“Kamu tega sekali, Mas.”
Gumamku dengan netra yang sepenuhnya berembun saat melihat dengan mata kepalaku sendiri pria yang secara sah adalah suamiku kini justru berduaan dengan wanita lain, lebih tepatnya mereka berdua tengah bermesraan dalam suatu momen makan malam romantis bersama. Dan yang semakin membuat hati ini terasa ngilu, sang wanita tak lain adalah orang yang sangat aku kenal, Laura Bramawijaya. Kakak perempuanku sendiri dari istri pertama ayahku.Saat ini aku hanya bisa berdiri seperti orang bodoh melihat kemesraan mereka dari kejauhan. Mengamati apa saja yang mereka lakukan di sebuah restoran malam itu di Bali. Aku tak mau buru-buru mendatangi mereka, ataupun langsung melabrak mereka berdua dengan tiba-tiba. Itu bukanlah gayaku. Aku masih ingin memastikan diri dengan dugaanku ini.Segera aku menghubungi nomor Mas Radit. Tak butuh waktu lama Mas Radit langsung mengangkat telepon dariku. Dengan pandangan tak lepas memperhatikan Mas Radit dan mbak Laura dari kejauhan, aku mulai bicara.“Assamualaikum Mas Radit. Mas sedang apa?”“Walaikumsalam Ara, sekarang Mas sedang bersama salah satu klien bisnis menemani Pak Arga. Sudah dulu ya, nanti Mas telepon lagi. Nggak enak sama bos Arga kalau mengangkat telepon terlalu lama di saat bertemu dengan klien.”“Oh, begitu. Baiklah, Mas. Nanti jangan lupa telepon, ya. Aku tunggu.”“Iya. Mas tidak akan lupa itu.”“Okay, Mas. Selamat bekerja. Assalamualaikum.”“Walaikumsalam.”Setelah itu beberapa menit kemudian aku telepon nomor Mbak Laura. Dari kejauhan aku masih bisa melihat Mbak Laura tampak terkejut dengan ponsel di atas meja yang berbunyi. Cukup lama Mbak Laura mengangkatnya. Hingga aku sempat melihat baik Mas Radit dan Mbak Laura tampak saling bicara satu sama lain. Aku tak tahu pasti apa yang sedang mereka bicarakan. Yang jelas aku bisa menebak dari ekspresi wajah mereka berdua, baik itu dan Mas Radit ataupun Mbak Laura, mereka berdua terlihat tak nyaman mendapat telepon dariku. Hingga akhirnya setelah beberapa lama aku menunggu, telepon dariku akhirnya diangkat juga.“Ya, hallo, Amara. Ada apa?”“Maaf Mbak, mengganggu malam-malam begini. Aku hanya ingin bertemu dengan Mbak sekarang, apakah bisa?”“Sekarang? Ada apa ya, tiba-tiba sekali? Sepertinya nggak bisa, Amara. Aku sedang sibuk. Lain kali saja.”“Oh, memangnya Mbak sedang di mana sekarang? Bukankah Mas Aziel sedang berada di luar kota?”“Di mana aku sekarang, terserah aku dong! Sejak kapan kamu ikut campur sekali urusanku, Amara?!”“Kalau begitu maafkan aku, Mbak. Aku hanya sedang ingin curhat, aku pikir Mbak ada waktu sebentar.”“Sudah, ya! Aku sibuk. Lain kali saja kita mengobrol lagi.”Tut....Aku tersenyum kecut melihat sepasang manusia yang sedang menutupi kebohongan mereka. Dugaanku semakin kuat, jika di antara Mas Radit dan Mbak Laura memiliki hubungan gelap di belakangku entah sejak kapan. Yang pasti, mereka berdua sudah merencanakan ini sejak lama. Kepergian Mas Radit di Bali yang mengaku sedang bertugas di luar kota dengan alasan pekerjaan, sedangkan Mbak Laura yang pergi dari kota tanpa sepengetahuan suaminya sendiri, Mas Aziel.Pandanganku nanar menatap dua manusia pengkhianat itu dengan penuh kebencian. Saat dengan mesranya Mas Radit mengecup tangan Mbak Laura seakan penuh cinta, sedangkan Mbak Laura tersenyum bahagia lalu membalas ciuman Mas Radit seperti layaknya pasangan yang tengah kasmaran di restoran romantis Bali di mana mereka berada saat ini. Anehnya tak ada air mata yang keluar dari balik kelopak mataku, hanya sesak di dada yang aku rasakan saat melihat pemandangan memuakkan itu.Aku menghela nafas panjang, tersenyum getir. Kedua tanganku mengepal dan terasa dingin. Susah payah aku menahan amarah yang memuncak di dada hingga tubuhku bergetar. Hilang lenyap sudah cintaku pada Mas Radit dalam sekejap mata, hingga hanya amarah, kecewa, benci dan dendam yang tersisa.Setelah tiga tahun aku mengabdi setia dan kuberikan seluruh cinta serta hidupku pada pria bergelar suami itu, namun sebuah pengkhianatan yang Mas Radit berikan. Tak ada rasa cinta yang tersisa setelah ini, tetapi hanya ada luka yang Mas Radit torehkan di hati ini.Tepat di hari ini, harusnya menjadi hari yang membahagiakan untuk kami berdua, aku dan Mas Radit. Awalnya aku merencanakan kejutan untuk Mas Radit sebagai perayaan Anniversary kami yang ke tiga tahun. Dengan menyusul suamiku diam-diam ke Bali seperti sekarang ini. Namun, kenyataannya bukan Mas Radit yang terkejut tetapi justru aku di sini.“Tak apa, Mas. Mungkin aku bukan wanita sempurna yang kau inginkan. Namun, aku berjanji pada diriku sendiri mulai hari ini, aku akan membuatmu dan wanita yang kau cintai itu merasakan bagaimana rasanya menjadi aku.”Setelah mengucapkan itu, aku berlalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Sebuah kotak kecil kado berisi jam tangan pria yang seharusnya untuk suamiku, aku buang ke tempat sampah yang aku lewati. Tak ada tangis, tak ada penyesalan. Hanya amarah dan dendam yang bergejolak di dadaku hingga membuatku seperti mati rasa. Setelah ini akan aku pastikan baik itu Raditya Hermansyah ataupun Laura Bramawijaya akan merasakan bagaimana rasanya sebuah pengkhianatan yang sama seperti apa yang aku rasakan sekarang....Dua hari kemudian.“Lihatlah, Mas Aziel. Apa yang aku bawa ini agar kau tahu apa yang istrimu dan suamiku lakukan di belakang kita selama ini.” Aku menyerahkan sebuah amplop besar berisi bukti-bukti perselingkuhan Mas Radit dan Mbak Laura selama sehari penuh aku mengikuti mereka diam-diam di Bali untuk mengumpulkan bukti-bukti.Kedua netra Mas Aziel menatap tajam apa isi dalam amplop itu yang berisi cetakan foto-foto kegiatan Mas Radit dan Mbak Laura selama di Bali. Tak hanya satu, namun hampir puluhan sengaja aku cetak untuk bukti.“Jika foto itu kurang meyakinkanmu, akan aku tunjukkan bukti lain agar kamu tahu foto itu bukanlah editan ataupun sebuah kebohongan, Mas.” Merasa belum puas hanya dengan lembaran foto itu, aku memberikan sebuah bukti lain berupa video kemesraan mereka hingga saat kedua manusia pengkhianat itu memasuki kamar hotel yang sama.Tak ada kata-kata yang terucap dari bibir Mas Aziel saat ini. Namun, melihat reaksinya sudah cukup membuktikanku kalau pria bernama Aziel Gibran itu tengah memendam kemarahan yang sangat besar. Kedua netranya membulat sempurna dengan rahang yang mengantup rapat, ketika dengan mata kepalanya sendiri Mas Aziel melihat video istrinya yang tengah bercumbu rayu dengan pria lain yang merupakan suamiku sendiri.“Kau sudah percaya sekarang, Mas?” Aku duduk tegap dengan gaya elegan penuh percaya diri di hadapan kakak ipar yang kini berada dalam posisi sama sepertiku, yaitu sama-sama dikhianati!“Apa rencanamu, Amara?” Mas Aziel bertanya dengan ekspresi datar.Aku mengulas senyum keyakinan dan menjawab cukup lantang, “Membalas pengkhianatan mereka berdua dengan melakukan hal yang sama seperti yang mereka berdua lakukan kepada kita.”Ucapan mas Aziel semalam tidak membuatku tak bisa berhenti untuk berpikir. Sebenarnya ada apa? Mungkinkah ada yang mas Aziel sembunyikan dariku selama ini? Pertanyaan itulah yang selalu ada dalam pemikiranku sepanjang hari ini. Tak pernah sedikit pun aku berpikiran buruk pada mas Aziel, di mataku dia adalah pria yang baik dan sempurna tak hanya secara fisik. Jadi tak mungkin bukan jika selama ini mas Aziel menyimpan sebuah kebohongan? Hari ini aku berencana membeli kebutuhan di salah satu mall besar di ibu kota. Tetapi saat aku baru saja selesai memarkir mobilku dan turun dari mobil, tak sengaja aku melihat sosok pria yang sangat tak asing masuk ke dalam mobil sport mewah limited edition yang sedang terparkir di antara beberapa mobil yang letaknya cukup jauh dari tempatku sekarang.“Mas Aziel??!” Secara refleks dan entah bagaimana aku justru bersembunyi di balik dinding beton. Memperjelas penglihatanku yang mungkin salah, aku mencoba sekali lagi memastikannya. Memang benar pria yang
“Ibu, untuk baju-baju ini apa mau didisplay sekalian di etalase?” Caca bertanya padaku sembari membawa tumpukan stok baju yang masih baru.“Sebaiknya jangan semua, kamu pilih saja model yang terbaik untuk dipajang,” perintahku.“Baik, Bu.” Caca menjawab patuh, ia mulai memilih baju model terbaik dari beberapa tumpukan baju yang dibawanya.“Selamat siang, Ibu. Selamat datang di butik Amara.” Suara karyawan baruku yang bernama Lina terdengar menyapa. “Apa yang bisa saya bantu? Ibu sedang mencari apa?” tambahnya lagi.“Aku datang ke sini bukan untuk membeli tetapi untuk bertemu dengan pemilik butik ini! Dan ingat jangan panggil aku Ibu. Tetapi Nyonya, Nyonya Hermansyah!” Deg! Langkahku terhenti seketika saat aku hendak melangkah kembali ke ruanganku. Suara itu, suara yang sangat aku kenal. Untuk apa dia datang ke sini? Apa sengaja ingin membuat keonaran?“Maaf, saya benar-benar minta maaf atas ketidak tahuan saya, Nyonya.” Lina menunduk dengan raut wajah tegang serta takut.“Di mana Ama
Aku merasa sangat gugup, hingga berkali-kali merasakan gelisah. Bagaimana tidak? Malam ini adalah malam pertamaku sebagai istri dari Aziel Gibran setelah beberapa jam yang lalu kami telah melakukan ijab kabul dan resmi menjadi suami istri. Walaupun pernikahan kami dilakukan di bawah tangan dan ini bukanlah pernikahan pertama bagiku, tetapi tetap saja aku merasakan gugup. Seorang pria yang awalnya sebagai kakak ipar, kini karena suatu hal telah menjadi suami yang sah untukku tentu hal itu bukan hal yang mudah.Yang membuatku memiliki keyakinan kuat menikah dengan mas Aziel selain sebuah kesepakatan, yaitu karena mas Aziel adalah sosok lelaki yang baik dan jujur. Dia adalah gambaran pria yang sempurna secara akhlak di mataku. Karena itulah aku percaya jika pilihanku tidaklah salah. Namun, walaupun begitu pertama kali tidur satu ranjang dengannya tetap membuatku merasa gugup setengah mati. Tok, tok, tokSuara ketukan dari luar mengejutkanku.“Boleh aku masuk, Amara?” Aku tersentak saat
“Mas Aziel, ada orang yang mencarimu.” Ella seorang rekan kerja di perusahaan tempat Aziel bekerja memberitahu.“Mencariku? Siapa?” Aziel menautkan kedua alisnya cukup terkejut kalau ada seseorang yang mencarinya langsung di tempatnya bekerja.“Raditya. Iya, tadi dia mengaku bernama Raditya, Mas,” jawab Ella.Mimik wajah Aziel langsung berubah seketika saat mendengar nama itu kembali. Terbersit pertanyaan dalam pikirannya dengan tujuan mantan suami Amara yang berani datang menemuinya sekarang.“Oke, baiklah Ella, terima kasih, ya.” Segera Aziel melangkah ke tempat di mana Radit telah menunggunya.“Kau masih memiliki muka untuk bertemu denganku, Raditya?” Aziel menatap tajam pria yang kini tepat berdiri di hadapannya. Raditya membalas tatapan tajam Aziel seakan tanpa rasa takut sedikit pun.“Kau pikir aku takut denganmu, Aziel Gibran?” Radit mendengus dengan pandangan meremehkan.“Katakan apa tujuanmu datang ke sini?!” tukas Aziel tegas.“Tujuanku ke sini tentu memperingati agar kau ta
“M-maaf Mas, aku tak sengaja membuat Mas Aziel terbangun.” Aku berkata gugup tak berani membalas kontak mata mas Aziel. Dalam hati aku berharap mas Aziel tak menyadari aku telah menyentuh wajahnya saat dia tertidur tadi.“Apa kamu tahu betapa berbahayanya mendekati seorang pria saat dalam keadaan terlelap, Amara?” pria yang merupakan mantan kakak iparku itu berkata.Aku menggeleng gugup. “Aku hanya merasa tak tega melihat Mas, karena itu tadi aku mengambil selimut. Tapi jika itu membuat Mas terganggu, aku benar-benar minta maaf, Mas,” aku berusaha menjelaskan. Detak jantungku berdetak begitu cepat di bawah normal.“Siapa yang mengatakan kamu menggangguku, Amara?” Mas Aziel menatapku dalam. “Seharusnya kamu tak perlu repot-repot membawakanku selimut seperti ini. Apa kamu tidak bisa tidur?” sambung mas Aziel bertanya.“Aku mengangguk lemah dan menjawab, “Iya Mas. Aku tidak bisa tidur.”“Ayo, duduklah di sini bersamaku.” Mas Aziel bangkit kemudian berganti posisi duduk.Aku menatapnya ra
“Amara, bangun Amara.” Sebuah suara terdengar sayup. Perlahan aku mulai membuka mata, sosok yang ada di hadapanku masih terlihat samar. Aku mengerjapkan mata dan mencoba memperjelas penglihatanku kembali.“Mas Aziel?!” Aku tersentak saat ternyata sosok itu adalah mas Aziel. Aku benar-benar terkejut sekaligus merasa bingung melihat pria yang merupakan kakak iparku kini sudah ada di hadapanku sekarang.“Syukurlah kau sudah sadar.” Ucap mas Aziel dengan raut wajah cemas.Pandanganku beredar melihat sekeliling, dan aku baru menyadari kalau saat ini aku sudah ada di dalam mobilku sendiri. Bagaimana bisa?!“Apa yang sebenarnya terjadi? Dan bagaimana bisa kamu ada di sini, Mas?” tanyaku penasaran masih merasa syok dengan apa yang baru saja terjadi padaku.“Kamu pingsan saat seseorang hendak mencelakaimu. Namun, secara kebetulan aku datang ke sini dan menggagalkan niat jahatnya,” terang mas Aziel.“Seseorang? Siapa, Mas?” selidikku.“Entahlah, aku tak tahu. Sayangnya dia berhasil kabur saat a