Share

3. Kembali

Part 3

***

Tidak ada obrolan yang berarti di dalam mobil hitam milik Rasya. Kuda besi itu melaju di jalanan yang lengang. Bukan karena adanya pertengkaran keadaan menjadi sepi.

Namun, di balik benak sana mereka sama-sama saling berkecamuk. Bagaimana Ava tengah khawatir karena akan mengunjungi kediaman mertuanya.

Hari ini adik Rasya yang juga sahabatnya pulang setelah lima tahun menetap di London. Bahagia? Tentu saja. Akan tetapi, kenyataan di mana ia juga akan bertemu ibu mertua menjadikan perasaan resah itu hadir. Ah, mengingat itu membuat perempuan dengan pakaian sabrina merasa tidak nyaman dalam duduknya.

Asyik bergelut dengan pemikirannya, Ava tidak menyadari jika mobil yang dikendarai sang suami telah berhenti.

"Sayang," panggil Rasya dengan menggenggam tangan sang istri. Cukup berhasil membuat Ava yang terlihat melamun tersadar.

Perempuan bermata hazzle itu tersenyum. Tangan Rasya terangkat membelai surai Ava. "Ayo turun."

Mendengar ajakan suaminya, tidak lantas membuat Ava turun. Perempuan itu malah mengedarkan pandangan keluar kaca mobil, menatap sekeliling di mana mereka kini telah sampai di kediaman orang tua Rasya.

Ava menghela napas berat. Rasanya malas sekali memasuki kediaman megah di hadapan mereka. Katakanlah ia menantu durhaka. Hanya saja sakit hati karena berbagai ucapan-ucapan yang dilontarkan mertuanya mengenai kekurangan dirinya masih sangat membekas.

"Sayang, ayo!" Ava menarik napas dalam sejenak. Menutup mata dan membuang napas perlahan. Hanya untuk mencari kekuatan sebelum berperang. Ya, berperang untuk menguatkan telinga akan kalimat-kalimat tajam dari ibu mertuanya.

Hal itu tak luput dari pengamatan Rasya. Dengan sigap, Rasya menggenggam tangannya. "Semuanya akan baik-baik saja."

Mendengar kalimat semangat itu membuat Ava tersenyum. Ia pun membuka pintu mobil untuk turun bersama suaminya. Dengan tangan yang berkeringat, perempuan dengan celana kain hitam itu menggenggam tangan sang suami dengan kuat.

Rasya yang tahu perasaan istrinya mencoba memberi ketenangan dengan mengelus pelan punggung tangan Ava.

"Rasya!" Baru saja mereka memasuki pelataran rumah. Suara perempuan menyapa. Desi—mamanya Rasya datang dengan senyuman yang merekah

Ibu dan anak itu berpelukan "Akhirnya kamu datang juga. Mama sudah kangen sama kamu." Setelah pelukan keduanya terlepas, tatapan Desi beralih pada sang menantu.

"Kalian datang cuma berdua?" tanyanya dengan meneliti tubuh Ava dari atas hingga bawah. Tidak perlu diperjelas apa maksud dari ucapan itu.

Jika Ava paham kalau itu adalah kalimat sindiran untuknya, berbeda dengan Rasya yang memang memiliki sifat kurang peka. "Memangnya mau sama siapa lagi, Ma?" jawab Rasya dengan tawanya.

Pria itu tidak menyadari bagaimana raut wajah sang istri yang sudah tegang sembari menggigit bibir bawah.

"Mama pikir sama calon anak," ucap Desi membuat Rasya tersadar. Perempuan paruh baya itu membalikkan tubuh berjalan memasuki rumah.

Menarik napas dalam, Rasya menatap Ava. Terlihat senyum manis dari perempuan cantik itu. Sungguh tidak menyangka. Namun, ia tahu di balik senyum itu ada luka yang menganga.

"Maaffin Mama, ya, sayang." Rasya berucap dengan penuh penyesalannya. Begitu besar hati milik istrinya ini.

Ava berusaha tetap tersenyum meski hatinya terasa sakit. Apalagi saat sang suami mengucapkan maaf dengan wajah penyesalan padahal ini bukanlah kesalahannya.

"Enggak papa," jawab Ava lirih.

Setelah memberi kecupan pada kening istrinya, rasya menggandeng tangan Ava untuk memasuki rumah orang tuanya.

"Assalamualaikum." Ava dan Rasya mengucapkan salam.

Seorang pria paruh baya yang tengah asyik dengan korannya di sofa mendongak, bibir tua itu tersenyum saat melihat kedatangan mereka. Meletakkan kertas bacaannya, laki-laki berkacamata itu bangkit dan merentangkan tangan.

Yarendra. Dia adalah Papanya Rasya. Ava masih bisa merasa lega meski sikap Desi telah berubah. Papa mertua tetap menyayanginya, sama seperti dulu saat dirinya belum menjadi istri dari Rasya.

"Papa." Ava memeluk Papa mertuanya dengan sayang. Menumpahkan rasa rindu pada pelukan itu.

"Kafka mana, Pa?"

"Aku di sini, Kak." Belum sempat Rendra menjawab, suara berat terdengar dari arah tangga. Seorang pemuda yang sangat tampan tengah berdiri di sana.

"Kakakku sayang." Sembari melangkah lebar, pemuda tadi melangkah mendekati sang kakak. Memeluknya erat untuk menumpahkan rasa rindu akibat bertahun-tahun tidak bertemu.

"Apa kabar, Kafka?" pemuda tampan itu adalah adik Rasya. Razali Kafka Yarendra. Adik yang selama lima tahun tidak ia temui.

"Baik, Kakak," jawabnya setelah ia melepas pelukan sang kakak.

Tatapannya sekarang beralih pada wanita cantik yang ada di dekat kakaknya. Siapa lagi jika bukan Ava istri sang kakak. Ah wanita ini. Selalu terlihat cantik. Apalagi dengan senyuman yang ditampilkan.

"Ah, Kakak Ipar mungilku," ucapnya sembari memeluk istri sang kakak. Memeluk wanita yang ia cintai. Yang ia cintai dalam diam. Yang ia cintai di belakang kakaknya.

"Ih, Kafka." Begitulah Ava. Di hadapan Kafka, tanpa beban ia menunjukkan sikap manja. Kafka pun tanpa risih selalu menerima. Karena itu telah menjadi kebiasaan Ava pada Kafka.

"Papa ...," rengek Ava. Membuat semua yang di sana tertawa. Kecuali Desi tentunya.

"Kaf. jangan kamu goda terus kakak iparmu itu,” ucap Yarendra.

"Tidak apalah, Pa. Sudah lima tahun aku tidak menjahilinya. Bukan begitu, Kak?" Kafka bertanya pada sang Kakak seolah-olah meminta izin.

Oh Kafka. Kamu meminta izin pada Rasya untuk menjahili Ava? Benarkah? Tapi kenapa kamu tidak meminta izin saat kamu membobolnya untuk yang pertama?

"Ya. Ya. Ya. Terserah. Kalian selalu seperti itu." Rasya menjawabnya mudah dengan mengibaskan tangan. Tentu saja membuat Ava mengerucutkan bibirnya.

"Iya kakak. Selalu seperti ini. Begitu pun perasaanku yang masih sama.” Ucapan itu tentu saja Kafka lanjutkan dalam hati.

"Jadi, Kaf, kamu sudah siap untuk bergabung dengan perusahaan?"

"Seperti yang dilihat, Kakak." Kafka berucap dengan membentangkan tangan, memperlihatkan bahwa ia telah siap dalam segala hal. Untuk memimpin perusahaan, atau pun memperjuangkan cintanya.

"Oh, ya. Ngomong-ngomong, mana anak kalian? Kalian tidak mengajaknya ke sini?" Raut wajah bahagia yang sebelumnya terlihat dari wajah Ava, kini berubah menjadi awan mendung.

"Gimana mau punya anak, kalau istrinya aja mandul?" Belum sempat bisa menjawab pertanyaan dari Kafka yang membuat Ava gelisah, ucapan Mama mertuanya semakin membuat hatinya terasa nyeri.

Rasya yang berada di sampingnya hanya bisa menggenggam tangan Ava. Ingin melawan pun, ia tidak ingin keadaan menjadi lebih rumit. Apalagi jika harus merusak hari penyambutan sang adik.

"Ma. Ava tidak mandul. Ava itu sehat," bela Yarendra.

Hal inilah yang membuat Ava masih bisa mendatangi rumah ini. Semua karena papa mertuanya. Seseorang yang tidak pernah menganggapnya sebagai menantu. Melainkan seperti anak sendiri.

"Sehat bagaimana? Kalau benar sehat, pasti mereka sudah punya anak." Ava semakin mencengkeram ujung dressnya dengan kuat. Oke. Ava mulai mengerti keadaan saat ini.

"Be—"

"Ok. Ok. Ok. Kita lupakan." Kafka menghentikan Papanya sebelum berucap. Tidak ingin pula keadaan menjadi lebih panas.

"Mendingan kita makan sekarang. Kafka sudah lapar." Kafka mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tidak ingin wanita yang ia cintai semakin terluka dengan ucapan mamanya.

"Sebentar Kafka. Kita masih menunggu tamu yang lain," jawab Desi dengan tanpa mengalihkan tatapan dari majalah yang dipegang.

"Yang lain? Siapa, Ma?” Kafka menaikkan satu alisnya.

"Temennya Mama sama Papa." Saat itulah, mamanya menutup majalah yang tengah dipangku. Beralih menatap penuh pada Kafka. "Mereka punya putri yang juga belum nikah loh, Kaf. Dia cantik banget. Mama mau kenalin kamu sama dia."

Kafka memutar matanya malas saat ia menyadari maksud dari mamanya. "Mama mau jodohin aku?" Tunjuk Kafka pada dirinya. "Oh come on Ma. Seriously?"

 

"Kenapa enggak?"

"Ma, Kafka bukan anak kecil. Kafka bisa cari sendiri calon Kafka. Kafka tidak suka dengan cara Mama yang seperti ini."

Tidak, Kafka tidak akan membiarkan hal ini. Ia hanya ingin menikah dengan wanita yang dicintai. Yaitu Ava. Bagaimanapun caranya.

"Kafka. Anak Mama tinggal kamu saja yang masih sendiri. Mama mau mencari calon yang terbaik untuk kamu. Terutama yang sehat. Biar Mama bisa punya cucu." Desi sengaja menekan kata sehat bermaksud untuk menyindir, belum lagi matanya yang melirik Ava tajam.

"Assalamualaikum." belum sempat Kafka membalas, sebuah salam menghentikan ucapannya.

Melihat siapa yang datang, Tuan Yarendra dan sang istri langsung berdiri untuk menyambut sang tamu. Terlihat dua orang paruh baya beserta perempuan dewasa di sebelah laki-laki berkacamata.

"Ah Zizi. Kamu tambah cantik saja," puji Desi pada gadis itu. Merentangkan tangan lalu memeluknya.

"Tante bisa saja," ucap perempuan itu dengan malu-malu.

Tatapan Desi kini beralih pada Kafka. "Gimana, Kaf, cantik, kan?”

"Lumayan." Kafka yang tadinya bersikap ramah, kini kembali memasang wajah dingin. Begitulah ia jika pada seseorang yang baru dikenal atau yang kurang membuat dirinya nyaman.

Melihat sikap putranya membuat Desi merasa tidak enak hati. "Maafin Kafka, ya, Sayang. Dia memang begitu kalau sama orang yang belum dikenal. Tapi sebenarnya dia baik kok."

"Enggak papa, Tante. Mmmm Tante sebelumnya maaf. Tadinya, ada teman Zizi yang menginap di rumah. Jadinya Zizi ajak saja kemari. Enggak papa, kan, Tante?"

Desi tersenyum. "Enggak papa, Sayang. Terus, teman kamu itu mana?"

"Masih di luar, Tante. Sebentar lagi juga pasti masuk."

"Maaf." sebuah suara dari arah pintu lagi-lagi membuat semua orang mengalihkan pandangan. Sosok gadis dengan rambut panjang dan badan tinggi berdiri di sana.

"Tasya?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status