Share

5. Nilai Persaudaraan

(Jodi P.O.V)

Aku menyaksikan Ayuni gelagapan dengan apa yang di katakan anaknya.  

Tentu saja dia tidak tahu bahwa memang itu tujuanku datang ke desa ini, tanpa dia sadari aku sudah memperhatikannya sejak lama.

***

Empat tahun yang lalu untuk pertama kali aku bertemu dengannya tanpa di sengaja. Dia sedang dilabrak oleh seorang perempuan. Aku merasa penasaran dan tertarik untuk menyaksikan pemandangan itu.

"Dasar ganjen! kamu mau cari perhatian sama pacarku, kenapa dia mengantarkan kamu pulang?" si pemaki berkacak pinggang.

"Maaf Kak, aku tidak tau dia pacar Kakak dan lagi pula aku berdua bersama dengan temanku yang lain, aku hanya menganggapnya teman biasa." 

"Terus kalau dia tidak punya pacar kamu mau menggodanya? Harusnya kamu sadar diri siapa kamu dasar murahan!"

Perempuan itu terus memakinya, namun tiba-tiba dia mendorong Ayuni, yang sedang menggendong anak kecil hingga tersungkur di tepi jalan. Anak kecil dalam gendongannya menangis. Tangisan anak kecil itu menggugah nuraniku. 

"Hei, kamu sudah melakukan perbuatan  tidak menyenangkan, aku bisa melaporkan mu. Aku sudah merekamnya sebagai bukti," aku mengatakan itu berharap dia menghentikan perbuatannya. Sebenarnya aku tidak merekam apapun.

Perempuan yang memaki akhirnya pergi, aku membantu Ayuni untuk berdiri, namun dia pergi begitu saja sambil menenangkan anak kecil yang masih menangis dalam gendongannya, tanpa menghiraukan aku yang terpaku seperti orang bodoh. Aku menjadi penasaran dengan wanita yang tidak sopan itu, bukan karena parasnya yang cantik, entah mengapa aku begitu tertarik lebih jauh. Aku sudah memutuskan wanita itu akan menjadi milikku.

***

Dan anak kecil yang menangis itu, sekarang ada di hadapanku dan mengatakan bahwa aku cocok menjadi ayahnya, hatiku tersentuh dan berbunga. 

Anak yang pintar dan peka, tidak seperti Ibumu yang sampai sekarang tidak pernah peka dengan kehadiranku. Berulang kali aku berbuat hal bodoh, sengaja berpapasan dengannya di jalan, berolahraga berlari-lari kecil di depan rumah, menyapu halaman rumahku hingga ke dekat rumahnya, hal yang tidak pernah aku lakukan seumur hidupku. Aku melakukan itu untuk mencari perhatiannya. Berharap dia mengenaliku atau sekedar mengucapkan terima kasih dan mengajakku mengobrol berbasa-basi, tapi dia tidak bergeming seolah aku hantu di hadapannya. 

"Yasmin jangan mengatakan yang tidak-tidak!" Ucapnya. "Maafkan perkataan anakku Pak Dokter, dia sedang berhalusinasi rupanya ha...ha...ha..." dia mencoba tertawa untuk mencairkan suasana. 

"Kenapa, apa aku kurang pantas bagimu?" tanyaku, sambil memasukan makanan ke dalam mulutku.

"Tidak...tidak bukan begitu maksudku, kau lebih dari pantas emh... itu hal yang sangat tidak mungkin, bagaimana bisa putriku mengatakan bahwa Anda cocok menjadi ayahnya," ucapnya. 

"Yasmin apa kau ingin aku menjadi ayah mu?" Tanyaku menoleh kepada Yasmin. Bila ku perhatikan gadis kecil ini cantik, tapi sama sekai tidak mirip dengan ibunya.

"Apa bisa Om Dokter? Kalau Kau menjadi ayahku berarti harus menikah dengan Ibuku kan?" 

"Baiklah aku akan menjadi Ayahmu."

"Benarkah?" Matanyanya berbinar.

"Tentu saja aku tidak suka berbohong" tandasku.

"Jangan bercanda berlebihan Pak Dokter! Dia bisa menggapnya serius dan nanti dia kecewa," Ayuni tampak tak senang 

"Apa aku tampak sedang bercanda?" aku bertanya menatapnya.

Dia terdiam, aku tidak mengerti dengan sikapnya, aku bisa melihat wajahnya merona setiap melihatku. Aku tahu dia menyukaiku. Tetapi dia tampak tidak senang ketika aku menawarkan diri padanya. Aku sudah menurunkan harga diriku ketika mengantarkan nya pulang dan meminta makan padanya, itu aku lakukan untuk bisa berbicara lebih banyak dengannya. Mungkin dia tidak tahu, banyak wanita di luar sana yang rela melakukan apa saja hanya, sekedar ingin berdekatan dan berbicara padaku. 

"Jangan khawatir Om Dokter aku yakin kau bersungguh-sungguh. Ibuku memang tidak senang kalau aku mempunyai Ayah, ish..." Yasmin mencibir ibunya.

Tok...tok...tok...

Terdengar ketukan pintu, Ayuni bangkit dari duduknya dan melihat ke arah pintu. Rupanya, yang datang temannya hendak melihat keadaan ibunya Ayuni.

"Bagaimana Ibumu sekarang?"

"Tidak apa-apa, sudah baikan sekarang dia sedang makan bersama kami. Ayo makan bersama! tapi..." Ayuni menghentikan ucapannya.

"Kenapa?" 

Temannya itu menoleh ke arahku, dia seperti melihat hantu lalu tersenyum.

"Oh ada tamu rupanya, maaf mengganggu. Syukurlah kalo ibumu sudah membaik, aku ke sini ingin melihat keadaannya sekalian mengantarkan uang gajianmu. Kalau begitu aku pulang dulu ya Yun."

"Lho ko sudah mau pulang lagi San?" 

Temannya seperti berbisik kepada Ayuni entah apa yang di katakan nya. Baguslah temannya cepat pulang, mengganggu saja. Setelah mengantarkan temannya pulang sampai depan rumah, dia kembali duduk bersama kami lalu tak lama dia membereskan makanan yang ada di hadapanku, saat itu aku belum selesai makan.

"Sepertinya Pak Dokter sudah selesai makan siangnya, silahkan pergi anda sibuk kan? Aku juga sibuk mau beres-beres rumah," dia pergi menuju dapur dengan wajah cemberut. Jadi begitu jika dia sedang marah. Tapi marah kenapa? Wanita memang sulit dipahami. Aku ingin tertawa melihat wajahnya yang menggemaskan ketika marah, Semakin aku menyukainya semakin bersemangat aku menaklukkan hatinya.

"Apa-apaan sih Ibu ini? Kami kan belum selesai makan. Pak Dokter kau bisa datang lain waktu untuk makan bersama lagi kalau suasana hati Ibu sedang baik," kata Yasmin.

"Tentu!" Aku menjawab dengan anggukan. Tentu saja ini baru permulaan.

Aku pun pamit ketika waktu sudah menjelang sore, sebelum itu aku memeriksa kembali ibunya Ayuni dan memastikan dia baik-baik saja. Ketika aku pamit, Ayuni belum juga kembali dari dapurnya. Sesampainya di dalam rumah aku melihat pintu kamar samping terbuka, tidak mungkin ada maling di siang hari. 

Aku menghampiri kamar itu dan tampak Jefri sedang mengacak-acak kamar.

"Kau mencari sesuatu?" tanyaku.

Dia tampak terkejut dengan kedatanganku.

"Oh, kau sudah datang, aku hanya sedang membereskan kamarku. Katanya kemarin rumah kita di datangi perampok. Aku mengecek apakah ada barang yang hilang," ucapnya.

"Kau datang jauh-jauh dari London, lalu kemari hanya untuk membereskan dan mengecek barang-barang yang tidak penting?" Aku bertanya seolah heran.

"Aku hanya sedang santai tidak ada pekerjaan," jawabnya.

Aku tahu dia sedang mencari barang itu, barang yang sama yang di incar perampok. Aku beranjak dan menuju ke kamarku, mengambil sesuatu. Aku menatap bimbang, apakah harus seperti ini?  Aku berjalan kembali ke kamar di mana Jefri berada, aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.

Saat malam perampokan terjadi, sepulang dari kantor polisi, aku yang penasaran dengan motif sesungguhnya si perampok mencoba mencari tahu, dan memeriksa seluruh kamar. Aku terkejut dengan apa yang ku temukan.

"Apa kau mencari ini?" Aku memperlihatkan barang yang ada di tanganku pada Jefri.

Dia tampak terkejut wajah nya pucat, menatap ke arah barang yang ku pegang.

"Ini hanya sebuah jaket, sarung tangan dan sepatu, oh tidak masih ada sesuatu di dalamnya," kataku.

Aku membuka bungkusan itu.

"Sebuah pisau!" 

Wajahnya semakin memucat,matanya merah. Reaksi yang sudah bisa ku tebak.

"Mengapa kau mencoba membunuhku tiga tahun yang lalu?" tanyaku.

"Apa maksudmu? Aku mencoba membunuhmu, bagaimana mungkin kau Adikku?" 

"Itu yang ku tanyakan, mengapa kau ingin membunuh Adikmu... Kakak?" Aku bertanya dan menatap ke dalam matanya.

"Ha...ha..ha.. ada apa dengan barang-barang itu, sehingga kau bisa menuduhku?"

Aku masih menatap nya, aku yakin dia tidak bodoh dan mengerti apa yang di maksud. Aku masih ingat jaket, sarung tangan, dan pisau, itu adalah barang-barang yang di gunakan orang yang mencobanya membunuku tiga tahun yang lalu.

Wajahnya yang sedang tertawa, tiba tiba berubah memperlihatkan aura gelap dan membalas tatapanku tajam.

"Rupanya kau sudah tahu, kau sedikit lebih cepat dariku. Ah... Kali ini aku kalah lagi denganmu. Kau sudah mengetahuinya, baiklah berarti aku tidak perlu berkelit dan mencari-cari alasan lagi," sorot matanya mengintimidasi.

"Itu aku! Aku yag mencoba membunuhmu!"

Darahku mendidih, secepat itu dia mengakuinya, dan tidak ada rasa takut atau menyesal di wajahnya. Bagaimana mungkin? Aku memang selalu berselisih dengannya, tapi aku tidak pernah menyangka dia sanggup melakukan itu padaku. Aku melemparkan pisau itu ke arahnya.

"Sekarang kau masih ingin membunuhku? Lakukan!" 

"Ha..ha..ha.. tidak...tidak... Dulu aku gegabah dan ceroboh. Aku di kuasa amarah saat tau Papa memberikan Delta Kingdom kepadamu, sedangkan aku anak tertuanya sampai sekarang hanya menjadi Direktur Utama di The Royal Kingdom."

"The Royal Kingdom perusahaan papa yang paling besar dan menguntungkan, memiliki anak cabang yang tersebar di berbagai kota dan luar negeri, bukankah itu sebanding? Hanya karena itu, kau ingin merusak nilai persaudaraan di antara kita?" tanyaku.

"Tapi aku tak punya kuasa dan hak penuh atas itu. Perusahaan itu masih Papa yang berkuasa sepenuhnya. Ketika dia mengatakan bahwa The Royal Kingdom belum tentu menjadi milikku dan malah memberikan Delta kingdom kepadamu aku marah. Mungkinkah aku salah sasaran, Harusnya Papa saja yang aku bunuh," ujarnya.

"Kau...," aku tak percaya dia mampu mengatakan itu.

"Ha..ha..ha.. santai saja aku tak mungkin sekejam itu, meskipun dia selalu pilih kasih pada kita dan selalu mengistimewakan dirimu, tapi dia belum menentukan pilihannya, kepada siapa The Royal Kingdom akan di berikan."

Dia melanjutkan ucapannya "Aku harap kamu cukup mengelola Delta Kingdom dan menjalani profesi mu sebagai Dokter saja di sini. Oh ya, bukankah kau punya mainan baru di sini? Dan akan menyenangkan bagimu, untuk tetap di sini. Kau tahu saja barang yang bagus. Sekarang aku merasa lega sudah memberi tahumu, aku minta maaf atas kejadian yang lalu, aku pergi dulu ya...Adikku."

Dia keluar kamar sambil bersiul dengan santai seperti tanpa beban. Setelah dia menghilang dari pandanganku, aku mengeluarkan ponsel dari saku bajuku dan mematikan perekam suara yang sejak tadi ku nyalakan.

"Kau terlalu banyak bicara Jefri."

Aku tidak senang ketika dia menyinggung tentang Ayuni. Teringat Ayuni, aku menelpon seseorang.

"Cari tahu tentang 'Jalan Kenanga nomor 27' Kabari aku secepatnya!" 

Aku yakin ada sesuatu tentang alamat itu, ketika Ibunya Ayuni menyebutnya, itu bukan hanya sekedar celotehan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status