Share

2. Siap Kembali

Siap Kembali

***

Tubuh tegap dengan rahang kokoh yang ditumbuhi jambang tipis itu setia duduk di kursi kebanggaannya. Mata tajam tidak lepas dari pemandangan kota London dari balik kaca transparan ruang kerjanya.

Ruangan hampa yang menemaninya selama lima tahun terakhir ini. Kotak persegi berukuran sepuluh kali sepuluh meter yang terasa dingin tanpa ada senyuman wanita cantik yang ia cintai.

Suara pintu terbuka menandakan adanya seseorang yang datang. Tanpa ingin merepotkan diri, ia tetap menatap lurus apa yang dilihat sedari tadi. "Tuan. Tiket kepulangan Anda sudah ada."

Senyum smirk terbit dari bibirnya. Sebuah lengkungan bulan sabit yang selalu dapat membuat semua wanita bertekuk lutut di bawah kakinya.

"Persiapkan semuanya," titahnya tanpa bantahan. Seseorang yang sebelumnya memasuki ruangan kini kembali mengundurkan diri. Mempersiapkan apa yang sudah dititahkan padanya.

Dalam keheningan, pria itu kembali mengembangkan senyumnya. Mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian lima tahun yang lalu. Kejadian yang membuat dirinya tidak akan melupakan untuk seumur hidup.

Peristiwa di mana menandakan bahwa dirinya harus berjuang, perjuangan cinta yang selalu tertanam di hatinya. Sebuah oeperangan yang tertunda akibat keberangkatannya ke negri orang.

Malam itu. Di malam acara kebahagiaan dua orang. Di malam kesedihan dan kesakitan dirinya. Ia memutuskan untuk melampiskannya pada angin malam, berteriak di sebuah taman masih bagian dari hotel. Karena tempat yang disewa sepenuhnya, jangan heran jika menemukan suasana dalam keadaan sepi.

Ia mendongak, mengaku pada langit malam yang gelap bahwa dirinya tengah kesakitan, sebuah hati yang patah meremukkan jiwanya. Ia tumpahkan tangis tanpa peduli jika ada yang melihatnya.

Di malam kebahagiaan sang kakak ia menghabiskan waktu di luar pesat, tidak cukup mampu melihat kebahagiaan mereka. Hampir empat jam dirinya berdiam diri dengan tangis. Setelah dirasa cukup, ia berjalan ke arah balroom hotel.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, kini pesta yang ada adalah untuk sang pengantin beserta teman-temannya.

Aroma alkohol memasuki indra penciumannya ketika ia duduk di salah satu meja bundar besar yang memang sudah disediakan untuk hal ini. Ia menatap semua orang yang tampak di memegang gelas berisi cairan merah.

Baiklah. Kali ini ia akan melampiaskan pada minuman itu. Satu, dua, tiga, bahkan kini ia tidak ingat berapa gelas yang sudah dihabiskan. Pandangan pun tidak lagi jelas.

Namun, ia masih bisa melihat mempelai perempuan yang duduknya sedikit kesusahan akibat alkohol yang ditenggaknya. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman akan sikap lucu itu. Tanpa sadar meracau hal yang tidak terduga.

Meski sakit masih menggelayuti hatinya atas apa yang telah terjadi di ruangan ini beberapa waktu lalu, di mana perempuan yang ia perhatikan, sekaligus perempuan yang sangat ia cintai. Kini, telah menjadi kakak iparnya.

Menoleh pada sang kakak, ia berbisik, "Kak. Ava sudah mabuk. Antarlah dia ke kamar."

Sang kakak hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap dirinya. "Kau saja yang mengantar. Aku masih ingin berada di sini."

"Tap—"

"Sudahlah. Sana." Padahal. Kakaknya itu sudah mabuk berat, tetapi anehnya masih ingin berada di pesta ini. Pesta yang katanya diadakan untuk melepas kebebasan Rasya.

Mau tidak mau, Kafka pun bangkit mendekati Ava yang kini kepalanya sudah tergeletak di atas meja. Meraihnya dan membopongnya ke kamar pengantin Ava dan sang kakak.

***

Baru saja ia mencoba melepaskan diri dari Ava akan rayuan perempuan itu. Meski sebelumnya dirinya sempat tergoda, sekuat tenaga untuk mengalahkan sebuah kehendak yang takutnya nanti akan menjadi penyesalan.

Namun, tidak denggan perempuan itu. Sosoknya malah mengejar dirinya sampai ambang pintu, menari kasar hingga bibir keduanya kembali menyatu dengan sempurna. Saling mencecap dan membelit dengan begitu lihai dan intim.

Ah. Persetan. Pikir pria itu. Tidak tinggal diam. Ia segera meraih tubuh wanita di hadapannya. Melingkarkan kaki putih pada pinggang kokohnya. Membawa masuk pada kamar yang pemiliknya kini sedang sibuk dengan aktivitas panas.

Hanya dengan satu kaki, laki-laki itu menutup pintu, tanpa mau repot-repot menguncinya. Tidak peduli jika nanti akan ada seseorang yang melihat kegiatan mereka.

Tubuh sintal dalam dekapan ia baringkan di atas ranjang. Menumpu tubuh agar tidak membebani sosok di bawahnya. Silat lidah yang dilakukan mereka tidak ada tanda-tanda akan berhenti.

Yang ada kini, decapan itu semakin dalam, semakin menggelora dan semakin membawa gelenyar aneh yang meminta untuk dibebaskan.

Udara dingin mulai terasa semakin panas. Sesuatu yang terkungkung ingin terbebas. Tangan kekar itu mulai menjalar. Bergerak lihai di atas tubuh halus bak porselen. Menyusuri setiap lekukan lembut nan halus.

Memberi tarian-tarian penggugah hasrat. Hingga seutas tali kecil didapat, ia turunkan dengan perlahan.  Dua tali pada pundak telah terlepas. Membebaskan mereka yang terlihat mencuat. Tautan bibir kini terlepas secara tidak rela.

Mulai mengarah pada sesuatu yang terlihat menunggu. Tatapan tajam itu tak pernah lepas pada gundukan kenyal nan sintal. Menatap takjub akan sesuatu yang ia puja.

"So beautiful," gumam laki-laki itu. Segeralah ia mendekati mereka. Menjulurkan lidah untuk menggapai sesuatu yang mencuat merah muda, memberikan gerakan halus yang memuja.

"Shhh." Desisan itu membuatnya melirik ke atas. Melihat sekilas wajah perempuan yang terlihat tidak berdaya. Menggigit bibirnya seolah menyalurkan apa yang ia rasa.

Laki-laki itu mulai berkarya. Menciptakan lukisan-lukisan dengan warna merah keunguan yang mendominasi. Tarikan yang dilakukan bibirnya lagi-lagi membuat wanita dalam keadaan polos itu mendesis. Dapat dilihat mulut wanita itu yang terbuka.

Sungguh pemandangan yang indah baginya. Sejenak ia menghentikan aktivitas, ingin melihat wajah cantik wanita yang ia puja. Namun, gerakan itu membuat sang wanita merasa kehilangan.

"Ayolah Rasya," racaunya. Membuat pria itu menjadi tidak suka akan ucapan wanita yang ada di kungkungannya.

"Panggil aku Kafka, Sayang." Jangan tanyakan lagi siapa mereka. Tentulah Kafka dan Ava.

Kafka yang dengan rasa cinta butanya tidak peduli status apa yang dimiliki oleh Ava. Rasa penasaran perempuan bermata hazle itu tidak dapat tertuang. Kata tanya yang ingin diucapkan terkalahkan dengan teriakan yang tiba-tiba menggema.

Sebuah racauan yang tercipta kala ia merasakan elusan pada pusat inti tubuhnya. Ava hanya mampu mengangkat dagu, menggigit bibir bawah untuk menyalurkan perasaan melayang yang baru saja dirasakan.

"Mmm." Hingga sapuan yang ia rasa telah berganti dengan tekanan. Memaksa dan sedikit mendorong. Hingga ia merasakan benda asing yang mulai memasuki inti tubuhnya. Sakit, perih namun tidak bisa ia hentikan.

Rasa pening mulai menyiksanya kala benda itu mulai bergerak. Maju dan mundur teratur, cepat dan pelan. Terasa mengaduk dan mengoyak. Sesak dan penuh. Menarik setiap sendi dalam tubuh untuk berpusat pada titik itu.

Belum lagi rangsangan yang ia rasa pada telinga dan sekitar tulang belikannya. Membuat ia semakin mendongak dan memejamkan mata. Sungguh, perasaan yang menyiksa namun terasa nikmat.

Pergerakan di bawah sana terasa mulai menjadi cepat, sesuatu dalam dirinya seolah mendorong untuk terbebas. Tangan mulai meremas seprei di sisi tubuh. Dadanya turut melengkung ke atas sebagai pelampiasan apa yang dirasakan.

"Yahh." Hingga teriakan keras itu ia utarakan. Menandakan sesuatu telah terbebas dari dirinya. Napas yang menderu membuat dadanya naik turun dengan gerakan yang begitu indah.

Kepalanya kembali terasa berdenyut kala ia merasakan Kecupan-kecupan hangat mulai berjalan di atas tubuhnya. Kafka, mulai menjalankan aksinya kembali. Memberi lukisan-lukisan indah pada dada sintal. Berjalan ke bawah hingga pada perut rata. Berhenti sebentar di atas pusar untuk memberikan sapuan angin hangat.

Kecupan singkat dilabuhkan. Laki-laki si pemilik mata tajam itu kembali menjalankan ciumannya menuruni perut. Menuju pada paha dalam. Hingga Ava merasakan angin hangat di depan intinya.

Ava baru saja ingin menarik dirinya. Namun, Kafka menahan kedua kaki dan memanjakan inti tubuh dengan sebuah jilatan yang memabukkan. Lutut terasa lemas, tubuh tidak berdaya. Hanya menerima dan ingin segera dituruti apa yang daksanya butuhkan.

Kafka menekukkan kaki Ava. Menahannya dengan kedua tangan. Lidah terjulur semakin dalam  menyentuh dinding luar pusat Ava. Dirasakan daging kenyal itu yang mulai menegang. Namun ia tidak menghentikan pergerakan.

Lidah Kafka mulai bekerja. Menjelajah setiap apa yang bisa dijangkau. Menekan-nekan sedikit untuk memberikan rangsangan pada Ava. Di sela-sela kegiatannya, mata hitam pekat itu melirik perempuan yang tengah memejamkan mata.

Lihatlah wajah cantik itu yang mendongak, bibir terbuka, kentara sekali Jika tengah menikmati apa yang ia berikan.

Tidak lama Kafka merasakan kaki Ava yang mulai menegang. Ibu jari kaki pun mulai tertekuk. Ia semakin menjadi. Memainkan lembah hangat dengan lidahnya. Dinding itu terasa berkedut.

Kafka tahu, Ava akan mendapatkannya kembali. Lidah semakin berani, ditambah dengan dua jari ia membuka lipatan merah muda itu. Memperdalam jelajahnya. Menyentuh setiap titik, memberi pancingan pada setitik biji kacang.

"Iya." Pinggul Ava terangkat. Bebas sudah sesuatu yang memaksa keluar sedari tadi. Masih dengan napas tersengal, Ava mulai kehilangan rasa pening di kepala.

"Manis," ucap Kafka tepat di hadapan wajah Ava.

"Sh." Di saat yang sama pula, Kafka telah memosisikan kepemilikannya pada inti Ava. Menekannya untuk memberi jalan pada tonggaknya.

"Sakit," desis Ava dengan suara lemah. Namun, Kafka masih bisa mendengarnya.

Tangan Kafka membelai wajah Ava. Menikmati keindahan yang ingin ia miliki.

"Sabar, Sayang. Sebentar. Sakitnya hanya sebentar." Ia mendaratkan ciuman pada bibir pink bersamaan pinggulnya yang mengentak dengan keras. Gerakan pemutusan untuk menerobos penghalang satu-satunya.

Gerakan tiba-tiba Kafka membuat Ava memekik, tetapi tertahan oleh ciumannya. Namun, Kafka harus merelakan bibirnya yang tergigit, mengalirkan darah dari sudut bibir.

Sakit? Sakitnya tidak seberapa dengan apa yang dirasakan Ava. Itulah menurut Kafka. Dua aliran darah dari jalan berbeda. Sama-sama mengalir tanda persatuan. Tanda kepemilikan. Mulai saat ini, ia telah memutuskan bahwa perempuan ini adalah miliknya.

Terlepas siapa Ava bagi keluarganya, ia akan memperjuangkannya.

Sayangnya, hal itu harus tertunda dengan kepergiannya ke kota London. Namun, semua itu akan segera berakhir. "Selamat datang, Sayang."

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
waduuh ngga curiga apa sama suaminya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status