Share

Bab 07 Membakar Surat Undangan

“Ayahku pergi dengan wanita lain. Aku gak tahu mereka menikah atau enggak. Yang jelas sejak saat itu, dia sudah tidak lagi menafkahi kami. Ibuku harus banting tulang, kerja jadi buruh cuci sambil gendong adik yang paling kecil.” Melia mendongak ke atas, menahan laju air mata yang mendesak ingin segera tumpah.

Di sampingnya, Bahtiar menyimak segala penuturan Melia dengan perasaan iba yang seketika menelusup ke dalam dada.

“Hari itu, aku bilang ingin berhenti sekolah saja. Aku mau bantu Ibu cari uang. Tapi, Ibuku sangat marah. Katanya, kalau aku gak sekolah, aku gak akan jadi apa-apa. Tapi, diam-diam aku kerja setelah pulang sekolah. Aku bantu-bantu di cafe punya orang tua temanku. Sesekali aku juga nyanyi di sana. Nyerep kalau penyanyinya berhalangan datang. Hasilnya lumayan, selain honor dari yang punya cafe, kadang pengunjung juga kasih saweran.” Seulas senyum menjeda kisah panjang yang tengah diurai saat ia duduk berdua dengan Bahtiar.

“Aku gak tahu kalau hidupmu serumit itu,” ujar Bahtiar, menatap Melia dengan prihatin.

“Aku juga baru pertama kali cerita sama orang lain. Bahkan teman yang membantuku waktu itu juga gak tahu kalau saat itu aku lagi susah. Aku cuma bilang mau kerja buat ngisi waktu luang.”

“Lalu, kamu kuliah juga hasil kerja sendiri?” Lelaki yang kala itu menggulung lengan kemeja hingga ke siku, kembali memandang Melia dari sisi sebelah kanan.

“Aku dapat beasiswa. Jadi tinggal mencari tambahan untuk keperluan lainnya. Uang dari Ibu tetap aku terima supaya dia gak curiga. Kadang kugunakan untuk membeli buku. Kalau untuk makan dan bayar kost-kostan, aku dapat dari hasil nyanyi. Waktu kuliah, aku gak cuma nyanyi di cafe, kadang juga di club atau pesta-pesta orang kaya. Tapi, Ibu sama sekali gak tahu.”

“Aku bener-bener salut dengan cara hidupmu. Ternyata kau sangat kuat menghadapi cobaan yang seberat itu.” Tanpa sadar, Bahtiar meremas tangan Melia yang sejak tadi memeluk lutut di atas hamparan pasir.

Desir angin serta deburan ombak pantai senja itu, terasa hangat kala bias mentari yang tenggelam menerpa kulit wajah Melia yang kuning langsat. Dua insan yang terlena akan keindahan dunia itu, seperti lupa bahwa di antara mereka ada hati yang harus dijaga. 

Di bawah naungan langit jingga, Bahtiar merengkuh pundak Melia dan merebahkan kepalanya di dada. 

“Sampai sekarang, aku tetap harus bekerja keras untuk menyekolahkan ketiga adikku. Aku tidak tega membiarkan ibu terus bekerja sendiri.” Melia masih melanjutkan cerita. Akan tetapi, kini ia merasa lebih nyaman. Sebab dada bidang Bahtiar siap menjadi sandaran.

“Kamu jangan khawatir, aku akan membantumu. Sekarang, kau tidak akan sendiri lagi. Ada aku yang akan selalu mendukungmu.”

“Terima kasih, Bahtiar. Hari ini aku merasa beban di pundak ini telah banyak berkurang. Berjanjilah, kau akan selalu ada untukku.”

“Ya, aku janji.”

*****

“Kenapa diam?” Perkataan Arisa, mengembalikan kesadaran Bahtiar akan permintaannya yang dirasa terlalu berat.

Janji pada Melia terlanjur terucap, tetapi keinginan untuk bersanding dengan Arisa pun tak kalah kuat. Mempersunting Arisa adalah impiannya sejak dulu. Juga usahanya meraih hati wanita itu yang tidak mudah, menjadi salah satu alasan Bahtiar bersikukuh untuk mempertahankan keberadaan Arisa di sisi hidupnya.

Selain itu, untuk urusan pecat memecat seorang staf, bukanlah wewenang Bahtiar. Meski ia memiliki jabatan penting, nyatanya ia pun tetap berstatus sebagai pekerja. Apalagi jika staf tersebut sama sekali tidak melakukan kesalahan menyebabkan kerugian terhadap perusahaan.

“Gak bisa kan? Kamu gak bisa pecat Melia kan?” Arisa terkekeh seraya menahan getir. 

Sudah ia duga kalau Bahtiar pasti keberatan dengan permintaannya. Namun, ia tetap ajukan, dengan harapan pria itu sungguh rela berbuat apa saja demi mendapat maaf darinya.

“Masalahnya, Melia itu—” Tak sampai Bahtiar menyelesaikan kalimatnya, Arisa sudah lebih dulu berlalu.

Gadis itu masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan hal apa yang akan dijelaskan Bahtiar. Sungguh Bahtiar merasa sangat putus asa menghadapi sikap keras kepala Arisa. Ia menyugar rambut dengan gusar seraya berdesis menahan geram.

Beberapa menit kemudian, Arisa muncul kembali membawa sebuah kotak berukuran lumayan besar. Di belakangnya, Linda tampak memanggil sambil mengejar langkahnya yang cepat.

“Risa … Nak … jangan begini, Sayang.”

Arisa mengabaikan panggilan sang bunda dan memilih terus berjalan hingga melewati Bahtiar begitu saja.

“Risa,” panggil Bahtiar, bergegas menyusul Arisa yang sudah melangkah keluar rumah.

Arisa terus berjalan menuju halaman samping. Hingga akhirnya berhenti di depan sebuah drum besi yang biasa digunakan untuk membakar sampah.

“Kamu lihat, Mas!” Arisa mengacungkan selembar kertas undangan dari dalam kotak yang ia bawa tadi.

Seketika Bahtiar menutup mulut, tak percaya. Tampaknya Arisa sungguh-sungguh ingin mengakhiri semuanya. Dengan wajah merah padam, gadis berusia 25 tahun itu mulai melempar satu demi satu lembaran marun itu ke dalam tempat pembakaran sampah yang sepertinya belum lama selesai digunakan. Hal itu terlihat dari asap yang tampak masih mengepul tebal.

Sempat terkesima menyaksikan perbuatan Arisa, Bahtiar lantas tersadar dan buru-buru berlari menghampiri sang kekasih. Sekuat tenaga ia menahan tangan Arisa yang entah mengapa terasa sangat kuat.

“Hentikan, Arisa,” desis Bahtiar, kesal dengan tingkah Arisa yang ia anggap seenaknya.

“Kau sudah menentukan pilihan. Lalu, buat apa lagi semua ini. Biar kuhanguskan semuanya. Biar kamu puas sekalian!” Dengan suara kencang, Arisa meneriaki telinga Bahtiar.

Di sudut lain, Linda tak kuasa untuk menahan tangis. Di sana, sepasang insan yang pernah saling mencintai, bahkan mungkin hingga saat ini, mereka tengah berseteru mempertahankan ego masing-masing. 

“Aku atau kau yang puas?!” Bahtiar balas membentak Arisa.

“Kau.” Telunjuk Arisa terangkat di depan wajah Bahtiar. “Kau yang sudah menghancurkan mimpi-mimpi kita. Puas kau sekarang? Puas, Hah? PUAS?!” tubuh Arisa melemah usai melontarkan makian terakhirnya. 

Susah payah Bahtiar menahan agar Arisa tak sampai jatuh ke tanah. Pun Linda bergegas menghampiri sang putri yang mulai menangis.

“Brengsek kamu, Mas. Brengsek.” Di antara derai air mata yang tertumpah, Arisa masih sempat mengumpat pada Bahtiar.

“Maafkan aku,” gumam Bahtiar, berlutut di depan Arisa yang kini beralih ke tangan Linda.

Linda menuntun Arisa kembali ke dalam rumah. Ia sudah tak mampu berkata apapun lagi. Jika saja Bahtiar tidak membuatnya kecewa terlalu dalam, Arisa tak mungkin sampai semarah itu.

Sementara itu, Bahtiar yang ditinggal sendiri, mencoba memungut kembali lembaran-lembaran yang sekiranya masih bisa diselamatkan. Ia kumpulkan, lalu ia dekap kuat-kuat. Batinnya remuk mendapati wanita yang ia cinta, kini tak lagi mengharapkan kehadirannya.

Setitik embun jatuh melewati pipi. Sekalipun ia tak pernah menyangka bahwa penolakan Arisa akan terasa sesakit ini. Berjuta sesal bercokol memenuhi rongga dada. Namun, apakah semua itu bisa mengembalikan keadaan seperti semula?

*****

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Susi Susilowati
gak usah dilanjutin lah , laki-laki kaya gitu
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
tai bersyukur sebelum nikah busuknya baktiat terungkap
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status