“Ayahku pergi dengan wanita lain. Aku gak tahu mereka menikah atau enggak. Yang jelas sejak saat itu, dia sudah tidak lagi menafkahi kami. Ibuku harus banting tulang, kerja jadi buruh cuci sambil gendong adik yang paling kecil.” Melia mendongak ke atas, menahan laju air mata yang mendesak ingin segera tumpah.
Di sampingnya, Bahtiar menyimak segala penuturan Melia dengan perasaan iba yang seketika menelusup ke dalam dada.“Hari itu, aku bilang ingin berhenti sekolah saja. Aku mau bantu Ibu cari uang. Tapi, Ibuku sangat marah. Katanya, kalau aku gak sekolah, aku gak akan jadi apa-apa. Tapi, diam-diam aku kerja setelah pulang sekolah. Aku bantu-bantu di cafe punya orang tua temanku. Sesekali aku juga nyanyi di sana. Nyerep kalau penyanyinya berhalangan datang. Hasilnya lumayan, selain honor dari yang punya cafe, kadang pengunjung juga kasih saweran.” Seulas senyum menjeda kisah panjang yang tengah diurai saat ia duduk berdua dengan Bahtiar.“Aku gak tahu kalau hidupmu serumit itu,” ujar Bahtiar, menatap Melia dengan prihatin.“Aku juga baru pertama kali cerita sama orang lain. Bahkan teman yang membantuku waktu itu juga gak tahu kalau saat itu aku lagi susah. Aku cuma bilang mau kerja buat ngisi waktu luang.”“Lalu, kamu kuliah juga hasil kerja sendiri?” Lelaki yang kala itu menggulung lengan kemeja hingga ke siku, kembali memandang Melia dari sisi sebelah kanan.“Aku dapat beasiswa. Jadi tinggal mencari tambahan untuk keperluan lainnya. Uang dari Ibu tetap aku terima supaya dia gak curiga. Kadang kugunakan untuk membeli buku. Kalau untuk makan dan bayar kost-kostan, aku dapat dari hasil nyanyi. Waktu kuliah, aku gak cuma nyanyi di cafe, kadang juga di club atau pesta-pesta orang kaya. Tapi, Ibu sama sekali gak tahu.”“Aku bener-bener salut dengan cara hidupmu. Ternyata kau sangat kuat menghadapi cobaan yang seberat itu.” Tanpa sadar, Bahtiar meremas tangan Melia yang sejak tadi memeluk lutut di atas hamparan pasir.Desir angin serta deburan ombak pantai senja itu, terasa hangat kala bias mentari yang tenggelam menerpa kulit wajah Melia yang kuning langsat. Dua insan yang terlena akan keindahan dunia itu, seperti lupa bahwa di antara mereka ada hati yang harus dijaga. Di bawah naungan langit jingga, Bahtiar merengkuh pundak Melia dan merebahkan kepalanya di dada. “Sampai sekarang, aku tetap harus bekerja keras untuk menyekolahkan ketiga adikku. Aku tidak tega membiarkan ibu terus bekerja sendiri.” Melia masih melanjutkan cerita. Akan tetapi, kini ia merasa lebih nyaman. Sebab dada bidang Bahtiar siap menjadi sandaran.“Kamu jangan khawatir, aku akan membantumu. Sekarang, kau tidak akan sendiri lagi. Ada aku yang akan selalu mendukungmu.”“Terima kasih, Bahtiar. Hari ini aku merasa beban di pundak ini telah banyak berkurang. Berjanjilah, kau akan selalu ada untukku.”“Ya, aku janji.”*****“Kenapa diam?” Perkataan Arisa, mengembalikan kesadaran Bahtiar akan permintaannya yang dirasa terlalu berat.Janji pada Melia terlanjur terucap, tetapi keinginan untuk bersanding dengan Arisa pun tak kalah kuat. Mempersunting Arisa adalah impiannya sejak dulu. Juga usahanya meraih hati wanita itu yang tidak mudah, menjadi salah satu alasan Bahtiar bersikukuh untuk mempertahankan keberadaan Arisa di sisi hidupnya.Selain itu, untuk urusan pecat memecat seorang staf, bukanlah wewenang Bahtiar. Meski ia memiliki jabatan penting, nyatanya ia pun tetap berstatus sebagai pekerja. Apalagi jika staf tersebut sama sekali tidak melakukan kesalahan menyebabkan kerugian terhadap perusahaan.“Gak bisa kan? Kamu gak bisa pecat Melia kan?” Arisa terkekeh seraya menahan getir. Sudah ia duga kalau Bahtiar pasti keberatan dengan permintaannya. Namun, ia tetap ajukan, dengan harapan pria itu sungguh rela berbuat apa saja demi mendapat maaf darinya.“Masalahnya, Melia itu—” Tak sampai Bahtiar menyelesaikan kalimatnya, Arisa sudah lebih dulu berlalu.Gadis itu masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan hal apa yang akan dijelaskan Bahtiar. Sungguh Bahtiar merasa sangat putus asa menghadapi sikap keras kepala Arisa. Ia menyugar rambut dengan gusar seraya berdesis menahan geram.Beberapa menit kemudian, Arisa muncul kembali membawa sebuah kotak berukuran lumayan besar. Di belakangnya, Linda tampak memanggil sambil mengejar langkahnya yang cepat.“Risa … Nak … jangan begini, Sayang.”Arisa mengabaikan panggilan sang bunda dan memilih terus berjalan hingga melewati Bahtiar begitu saja.“Risa,” panggil Bahtiar, bergegas menyusul Arisa yang sudah melangkah keluar rumah.Arisa terus berjalan menuju halaman samping. Hingga akhirnya berhenti di depan sebuah drum besi yang biasa digunakan untuk membakar sampah.“Kamu lihat, Mas!” Arisa mengacungkan selembar kertas undangan dari dalam kotak yang ia bawa tadi.Seketika Bahtiar menutup mulut, tak percaya. Tampaknya Arisa sungguh-sungguh ingin mengakhiri semuanya. Dengan wajah merah padam, gadis berusia 25 tahun itu mulai melempar satu demi satu lembaran marun itu ke dalam tempat pembakaran sampah yang sepertinya belum lama selesai digunakan. Hal itu terlihat dari asap yang tampak masih mengepul tebal.Sempat terkesima menyaksikan perbuatan Arisa, Bahtiar lantas tersadar dan buru-buru berlari menghampiri sang kekasih. Sekuat tenaga ia menahan tangan Arisa yang entah mengapa terasa sangat kuat.“Hentikan, Arisa,” desis Bahtiar, kesal dengan tingkah Arisa yang ia anggap seenaknya.“Kau sudah menentukan pilihan. Lalu, buat apa lagi semua ini. Biar kuhanguskan semuanya. Biar kamu puas sekalian!” Dengan suara kencang, Arisa meneriaki telinga Bahtiar.Di sudut lain, Linda tak kuasa untuk menahan tangis. Di sana, sepasang insan yang pernah saling mencintai, bahkan mungkin hingga saat ini, mereka tengah berseteru mempertahankan ego masing-masing. “Aku atau kau yang puas?!” Bahtiar balas membentak Arisa.“Kau.” Telunjuk Arisa terangkat di depan wajah Bahtiar. “Kau yang sudah menghancurkan mimpi-mimpi kita. Puas kau sekarang? Puas, Hah? PUAS?!” tubuh Arisa melemah usai melontarkan makian terakhirnya. Susah payah Bahtiar menahan agar Arisa tak sampai jatuh ke tanah. Pun Linda bergegas menghampiri sang putri yang mulai menangis.“Brengsek kamu, Mas. Brengsek.” Di antara derai air mata yang tertumpah, Arisa masih sempat mengumpat pada Bahtiar.“Maafkan aku,” gumam Bahtiar, berlutut di depan Arisa yang kini beralih ke tangan Linda.Linda menuntun Arisa kembali ke dalam rumah. Ia sudah tak mampu berkata apapun lagi. Jika saja Bahtiar tidak membuatnya kecewa terlalu dalam, Arisa tak mungkin sampai semarah itu.Sementara itu, Bahtiar yang ditinggal sendiri, mencoba memungut kembali lembaran-lembaran yang sekiranya masih bisa diselamatkan. Ia kumpulkan, lalu ia dekap kuat-kuat. Batinnya remuk mendapati wanita yang ia cinta, kini tak lagi mengharapkan kehadirannya.Setitik embun jatuh melewati pipi. Sekalipun ia tak pernah menyangka bahwa penolakan Arisa akan terasa sesakit ini. Berjuta sesal bercokol memenuhi rongga dada. Namun, apakah semua itu bisa mengembalikan keadaan seperti semula?*****BersambungDesas-desus keretakan hubungan Bahtiar dengan Arisa merebak di dalam lingkungan kantor. Entah siapa yang menjadi bibit isu tersebut, yang pasti dalam beberapa kesempatan Bahtiar kerap mendapati para staf tengah menggunjing dirinya. Tak cukup sampai di situ, Bahtiar pun memerhatikan ada beberapa orang yang tanpa ragu menyindir Melia dengan suara lantang. Namun begitu, ia enggan memberi teguran. Ia tak mau segala tudingan itu dianggap benar, ketika dirinya pasang badan membela Melia.Ada perasaan tak tega kala menangkap mata Melia tengah menyantap bekal makan siangnya sendiri. Semenjak gosip miring itu tersebar, perempuan yang gemar mengenakan celana panjang itu seperti tak bernyali untuk berkumpul di dalam kantin. Dia memilih bertahan di kubikel miliknya hingga jam istirahat berakhir.“Tiar, kita harus bicara.” Bahtiar tersentak kala suara Melia menghentikan langkahnya yang hendak beranjak pulang.Manik tajam lelaki bersetelan jas itu awas mengamati sekitar. Ia khawatir ada orang yang
Satu kali, dua kali, tiga kali, sampai berkali-kali pukulan kembali mendarat di pipi. Kemudian tubuh Bahtiar bangkit terangkat oleh tarikan kerah baju yang dilakukan Yanu. Kali ini, dengkul lelaki itu yang menghantam perut Bahtiar hingga terkulai tak berdaya. Bahtiar meringkuk di atas aspal. Menahan sakit di sekujur badan. Sedangkan Yanu, sekali lagi menendang sebelum akhirnya menghampiri Arisa, yang tampak terguncang dengan segala kejadian. Lelaki yang mengenakan jaket merah itu merogoh saku, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.“Antarkan mobilku sekarang. Nanti kau pulang bawa motorku.” Sesingkat itu pembicaraan Yanu. Ia lantas merengkuh pundak Arisa dan menuntunnya dari tempat terkutuk yang nyaris menorehkan cela di tubuh wanita itu.Namun, sebelum mereka betul-betul pergi, Yanu masih sempat menoleh. Ia perlu memastikan kalau Bahtiar tidak sampai mati akibat bogem mentah yang ia layangkan secara berulang-ulang. Walaupun sangat ingin membunuh Bahtiar yang baru saja melakuka
Memar biru yang belum sembuh kian ngilu kala tangan lemah Linda mendarat sempurna dengan begitu kerasnya. Selain mengusap pipi yang terasa perih, tak ada yang bisa Bahtiar lakukan. Ia tertunduk tak berdaya ketika Linda menatapnya nyalang. Dengan napas yang naik turun cepat, Linda mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Bahtiar.“Kurang ajar kamu! Beraninya melecehkan putriku!” Linda berteriak memaki pria yang seyogyanya menjadi calon menantu.“Tante, saya minta maaf. Saya khilaf.” Bahtiar menjatuhkan tubuh berlutut di hadapan Linda.Semua orang yang hadir di ruangan itu tak ada yang berani bersuara. Ibunda Bahtiar pun terbungkam dengan apa yang sudah dilakukan putranya terhadap Arisa. Ia hanya bisa menangis menyesali diri yang telah gagal mendidik Bahtiar menjadi seorang pria yang baik.“Kamu ingat baik-baik. Kalau sampai terjadi sesuatu pada anak saya, saya pastikan akan memenjarakanmu.” Linda beranjak pergi dari rumah calon besan yang sepertinya memang benar-benar akan jadi manta
“Kamu hamil?” Arisa sampai harus memicingkan mata saat bertanya.Selama berteman dengan Melia, tak sekalipun ia mengetahui gadis itu dekat dengan pria. Dia juga tak pernah bercerita kalau memiliki kekasih.“Apa itu anaknya ….” Lidah Arisa mendadak kelu. Rasa tak sanggup menyebut nama lelaki yang ia curigai sebagai ayah dari bayi yang Melia kandung, jika benar dia hamil.Tak ada satu kata pun keluar dari mulut mantan sahabatnya. Namun, Arisa bisa melihat kristal-kristal bening tengah menggenang di mata Melia.“Kembalikan!” Tangan Arisa mengambang di udara, ketika Melia merampas kembali kantong belanjanya.Perempuan yang menyandang tas di bahunya itu melenggang pergi tanpa permisi. Sedangkan Arisa hanya mematung dalam keadaan setengah tak percaya. Mungkinkah Bahtiar merupakan pelakunya?“Risa, jadi beli obat gak?” Suara Yanu mengagetkan Arisa dari keterpakuan.Ia menoleh sebentar, kemudian beralih mencari-cari keberadaan Melia yang entah ke mana.“Kak Yanu aja yang beli. Aku tunggu di l
“Ini gak bener kan, Mel? Kamu lagi bercanda kan?” Bahtiar melempar alat uji kehamilan yang baru saja diberikan Melia.“Aku juga maunya kayak gitu. Tapi, nyatanya ini benar-benar terjadi. Aku hamil dan ini anakmu.” Berderai air mata, Melia menunduk tak sanggup bersitatap dengan Bahtiar.Setelah mencoba berulang kali, akhirnya Bahtiar mau diajak bicara berdua. Walaupun semua dilakukan secara terpaksa, tapi bagi Melia itu merupakan kesempatan yang sangat berharga.Lelaki berkemeja biru pudar itu meraup wajah dengan gusar. Belum usai satu persoalan, kini masalah baru sudah datang. Kemarahan orang tuanya atas pembatalan pernikahan dengan Arisa belum sempat teredam, sekarang di hadapannya seorang perempuan tengah meminta pertanggung jawaban.“Mel, aku bener-bener gak bisa percaya ini. Aku yakin sekali kita gak lakuin apa-apa malam itu. Bagaimana mungkin kamu bisa hamil?” Diputar berulang kali pun, Bahtiar sama sekali tak bisa mengingat kalau dirinya pernah menggagahi Melia.“Tiar, kamu itu
“Iihh … Kak Yanu apaan sih.” Arisa mendorong dada Yanu begitu cekalan tangan lelaki itu terlepas. Makanan yang terlanjur masuk pun menyembur dan berhamburan di lantai. Dengan kedua telapak tangan yang terkepal, Arisa memukuli Yanu hingga terjungkal. Bukan karena kesakitan, melainkan tertawa terpingkal mendapati reaksi perempuan yang ada di depannya.Keributan yang mereka ciptakan, tentu saja mengusik ketenangan Linda yang belum lama terpejam. Ia bangun dan menghampiri sumber kegaduhan.“Ada apa ini?” Pandangan yang masih remang-remang itu seketika terbuka lebar, begitu menangkap bayangan Arisa yang tengah memukuli Yanu yang terbaring di lantai.“Mama?” Sakit terkejutnya, Arisa bergegas mundur dari tubuh Yanu, dan bergeser lebih jauh.“Kalian sedang apa?” Linda pun tak kalah kaget menyaksikan dua anak anak manusia yang sama-sama sudah dewasa berada dalam posisi seperti itu. Posisi yang jika diperhatikan sekilas, tak ubahnya orang yang tengah saling bertindihan. Arisa bangkit dan meng
Lebih dari satu minggu suasana saat berkumpul di meja makan begitu senyap. Selain dentingan sendok yang beradu dengan piring, makan tak ada lagi suara yang lain.Namun, malam ini sepertinya akan berbeda dari sebelumnya. Sebab ada hal besar yang hendak Bahtiar sampaikan.Sepasang suami istri yang tak lagi muda itu saling melempar pandang, ketika Bahtiar mencegah mereka meninggalkan ruang makan. “Ada sesuatu yang ingin kusampaikan.” Rendah nada suara Bahtiar adalah wujud rasa takut yang sungguh menekan dalam pikiran.Tak ada jawaban maupun sekadar mempersilahkan. Kedua orang tuanya hanya diam dan bersiap menyimak apa yang akan mulut Bahtiar tuturkan.“Aku mau menikahi seseorang.” Ragu-ragu, tetapi semua harus diungkapkan.“Menikah? Apa maksudnya?” Sang ibu terdengar tak menyukai pembicaraan yang belum jelas itu.“Iya, Ma. Aku harus menikahi seseorang. Dengan ataupun tanpa restu kalian, aku akan menikahi perempuan itu.”Tak habis pikir ayah Bahtiar. Setelah apa yang menimpa terhadap ren
Hujan pagi ini menyeruakkan aroma tanah yang kemarin masih mengering. Pucuk-pucuk dedaunan bergoyang tertimpa jatuhan air langit. Denting atap baja ringan riuh berisik, memecah keheningan hari.Jalan-jalan yang biasanya ramai, kini tampak lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang rela menerobos derasnya air hujan. Warna coklat yang berasal dari campuran tanah dan air mengaliri selokan. Dalam ruangan berukuran 3x4 meter, Arisa tengah sibuk memisah-misahkan beragam berkas yang ia anggap penting. Beberapa salinan juga ia kumpulkan untuk kemudian disatukan dalam sebuah map yang disertai selembar surat lamaran.“Duh, kok hujannya gak berhenti-berhenti sih?” Keluh kesah itu meluncur dari bibir Arisa.Dengan pandangan menatap hampa melalui kaca jendela, Arisa melemaskan pundak yang kehilangan semangat.“Sabar. Nanti juga reda. Lagian besok-besok juga kan bisa kirim lamarannya.” sang ibu hanya bisa menenangkan tanpa memberi solusi. Sebab cuaca hari ini, sepenuhnya kuasa Sang Illahi.“Iya, si