Lembaran kertas bermotif dengan dominasi warna marun, diusap dengan lembut penuh penghayatan. Goresan tinta perak bertuliskan nama dua insan yang memiliki niat suci itu pun menjadi fokus utama dalam sudut pandang Arisa.
Ada getar harus menelusup hingga ke dasar kalbu. Di mana bayangan indah kala merangkai rencana bahagia itu terukir di pelupuk mata. Suka duka yang dilalui tak mungkin mudah terhapus begitu saja. Meski luka itu nyatanya telah sukses mencabik rasa percaya yang tercurah terhadap pria yang ia kira akan setia melambungkan segala asa bersama. Kilat bening yang berasal dari genangan cairan asin itu terpancar kala ingatannya terhempas pada kenyataan yang terpaksa harus ia telan. Sebesar apapun rasa cinta yang pernah keduanya agung-agungkan, tetap tak mampu menutupi cela yang terlanjur menganga. “Mama tahu Risa masih cinta sama Bahtiar. Tapi, Mama juga tahu kalau Risa juga membenci Bahtiar dalam waktu bersamaan. Mama mungkin gak tahu bagaimana rasanya dikhianati, tapi Mama sangat tahu sakitnya rasa kehilangan. Dan sekarang, Risa juga sedang merasa kehilangan cinta Bahtiar, kan?” “Kenapa susah sekali melepaskan rasa ini, Ma?” Arisa memukul dadanya yang penuh dan sesak oleh rasa sakit yang terus menerus menggerogoti. “Berdoa, Sayang. Minta petunjuk sama Tuhan. Dia yang paling tahu apa yang terbaik untuk hamba- Nya.” Linda merengkuh kepala sang putri. Membawanya masuk ke dalam dekapan penuh kasih. “Andai aja Risa punya Papa, pasti Papa sudah menghajar Bahtiar. Risa ingin seperti itu, Ma. Risa ingin memukul Bahtiar sampai mati. Risa benci sama Bahtiar, Ma. Benci banget.” Mulut boleh menggaungkan kata benci, namun air mata yang berjatuhan itu seolah menjadi bukti suatu pertentangan yang berperang di dalam hati. Linda tak mampu berkata-kata. Dia tak bisa mendesak putrinya untuk membulatkan satu pilihan, sebab ia tahu semua itu pasti tidak mudah. Ada harapan besar yang pernah ia rajut bersama Bahtiar. Ada angan indah yang pernah ia rancang di masa depan. Sekarang tinggal menunggu bagaimana Bahtiar akan mengambil sikap dalam menghadapi permasalahan di antara mereka. ***** Tak puas dengan pertemuannya bersama Arisa kemarin, Bahtiar pun memaksakan diri yang belum sepenuhnya pulih untuk menemui gadis yang sebetulnya hingga saat ini masih menempati singgasana utama di dalam hati. Wajah pucat pasi yang tampak letih tak menjadi penghambat untuk menyambangi sang kekasih. “Loh, kamu mau ke mana?” Langkah buru-buru Bahtiar terhenti kala mendengar seruan tanya yang tak asing di telinga. “Kak Tami?” gumamnya, tak sangka jika sang kakak sudah berada di halaman rumah sepagi itu. “Kamu kan lagi sakit, mau kemana buru-buru banget?” Utami mengulang pertanyaan yang nyaris sama. “Aku mau ke rumah Arisa.” Merasa tak ada yang salah, Bahtiar pun menjawab seadanya. Raut wajah Utama seketika berubah. Kian hari ia kian tak suka terhadap gadis pujaan sang adik. Apalagi, semalam sempat melihat dia pergi berbelanja dengan seorang laki-laki. “Mau apa kamu ke sana?” Sebegitu ingin tahunya ia terhadap urusan Bahtiar yang sama sekali tak ada kaitan dengan dirinya. “Ada urusan penting,” jawab Bahtiar, enggan menjelaskan panjang lebar. “Kamu yakin mau tetap menikah dengan Arisa?” Pertanyaan Utama berhasil membuat Bahtiar melipat kening. “Apa maksud Kak Tami bicara seperti itu?” Jelas saja Bahtiar tak suka dengan kata-kata sang kakak. “Kakak rasa, sebaiknya kamu pikir-pikir lagi. Risa itu bukan perempuan baik-baik.” “Kak Tami jangan sok tahu. Sebaiknya Kakak yang berhenti mencampuri urusanku. Aku berhak menentukan siapa yang pantas menjadi pendamping hidupku.” Bahtiar tak bisa terima siapapun mengatakan hal buruk tentang Arisa. Tak ingin membuang waktu dengan perdebatan panjang, Bahtiar pun memilih segera pergi dari hadapan Utami. Masih ada hal yang jauh lebih penting daripada mendengar omong kosong sang kakak. “Bahtiar!” Utami meneriaki sang adik yang sudah tak sopan melengos dari hadapan. “Asal kau tahu saja, semalam aku melihat Arisa dengan seorang laki-laki. Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja sama Melia. Dia juga melihatnya.” Bahtiar terus berjalan meski Utami berteriak dengan lantang. Entah benar atau tidak yang ia katakan, Bahtiar seakan menulikan pendengaran. ***** Pintu kayu bercat putih itu perlahan terbuka usai diketuk beberapa kali. Sosok yang menyembul dari balik pintu itu pun seakan memberi sebuah kelegaan dalam hati. Gadis manis yang belakangan sulit ditemui, kini berdiri tanpa sambutan basa-basi. “Boleh masuk?” tanya Bahtiar, dengan tidak melepaskan pandangan meski sekejap mata berkedip. Satu kata pun tak keluar sebagai jawaban. Tetapi, gerakan tangan Arisa yang membuka pintu lebih lebar, adalah bukti bahwa ia mempersilahkan. “Duduklah, kita perlu bicara.” Bahtiar menepuk sofa kosong di sebelahnya. Ia bahkan sangat santai dengan sikap tak tahu diri yang ditunjukan. mengambil tempat duduk tanpa menunggu sang pemilik mempersilahkan. “Bicara saja. Aku belum tuli untuk mendengar omong kosongmu itu.” Ketus, itulah cara Arisa menanggapi Bahtiar yang tengah berusaha bersikap baik. Suara helaan napas panjang yang terbuang dari hidung serta mulut lelaki itu cukup jelas mengusik indera pendengaran. Tidakkah seharusnya Arisa yang berlaku demikian? Tapi, mengapa keadaan justru berbalik, seolah Arisa lah tempat segala salah. “Aku sama Melia—” “Gak perlu bilang kalian berteman. Aku bukan remaja lugu yang mudah kamu tipu,” potong Arisa, yang sudah bisa menebak apa yang hendak Bahtiar ucap. “Baiklah. Aku gak akan mungkir lagi. Beberapa bulan ini aku memang dekat dengan Melia. Tapi, sungguh aku cuma cinta sama kamu. Melia cuma aku jadikan teman kesepian setelah kamu resign.” “Brengsek!” umpat Arisa, mengutuk segala pengakuan Bahtiar yang teramat kurang ajar. “Terserah, kau mau menyebutku apa. Tapi, kamu harus tahu kalau sekarang aku sudah menjauhinya. Aku sadar aku sudah salah. Sungguh, aku menyesal.” Bahtiar bangkit, berusaha mendekati Arisa yang sejak tadi memilih tetap berdiri di dekat pintu. Satu langkah Bahtiar maju ke depan, makan dua langkah mundur Arisa lakukan. Meski dari pengakuan itu menyatakan bahwa Melia lah yang dijadikan pelampiasan, hati kecil Arisa masih tak bisa terima ketika dengan jelas mengetahui cintanya telah diduakan. “Risa, kumohon beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku sudah menjauhi Melia. Lagi pula, kami sama sekali tidak ada komitmen apapun.” Mulut Bahtiar berucap sambil terus berjalan perlahan. Pandangannya tak teralihkan dari Arisa yang kini menatap penuh rasa benci. “Risa, akan kulakukan apa saja agar kamu percaya. Kumohon jangan siksa aku dengan cara seperti ini. Aku gak bisa terus jauh darimu. Aku cinta sama kamu, Risa.” “Benarkah? Kau akan lakukan apa saja?” Satu sudut bibir Arisa terangkat. “Iya, asal kau mau percaya aku lagi. Akan kulakukan apa saja.” “Baiklah, kalau begitu pecat Melia!” tegas Arisa, semakin melebarkan senyum kala mendapati reaksi Bahtiar.“Pecat?” Bahtiar tergagap dengan permintaan Arisa yang sungguh di luar dugaan. “Iya. Kau kan atasannya. Kau bisa mencari alasan apa saja kan?” Tanpa beban, Arisa menganggap itu merupakan keinginan yang mudah. “Tapi, Ris … itu sangat tidak profesional.” “Aku tidak peduli. Kau pecat dia atau kita batal menikah.”***** BersambungBeberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti
Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p
Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l
Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur
Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo
“Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n
Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe
“Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu
Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami