Share

Waktu bersama

“A-apa?? Apa kau sedang bercanda denganku, Mas?” Aku tertawa gugup mencoba mencairkan suasana yang entah kenapa membuatku merasakan tegang seketika.

 

“Tidak, aku serius dengan ucapanku, Amara. Aku akan menikahimu.” Ekspresi Mas Aziel serius menatapku.

 

 

“T-tapi Mas, bagaimana dengan Mbak Laura?” aku mengingatkan merasa ragu.

 

“Bukankah kamu membencinya? Lalu, lakukan saja rencana kita seperti di awal,” Mas Aziel menegaskan.

 

Aku menghela nafas dalam, menatap jalanan yang masih gelap dari dalam mobil.

“Aku memang membencinya Mas, sama seperti aku membenci Mas Radit. Tetapi bagaimana denganmu?”

 

“Apa kamu merasa ragu aku tak bisa menafkahimu?” Mas Aziel menebak.

 

Aku menggeleng menyangkal. “Bukan, bukan itu maksudku, Mas. Kamu jangan salah paham.”

 

“Lalu, apa yang membuatmu ragu?” Kali ini Mas Aziel menatapku serius.

 

“Bagaimana dengan hati Mas Aziel sendiri? Apa Mas akan yakin dengan keputusan ini? Satu yang Mas harus ingat, pernikahan kita nanti terjadi bukan atas dasar cinta, Mas. Akan tetapi karena kita sama-sama memiliki tujuan di dalamnya,” aku menegaskan.

 

“Aku tahu dan aku juga tidak lupa akan hal itu. Aku tidak akan melepaskan Laura, biarkan dia merasakan bagaimana rasanya di duakan, seperti kamu juga yang telah merasakan bagaimana rasanya dikhianati. Begitu pun dengan Raditya, pria pecundang tidak akan aku lepaskan begitu saja,” Mas Aziel berkata geram. “Baik Laura ataupun Radit bisa saja ragu dengan hubungan kita. Aku berpikir hanya pernikahan yang bisa menyempurnakan apa yang telah kita rencanakan untuk membalas perbuatan mereka berdua,” Mas Radit berkata serius.

 

Aku terdiam, berpikir dengan apa yang baru saja Mas Aziel katakan. Awalnya aku pikir Mas Aziel akan keberatan dengan ideku untuk membalaskan dendam. Aku hanya berpikir untuk menjadi kekasih Mas Aziel dan berpura-pura dengan menjadi pasangan yang saling mencintai, namun tidak sampai berpikir untuk menjalin sebuah pernikahan.

 

“Aku tidak akan memaksamu, Amara. Jika kamu merasa keberatan kau boleh menolaknya.”

 

“Tidak, Mas. Aku bersedia menikah denganmu,” aku berkata cepat. Kami saling bertatapan saat itu juga.

 

“Apa kamu yakin, Amara?” Mas Aziel memastikan.

 

Aku mengangguk. “Aku yakin, Mas. Kita berdua akan membuat dua pengkhianat itu merasakan jera,” tegasku yakin.

 

Mas Aziel mengulas senyum, aku tercekat selama beberapa saat karena ini untuk pertama kalinya aku melihat Mas Aziel tersenyum seperti ini padaku. Melihat Mas Aziel yang sekarang, membuatku semakin yakin jika Mas Aziel adalah sosok pria yang hangat di balik sikapnya yang selalu tampak dingin dan datar.

 

“Baiklah, kita lanjutkan perjalanan kita. Tapi sebelum itu kita cari masjid di sekitar sini.” Mas Aziel mulai menyalakan mesin mobil dan melanjutkan perjalanan kami.  

...

 

Pagi yang cerah, udara begitu sejuk aku rasakan saat aku membuka kaca mobil. Begitu asri dan terlihat indah. Aku tak tahu di mana tujuan Mas Aziel membawaku, yang pasti saat ini kini kami berada di sebuah kawasan puncak di mana sepanjang jalanan adalah kebun teh yang indah. Pandanganku tak berkedip melihat pemandangan apa yang terlihat di depanku. Hanya dengan melihat warna hijau perkebunan teh seakan suasana hatiku yang awalnya terasa gundah dan penat menjadi sedikit merasa lebih baik dari sebelumnya.

 

“Sudah sampai, ini tempatnya. Aku harap kamu suka, Amara.” Mas Aziel menghentikan mobilnya di halaman luas tepat di depan sebuah bangunan mewah berlantai dua yang letaknya sangat strategis tepat di tengah-tengah dua perkebunan teh yang membentang di depannya.

 

“Indah sekali di sini. Ini villa milik siapa, Mas?” tanyaku merasa takjub saat melihat untuk pertama kali bangunan villa dengan arsitektur minimalis retro di tengah kebun teh yang membentang di depannya.

 

 

“Milik seorang temanku. Namun, dia sudah mempercayakanku untuk mengelolanya. Villa ini jarang dipakai oleh pemiliknya tapi setiap hari selalu dijaga oleh orang kepercayaan pemilik villa,” terang Mas Aziel.

 

Aku hanya mengangguk percaya, walaupun dalam hati aku bertanya-tanya pasti teman Mas Aziel yang dimaksud itu adalah seseorang yang kaya raya. Melihat bangunan villanya saja dan letaknya di puncak kebun teh menurutku itu adalah sesuatu yang luar biasa, tentu saja sang pemilik bukanlah orang kaya biasa. Bahkan Mas Aziel memiliki kunci villa ini. Membuatku semakin penasaran siapa sebenarnya teman Mas Aziel itu? Aku tak menyangka di balik penampilan sederhana dan sikap low profile Mas Aziel, lingkungan pertemanannya bukanlah orang biasa. Kami pun mulai memasuki rumah dalam villa yang isinya tentu sudah tidak diragukan lagi. Begitu luas dan nyaman.

 

“Masuklah dan buat dirimu senyaman mungkin. Kamu bisa memilih kamar yang kamu suka, di sini ada empat kamar. Dua di lantai atas dan dua di lantai bawah. Biasanya Pak Kardi atau istrinya akan datang setelah jam sembilan pagi,” ucap Mas Aziel menjelaskan.

 

“Baik Mas, terima kasih. Aku ingin mandi dan berganti pakaian. Setelah itu aku ingin jalan-jalan melihat pemandangan di sekitar sini,” aku berkata antusias.

 

“Lakukanlah sesukamu.” Mas Aziel melemparkan senyum simpulnya padaku. “Tujuanku mengajakmu ke sini memang agar kamu merasa rileks setelah apa yang sudah terjadi, Amara. Jadi nikmatilah waktumu sebaik mungkin, sebelum kita kembali ke dunia kita yang sebenarnya nanti,” ucap Mas Aziel serius dan aku hanya mengangguk mengerti sebagai jawabannya.

 

Akhirnya aku pun memilih kamar di lantai bawah, di mana ada bathub yang akan aku gunakan berendam air hangat untuk sejenak. Seperti apa kata Mas Aziel, aku akan menggunakan waktuku kali ini sebaik mungkin. Dengan bersantai dan melepas penat yang sudah beberapa hari aku rasakan sejak membongkar kebusukan Mas Radit dan Mbak Laura.

 

Setelah beberapa menit berendam, tubuhku terasa segar kembali lalu berganti pakaian dengan pakaian yang aku bawa di dalam mobil. Kini aku sudah siap dengan penampilanku, segera aku bergegas keluar. Rasanya aku sudah tak sabar ingin menikmati pemandangan dan suasana kebun teh yang asri. Di halaman villa aku melihat Mas Aziel sudah tampil segar dengan penampilan kasualnya, kali ini dia sedang mengobrol dengan seorang pria paruh baya. Mereka mengobrol tampak begitu serius, sehingga aku tak berani mengganggunya. Namun, pria paruh baya itu mengetahui keberadaanku, dia melemparkan senyum dan menundukkan sedikit kepalanya padaku. Kemudian menyusul Mas Aziel menoleh ke arahku.

 

“Amara? Kamu sudah siap?” tanya Mas Aziel dengan senyum cerahnya.

 

“Sudah Mas,” jawabku tersenyum.

 

“Ayo, aku temani kamu untuk jalan-jalan. Sebelum itu aku perkenalkan, beliau adalah Pak Kardi, pengurus villa ini.” Mas Aziel memperkenalkan pria paruh baya di depan kami.

 

“Selamat pagi, Mbak Amara.” Pak Kardi menyapa ramah.

 

“Selamat pagi juga Pak Kardi,” jawabku seraya tersenyum ramah.

 

Setelah perkenalanku dengan Pak Kardi, aku dan Mas Aziel mulai berjalan menyusuri kebun teh. Mas Aziel bercerita panjang lebar tentang seputar kebun teh di kawasan ini, dan aku pun merasa benar-benar menikmati tempat berhawa sejuk di sini, yang jauh dari polusi kota dan hiruk pikuk jalanan seperti di ibu kota.

 

“Ngomong-ngomong kapan terakhir Mas Aziel datang ke sini?” tanyaku penasaran.

 

“Sudah hampir tiga tahun aku tak berkunjung ke sini.”

 

“Apa? Itu berarti sudah cukup lama.” Aku cukup terkejut dengan jawaban mas Aziel.

 

“Ya, bisa dikatakan seperti itu. Terakhir aku datang ke sini, itu sebelum aku menikah dengan Laura,” jelas mas Aziel.

 

“Padahal aku sempat berpikir tadi jika Mas Aziel dan Mbak Laura sering datang ke sini untuk sekedar liburan bersama," ujarku.

 

“Tidak sama sekali. Kamu adalah orang pertama yang aku ajak ke sini, Amara,” ucap mas Aziel tanpa keraguan.

 

Aku menghentikan langkahku seketika dan menatap pria gagah berparas blasteran di hadapanku dengan penuh tanya. “Kenapa Mas? Apa alasan Mas Aziel mengajakku ke tempat ini dan bukan Mbak Laura?”

 

“Tentu saja karena kamu istimewa, Amara. Kamu lebih istimewa di mataku daripada Laura, istriku sendiri.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status