Sofa Chesterfield merah maroon menghias ruang tengah luas rumah besar milik keluarga Villarius, bantal empuk berderet di atasnya, sekeloling ruangan dihiasi lukisan beragam dan lampu gantung serta lampu dinding.
Atmosfer klasik menawan memanjakan mata, setiap benda yang ada di ruangan itu didesain khusus oleh designer interior pilihan, Davian terduduk si sofa panjang, menekan pinggang ke salah satu bantal di belakangnya."Aku mau menikah," celetuk Davian tanpa aba-aba.Tyana dan Josef terdiam, kaku. Meskipun sebelumnya mereka telah menduga jika putranya akan mengatakan soal pernikahan, tetap saja pasangan ini terkejut, hebat. Bertukar pandang dalam beberapa detik, mengembara dalam tatapan masing-masing.Tyana berbalik lebih dulu, tubuhnya di dekatkan ke depan. "Kamu yakin? Siapa wanita yang kamu akan nikahi?"Sementara Josef memilih untuk diam, tidak ingin mengacaukan suasana yang sedang terjalin dengan khidmat, untuk melihat putranya dudTyana dan Josef secara impulsif berdiri dari sofa, matanya membulat, kaget. Mereka segera melenggang ke hadapan Vemilla. "Illa? Vemilla?" seru mereka bersamaan, dalam intonasi suara yang sama.Degh!!Vemilla terkejut ketika didatangi Josef dan Tyana, dia bingung harus bersikap seperti apa, jika mengikuti aturan pertemuan, pertemuan mereka tidak ada yang spesial, itu hanya ketidaksengajaan gadis itu.Ballerina lemah gemulai itu menundukkan wajah dan meraih tangan Tyana dan Josef secara bergantian dan mengecup punggung tangan orangtua Davian. "Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Villarius, senang bertemu dengan Anda lagi."Tyana selalu antusias pada apapun yang bersangkutan dengan putranya, terutama gadis ini polos, dan menarik, ia bukan hanya cantik, tetapi kecantikannya seperti senja yang selalu dirindukan.Sabrina dan Johan segera mendekat, mereka kelimpungan menyaksikan interaksi dari putri mereka dengan orang-orang besar yang mereka segani,
Villarius?Nama yang tak lagi asing di telinga, sesekali Vemilla pernah mendengar nama itu, saat di rumah sakit, gadis ini mengingat jika Davian sempat menyebutkan nama lengkapnya sendiri.Keluarga Gustavara turun dari mobil dengan wajah berseri-seri, penuh bahagia dan antusias, berbeda dengan Vemilla, paras si cantik tampak mengeras, berulangkali dia menghela napasnya."..., Davian, Antareksa Villarius?" bisik Vemilla, alisnya tertaut ketika bibirnya agak menguncup.Apa mungkin Kak Davian ...? Batin Vemilla melanjutkan praduga yang amat dia yakini."Tadi Pak Josef bilang, dia ada urusan penting, jadi kita gak boleh menyita waktunya terlalu banyak." Johan bicara dengan perasaan was-was.Meskipun sang istri senantias mengiringi langkahnya, bahkan lengan mereka terjalin mesra, perasaan gelisah, takut dan cemas itu terus menjadi hantu di antara sel-sel darahnya.Sang istri mengusap lengan Johan, bersama-sama mereka menaiki
Krieet ...!Sabrina masuk ke kamar putrinya, hening menyergap, memenjara penglihatannya, tidak dia temui sosok sang putri di kamar itu, bisik-bisik rintik air terdengar dari dalam kamar mandi.Aroma mawar yang segar menyebar ke sudut-sudut ruangan, wanita paruh baya itu duduk di sofa sembari memangku denim dress berlengan pendek berwarna putih, dia sisir sejenak seisi ruang kamar sang putri."Kosong. Sunyi. Tidak ada kehidupan, ck," decak Sabrina tak ber ga irah melihat atmosfer polos ruang kamar putrinya.Sabrina beranjak dari sofa, meletakkan gaun yang dia bawa lengkap dengan satu set berlian di atas ranjang. "Anak ini terlalu polos, seperti kamarnya, kosong, gak ada hal menarik yang bisa dijadikan tontonan, makanya dia gak bisa diandalkan.""Sok-sokan gak mau minta apapun dari calon suaminya, sayang banget, padahal Davian dengan perusahaannya mungkin bisa memenuhi permintaan, seenggaknya sekitar beberapa milyar aja, ck, menyebalkan," decak Sabrina menggerutu.Wanita bergaun ketat i
Rumah besar dengan gerbang hitam memantulkan hening yang terasa nyata dan tajam, kehidupan yang terlihat di sana hanya embun yang menari-nari setelah pagi bertandang.Satu per satu butiran embun meleleh ketika matahari mulai naik, merangkak ke tepian langit, awan-awan putih bergumpal di sisi-sisi segerombol awan yang membawa para kukila.Kicauan burung menjulang, bebas. Dalam rumah itu seorang gadis cantik menggeliat dari dalam selimut tebal. "Hoaam ...." Menguap seraya menarik tubuh kakunya untuk terduduk bersila di ran jangnya.“Seenggaknya kamu nikah sama sahabat kakakmu itu bisa minta mahar yang sepadan, itu lumayan Vemilla, kita sedang membangun hotel baru, berguna dikitlah, Illa.”Ah. Sh*t!Perbincangan panjang semalam masih terngiang-ngiang, mengganggu pendengaran, Vemilla termangu lama sekali di sana, deru napasnya memburu, sel darah merah berlari maraton tanpa lelah.Di balik selimut, dua tangan yang tersembunyi mengepal, kuat. "Mama ini bener-bener keterlaluan." Vemilla gera
Pendar matanya menirus, masih tersemat dengan baik bahwa luka pengkhianatan Devianza masih cukup menyesakkan, ada rasa yang mengguncang jiwanya, terlukai, terhina juga rasa kecewa yang tentunya sulit Davian abaikan.Rahangnya mengeras, di samping itu ada rubrik bawah mata, ia memerah—pecah seperti cahaya yang lolos dari persembunyiannya, beranjak dari sofa, pria itu menghadap ke jendela besar di ruang tamu rumah itu.Detik-detik selanjutnya, dua kepalan tangan Davian tampak tajam. "Gak perlu. Acara tetap berlanjut, gak masalah siapa pasangannya, yang jelas aku yang akan menjadi prianya."Pria bertubuh atletis yang sering dikatakan big boy itu membenamkan satu tangan ke dalam saku celana, dia mengambil ponsel, lantas dia menghubungi Petra—sang sekretaris kepercayaan.Drrrt ....Beberapa detik atmosfer di sekitar sana menghening, Tyana dan Josef pun macam patung, mereka berdiam di atas sofa sambil menonton punggung putranya di depan jendela
Sofa Chesterfield merah maroon menghias ruang tengah luas rumah besar milik keluarga Villarius, bantal empuk berderet di atasnya, sekeloling ruangan dihiasi lukisan beragam dan lampu gantung serta lampu dinding.Atmosfer klasik menawan memanjakan mata, setiap benda yang ada di ruangan itu didesain khusus oleh designer interior pilihan, Davian terduduk si sofa panjang, menekan pinggang ke salah satu bantal di belakangnya."Aku mau menikah," celetuk Davian tanpa aba-aba.Tyana dan Josef terdiam, kaku. Meskipun sebelumnya mereka telah menduga jika putranya akan mengatakan soal pernikahan, tetap saja pasangan ini terkejut, hebat. Bertukar pandang dalam beberapa detik, mengembara dalam tatapan masing-masing.Tyana berbalik lebih dulu, tubuhnya di dekatkan ke depan. "Kamu yakin? Siapa wanita yang kamu akan nikahi?"Sementara Josef memilih untuk diam, tidak ingin mengacaukan suasana yang sedang terjalin dengan khidmat, untuk melihat putranya dud