Share

Aku wanita bebas

“Terima kasih, Mas. Akhirnya kamu membebaskanku dari pernikahan yang memang sudah tak pantas aku pertahankan sejak lama.” Aku mengulum senyum kepuasan yang tentu membuat Mas Radit dan Mbak Laura semakin membara.

Mbak Laura bangkit, dia menatapku dengan pandangan sinis. “Kamu ingin berpisah dari Mas Radit untuk menikahi suami sampah seperti Aziel Gibran ini, Amara?” Mbak Laura mencebik mengalihkan pandangannya dengan sinis pada Mas Aziel yang berdiri di sampingku. “Ambil! Ambil laki-laki ini untukmu, Amara! Hahaha! Aku tidak butuh! Aku tidak butuh sama sekali! Kamu ini memang jalang bodoh yang tak bisa memilih pria mana yang terbaik untuk hidupmu!” Mbak Laura tertawa mengejek menatapku bergantian dengan Mas Aziel yang menatap wanita yang masih sah sebagai istrinya itu dengan tatapan dingin.

“Sampah memang pantas dengan sampah! Kamu memang pantas bersanding dengan adikku yang bodoh ini, Mas Aziel. Cepat kamu talak aku juga, Mas! Sudah lama aku tak sudi menjadi istri dari pria miskin sepertimu ini,” Mbak Laura berkata cukup keras. “Dan kamu, Amara yang bodoh. Selamat aku ucapkan untukmu. Silakan menikmati pria sampah ini, dengan senang hati aku akan memberikannya padamu. Dulu aku pikir hanya dengan cinta aku bisa bahagia, ternyata aku salah karena hanya uang yang bisa membuatku bahagia!” Wanita yang dulu aku pikir berhati mulia itu kini tertawa jahat penuh kepuasan. Sekarang aku dan Mas Aziel bisa melihat sosok Laura Bramawijaya yang sebenarnya bersembunyi di balik topeng.

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku mengambil amplop berisi lembaran bukti-bukti perselingkuhan Mas Radit dan Mbak Laura, lalu melemparkannya begitu saja di depan kedua pasangan selingkuh itu hingga lembaran foto itu kini berserakan di bawah lantai.

“Selamat juga untuk kalian berdua. Setelah ini, kita bisa cari kebahagiaan kita masing-masing. Dan untukmu Mas Radit, seperti apa yang dikatakan wanita simpananmu ini, sampah memang pantas bersanding dengan sampah! Itu juga sama halnya dengan kalian berdua!” Aku menggandeng tangan Mas Aziel dengan mesra, lalu berkata. “Ayo, Mas. Sekarang giliran kita yang bersenang-senang. Kali ini kita tidak usah sembunyi-sembunyi melakukannya karena kini aku sudah menjadi janda,” ucapku berlalu pergi meninggalkan dua manusia munafik yang kini hanya bisa melongo melihat lembaran-lembaran foto mesum mereka berdua.

Setelah keluar dari restoran dan kini aku berada dalam satu mobil bersama dengan Mas Aziel, Kakak iparku sendiri. Sepanjang dalam perjalanan aku terdiam membeku dengan pandangan kosong. Kedua tanganku masih terasa dingin, dadaku sesak hingga nyaris ingin segera meledak. Mas Aziel yang sepertinya tahu keadaanku, berkali-kali menatapku cemas. Hingga ketika kami di suatu tempat aman yang cukup sepi, tiba-tiba saja Mas Aziel menepikan mobilnya, aksinya itu tentu membuatku tersentak dari lamunan.

“Kenapa Mas Aziel tiba-tiba berhenti di sini?” tanyaku menatap bingung pria tampan yang merupakan kakak iparku sendiri.

“Menangislah kalau kamu ingin menangis, Amara. Jika kamu mau, aku pinjamkan dada ini sebagai tempatmu untuk menangis,” tuturnya mengejutkanku.

Aku terdiam, terpaku tanpa kata menatap nanar mata tajam milik Mas Aziel yang kali ini terlihat menghangatkan. Seperti terhipnotis, hanya dalam hitungan detik tanpa berkata-kata aku langsung membenamkan wajahku langsung ke dada bidang milik Mas Aziel yang seakan menyambutku dengan begitu hangat.

Seperti yang Mas Aziel katakan, di dadanya tepatnya dipelukannya kini aku tak kuasa lagi menahan tangisku yang sejak tadi berusaha keras aku tahan. Aku menangis, terisak begitu keras meluapkan segala emosi yang ada di dada ini begitu lama. Sejak aku tahu suamiku mendua dengan kakak perempuanku sendiri aku seperti membentengi diriku sendiri dengan rasa sakit yang begitu menyakitkan ini. Sekuat aku bertahan dan mencoba untuk bersikap tegar, tetap saja aku adalah wanita rapuh yang lemah.

Tak ada yang tahu betapa dalamnya dan terlukanya hatiku, sekalipun itu adalah diriku sendiri. Namun, hanya satu yang bisa memahamiku saat ini. Yaitu Mas Aziel, Kakak iparku sendiri. Entah berapa lama aku menangis, menumpahkan segala emosiku di dadanya yang bidang dan menghangatkan. Seolah di malam yang sunyi itu hanya ada suara isak tangisku yang keluar. Hingga akhirnya entah beberapa lama, aku merasa puas meluapkan segala rasa yang ada di hatiku. Kini aku merasa lebih baik dari sebelumnya.

“Bagaimana, sudah merasa lebih baik sekarang?” Tanya Mas Aziel perhatian, dia mengambil beberapa tisu lalu memberikannya untukku.

Aku mengangguk lemah. “Sudah lebih baik. Terima kasih, Mas Aziel sudah berbaik hati meminjamkan dadamu untukku. Sungguh aku merasa banyak berhutang padamu, Mas.” tuturku tulus seraya mengusap air mataku yang membasahi pipi.

“Apa kamu lupa, Amara? Aku juga berada dalam posisi yang sama. Tentu aku paham apa yang kau rasakan saat ini. Di mataku, sebagai wanita kamu adalah sosok pribadi wanita yang luar biasa, Amara,” Mas Aziel berpendapat.

Aku tersenyum kecut. “Jangan menyanjungku hanya untuk menghiburku, Mas. Aku tidak sebaik yang kamu pikirkan. Jika aku adalah wanita yang seperti dalam pikiranmu, aku tak akan gagal dalam pernikahanku sendiri, Mas,” ucapku lirih merasa putus asa.

“Apa kau menyesal sekarang?” tanya Mas Aziel cukup mengejutkanku.

Aku mengernyit. “Menyesal?” Aku memberanikan diri menatap Mas Aziel dengan kedua mataku yang sembab. “Aku justru bahagia, Mas. Penyesalanku justru kenapa tidak sejak dulu aku melihat topeng mereka?”

“Siapa pun tak ada yang bisa tahu takdirnya sendiri, Amara. Meskipun terlambat bagi kita, namun Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk umatnya. Percayalah, ada rencana Tuhan yang lebih baik telah disiapkan untuk kita,” Mas Aziel meyakinkan.

Aku mengangguk, tersenyum tipis dengan kedua mata yang terasa berat akibat terlalu lama dan banyak menangis.

“Lalu, apa rencanamu sekarang, Amara?” Mas Aziel bertanya.

Aku menggeleng, menyandarkan tubuhku di kursi mobil untuk sedikit merilekskan tubuhku yang terasa lelah. “Belum aku pikirkan, Mas. Yang pasti sekarang aku hanya ingin pergi jauh dulu untuk menenangkan diri,” jawabku lirih.

“Kamu ingin ke mana? Aku akan siap mengantarkan dan menemanimu sampai kamu merasa lebih baik,” Mas Aziel menawarkan diri.

“Ke mana pun Mas Aziel membawaku, aku tidak akan keberatan.” Aku berpaling menatap Mas Aziel dengan mata sendu. “Maafkan aku, Mas. Karena aku, kamu terlibat terlalu jauh dengan masalah ini. Sungguh aku benar-benar minta maaf,” ucapku sungguh-sungguh.

“Aku senang kamu melibatkanku, Amara.” Mas Aziel mengulum senyum penuh arti padaku. Aku tak tahu kali ini apa arti senyuman Mas Aziel? Yang jelas apa pun itu, aku merasa nyaman saat bersama dengan Mas Aziel saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status