Share

Menjadi istri Kakak ipar
Menjadi istri Kakak ipar
Author: VIGIANI NURIKE

Kenyataan pahit

“Kamu tega sekali, Mas.”

Gumamku dengan netra yang sepenuhnya berembun saat melihat dengan mata kepalaku sendiri pria yang secara sah adalah suamiku kini justru berduaan dengan wanita lain, lebih tepatnya mereka berdua tengah bermesraan dalam suatu momen makan malam romantis bersama. Dan yang semakin membuat hati ini terasa ngilu, sang wanita tak lain adalah orang yang sangat aku kenal, Laura Bramawijaya. Kakak perempuanku sendiri dari istri pertama ayahku.

Saat ini aku hanya bisa berdiri seperti orang bodoh melihat kemesraan mereka dari kejauhan. Mengamati apa saja yang mereka lakukan di sebuah restoran malam itu di Bali. Aku tak mau buru-buru mendatangi mereka, ataupun langsung melabrak mereka berdua dengan tiba-tiba. Itu bukanlah gayaku. Aku masih ingin memastikan diri dengan dugaanku ini.

Segera aku menghubungi nomor Mas Radit. Tak butuh waktu lama Mas Radit langsung mengangkat telepon dariku. Dengan pandangan tak lepas memperhatikan Mas Radit dan mbak Laura dari kejauhan, aku mulai bicara.

“Assamualaikum Mas Radit. Mas sedang apa?”

“Walaikumsalam Ara, sekarang Mas sedang bersama salah satu klien bisnis menemani Pak Arga. Sudah dulu ya, nanti Mas telepon lagi. Nggak enak sama bos Arga kalau mengangkat telepon terlalu lama di saat bertemu dengan klien.”

“Oh, begitu. Baiklah, Mas. Nanti jangan lupa telepon, ya. Aku tunggu.”

“Iya. Mas tidak akan lupa itu.”

“Okay, Mas. Selamat bekerja. Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam.”

Setelah itu beberapa menit kemudian aku telepon nomor Mbak Laura. Dari kejauhan aku masih bisa melihat Mbak Laura tampak terkejut dengan ponsel di atas meja yang berbunyi. Cukup lama Mbak Laura mengangkatnya. Hingga aku sempat melihat baik Mas Radit dan Mbak Laura tampak saling bicara satu sama lain. Aku tak tahu pasti apa yang sedang mereka bicarakan. Yang jelas aku bisa menebak dari ekspresi wajah mereka berdua, baik itu dan Mas Radit ataupun Mbak Laura, mereka berdua terlihat tak nyaman mendapat telepon dariku. Hingga akhirnya setelah beberapa lama aku menunggu, telepon dariku akhirnya diangkat juga.

“Ya, hallo, Amara. Ada apa?”

“Maaf Mbak, mengganggu malam-malam begini. Aku hanya ingin bertemu dengan Mbak sekarang, apakah bisa?”

“Sekarang? Ada apa ya, tiba-tiba sekali? Sepertinya nggak bisa, Amara. Aku sedang sibuk. Lain kali saja.”

“Oh, memangnya Mbak sedang di mana sekarang? Bukankah Mas Aziel sedang berada di luar kota?”

“Di mana aku sekarang, terserah aku dong! Sejak kapan kamu ikut campur sekali urusanku, Amara?!”

“Kalau begitu maafkan aku, Mbak. Aku hanya sedang ingin curhat, aku pikir Mbak ada waktu sebentar.”

“Sudah, ya! Aku sibuk. Lain kali saja kita mengobrol lagi.”

Tut....

Aku tersenyum kecut melihat sepasang manusia yang sedang menutupi kebohongan mereka. Dugaanku semakin kuat, jika di antara Mas Radit dan Mbak Laura memiliki hubungan gelap di belakangku entah sejak kapan. Yang pasti, mereka berdua sudah merencanakan ini sejak lama. Kepergian Mas Radit di Bali yang mengaku sedang bertugas di luar kota dengan alasan pekerjaan, sedangkan Mbak Laura yang pergi dari kota tanpa sepengetahuan suaminya sendiri, Mas Aziel.

Pandanganku nanar menatap dua manusia pengkhianat itu dengan penuh kebencian. Saat dengan mesranya Mas Radit mengecup tangan Mbak Laura seakan penuh cinta, sedangkan Mbak Laura tersenyum bahagia lalu membalas ciuman Mas Radit seperti layaknya pasangan yang tengah kasmaran di restoran romantis Bali di mana mereka berada saat ini. Anehnya tak ada air mata yang keluar dari balik kelopak mataku, hanya sesak di dada yang aku rasakan saat melihat pemandangan memuakkan itu.

Aku menghela nafas panjang, tersenyum getir. Kedua tanganku mengepal dan terasa dingin. Susah payah aku menahan amarah yang memuncak di dada hingga tubuhku bergetar. Hilang lenyap sudah cintaku pada Mas Radit dalam sekejap mata, hingga hanya amarah, kecewa, benci dan dendam yang tersisa.

Setelah tiga tahun aku mengabdi setia dan kuberikan seluruh cinta serta hidupku pada pria bergelar suami itu, namun sebuah pengkhianatan yang Mas Radit berikan. Tak ada rasa cinta yang tersisa setelah ini, tetapi hanya ada luka yang Mas Radit torehkan di hati ini.

Tepat di hari ini, harusnya menjadi hari yang membahagiakan untuk kami berdua, aku dan Mas Radit. Awalnya aku merencanakan kejutan untuk Mas Radit sebagai perayaan Anniversary kami yang ke tiga tahun. Dengan menyusul suamiku diam-diam ke Bali seperti sekarang ini. Namun, kenyataannya bukan Mas Radit yang terkejut tetapi justru aku di sini.

“Tak apa, Mas. Mungkin aku bukan wanita sempurna yang kau inginkan. Namun, aku berjanji pada diriku sendiri mulai hari ini, aku akan membuatmu dan wanita yang kau cintai itu merasakan bagaimana rasanya menjadi aku.”

Setelah mengucapkan itu, aku berlalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Sebuah kotak kecil kado berisi jam tangan pria yang seharusnya untuk suamiku, aku buang ke tempat sampah yang aku lewati. Tak ada tangis, tak ada penyesalan. Hanya amarah dan dendam yang bergejolak di dadaku hingga membuatku seperti mati rasa. Setelah ini akan aku pastikan baik itu Raditya Hermansyah ataupun Laura Bramawijaya akan merasakan bagaimana rasanya sebuah pengkhianatan yang sama seperti apa yang aku rasakan sekarang.

...

Dua hari kemudian.

“Lihatlah, Mas Aziel. Apa yang aku bawa ini agar kau tahu apa yang istrimu dan suamiku lakukan di belakang kita selama ini.” Aku menyerahkan sebuah amplop besar berisi bukti-bukti perselingkuhan Mas Radit dan Mbak Laura selama sehari penuh aku mengikuti mereka diam-diam di Bali untuk mengumpulkan bukti-bukti.

Kedua netra Mas Aziel menatap tajam apa isi dalam amplop itu yang berisi cetakan foto-foto kegiatan Mas Radit dan Mbak Laura selama di Bali. Tak hanya satu, namun hampir puluhan sengaja aku cetak untuk bukti.

“Jika foto itu kurang meyakinkanmu, akan aku tunjukkan bukti lain agar kamu tahu foto itu bukanlah editan ataupun sebuah kebohongan, Mas.” Merasa belum puas hanya dengan lembaran foto itu, aku memberikan sebuah bukti lain berupa video kemesraan mereka hingga saat kedua manusia pengkhianat itu memasuki kamar hotel yang sama.

Tak ada kata-kata yang terucap dari bibir Mas Aziel saat ini. Namun, melihat reaksinya sudah cukup membuktikanku kalau pria bernama Aziel Gibran itu tengah memendam kemarahan yang sangat besar. Kedua netranya membulat sempurna dengan rahang yang mengantup rapat, ketika dengan mata kepalanya sendiri Mas Aziel melihat video istrinya yang tengah bercumbu rayu dengan pria lain yang merupakan suamiku sendiri.

“Kau sudah percaya sekarang, Mas?” Aku duduk tegap dengan gaya elegan penuh percaya diri di hadapan kakak ipar yang kini berada dalam posisi sama sepertiku, yaitu sama-sama dikhianati!

“Apa rencanamu, Amara?” Mas Aziel bertanya dengan ekspresi datar.

Aku mengulas senyum keyakinan dan menjawab cukup lantang, “Membalas pengkhianatan mereka berdua dengan melakukan hal yang sama seperti yang mereka berdua lakukan kepada kita.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status