Share

Rencana pembalasan

"Apa??” Mas Aziel menatapku terkejut sekaligus bingung.

Masih dengan sikap tenangku, aku kembali berkata, “Aku ingin membalas perbuatan mereka agar mereka merasakan bagaimana rasanya dikhianati sama seperti apa yang mereka lakukan kepada kita, Mas. Jika kamu setuju, aku mau kita melakukan sandiwara sebagai sepasang kekasih.”

“Sepasang kekasih, maksudmu? Bisa kamu perjelas apa maksud ucapanmu itu, Amara?” Mas Aziel semakin menatapku bingung.

“Ya, kamu dan aku, Mas. Kita bersandiwara menjalin hubungan seperti apa yang mereka berdua lakukan kepada kita.”

Mas Aziel menggeleng, ia terlihat ragu dengan rencanaku. “Tidak. Itu terlalu beresiko, Amara. Jika kita melakukan hal itu, itu sama halnya kita tak berbeda dengan mereka berdua,” tolak Mas Aziel.

“Lalu apa kamu akan diam dan menerima saja apa yang mereka lakukan pada kita, Mas? Istrimu telah mengkhianatimu, begitu juga suamiku. Jika wanita itu bukanlah saudara perempuanku sendiri, mungkin aku bisa ikhlas dan tidak sesakit ini. Namun, yang paling menyakitkan orang ketiga itu adalah Mbak Laura sendiri. Seharusnya kamu pun memahami bagaimana sakitnya karena kita ada dalam posisi yang sama sekarang,” ujarku serius.

Mas Aziel terdiam, sepertinya ia sedang berpikir keras dengan ucapanku. Pria dengan fisik sempurna itu menatapku seolah meyakinkan dirinya sendiri. Sampai saat ini aku pun tak mengerti, bagaimana seorang suami rupawan seperti Mas Aziel dikhianati? Apa yang kurang dari Mas Aziel sebenarnya? Tak hanya tampan dengan wajah blasterannya yang memikat, namun sejauh yang aku kenal selama hampir tiga tahun menjadi suami Mbak Laura, Mas Aziel adalah pria berkepribadian baik yang selalu mengalah pada Mbak Laura. Apa mungkin karena status Mas Aziel yang hanya seorang karyawan kecil biasa, yang sangat berbeda dengan Mas Raditya yang notabennya seorang Manager sebuah perusahaan swasta besar di ibu kota?

“Jika kau keberatan, aku tidak akan memaksamu, Mas. Aku akan tetap pada tujuan awalku. Walaupun aku melakukannya bukan denganmu, tetapi aku yakin aku bisa memberikan efek jera pada kedua pengkhianat itu,” ucapku penuh keyakinan. Kemudian setelah mengucapkannya aku bangkit berdiri dari tempat dudukku. “Baiklah, Mas. Aku pamit. Terima kasih karena kamu sudah memberikan waktu padaku untuk kita bisa bertemu seperti ini,” ucapku.

“Tunggu, Amara! Kenapa kau begitu terburu-buru seperti tak memberikanku kesempatan untuk bicara? Bukankah aku belum menjawab penawaranmu tadi?”

Seketika itu pun aku terhenti, “Maksud, Mas Aziel?” tanyaku menoleh pada Mas Aziel.

“Aku setuju dengan rencanamu, kapan kita akan memulainya?” Mas Aziel menyunggingkan senyum samarnya yang nyaris tak kentara.

Aku terdiam beberapa saat, hingga beberapa detik kemudian aku menarik bibir membentuk seulas senyuman kepuasan menatap pria yang merupakan kakak iparku sendiri.

“Secepatnya, Mas. Kita akan mulai permainannya setelah pasangan selingkuh itu pulang dari Bali,” ucapku menatap tegas Mas Aziel.

...

“Ara, Mas rindu denganmu, Sayang.” Mas Radit yang baru selesai mandi setelah kepulangannya selama beberapa hari di Bali sengaja mendekatiku yang sudah terbaring dengan posisi miring di atas ranjang.

Secara spontan aku pun menepis sentuhan bibirnya di tengkuk leherku dan berkata, “Maaf, Mas. Aku sangat mengantuk. Mas juga istirahatlah, pasti sangat lelah setelah pulang dari tugas pekerjaanmu,” tolakku halus tanpa mau menatap wajahnya.

Aku tinggikan selimut sampai menutupi leherku. Berada dalam satu ranjang dengan pria pengkhianat sangat membuatku muak. Namun, aku tak ingin terlihat mencolok. Karena aku sudah mempersiapkan pembalasan yang lebih menyakitkan untuk pasangan selingkuh seperti Raditya dan Laura.

“Apa kau tak rindu dengan Mas, Ara?” Mas Radit bertanya.

“Aku sedang halangan, Mas. Tolong mengertilah. Ini sudah malam, ayo tidur. Kau besok juga harus bekerja, kan?” aku beralasan.

Mas Radit merebahkan diri di sisiku, berusaha memelukku seperti yang biasa dia lakukan padaku saat kita tidur bersama. Namun, kali ini aku tetap pada posisiku. Tak meresponsnya ataupun menyambut sentuhan hangatnya setelah hampir satu minggu berpisah. Bahkan dalam posisi miring membelakanginya, aku masih bisa merasakan tatapan Mas Radit dari balik punggungku saat ini.

“Apa kau marah padaku karena aku lupa dengan Anniversary kita, Ara?” Mas Radit memancing, suaranya terdengar rendah.

Hening. Aku tak menanggapi dengan pura-pura tidur.

“Maafkan Mas jika kamu kecewa. Tapi saat itu aku memang lupa. Mas terlalu sibuk dengan proyek baru di Bali kemarin. Sebagai gantinya Mas akan ajak kamu makan malam besok Bagaimana, Ara. Apakah kamu mau?”

Sebenarnya aku enggan menanggapinya, namun daripada Mas Radit terlalu banyak bicara, akhirnya aku pun menjawab masih dengan posisi yang sama.

“Aku tidak marah, Mas. Aku hanya terlalu lelah. Ayo, tidurlah. Ini sudah terlalu malam,” jawabku datar.

“Syukurlah, Mas pikir kamu marah, Sayang.” Satu tangan besar Mas Radit memelukku dari belakang. Ia mengecup pipiku lalu berkata, “Selamat malam, besok Mas usahakan akan pulang lebih awal agar kita bisa makan malam bersama,” bisiknya merayu.

Aku tak menanggapi dan tetap pada posisiku, sama sekali tak tergoda sedikit pun dengan rayuannya.

'Jika aku tidak mengikutimu secara diam-diam sampai ke Bali waktu itu, sampai detik ini pun aku masih jelas seperti istri yang dibodohi olehmu, Mas. Namun, Tuhan telah membuka mataku di waktu yang tepat. Ternyata kau bukanlah pria yang baik untukku. Bagiku tak ada maaf untuk pria pengkhianat cinta. Apalagi kau melakukannya dengan saudara perempuanku sendiri. Sungguh itu sama halnya kau memberikan garam di atas lukaku.'

Esok harinya seperti biasa Mas Radit bersiap untuk berangkat bekerja, sedangkan aku masih bersikap seperti layaknya istri yang baik dan setia dengan melayaninya menyiapkan setelan jas kerja hingga sarapan pagi. Sedangkan Mas Radit seperti tak pernah lepas dengan ponselnya, bahkan sampai waktu sarapan pagi, dia tak berhenti menatap layar benda pipih berteknologi canggih itu dalam genggamannya. Sesekali aku bisa melihat dari balik ruangan Mas Radit tersenyum membaca chat dari seseorang. Bisa aku tebak, chat dari siapa sampai membuat Mas Radit menahan senyumnya selayaknya seseorang yang tengah kasmaran.

“Mas Radit, tersenyum kenapa? Sejak tadi aku lihat tak berhenti tersenyum membalas chat.” Aku sengaja memancing sembari keluar dari dapur dengan membawa segelas jus buah untuknya. Sontak ucapanku yang tiba-tiba itu membuatnya tersentak kaget.

“Akh, kamu mengagetkanku saja, Ara.” Mas Radit secara refleks menaruh ponselnya menjauh dari pandanganku. “Tadi aku mendapat kabar dari Pak Arga jika proyek kita berhasil. Itu berarti kemungkinan Mas akan mendapatkan banyak bonus,” Mas Radit menjawab sedikit gugup. Melihat sorot matanya saja aku bisa menebak kalau dia sedang berbohong sekarang.

“Ohh, syukurlah kalau begitu,” sahutku datar.

“Baiklah, Mas berangkat ke kantor dulu, ya. Hari ini seperti janji Mas padamu, Mas akan pulang lebih awal agar kita bisa makan malam bersama.” Mas Radit bangkit dari kursi lalu meraih tas kerjanya, sedangkan aku hanya tersenyum simpul tak ingin membalas ucapannya yang aku anggap sebagai angin lalu semata.

Malamnya seperti dugaanku, sampai menjelang pukul sembilan malam Mas Radit belum juga memberikan kabar. Hingga setelah hampir pukul sepuluh malam, Mas Radit akhirnya pulang ke rumah. Ia masuk ke dalam kamar dengan langkah pelan yang masih bisa aku dengar. Namun, aku tetap bersikap biasa dengan tetap memejamkan mata.

"Lo, sudah pulang, Mas? Kamu lembur lagi?" tanyaku mengejutkan pria yang tengah berganti pakaian itu.

"Eh, kamu belum tidur, Sayang?" Mas Radit terlihat gugup.

Aku tak menjawab, tetapi hanya tersenyum membalasnya. Reaksiku itu justru membuat Mas Radit semakin salah tingkah.

"Maafkan Mas, tadi Mas harus menemani Pak Arga meeting bersama kliennya yang datang dari luar negeri. Itulah sebabnya Mas tidak sempat mengabari kalau Mas belum bisa memenuhi janji Mas padamu untuk makan malam bersama," Mas Radit beralasan. Padahal aku sudah tahu apa yang dia ucapkan adalah dusta. Aku sendiri yang sudah mengeceknya melalui sekretaris Pak Arga jika Mas Radit sudah pulang dari sejak jam enam sore. Jika begitu pergi ke mana lagi kalau bukan dengan pasangan selingkuhnya sampai melupakan waktu.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku bisa mengerti. Tidak bisa sekarang, masih ada hari esok lagi," ucapku berpura-pura bijak.

Mas Radit tersenyum padaku, setelah berganti pakaian ia mencium keningku dengan lembut dan berkata, "Mas beruntung memiliki istri pengertian sepertimu, Ara," sanjungnya yang justru semakin membuatku merasa muak.

Bodohnya aku kenapa sejak dulu aku tak pernah memperhatikan sikapnya yang seperti ini sejak lama? Aku yang dulu dibutakan oleh cinta dan selalu berpikir positif tak pernah sekali pun berpikir jika suamiku akan mendua. Sekarang kau boleh tersenyum bahagia di atas lukaku, Mas. Tetapi setelah ini, tunggulah saatnya keadaan akan berbalik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status