Home / Romansa / Menjelang Pernikahan / Bab 07 Membakar Surat Undangan

Share

Bab 07 Membakar Surat Undangan

last update Last Updated: 2023-08-04 19:49:58

“Ayahku pergi dengan wanita lain. Aku gak tahu mereka menikah atau enggak. Yang jelas sejak saat itu, dia sudah tidak lagi menafkahi kami. Ibuku harus banting tulang, kerja jadi buruh cuci sambil gendong adik yang paling kecil.” Melia mendongak ke atas, menahan laju air mata yang mendesak ingin segera tumpah.

Di sampingnya, Bahtiar menyimak segala penuturan Melia dengan perasaan iba yang seketika menelusup ke dalam dada.

“Hari itu, aku bilang ingin berhenti sekolah saja. Aku mau bantu Ibu cari uang. Tapi, Ibuku sangat marah. Katanya, kalau aku gak sekolah, aku gak akan jadi apa-apa. Tapi, diam-diam aku kerja setelah pulang sekolah. Aku bantu-bantu di cafe punya orang tua temanku. Sesekali aku juga nyanyi di sana. Nyerep kalau penyanyinya berhalangan datang. Hasilnya lumayan, selain honor dari yang punya cafe, kadang pengunjung juga kasih saweran.” Seulas senyum menjeda kisah panjang yang tengah diurai saat ia duduk berdua dengan Bahtiar.

“Aku gak tahu kalau hidupmu serumit itu,” ujar Bahtiar, menatap Melia dengan prihatin.

“Aku juga baru pertama kali cerita sama orang lain. Bahkan teman yang membantuku waktu itu juga gak tahu kalau saat itu aku lagi susah. Aku cuma bilang mau kerja buat ngisi waktu luang.”

“Lalu, kamu kuliah juga hasil kerja sendiri?” Lelaki yang kala itu menggulung lengan kemeja hingga ke siku, kembali memandang Melia dari sisi sebelah kanan.

“Aku dapat beasiswa. Jadi tinggal mencari tambahan untuk keperluan lainnya. Uang dari Ibu tetap aku terima supaya dia gak curiga. Kadang kugunakan untuk membeli buku. Kalau untuk makan dan bayar kost-kostan, aku dapat dari hasil nyanyi. Waktu kuliah, aku gak cuma nyanyi di cafe, kadang juga di club atau pesta-pesta orang kaya. Tapi, Ibu sama sekali gak tahu.”

“Aku bener-bener salut dengan cara hidupmu. Ternyata kau sangat kuat menghadapi cobaan yang seberat itu.” Tanpa sadar, Bahtiar meremas tangan Melia yang sejak tadi memeluk lutut di atas hamparan pasir.

Desir angin serta deburan ombak pantai senja itu, terasa hangat kala bias mentari yang tenggelam menerpa kulit wajah Melia yang kuning langsat. Dua insan yang terlena akan keindahan dunia itu, seperti lupa bahwa di antara mereka ada hati yang harus dijaga. 

Di bawah naungan langit jingga, Bahtiar merengkuh pundak Melia dan merebahkan kepalanya di dada. 

“Sampai sekarang, aku tetap harus bekerja keras untuk menyekolahkan ketiga adikku. Aku tidak tega membiarkan ibu terus bekerja sendiri.” Melia masih melanjutkan cerita. Akan tetapi, kini ia merasa lebih nyaman. Sebab dada bidang Bahtiar siap menjadi sandaran.

“Kamu jangan khawatir, aku akan membantumu. Sekarang, kau tidak akan sendiri lagi. Ada aku yang akan selalu mendukungmu.”

“Terima kasih, Bahtiar. Hari ini aku merasa beban di pundak ini telah banyak berkurang. Berjanjilah, kau akan selalu ada untukku.”

“Ya, aku janji.”

*****

“Kenapa diam?” Perkataan Arisa, mengembalikan kesadaran Bahtiar akan permintaannya yang dirasa terlalu berat.

Janji pada Melia terlanjur terucap, tetapi keinginan untuk bersanding dengan Arisa pun tak kalah kuat. Mempersunting Arisa adalah impiannya sejak dulu. Juga usahanya meraih hati wanita itu yang tidak mudah, menjadi salah satu alasan Bahtiar bersikukuh untuk mempertahankan keberadaan Arisa di sisi hidupnya.

Selain itu, untuk urusan pecat memecat seorang staf, bukanlah wewenang Bahtiar. Meski ia memiliki jabatan penting, nyatanya ia pun tetap berstatus sebagai pekerja. Apalagi jika staf tersebut sama sekali tidak melakukan kesalahan menyebabkan kerugian terhadap perusahaan.

“Gak bisa kan? Kamu gak bisa pecat Melia kan?” Arisa terkekeh seraya menahan getir. 

Sudah ia duga kalau Bahtiar pasti keberatan dengan permintaannya. Namun, ia tetap ajukan, dengan harapan pria itu sungguh rela berbuat apa saja demi mendapat maaf darinya.

“Masalahnya, Melia itu—” Tak sampai Bahtiar menyelesaikan kalimatnya, Arisa sudah lebih dulu berlalu.

Gadis itu masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan hal apa yang akan dijelaskan Bahtiar. Sungguh Bahtiar merasa sangat putus asa menghadapi sikap keras kepala Arisa. Ia menyugar rambut dengan gusar seraya berdesis menahan geram.

Beberapa menit kemudian, Arisa muncul kembali membawa sebuah kotak berukuran lumayan besar. Di belakangnya, Linda tampak memanggil sambil mengejar langkahnya yang cepat.

“Risa … Nak … jangan begini, Sayang.”

Arisa mengabaikan panggilan sang bunda dan memilih terus berjalan hingga melewati Bahtiar begitu saja.

“Risa,” panggil Bahtiar, bergegas menyusul Arisa yang sudah melangkah keluar rumah.

Arisa terus berjalan menuju halaman samping. Hingga akhirnya berhenti di depan sebuah drum besi yang biasa digunakan untuk membakar sampah.

“Kamu lihat, Mas!” Arisa mengacungkan selembar kertas undangan dari dalam kotak yang ia bawa tadi.

Seketika Bahtiar menutup mulut, tak percaya. Tampaknya Arisa sungguh-sungguh ingin mengakhiri semuanya. Dengan wajah merah padam, gadis berusia 25 tahun itu mulai melempar satu demi satu lembaran marun itu ke dalam tempat pembakaran sampah yang sepertinya belum lama selesai digunakan. Hal itu terlihat dari asap yang tampak masih mengepul tebal.

Sempat terkesima menyaksikan perbuatan Arisa, Bahtiar lantas tersadar dan buru-buru berlari menghampiri sang kekasih. Sekuat tenaga ia menahan tangan Arisa yang entah mengapa terasa sangat kuat.

“Hentikan, Arisa,” desis Bahtiar, kesal dengan tingkah Arisa yang ia anggap seenaknya.

“Kau sudah menentukan pilihan. Lalu, buat apa lagi semua ini. Biar kuhanguskan semuanya. Biar kamu puas sekalian!” Dengan suara kencang, Arisa meneriaki telinga Bahtiar.

Di sudut lain, Linda tak kuasa untuk menahan tangis. Di sana, sepasang insan yang pernah saling mencintai, bahkan mungkin hingga saat ini, mereka tengah berseteru mempertahankan ego masing-masing. 

“Aku atau kau yang puas?!” Bahtiar balas membentak Arisa.

“Kau.” Telunjuk Arisa terangkat di depan wajah Bahtiar. “Kau yang sudah menghancurkan mimpi-mimpi kita. Puas kau sekarang? Puas, Hah? PUAS?!” tubuh Arisa melemah usai melontarkan makian terakhirnya. 

Susah payah Bahtiar menahan agar Arisa tak sampai jatuh ke tanah. Pun Linda bergegas menghampiri sang putri yang mulai menangis.

“Brengsek kamu, Mas. Brengsek.” Di antara derai air mata yang tertumpah, Arisa masih sempat mengumpat pada Bahtiar.

“Maafkan aku,” gumam Bahtiar, berlutut di depan Arisa yang kini beralih ke tangan Linda.

Linda menuntun Arisa kembali ke dalam rumah. Ia sudah tak mampu berkata apapun lagi. Jika saja Bahtiar tidak membuatnya kecewa terlalu dalam, Arisa tak mungkin sampai semarah itu.

Sementara itu, Bahtiar yang ditinggal sendiri, mencoba memungut kembali lembaran-lembaran yang sekiranya masih bisa diselamatkan. Ia kumpulkan, lalu ia dekap kuat-kuat. Batinnya remuk mendapati wanita yang ia cinta, kini tak lagi mengharapkan kehadirannya.

Setitik embun jatuh melewati pipi. Sekalipun ia tak pernah menyangka bahwa penolakan Arisa akan terasa sesakit ini. Berjuta sesal bercokol memenuhi rongga dada. Namun, apakah semua itu bisa mengembalikan keadaan seperti semula?

*****

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Susi Susilowati
gak usah dilanjutin lah , laki-laki kaya gitu
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
tai bersyukur sebelum nikah busuknya baktiat terungkap
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menjelang Pernikahan   Bab 54 Tamat

    Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti

  • Menjelang Pernikahan   Bab 53 Apa Mas Tega?

    Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p

  • Menjelang Pernikahan   Bab 52 Kecelakaan

    Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l

  • Menjelang Pernikahan   Bab 51 Bertemu Lagi

    Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur

  • Menjelang Pernikahan   Bab 50 Mulai Suka

    Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo

  • Menjelang Pernikahan   Bab 49 Melihat Sisi Yang Lain

    “Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n

  • Menjelang Pernikahan   Bab 48 Yang Baik Bukan Berarti Yang Terbaik

    Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe

  • Menjelang Pernikahan   Bab 47 Bebas Bersyarat

    “Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu

  • Menjelang Pernikahan   Bab 46 Dalam Kamar Hotel

    Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status