Share

4. Dokter Arogan

(Ayuni P.O.V)

Astaga! kesiangan....

"Yasmin bangun Nak!, kita bisa terlambat."

Aku membangunkan anakku yang masih terlelap tidur. Sepintas aku berpikir apa sebaiknya dia tidak sekolah dulu mengingat kejadian kemarin, mungkin dia belum siap kembali ke sekolah. Di tengah kebimbangan itu tak ku sangka dia sudah melompat dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Aku menuju dapur dan menyiapkan sarapan. Setelah dia mandi, ku lihat dia memakai seragam sekolahnya.

"Kamu sekolah hari ini?" tanyaku.

"Lho Ibu ini gimana sih tentu saja aku harus sekolah, Ibu aneh," jawabnya.

"Baiklah," aku tersenyum dan bersyukur, dia sepertinya sudah bersemangat lagi untuk berangkat sekolah. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk pergi ke sekolah tak lupa aku menyiapkan makanan untuk ibu.

"Ibu kita berangkat dulu, ingat ya jangan pergi ke mana-mana tunggu Yasmin pulang sekolah!" Ujarku.

Dia hanya mengangguk dan melanjutkan makannya. Sebenarnya aku selalu khawatir ketika akan meninggalkan nya sendirian di rumah, tapi harus bagaimana lagi aku harus pergi bekerja dan Yasmin harus berangkat ke sekolah. 

Kami pun berangkat dengan berjalan kaki seperti biasa. Ketika berada di depan rumah kosong itu aku tertegun sejenak teringat lelaki yang semalam memandang ku teringat pandangannya yang membuat jantungku berdebar.

"Kenapa Bu?" Yasmin membuyarkan lamunanku.

"Tidak apa-apa, ayo!" 

Ish... kenapa malah memikirkan hal tidak penting di saat terlambat seperti ini. Kami pun berjalan cepat.

Ketika baru setengah perjalanan, kami mendengar deru suara mobil di belakang kami melaju cepat, andai saja Yasmin tak ku tarik agar lebih menepi, mungkin dia sudah tertabrak mobil itu.

Belum hilang rasa terkejut, kami pun terbatuk-batuk karena debu jalan bertebaran, dikarenakan laju mobil itu.

"Kamu gak apa-apa sayang?" 

Yasmin menggelang, aku membersihkan debu-debu di baju nya. 

"Siapa itu Bu?" Yasmin bertanya.

"Mana Ibu tahu, sepertinya itu mobil mewah di desa kita tidak ada yang memiliki mobil sebagus itu." 

Aku bisa menebak pengendara itu pasti orang yang arogan, mengemudi seenaknya saja, memangnya ini arena balap.

Setelah mengantarnya sampai gerbang sekolah, aku pun berjalan menuju pabrik tempatku bekerja, untung saja masih sempat sebelum ku lihat satpam pabrik bersiap untuk menutup gerbang.

Aku bergegas menuju tempat penyimpanan barang untuk menyimpan tas, tiba-tiba aku baru sadar bawah sepatu yang ku kenakan ternyata lepas, alas bawahnya nya menganga hampir setengah ukuran sepatu. Ini satu-satunya sepatu yang ku miliki. Tapi aku masih bisa memakainya, cukup di beri lem saja nanti di rumah, tak perlu membeli yang baru. Uangnya bisa ku gunakan untuk kebutuhan lain. 

"Hei kenapa terlambat?" Bisik Santi ketika kita sudah mulai bekerja.

"Entahlah mungkin karena kami tidur telalu malam, ada perampokan di depan rumahku," bisiku.

"Oh itu aku juga mendengar ceritanya, untung saja pemilik nya sedang ada di rumah jadi barang-barang masih bisa di selamatkan, dan dia memiliki pistol. Kau harus hati-hati!"

Rupanya laki-laki semalam pemilik rumah mewah itu, mengapa aku belum pernah melihatnya, mungkin karena selama ini aku tidak pernah memperhatikan tetangga depan rumahku.

"Hati-hati pada siapa?" tanyaku.

"Tentu saja kepada lai-laki yang membawa pistol itu, perampok kan sudah tertangkap. Harus baik- baik sama tetangga mu itu, salah sedikit kau bisa di dorr oleh nya. Kalo tidak hatimu yang bisa di rampok olehnya hihiiii...," Santi cekikikan dengan nada mengejek.

Wajahku terasa panas, Santi tentu tidak tahu bahwa semalaman aku terus memikirkan laki-laki bersenjata itu. Tatapannya membuat aku ingin terus memandangnya. Aku merasakan ada debaran aneh lagi di dadaku, oh apa ini?

Ketika menjelang siang, sebelum jam istirahat tiba, aku di kejutkan dengan suara Badrun.

"Ayuni!"  tiba-tiba Badrun memanggil ku.

"Iya," jawabku.

"Ikut aku ke kantor!" 

Ya Tuhan apalagi ini, apa dia ingin menggangguku lagi?

Santi menatapku khawatir, aku bimbang dan takut.

"Ada telpon untukmu." 

Aku merenung, aku jarang menerima telepon lewat kantor, mungkin karena ponsel ku di simpan di tempat barang penyimpanan. Para operator pabrik memang tidak di perbolehkan membawa ponsel ketika bekerja. Siapa yang menelpon ku?

"Ayo cepat telpon menunggumu, kenapa kamu malah bengong," Badun menggertak.

"B... baik," aku berjalan cepat menuju kantor.

"Hallo...."

Aku mendengar suara seseorang di telepon memberitahukan sesuatu yang terjadi, seketika lututku langsung lemas. Aku langsung berlari tanpa menutup telepon.

"Apa kau butuh tumpangan?" Badrun menghentikan langkahku, seperti nya dia sudah tau apa yang terjadi.

Aku hanya menatapnya jijik karena ku lihat seringai nakal di wajahnya, dasar dalam keadaan seperti ini saja dia masih mencoba menggodaku. 

Aku tak menjawabnya dan berlari menuju gerbang. Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, apa yang terjadi dengan ibu? Bagaiman jika dia mengalaminya luka parah? atau lebih buruk bagaimana jika ibu meninggal? Ooh tidak menyapa pikiranku sejauh itu.

Sesampainya di klinik, aku langsung menuju ruang perawatan, di sana tampak ibuku sedang terbaring dengan luka di kepalanya. Dan di sampingnya berdiri seorang laki-laki. Aku berdiri mematung, tatapan tajamnya membuat kakiku kaku, dan tiba-tiba ada debaran hangat di dada, wajahku memanas. Itu kan laki-laki semalam!

Dia menoleh ke arahku.

"Dia baik-baik saja, lukanya sudah di jahit dan dia sekarang tertidur karena efek obat bius," dia berkata sambil mengalihkan pandangannya dariku. 

Beberapa detik kemudian, aku mampu menguasai diriku dan kembali ke alam sadarku. 

"Bodoh! Kenapa membiarkan orang tua yang pikun berkeliaran seorang diri," dia berkata dengan ketus, sambil berlalu meninggalkan ruangan perawatan. 

Bibirku kelu, tak menyangka mendengar kata-kata yang laki-laki itu ucapkan. Dia menyebutku "Bodoh" Mengapa kasar sekali kata-katanya? Dan mengapa dia bisa bersama Ibu atau jangan-jangan dia yang menabrak ibu? Jika benar dia pelakunya apa sikapnya barusan sedang mencoba melemparkan kesalahannya padaku? Walaupun aku memang bersalah karena meninggalkan ibu sendirian di rumah.

"Ayuni!"

"Bu Marta?"

Kenapa harus bertemu dengannya dalam situasi seperti ini?

"Kenapa kalian tuh terus saja mengganguku?" ucapnya.

Hah apa aku tak salah dengar?

"Ada masalah apa lagi Bu?" tanyaku.

"Kenapa kamu tak ikat saja ibumu agar tidak kemana-mana? Setidaknya kunci pintu  rumahmu. Wanita tua yang sudah pikun berbahaya berkeliaran sendirian, untung saja, suamiku bisa mengendalikan kendaraannya tadi, kalo tidak ibumu bisa mati tergilas mobil. Yang di salahkan suamiku juga nanti," tutur Bu Marta meluap-luap penuh emosi, Ayuni hanya menunduk.

"Jadi penabrak itu suami Bu Marta?" Aku merasa bersalah karena sempat berpikiran buruk pada laki-laki tadi.

Kemudian aku melihat Pak Joko. Suami Bu Marta itu datang dengan tergopoh-gopoh dan meraih tanganku. Spontan saja aku menarik tanganku, rupanya dia memberiku beberapa lembar uang. Bu Marta yang melihat kejadian itu melotot dan menarik suaminya.

"Apa-apaan sih Bapak ini? Kita kan sudah membayar biaya perawatannya, lagi pula kita gak salah-salah amat, siapa suruh wanita tua itu berkeliaran di tengah jalan," tukas Bu Marta.

"Itu untuk biaya perawatan selanjutnya siapa tahu dia membutuhkan uang itu Bu."

Sebelum Bu Marta berbicara lebih banyak lagi aku pun mengembalikan uang itu. Meskipun aku sedang tidak memiliki uang, aku tidak ingin menerima uang itu.

"Tidak usah Pak, terima kasih. Dan maaf aku tidak menjaga Ibuku dengan baik." 

Aku berharap mereka cepat meninggalkan ruangan ini, dan tidak mau berurusan lebih banyak lagi dengan mereka. 

"Ya sudah Pak, ayo kita pergi aku takut kena sial lagi kalau lama-lama di sini!" pungkas Bu Marta.

Bu Marta dan suaminya pun akhirnya pergi tanpa meminta maaf padaku. Tak lama ponselku berdering Santi meneleponku.

"Yun katanya ibumu kecelakaan, bagaimana keadaanya sekarang?" Santi bertanya dengan nada khawatir.

"Iya, tapi sekarang sudah baik-baik saja ada luka di kepalanya dan sudah di jahit," jawabku.

"Nanti pulang kerja aku akan ke sana."

"Tidak usah San, mungkin sebentar lagi Ibu sudah di perbolehkan pulang."

"Baiklah kalau begitu, jika butuh sesuatu hubungi saja aku!" 

"Terima kasih."

Aku duduk di kursi samping ranjang. Memandang dan membelai kening ibu, ada perasaan sesak karena rasa bersalah. Aku yang tidak mampu menjaga dan merawatnya dengan baik. Selama ini aku hanya merepotkan dan gagal menjadi anak  kebanggaannya. Aku bahkan telah mengecewakan dan memberi aib padanya. 

"Maafkan aku Bu," bisikku di telinganya.

Tak lama ibu sadar, "Ini di mana?" Dia tampak kebingungan, "Ibu mau pulang."

"Nanti kita tanya dokter dulu ya Bu, di izinkan untuk pulang atau tidak, apa Ibu merasa ada yang sakit?" 

"Tidak, aku mau pulang saja."

Karena dia bersikeras meminta pulang. Aku pun ke luar untuk memberitahukan bahwa Ibu sudah sadar dan meminta untuk pulang. Meskipun aku masih merasa khawatir, dia belum sepenuhnya pulih.

"Sus Ibuku sudah sadar, apakah kami boleh pulang?" aku bertanya pada suster yang sedang berjaga.

"Silahkan Anda tanyakan langsung saja dengan dokter Jodi, dia yang tadi menangani pasien. Oh itu dia Dokter Jodi." Suster itu menunjuk pada sosok yang tak asing, aku terperangah melihatnya.

Jadi dia seorang Dokter!

Aku hendak berbalik kembali ke ruang perawatan karena enggan bertanya padanya, aku masih gugup, takut dia mengomeli ku lagi.

"Ada apa?" 

"Nona ini menanyakan apakah ibunya sudah di izinkan untuk pulang Dok?" Suster akhirnya yang bertanya.

"Dia boleh pulang sekarang, bersamaku," tegasnya.

Tunggu... apa maksudnya, "bersamaku"?

Dia pergi ke ruangan perawatan di ikuti Suster di belakangnya. Dia memeriksa kondisi ibu dan mulai mencabut infus yang terpasang di tangan ibu. "Kita akan pulang sekarang," dia berkata pada Ibu, di ikuti anggukan Ibu. 

"Jalan Kenanga nomor 27," tiba-tiba ibu mengoceh lagi.

"Antarkan aku ke Jalan Kenanga nomor 27 Yun," pinta ibu dengan menatapku.

"Iya Bu nanti kalau sudah sehat ya," aku hanya menenangkan saja, karena dia pasti akan lupa lagi dengan apa yang barusan di ucapkan.

Aku menghampiri ibu dan hendak membopongnya keluar, tiba-tiba saja Dokter itu langsung menghalauku lalu menggendong ibu. Kemudian keluar menuju halaman parkir, aku tidak berani mengehentikanya jadi ku putuskan mengikutinya saja. Ketika itu aku baru sadar alas sepatu yang ku gunakan sudah terlepas parah. Ternyata sejak tadi aku memakai sepatu yang rusak parah, seperti orang gila.

"Apa yang kau lakukan di sana? Cepat buka kan pintu mobil!" Dokter itu menunjuk dengan wajahnya, pada sebuh mobil yang sama persis dengan mobil yang tadi pagi. 

Di dalam mobil sangat hening, aku tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Laki-laki itu pun sama menutup mulutnya rapat, sebenarnya apa maksud dia tadi pagi dia hampir membuat kami celaka. Sekarang dia mau mengantarkan aku dan Ibu pulang. Sesampainya di rumah Yasmin menyambut kedatangan kami.

"Nenek tidak apa-apa kan Bu?" tanyanya.

Aku tersenyum dan menggeleng padanya. Ketika pandangan matanya beralih kepada sosok laki-laki itu, dia terkesima melihat dokter yang bernama Jodi itu turun dari mobil. Dokter Jodi kembali menggendong ibuku membawa masuk ke dalam rumah, dan membaringkannya. 

Ku ucapakan terima kasih pada dokter itu, ku harap dia segera pergi, karena suasana canggung di antara kami. 

"Jika kau ingin berterima kasih bisakah kau memberiku makan?" 

"Apa?"

"Banyak pasien di klinik hari ini, aku tak sempat makan siang, dan ku rasa kau pun sama."

Aku memang belum makan siang, tapi dia meminta makan? Tidak mungkin dia tidak memiliki uang untuk membeli makanan. mengapa harus meminta padaku?

"Bu, Om ini lapar dan aku juga, ayo buatkan kami makan. Kita bisa makan bersama-sama," pinta Yasmin penuh semangat. 

Karena merasa tidak enak hati jika menolak, aku akhirnya menyetujui. Lagipula sebagai ucapan terima kasihku pada dokter itu. "Baiklah tapi hanya ada makanan seadanya saja," kataku sambil melirik dokter itu, yang tampak sedang mengamati sekeliling rumah kami. Aku pun pergi ke dapur untuk memasak.

Samar-samar aku mendengar Yasmin berbincang dengan dokter itu, entah apa yang mereka bicarakan. Setelah selesai memasak kami akhirnya makan siang bersama.

"Kau tahu alamat yang di katakan ibumu tadi?" Dia memecah keheningan di antara kami.

"Tidak, Ibu memang sering berbicara tidak jelas dan dia sedang sakit, jadi aku tidak terlalu menganggap ucapannya." 

"Om punya senjata ya? Apa Om seorang polisi atau seorang agen rahasia?" Yasmin tiba -tiba menyela. Dokter itu tidak memakai jas dokter pada umumnya, dia hanya mengenakan kemeja dan celana formal.

"Bukan, aku hanya seorang Dokter" 

"Waaah Dokter! Tampan dan memiliki senjata," Yasmin berbinar, matanya membulat. Dan melanjutkan, "Kau cocok menjadi pendamping Ibuku dan menjadi Ayahku" ujarnya.

Ukhuk...ukhukk... Aku tersedak mendengar ucapan anakku. Seketika muka ku terasa panas. 

Ku lihat dokter itu menatapku, tidak senang.

Mungkin dia marah...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status