tampak pucat dengan mata dan pipi yang sedikit bengkak akibat tamparan dari Raditya. Tatapan Aziel teduh saat jemarinya menyentuh wajah Amara yang kini berada dalam jarak yang cukup dekat dengannya.“Maafkan aku karena tak bisa melindungimu saat kau merasa terluka saat itu. Namun, aku berjanji setelah ini aku pastikan tak ada yang akan bisa sedikit pun menyakitimu lagi. Siapa pun itu, sekalipun dia adalah mantan suamimu sendiri yang mungkin masih kau cintai,” gumam Aziel lirih mirip sebuah bisikan.Setelah puas mengamati wajah Amara dari dekat, Aziel pun kembali ke posisinya di kursi kemudi. Memejamkan mata sejenak sembari menunggu saat fajar tiba yang akan datang sebentar lagi. Setelah kejadian ini, Aziel Gibran semakin yakin dengan tujuannya sekarang. Dia telah memiliki rencana yang sudah dia susun sejak lama.***Aku mulai membuka mata ini, sedikit tersentak setelah menyadari aku terlelap dengan posisi duduk di dalam mobil milikku sendiri bersama Mas Aziel yang kini ada di sampingku dalam keadaan tertidur.Astaga, sejak kapan aku tertidur seperti ini? Mataku berkeliling melihat sekitar di mana kami berada sekarang. Suasana masih tampak gelap. Aku lirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, waktu menunjukkan pukul empat kurang lima menit. Sudah hampir fajar. Aku alihkan pandanganku pada Mas Aziel yang masih berada di posisinya. Tampaknya dia begitu kelelahan setelah lama menyetir, itulah sebabnya dia memilih beristirahat di sini untuk menghilangkan lelah.Aku amati wajah tampan blasteran kakak iparku sendiri dengan tatapan teduh. Selama aku mengenalnya baru pertama kali ini, aku melihat wajah Mas Aziel begitu dekat seperti sekarang. Bagaimana sosok yang tampak sempurna di mataku ini dikhianati oleh istrinya sendiri hanya karena dia miskin harta?Melihat Mas Aziel sekarang hatiku merasa iba, rasa bersalah menjalar kembali dalam diriku kala mengingat jika Mas Aziel ikut berkorban dalam permainan yang aku buat. Sekarang pernikahannya dengan Mbak Laura dipertaruhkan. Apakah akan berpisah seperti aku atau memilih akan tetap bertahan? Entahlah aku tak tahu, yang pasti kini tujuanku sudah terwujud. Aku sudah berhasil melampiaskan amarah dan kecewaku pada Mas Radit dan Mbak Laura. Meskipun belum tuntas, akan tetapi ini sudah lebih dari cukup bagiku. Aku tak mau lagi melibatkan Mas Aziel dalam permainanku sendiri.Karena mungkin saja masih ada cinta yang tersisa di hati Mas Aziel pada Mbak Laura meskipun hatinya kecewa dan terluka. Awalnya aku memang ingin menuntaskan dendamku dengan memberikan hukuman pada Mas Radit dan Mbak Laura agar mereka berdua merasa jera. Namun, sepertinya sekarang aku berubah pikiran. Aku tidak tega melihat Mas Aziel terluka semakin dalam seperti yang aku rasakan sekarang. Tidak lagi, aku rasa semuanya sudah cukup.“Sudah lama kamu bangun, Amara?”Aku tersentak dari lamunan saat melihat kini Mas Aziel sudah membuka mata.“Ah, ya, Mas. Sekarang kita ada di mana?” tanyaku mengalihkan pandanganku pada lingkungan tempat sekitar kami berada sekarang.“Jalan menuju puncak. Aku berencana mengajakmu ke sebuah tempat yang indah di perkebunan teh yang mungkin akan dapat sedikit menghibur suasana hatimu yang sedang buruk.” Mas Aziel tersenyum hangat menatapku.Dengan perhatiannya yang seperti ini, hati mana yang tidak luluh dan tersentuh?“Terima kasih, Mas atas segala perhatianmu. Tetapi sepertinya aku berubah pikiran dengan rencana kita," ucapku serius.Mas Aziel mengernyit menatapku bingung, “Maksudmu, Amara?” tanyanya memastikan.“Sepertinya kita sudahi saja permainan kita ini untuk menghukum Mas Radit dan Mbak Laura. Aku tak ingin melibatkan Mas Aziel lagi dalam permainanku. Aku akan mencari cara lain untuk menghukum mereka dengan caraku sendiri, Mas,” terangku mencoba menjelaskan.“Jika aku menolak bagaimana?” ucap Mas Aziel serius mengejutkanku. “Sayangnya aku sudah memilih akan tetap melanjutkan rencana kita seperti di awal, Amara. Ingat, seperti apa yang telah kamu katakan padaku waktu itu, bukan hanya kamu yang terluka dan menjadi korban dalam perselingkuhan dua manusia pengkhianat itu, tetapi juga aku," tolak Mas Aziel terang-terangan.“Lalu, apa rencana yang akan Mas lakukan setelah ini?” aku bertanya penasaran.“Menikahimu.”“A-apa??! Menikahiku..??” Aku mengerjapkan mata berulang kali memastikan jika yang baru saja aku dengar itu benar.“Ya, setelah masa iddahmu selesai, aku akan menikahimu. Itulah rencana yang akan aku lakukan,” tegas Mas Aziel penuh keyakinan.“A-apa?? Apa kau sedang bercanda denganku, Mas?” Aku tertawa gugup mencoba mencairkan suasana yang entah kenapa membuatku merasakan tegang seketika.“Tidak, aku serius dengan ucapanku, Amara. Aku akan menikahimu.” Ekspresi Mas Aziel serius menatapku.“T-tapi Mas, bagaimana dengan Mbak Laura?” aku mengingatkan merasa ragu.“Bukankah kamu membencinya? Lalu, lakukan saja rencana kita seperti di awal,” Mas Aziel menegaskan. Aku menghela nafas dalam, menatap jalanan yang masih gelap dari dalam mobil.“Aku memang membencinya Mas, sama seperti aku membenci Mas Radit. Tetapi bagaimana denganmu?”“Apa kamu merasa ragu aku tak bisa menafkahimu?” Mas Aziel menebak.Aku menggeleng menyangkal. “Bukan, bukan itu maksudku, Mas. Kamu jangan salah paham.”“Lalu, apa yang membuatmu ragu?” Kali ini Mas Aziel menatapku serius.“Bagaimana dengan hati Mas Aziel sendiri? Apa Mas akan yakin dengan keputusan ini? Satu yang Mas harus ingat, pernikahan kita nanti terjadi bukan atas dasar cinta, Mas. Akan tetap
Ini adalah pertama kalinya aku tidur di puncak. Kami memutuskan untuk menginap semalam di villa milik teman mas Aziel. Sepanjang hari itu aku pun terus memikirkan ucapan mas Aziel padaku, tentang fakta dan alasan jika aku adalah orang pertama yang diajak di villa ini. Apakah mas Aziel berbohong? Jika iya, lalu untuk apa? Selama aku mengenal mas Aziel, dia bukanlah pria yang suka merayu wanita. Selama ini justru yang aku tahu jika mbak Laura yang tergila-gila dengan mas Aziel, secara fisik Mas Aziel memang adalah pria idaman semua wanita, termasuk mbak Laura sendiri. Itulah sebabnya aku seperti ditampar keras oleh kenyataan kalau ternyata di belakangku selama ini mbak Laura menjalin hubungan dengan suamiku sendiri yang memang lebih mapan dalam segi keuangan dan pekerjaannya.Lagi-lagi aku tersenyum kecut mengingat akan hal itu. Ternyata memang benar uang dapat membutakan mata siapa saja. Sekalipun didasari cinta yang besar, namun jika hati itu rapuh, cinta itu pun akan hilang dengan sen
“Kamu tidak apa-apa, Amara?” Pertanyaan mas Aziel seketika menyadarkanku dari kenyataan setelah beberapa saat tatapan kami bertemu dalam posisi yang sangat membuat canggung.“Ah ya, Mas. Maaf, aku begitu sangat ceroboh.” Aku salah tingkah saat itu juga dengan membuang muka. “Terima kasih, Mas. Aku akan kembali ke kamar.” Sambungku lalu berjalan cepat menuju ke arah kamar.‘Astaga, cerobohnya aku bisa sampai terjatuh seperti tadi!?’ aku terus memaki diri sendiri dengan jantung yang tak bisa berdebar dengan kencang. Setelah sampai di dalam kamar, aku menyadarkan tubuhku sejenak di pintu kamar untuk merilekskan diri setelah kejadian memalukan di luar dugaan seperti tadi. Setelah aku merasa lebih baik kemudian aku melangkah ke wastafel kamar mandi dan membasuh wajahku di sana. Cipratan air begitu terasa sejuk di wajahku dan dapat mendinginkan otakku yang terasa tegang. Aku tatap pantulan diriku dalam cermin lalu menepuk sedikit pipiku. Rasanya lebih baik dari sebelumnya.“Sadarlah Amara,
Seorang pria gagah berparas rupawan dengan wajah blasterannya yang menonjol tampak masuk ke sebuah mobil mewah di sebuah tempat parkir, di mana seseorang telah menunggu di sana.“Selamat siang, Tuan muda.” Pria bersetelan jas rapi di dalam mobil itu menyapa dengan sikap formalnya pada pria bernama Aziel Gibran yang baru saja masuk ke dalam mobil.“Kau mendapatkan semua laporan yang aku minta darimu, Faeza?” Aziel bertanya memastikan.“Seperti yang Anda minta, saya sudah menyiapkannya untuk Anda semua di sini.” Pria bernama Faeza itu memberikan sebuah dokumen pada Aziel. Aziel pun langsung memeriksanya.Setelah beberapa saat membaca isi dalam dokumen yang dibawa Faeza ekspresi wajahnya berubah. Wajah tampan khas blasterannya tampak lebih serius saat membaca beberapa lembar isi dokumen yang ada di tangannya.“Sky Group akan mendirikan anak perusahaan di Jakarta?” Aziel bertanya.“Benar, Tuan. Seperti yang sudah saya sampaikan beberapa waktu lalu pada Anda, jika Tuan besar Cruz akan mend
Sudah beberapa hari sejak mas Radit menjatuhkan talaknya padaku. Kini aku kembali ke rutinitasku sebagai pemilik sebuah butik setelah aku mendapatkan rumah kontrakkan baru. Walaupun tidak terlalu besar, namun usaha butik ini cukup untuk memenuhi kebutuhanku untuk ke depannya nanti. Usaha yang sudah aku geluti bahkan sebelum aku menikah, kini berkembang pesat sedikit demi sedikit. Siang itu aku yang tengah sibuk mengerjakan laporan bulanan di ruanganku, tiba-tiba mendengar suara ketukan dari luar ruangan.“Permisi, Bu.” Sebuah suara dari salah seorang karyawanku terdengar.“Ya, masuk. Ada apa?”“Ibu Amara, maaf ada yang mencari ibu di luar,” lapor gadis manis berusia belia bernama Caca yang merupakan karyawanku sendiri.“Siapa?” tanyaku penasaran.“Seorang pria, Bu. Beliau mengaku bernama Aziel Gibran.”Deg!Aku cukup terkejut mendengarnya. Mas Aziel? Dia sampai mencariku ke sini? Ada apa? Mengingat mas Aziel membuatku teringat kalau sejak pertemuan kami yang terakhir aku belum sempat
Dua bulan kemudianHari berlalu begitu saja, setelah aku keluar dari rumah yang aku tinggali bersama mas Radit dan menempati rumah kontrakkan baru, hari-hariku disibukkan dengan pekerjaanku di butik dan sidang perceraianku dengan mas Radit yang cukup cepat. Sejak pertemuan terakhir kami di rumah waktu itu bersama dengan orang tuaku, aku tak pernah melihat mas Radit lagi. Pria pengkhianat itu seperti sengaja menghilang. Bahkan dalam persidangan selalu diwakilkan oleh pengacaranya. Apakah dia terlalu takut untuk bertemu denganku secara langsung atau ada alasan lain? aku tak ingin tahu dan tak ingin peduli. Sama halnya dengan mbak Laura. Aku tak pernah melihat batang hidungnya lagi setelah hari itu. Sedangkan mas Aziel, kami hanya sesekali saling memberikan kabar lewat chat ataupun telepon. Itu pun hanya untuk membahas tentang sidang perceraian kami berdua dengan pasangan masing-masing. Setelah talak tiga itu diucapkan untukku maka hanya menghitung hari aku selesai menjalani masa iddahku
Mas Aziel mengulas senyuman, dia menatapku dalam. Jujur tatapannya kini membuatku menjadi malu dan juga salah tingkah dalam waktu bersamaan. Setelah itu mas Aziel meraih cincin di tanganku, kemudian memasangkannya di jari kelingkingku dengan penuh perasaan. Entah kebetulan atau bukan, aku sendiri tak mengerti bagaimana bisa cincin itu pas di jari kelingkingku.“Bukan cincin yang mewah tapi semoga kamu suka, Amara,” tuturnya lembut. Ucapannya begitu tulus aku dengar. “Maaf mengejutkanmu dengan cara seperti ini,” sambungnya setelah cincin itu sudah terpasang di jari manisku.“Kenapa Mas Aziel memperlakukanku berlebihan? Untuk sesaat aku merasa seperti menjadi wanita yang paling bahagia di dunia karena dilamar dengan cara seperti ini,” ungkapku jujur. “Terima kasih, Mas. Dulu saat Mas Radit melamarku tak ada yang spesial di antara kami. Tentu ini tidak akan aku lupakan seumur hidupku nanti.” Ucapku seraya tersenyum tulus.“Karena di mataku, kamu memang wanita yang spesial, Amara,” jawab m
Setelah mengucapkan kalimat kemarahan itu Radit beranjak dari ranjang dan melangkah masuk ke kamar mandi dalam keadaan telanjang. Sedangkan Laura hanya bisa terpaku dan membisu menatapnya.Raditya merasa kesal dan marah saat Laura memojokkannya dengan pertanyaan yang memang dia hindari sejak awal. Namun, tak dipungkiri semua yang dikatakan Laura adalah benar. Raditya merasa marah sekaligus cemburu saat melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang sebentar lagi menjadi mantan istrinya itu tengah berduaan dengan pria bernama Aziel Gibran. Bahkan Aziel baru saja melamar Amara yang belum selesai menjalani masa iddahnya!Marah dan emosi, itu jelas. Radit berpikir bagaimana bisa Amara melupakan dengan mudah dirinya dan lebih memilih pria miskin bernama Aziel Gibran? Kenapa harus pria itu? Di antara jutaan pria di dunia, Amara justru memilih Aziel, suami dari kekasih gelapnya sendiri. Apa itu adalah sebuah kebetulan atau memang sudah direncanakan Amara sejak awal karena rasa sakit hati m