“Terus gimana?” Yanu menelengkan kepala, bersiap mendengar jawaban Arisa yang sejak tadi tampak lahap menikmati setiap potong pizza yang yang dipenuhi lelehan mozarella.
“Ya gitu deh. Aku kira si Papa kena serangan jantung, ternyata kancing kemejanya lepas. Huh ….” Arisa mengusap dahi seraya membuang napas. “Langsung aja deh aku bilang, Mas Tiar kayaknya lagi ngigau. Biasanya kalau orang sakit emang kadang ngigau gitu kan?” Setelah beberapa hari lalu memilih bungkam, hari ini Arisa sudah tak keberatan bercerita panjang lebar. Dia memberitahu Yanu hal apa yang menyebabkan keretakan hubungannya dengan Bahtiar. Tak sampai di situ, Arisa juga memaparkan kejadian beberapa jam lalu di rumah Bahtiar. “Sayang aku gak lihat langsung. Kalau lihat, pasti aku ketawa ngakak,” balas Yanu, terkekeh geli. “Boro-boro pengen ketawa, Kak. Yang ada aku deg-degan setengah mati. Untungnya si Papa percaya.” “Oh ya, Bahtiar sendiri gimana? Dia sakit beneran atau cuma cari perhatian?” Arisa menaikan kedua bahu. “Entahlah. Kayaknya sih betulan. Tapi, aku tidak terlalu peduli. Aku ke sana cuma mau memastikan. Lagian aku gak mau kalau orang tuanya nganggap aku gimana-gimana. Biar gimana juga, sampai saat ini aku masih dianggap calon istrinya. Masa iya, aku tahu dia sakit, terus gak jenguk sama sekali.” “Tapi, pastinya Bahtiar seneng banget kan kamu datang?” “Mungkin. Aku gak terlalu mikirin itu. Di sana juga sebentar. Malas juga nanti dia banyak maunya. Dia kan manja banget.” “Masa sih? Kemaren waktu marahin aku, kayaknya garang banget,” ujar Yanu, tak begitu percaya dengan penuturan Arisa. “Dia tuh anak bungsu. Udah gitu, dia juga anak laki-laki satu-satunya. Intinya dia tuh anak kesayangan. Makanya suka semaunya. Soalnya emang terbiasa apa-apa selalu diturutin.” “Terus, sekarang rencananya kamu mau gimana? Lanjut nikah atau nyerah?” Kali ini fokus Arisa teralihkan. Kunyahan di mulut pun berhenti saat itu juga. Ia mengangkat wajah melihat ke arah Yanu. “Aku gak tahu. Aku bingung.” “Kok gak tahu?” “Ya emang gak tahu, Kak. Udah deh, jangan bahas ini terus. Capek tahu?” Bila sudah begitu, maka tak ada yang dapat memaksanya. Yanu memilih berhenti bertanya. Dari pada membuat mood perempuan itu memburuk, akan lebih baik diam saja. Keduanya lantas melanjutkan kegiatan menonton film sembari menikmati sekotak pizza dan minuman bersoda. “Kamu bosan gak?” Saat tayangan film hampir selesai, Yanu kembali mengajak Arisa bicara. “Kenapa emang?” “Jalan, yuk!” “Asal ditraktir.” “Oke.” ***** Meski bukan akhir pekan, suasana Mall di sore hari terbilang cukup ramai. Arisa tampak antusias berkeliling. Sembari menggandeng tangan Yanu, ia sesekali menunjuk ke arah gerai produk-produk kenamaan. Tak cukup satu atau dua butik ia kunjungi. Namun, belum ada satu pun yang cocok di hati. Yanu yang memang berniat menghibur sang adik, sama sekali tak keberatan walau harus memutari seluruh area pusat perbelanjaan. “Kak, kita lihat sepatu, ya?” Lagi-lagi Arisa menunjuk salah satu outlet, kali ini ia ingin mencari sepatu. “Kamu masuk duluan gih. Aku mau ke toilet dulu.” Bibir merah muda itu mengerucut tak senang. Ia pikir Yanu mulai lelah mengajaknya berkeliling. “Ya udah, gak jadi aja deh,” tandasnya. “Kenapa gak jadi?” tanya Yanu, heran. “Kakak pasti capek kan? Makanya alasan mau ke tolilet.” Lelaki yang mengenakan celana di atas lutut itu pun terkekeh seketika. “Ya ampun, kamu ini berprasangka buruk aja. Aku seriusan kebelet. Kalau gak percaya, ya ayo ikut.” “Hiih ….” Arisa bergidik mendengar ajakan kakak sepupunya tersebut. “Ya udah, sana. Jangan lama. Nanti kuborong semua sepatu di dalam sana,” ancam Arisa. “Sekalian sama tokonya juga. Biar besok kamu ada kerjaan,” tantang Yanu, membalas ancaman Arisa. “Ish, apaan sih. Udah buruan sana.” Arisa mendorong Yanu agar segera pergi. Sedangkan ia sendiri segera angkat kaki dan melangkah memasuki outlet sepatu tersebut. Dari satu rak ke rak yang lain, Arisa meneliti setiap sepatu yang terpajang apik. Semua tampak indah, dan tentunya dengan harga yang tidak murah. Bukan masalah baginya meminta Yanu membelikan apa saja. Lelaki itu memiliki banyak uang. Membayar sepasang sepatu tak akan membuatnya mendadak miskin. Sedang asyik menjajal sepatu, Arisa pun terusik dengan suara sumbang yang tiba-tiba saja terdengar. “Bukannya Bahtiar lagi sakit, ya? Kok bisa sih kamu malah asyik jalan di Mall?” Arisa menoleh ke arah sumber suara. Sedikit terkejut melihat kehadiran Utami, kakak sulung Bahtiar. Dari awal, wanita beranak dua itu memang kerap menunjukkan rasa tak sukanya terhadap Arisa. Akan tetapi, Arisa selalu berusaha menghormatinya sebagai orang yang lebih tua. “Kak.” Arisa mengulas senyum ramah pada wanita yang menyandang tas berbahan kulit buaya tersebut. Utami urung menyahut ketika mendengar seruan seorang pria yang memanggil calon adik iparnya. “Udah dapat sepatunya?” Yanu yang tak mengetahui situasi saat itu, mendekati Arisa yang tengah berdiri kaku. Kedua bola mata Utami meneliti penampilan Yanu dari ujung ke ujung. “B-belum. Lain kali aja.” Arisa menjawab kaku, sebab tak nyaman dengan cara Utami memandang. “Dia siapa, Risa?” Bukan hanya yang ditanya yang menoleh, tetapi Yanu pun melakukan hal yang sama. “Kau tidak sedang bermain api kan?” Tersirat suatu tuduhan dalam pertanyaan Utami. “Kak, dia—” Jawaban Arisa terpotong oleh dering ponsel milik Utami. Perempuan yang bersuamikan seorang pejabat itu pun bergerak menjauh untuk menerima panggilan. Sementara itu, Arisa hanya bisa menggigit bibir dengan perasaan gusar. Bisa dipastikan Utami akan salah paham jika sampai Arisa tak mendapat kesempatan untuk menjelaskan. Hingga menit berlalu, nyatanya Utami tak datang kembali. Tampaknya wanita itu memang sudah pergi. “Gimana ini, Kak?” Arisa bertanya pada Yanu yang sedari tadi berdiri di belakangnya.“Memangnya dia siapa?” Yanu balik bertanya. “Dia kakaknya Bahtiar. Dia pasti salah paham,” tutur Arisa, dengan kedua pundak yang tampak lemas. “Ya udah, ah. Gak usah terlalu dipikirin. Belum tentu yang kami pikirin itu benar,” hibur Yanu, agar Arisa lebih tenang. “Tapi—” “Udah, ayo pulang aja. Udah malem.” Dengan sangat terpaksa Arisa mengikuti kata-kata Yanu. Lagi pula mood belanjanya sudah menguap entah ke mana. Arisa mengekori Yanu yang berjalan lebih dulu menuju area parkir kendaraan roda empat. Sambil berjalan, pikiran gadis berambut hitam pekat itu berkelana ke mana-mana. Hal tersebut menyebabkan ia akhirnya menabrak punggung Yanu yang berhenti secara tiba-tiba. “Aw,” keluh Arisa, mengusap kening yang sedikit ngilu akibat membentur tulang punggung kokoh milik kakak sepupunya. “Ris, bukannya itu Melia?” Arisa mengikuti telunjuk Yanu yang tertuju pada satu arah. Di belakang sebuah SUV hitam metalik terlihat dua orang tengah berbincang serius. Entah apapun yang sedang dibicarakan, yang pasti Arisa cukup terkejut dengan pemandangan tersebut. Ia baru tahu kalau ternyata Melia dan Utami mengenal satu sama lain.***** BersambungBeberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti
Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p
Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l
Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur
Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo
“Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n