Share

Bab 06 Pecat Dia

Lembaran kertas bermotif dengan dominasi warna marun, diusap dengan lembut penuh penghayatan. Goresan tinta perak bertuliskan nama dua insan yang memiliki niat suci itu pun menjadi fokus utama dalam sudut pandang Arisa. 

 

Ada getar harus menelusup hingga ke dasar kalbu. Di mana bayangan indah kala merangkai rencana bahagia itu terukir di pelupuk mata. Suka duka yang dilalui tak mungkin mudah terhapus begitu saja. Meski luka itu nyatanya telah sukses mencabik rasa percaya yang tercurah terhadap pria yang ia kira akan setia melambungkan segala asa bersama.

 

Kilat bening yang berasal dari genangan cairan asin itu terpancar kala ingatannya terhempas pada kenyataan yang terpaksa harus ia telan. Sebesar apapun rasa cinta yang pernah keduanya agung-agungkan, tetap tak mampu menutupi cela yang terlanjur menganga.

 

“Mama tahu Risa masih cinta sama Bahtiar. Tapi, Mama juga tahu kalau Risa juga membenci Bahtiar dalam waktu bersamaan. Mama mungkin gak tahu bagaimana rasanya dikhianati, tapi Mama sangat tahu sakitnya rasa kehilangan. Dan sekarang, Risa juga sedang merasa kehilangan cinta Bahtiar, kan?”

 

“Kenapa susah sekali melepaskan rasa ini, Ma?” Arisa memukul dadanya yang penuh dan sesak oleh rasa sakit yang terus menerus menggerogoti.

 

“Berdoa, Sayang. Minta petunjuk sama Tuhan. Dia yang paling tahu apa yang terbaik untuk hamba- Nya.” Linda merengkuh kepala sang putri. Membawanya masuk ke dalam dekapan penuh kasih.

 

“Andai aja Risa punya Papa, pasti Papa sudah menghajar Bahtiar. Risa ingin seperti itu, Ma. Risa ingin memukul Bahtiar sampai mati. Risa benci sama Bahtiar, Ma. Benci banget.” Mulut boleh menggaungkan kata benci, namun air mata yang berjatuhan itu seolah menjadi bukti suatu pertentangan yang berperang di dalam hati.

 

Linda tak mampu berkata-kata. Dia tak bisa mendesak putrinya untuk membulatkan satu pilihan, sebab ia tahu semua itu pasti tidak mudah. Ada harapan besar yang pernah ia rajut bersama Bahtiar. Ada angan indah yang pernah ia rancang di masa depan.

 

Sekarang tinggal menunggu bagaimana Bahtiar akan mengambil sikap dalam menghadapi permasalahan di antara mereka. 

 

*****

 

Tak puas dengan pertemuannya bersama Arisa kemarin, Bahtiar pun memaksakan diri yang belum sepenuhnya pulih untuk menemui gadis yang sebetulnya hingga saat ini masih menempati singgasana utama di dalam hati. Wajah pucat pasi yang tampak letih tak menjadi penghambat untuk menyambangi sang kekasih.

 

“Loh, kamu mau ke mana?” Langkah buru-buru Bahtiar terhenti kala mendengar seruan tanya yang tak asing di telinga.

 

“Kak Tami?” gumamnya, tak sangka jika sang kakak sudah berada di halaman rumah sepagi itu.

 

“Kamu kan lagi sakit, mau kemana buru-buru banget?” Utami mengulang pertanyaan yang nyaris sama.

 

“Aku mau ke rumah Arisa.” Merasa tak ada yang salah, Bahtiar pun menjawab seadanya.

 

Raut wajah Utama seketika berubah. Kian hari ia kian tak suka terhadap gadis pujaan sang adik. Apalagi, semalam sempat melihat dia pergi berbelanja dengan seorang laki-laki. 

 

“Mau apa kamu ke sana?” Sebegitu ingin tahunya ia terhadap urusan Bahtiar yang sama sekali tak ada kaitan dengan dirinya.

 

“Ada urusan penting,” jawab Bahtiar, enggan menjelaskan panjang lebar.

 

“Kamu yakin mau tetap menikah dengan Arisa?” Pertanyaan Utama berhasil membuat Bahtiar melipat kening.

 

“Apa maksud Kak Tami bicara seperti itu?” Jelas saja Bahtiar tak suka dengan kata-kata sang kakak. 

 

“Kakak rasa, sebaiknya kamu pikir-pikir lagi. Risa itu bukan perempuan baik-baik.”

 

“Kak Tami jangan sok tahu. Sebaiknya Kakak yang berhenti mencampuri urusanku. Aku berhak menentukan siapa yang pantas menjadi pendamping hidupku.” Bahtiar tak bisa terima siapapun mengatakan hal buruk tentang Arisa.

 

Tak ingin membuang waktu dengan perdebatan panjang, Bahtiar pun memilih segera pergi dari hadapan Utami. Masih ada hal yang jauh lebih penting daripada mendengar omong kosong sang kakak.

 

“Bahtiar!” Utami meneriaki sang adik yang sudah tak sopan melengos dari hadapan. “Asal kau tahu saja, semalam aku melihat Arisa dengan seorang laki-laki. Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja sama Melia. Dia juga melihatnya.”

 

Bahtiar terus berjalan meski Utami berteriak dengan lantang. Entah benar atau tidak yang ia katakan, Bahtiar seakan menulikan pendengaran.

 

*****

 

Pintu kayu bercat putih itu perlahan terbuka usai diketuk beberapa kali. Sosok yang menyembul dari balik pintu itu pun seakan memberi sebuah kelegaan dalam hati. Gadis manis yang belakangan sulit ditemui, kini berdiri tanpa sambutan basa-basi.

 

“Boleh masuk?” tanya Bahtiar, dengan tidak melepaskan pandangan meski sekejap mata berkedip.

 

Satu kata pun tak keluar sebagai jawaban. Tetapi, gerakan tangan Arisa yang membuka pintu lebih lebar, adalah bukti bahwa ia mempersilahkan.

 

“Duduklah, kita perlu bicara.” Bahtiar menepuk sofa kosong di sebelahnya. Ia bahkan sangat santai dengan sikap tak tahu diri yang ditunjukan. mengambil tempat duduk tanpa menunggu sang pemilik mempersilahkan.

 

“Bicara saja. Aku belum tuli untuk mendengar omong kosongmu itu.” Ketus, itulah cara Arisa menanggapi Bahtiar yang tengah berusaha bersikap baik.

 

Suara helaan napas panjang yang terbuang dari hidung serta mulut lelaki itu cukup jelas mengusik indera pendengaran. Tidakkah seharusnya Arisa yang berlaku demikian? Tapi, mengapa keadaan justru berbalik, seolah Arisa lah tempat segala salah.

 

“Aku sama Melia—”

 

“Gak perlu bilang kalian berteman. Aku bukan remaja lugu yang mudah kamu tipu,” potong Arisa, yang sudah bisa menebak apa yang hendak Bahtiar ucap.

 

“Baiklah. Aku gak akan mungkir lagi. Beberapa bulan ini aku memang dekat dengan Melia. Tapi, sungguh aku cuma cinta sama kamu. Melia cuma aku jadikan teman kesepian setelah kamu resign.”

 

“Brengsek!” umpat Arisa, mengutuk segala pengakuan Bahtiar yang teramat kurang ajar.

 

“Terserah, kau mau menyebutku apa. Tapi, kamu harus tahu kalau sekarang aku sudah menjauhinya. Aku sadar aku sudah salah. Sungguh, aku menyesal.” Bahtiar bangkit, berusaha mendekati Arisa yang sejak tadi memilih tetap berdiri di dekat pintu.

 

Satu langkah Bahtiar maju ke depan, makan dua langkah mundur Arisa lakukan. Meski dari pengakuan itu menyatakan bahwa Melia lah yang dijadikan pelampiasan, hati kecil Arisa masih tak bisa terima ketika dengan jelas mengetahui cintanya telah diduakan.

 

“Risa, kumohon beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku sudah menjauhi Melia. Lagi pula, kami sama sekali tidak ada komitmen apapun.” Mulut Bahtiar berucap sambil terus berjalan perlahan.

 

Pandangannya tak teralihkan dari Arisa yang kini menatap penuh rasa benci.

 

“Risa, akan kulakukan apa saja agar kamu percaya. Kumohon jangan siksa aku dengan cara seperti ini. Aku gak bisa terus jauh darimu. Aku cinta sama kamu, Risa.”

 

“Benarkah? Kau akan lakukan apa saja?” Satu sudut bibir Arisa terangkat. 

 

“Iya, asal kau mau percaya aku lagi. Akan kulakukan apa saja.”

 

“Baiklah, kalau begitu pecat Melia!” tegas Arisa, semakin melebarkan senyum kala mendapati reaksi Bahtiar.

“Pecat?” Bahtiar tergagap dengan permintaan Arisa yang sungguh di luar dugaan.

 

“Iya. Kau kan atasannya. Kau bisa mencari alasan apa saja kan?” Tanpa beban, Arisa menganggap itu merupakan keinginan yang mudah.

 

“Tapi, Ris … itu sangat tidak profesional.”  

 

“Aku tidak peduli. Kau pecat dia atau kita batal menikah.”

*****

 

Bersambung

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status