“Kau yakin akan melakukan ini, Amara?” Mas Aziel bertanya memastikan setelah kami sampai di sebuah restoran yang sengaja aku booking sebagai tempat yang cocok untuk dimulainya rencana pembalasanku.
“Tentu saja aku yakin, Mas. Bahkan sangat yakin. Apa Mas Aziel ragu?” balasku.“Tidak, kenapa aku harus ragu? Aku sadar siapa diriku, aku bukanlah siapa-siapa. Mungkin karena itu Laura lebih memilih pria lain yang jauh lebih baik dari pada aku.”“Kenapa Mas Aziel berkata seperti itu? Apa pun alasannya tidak ada yang membenarkan sebuah perselingkuhan! Seburuk apa pun Mas Aziel adalah suami dari Mbak Laura, tidak seharusnya Mbak Laura bermain hati dengan pria lain selama dia masih menyandang status sebagai seorang istri!” aku menekankan.Mas Aziel menatapku dalam, sedetik kemudian dia menyunggingkan senyuman penuh artinya padaku. “Aku hanya berpikir begitu bodohnya Raditya menyia-nyiakan wanita sepertimu. Aku pikir kalian berdua adalah pasangan suami istri yang terlihat sempurna tetapi ternyata Raditya terlalu serakah untuk urusan dunia,” Mas Aziel berpendapat.“Seperti yang sudah kita lihat, Mas. Sebuah kesempurnaan hanya terlihat dengan mata telanjang, tetapi tidak dengan hatinya. Pengkhianatan Mas Radit telah membuka mataku, bahwa tak selamanya kesempurnaan menjamin sebuah kebahagiaan.”“Kau benar, Amara.” Mas Aziel tersenyum simpul. “Setelah semua ini terkuak aku lebih bisa menata hatiku untuk bisa menerima hidup yang lebih baik. Mungkin baik itu Raditya dan Laura bukanlah pasangan yang tepat untuk kita.”“Biarkan pasangan selingkuh itu bahagia dengan pilihan mereka, Mas. Namun, aku pastikan sebelum mereka merasakan bahagia, kita hukum mereka dengan cara kita agar mereka juga merasakan sebuah pengkhianatan yang sama,” ucapku serius.Malam ini aku sengaja berdandan cantik untuk momen yang paling tak akan terlupakan. Seperti yang sudah aku dan Mas Aziel rencanakan, kami mengundang masing-masing pasangan untuk hadir di tempat yang sama.Setelah kami menunggu waktu yang cukup lama, akhirnya Mas Radit pun datang juga. Pria yang masih bergelar sebagai suami itu menatapku penuh tanya ketika pandangan matanya melihat adanya Mas Aziel bersama satu meja bersamaku.“Ara? Apa yang Aziel lakukan di sini?” tanyanya bingung.Aku tersenyum tanpa dosa lalu berkata, “Mas Aziel adalah keluarga kita. Dia perlu datang di acara spesial ini, Mas. Oh ya, tak cuma Mas Aziel yang datang, Mbak Laura juga datang, lo,” sahutku enteng.Mas Radit menatapku semakin bingung, ia menarik sedikit tubuhku agar jauh dari tempat duduk Mas Aziel yang masih tanpa respons sama sekali dengan kedatangan Mas Radit.“Sebenarnya apa maksudmu, Ara? Bukankah kau mengatakan ini adalah acara kita, tetapi kenapa jadi berubah menjadi acara keluarga?” Mas Radit bertanya berbisik, raut wajahnya sudah menunjukkan perasaan tak nyaman.“Sudah aku katakan, Mas. Ini acara spesial untuk kita. Tepatnya kita berempat. Mas hanya tinggal duduk manis saja sampai menunggu Mbak Laura datang,” ucapku masih dengan sikap tenangku.Bersamaan saat itu akhirnya orang terakhir yang ditunggu pun datang. Laura Bramawijaya tampil bak sosialita, menjinjing tas mahalnya menghampiri meja kami dengan ekspresi terkejut yang sempat aku lihat di matanya. Namun, seperti wanita munafik yang selalu menggunakan topeng di mana pun berada, wanita yang tiga tahun lebih tua dariku itu dengan cepat menguasai keadaan.“Apa kau sengaja berbohong padaku, Mas Aziel. Kenapa ada Amara dan Raditya di sini?” tanya Laura dengan gaya acuh tak acuh menatap ke arahku.“Tunggu, jadi Mbak Laura tak tahu aku dan Amara datang?” Mas Radit bertanya merasa curiga.“Tidak, aku sengaja datang ke sini setelah pertemuan arisan dengan teman-temanku. Karena Mas Aziel mengatakan akan memberikan kejutan untukku.” Mbak Laura melirik sinis sekilas pada suaminya. “Tetapi ternyata kejutan tidak penting ini yang dia maksudkan!” tambahnya dengan gaya angkuh melipat kedua tangannya dan membusungkan dada, lalu duduk di sebelah Mas Aziel yang tetap tanpa reaksi.“Aku memang ingin memberikan kejutan besar padamu, Laura.” Mas Aziel akhirnya bersuara dengan sikapnya yang dingin.“Kejutan besar? Bullshit! Sejak dulu kamu memang tak pernah membuatku senang, Mas!” caci Mbak Laura.“Tenanglah, Mbak. Mumpung kita sudah berkumpul bersama di tempat ini. Ayo kita nikmati bersama," ucapku.“Amara, sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan? Jujur, aku tidak suka sikapmu yang sembunyi-sembunyi seperti ini!” protes Mas Radit mulai merasa kesal.“Sembunyi-sembunyi?” Aku menaikkan alisku menatap dengan berani Mas Radit, “Bukankah kalimat itu lebih pantas untukmu, Mas?” sindirku tajam dan menusuk.“Apa maksud ucapanmu itu, Amara?!” Mas Radit tampak tak terima.Aku menyunggingkan senyuman penuh artiku pada Mas Radit, kemudian dengan penuh percaya diri aku berkata. “Aku dan Mas Aziel sengaja mengundang kalian berdua datang karena kami ingin berbicara hal yang penting,” aku memulai. Dapat kulihat tatapan tajam Mas Radit seolah ingin menelanku hidup-hidup. Sedangkan Mbak Laura, ia menatapku sinis dengan gayanya yang angkuh.“Katakan saja dengan cepat, Amara! Waktuku tidak banyak mendengar omong kosongmu yang tidak penting!” tukas Mbak Laura sinis.“Aku dan Mas Aziel saling mencintai,” ucapku lantang penuh penekanan.“Apa?!!!”Mas Radit melotot saat itu juga, hingga ia beranjak dari tempat duduknya. Tak berbeda dengan Mbak Laura. Saudara perempuanku berbeda ibu itu membulatkan matanya lebar-lebar menatapku tajam. Namun, aku tetap bersikap tenang dengan senyuman penuh percaya diriku menatap satu persatu dua manusia pengkhianat yang kini duduk di hadapanku.“Apa kau bilang Amara?! Katakan sekali lagi?!” tukas Mas Radit keras.Sekali lagi aku menatap dengan berani laki-laki yang masih menjadi suamiku itu dan berkata lantang, “Ya. Aku mencintai Mas Aziel, Mas. Kami berdua saling mencintai satu sama lain.”Plak!!Tamparan keras mendarat tepat di pipiku detik itu juga. Nyeri panas aku rasakan. Namun, aku tak begitu merasakan rasa sakit itu, karena sejak awal aku memang sudah memikirkan banyak hal serta resiko yang akan terjadi padaku nanti.“Istri tak tahu malu! Bagaimana bisa kamu begitu percaya diri mengucapkan kalimat hina seperti itu di depan suamimu sendiri, Amara Bramawijaya?!” Mas Radit memaki keras.“Apa benar yang Amara katakan, Mas Aziel?! Kamu dan dia...??” Mbak Amara bangkit berdiri dari tempat duduknya dan menatap tak percaya pada Mas Aziel.“Ya. Seperti itulah kenyataannya.” Mas Aziel menjawab tegas, masih tanpa ekspresi dan tetap tenang di tempat duduknya.“Wanita jalang tak tahu malu!! Kamu tidak pantas disebut adikku!!” Mbak Laura hendak menamparku, tetapi tanpa aku duga Mas Aziel menghalangi tangan istrinya sebelum telapak tangan itu mendarat di pipiku.“Lepaskan tanganku, Mas! Kamu dan dia sama-sama manusia menjijikkan!” Mbak Laura mengumpat keras tak terima. Saat itu Mas Aziel langsung menghempaskan tangan istrinya dengan kasar.“Tak aku izinkan siapa pun menyentuh Amara, sekali pun itu adalah suaminya sendiri!” ucap Mas Aziel lantang.“Kamu benar-benar bajingan, Aziel! Tak kusangka dibalik sikap diammu itu, kamu menyimpan kebusukan dengan menggoda adik dari istrimu sendiri!” Mas Radit memaki seraya menunjuk-nunjuk Mas Aziel dengan penuh emosi.“Berkacalah sebelum berbicara, Raditya Hermansyah, apakah kamu itu lebih baik dari pada aku? Setidaknya aku bukanlah manusia munafik yang hidup di balik topeng!” balas Mas Aziel.“Apa kamu bilang! Bedebah!!” Emosi tingkat tinggi Mas Radit hendak meninju Mas Aziel, tetapi dengan cepat Mas Aziel langsung menghindar dan berbalik menyerang Mas Radit.Bug!!Satu pukulan berhasil mendarat di wajah Mas Radit saat itu juga, sampai akhirnya dia terjatuh membentur kursi.Brak!“Mas Radit?!! Kamu tidak apa-apa?!” Mbak Laura langsung berlutut menghampiri Mas Radit dengan raut wajah cemas. Aku yang melihatnya tersenyum sinis. Lihatlah, pasangan selingkuh itu mulai memperlihatkan topengnya.“Menyingkirlah! Jangan menyentuhku!” Mas Radit menepis tangan Mbak Laura dan mencoba untuk bangkit berdiri.“Dengar kalian berdua, dan terutama kamu Amara Bramawijaya, hari ini dan detik ini aku talak kamu dengan talak tiga!!” Suara Mas Radit bergema seakan menembus malam, membebaskanku dari belenggu pernikahan palsu yang memang sudah tidak pantas aku pertahankan.Ucapan mas Aziel semalam tidak membuatku tak bisa berhenti untuk berpikir. Sebenarnya ada apa? Mungkinkah ada yang mas Aziel sembunyikan dariku selama ini? Pertanyaan itulah yang selalu ada dalam pemikiranku sepanjang hari ini. Tak pernah sedikit pun aku berpikiran buruk pada mas Aziel, di mataku dia adalah pria yang baik dan sempurna tak hanya secara fisik. Jadi tak mungkin bukan jika selama ini mas Aziel menyimpan sebuah kebohongan? Hari ini aku berencana membeli kebutuhan di salah satu mall besar di ibu kota. Tetapi saat aku baru saja selesai memarkir mobilku dan turun dari mobil, tak sengaja aku melihat sosok pria yang sangat tak asing masuk ke dalam mobil sport mewah limited edition yang sedang terparkir di antara beberapa mobil yang letaknya cukup jauh dari tempatku sekarang.“Mas Aziel??!” Secara refleks dan entah bagaimana aku justru bersembunyi di balik dinding beton. Memperjelas penglihatanku yang mungkin salah, aku mencoba sekali lagi memastikannya. Memang benar pria yang
“Ibu, untuk baju-baju ini apa mau didisplay sekalian di etalase?” Caca bertanya padaku sembari membawa tumpukan stok baju yang masih baru.“Sebaiknya jangan semua, kamu pilih saja model yang terbaik untuk dipajang,” perintahku.“Baik, Bu.” Caca menjawab patuh, ia mulai memilih baju model terbaik dari beberapa tumpukan baju yang dibawanya.“Selamat siang, Ibu. Selamat datang di butik Amara.” Suara karyawan baruku yang bernama Lina terdengar menyapa. “Apa yang bisa saya bantu? Ibu sedang mencari apa?” tambahnya lagi.“Aku datang ke sini bukan untuk membeli tetapi untuk bertemu dengan pemilik butik ini! Dan ingat jangan panggil aku Ibu. Tetapi Nyonya, Nyonya Hermansyah!” Deg! Langkahku terhenti seketika saat aku hendak melangkah kembali ke ruanganku. Suara itu, suara yang sangat aku kenal. Untuk apa dia datang ke sini? Apa sengaja ingin membuat keonaran?“Maaf, saya benar-benar minta maaf atas ketidak tahuan saya, Nyonya.” Lina menunduk dengan raut wajah tegang serta takut.“Di mana Ama
Aku merasa sangat gugup, hingga berkali-kali merasakan gelisah. Bagaimana tidak? Malam ini adalah malam pertamaku sebagai istri dari Aziel Gibran setelah beberapa jam yang lalu kami telah melakukan ijab kabul dan resmi menjadi suami istri. Walaupun pernikahan kami dilakukan di bawah tangan dan ini bukanlah pernikahan pertama bagiku, tetapi tetap saja aku merasakan gugup. Seorang pria yang awalnya sebagai kakak ipar, kini karena suatu hal telah menjadi suami yang sah untukku tentu hal itu bukan hal yang mudah.Yang membuatku memiliki keyakinan kuat menikah dengan mas Aziel selain sebuah kesepakatan, yaitu karena mas Aziel adalah sosok lelaki yang baik dan jujur. Dia adalah gambaran pria yang sempurna secara akhlak di mataku. Karena itulah aku percaya jika pilihanku tidaklah salah. Namun, walaupun begitu pertama kali tidur satu ranjang dengannya tetap membuatku merasa gugup setengah mati. Tok, tok, tokSuara ketukan dari luar mengejutkanku.“Boleh aku masuk, Amara?” Aku tersentak saat
“Mas Aziel, ada orang yang mencarimu.” Ella seorang rekan kerja di perusahaan tempat Aziel bekerja memberitahu.“Mencariku? Siapa?” Aziel menautkan kedua alisnya cukup terkejut kalau ada seseorang yang mencarinya langsung di tempatnya bekerja.“Raditya. Iya, tadi dia mengaku bernama Raditya, Mas,” jawab Ella.Mimik wajah Aziel langsung berubah seketika saat mendengar nama itu kembali. Terbersit pertanyaan dalam pikirannya dengan tujuan mantan suami Amara yang berani datang menemuinya sekarang.“Oke, baiklah Ella, terima kasih, ya.” Segera Aziel melangkah ke tempat di mana Radit telah menunggunya.“Kau masih memiliki muka untuk bertemu denganku, Raditya?” Aziel menatap tajam pria yang kini tepat berdiri di hadapannya. Raditya membalas tatapan tajam Aziel seakan tanpa rasa takut sedikit pun.“Kau pikir aku takut denganmu, Aziel Gibran?” Radit mendengus dengan pandangan meremehkan.“Katakan apa tujuanmu datang ke sini?!” tukas Aziel tegas.“Tujuanku ke sini tentu memperingati agar kau ta
“M-maaf Mas, aku tak sengaja membuat Mas Aziel terbangun.” Aku berkata gugup tak berani membalas kontak mata mas Aziel. Dalam hati aku berharap mas Aziel tak menyadari aku telah menyentuh wajahnya saat dia tertidur tadi.“Apa kamu tahu betapa berbahayanya mendekati seorang pria saat dalam keadaan terlelap, Amara?” pria yang merupakan mantan kakak iparku itu berkata.Aku menggeleng gugup. “Aku hanya merasa tak tega melihat Mas, karena itu tadi aku mengambil selimut. Tapi jika itu membuat Mas terganggu, aku benar-benar minta maaf, Mas,” aku berusaha menjelaskan. Detak jantungku berdetak begitu cepat di bawah normal.“Siapa yang mengatakan kamu menggangguku, Amara?” Mas Aziel menatapku dalam. “Seharusnya kamu tak perlu repot-repot membawakanku selimut seperti ini. Apa kamu tidak bisa tidur?” sambung mas Aziel bertanya.“Aku mengangguk lemah dan menjawab, “Iya Mas. Aku tidak bisa tidur.”“Ayo, duduklah di sini bersamaku.” Mas Aziel bangkit kemudian berganti posisi duduk.Aku menatapnya ra
“Amara, bangun Amara.” Sebuah suara terdengar sayup. Perlahan aku mulai membuka mata, sosok yang ada di hadapanku masih terlihat samar. Aku mengerjapkan mata dan mencoba memperjelas penglihatanku kembali.“Mas Aziel?!” Aku tersentak saat ternyata sosok itu adalah mas Aziel. Aku benar-benar terkejut sekaligus merasa bingung melihat pria yang merupakan kakak iparku kini sudah ada di hadapanku sekarang.“Syukurlah kau sudah sadar.” Ucap mas Aziel dengan raut wajah cemas.Pandanganku beredar melihat sekeliling, dan aku baru menyadari kalau saat ini aku sudah ada di dalam mobilku sendiri. Bagaimana bisa?!“Apa yang sebenarnya terjadi? Dan bagaimana bisa kamu ada di sini, Mas?” tanyaku penasaran masih merasa syok dengan apa yang baru saja terjadi padaku.“Kamu pingsan saat seseorang hendak mencelakaimu. Namun, secara kebetulan aku datang ke sini dan menggagalkan niat jahatnya,” terang mas Aziel.“Seseorang? Siapa, Mas?” selidikku.“Entahlah, aku tak tahu. Sayangnya dia berhasil kabur saat a