Share

Kebahagiaan

Delia buru-buru ingin pergi dari wanita yang ada di hadapannya ini. Terlambat, wanita itu sudah terlebih dahulu merenggut tangannya.

"Lepaskan aku! Aku tidak ada urusan denganmu!"

"Seharusnya kamu ucapin makasih, Delia. Karena berkatku kamu jadi selamat dari pernikahanmu dan Erlan." Ia tersenyum dingin kepada Delia.

"Karin! Apa kamu yang katakan? Jadi-"

"Iya, aku bersekongkol dengan Deff, agar kamu gagal menikah dengan suamiku!"

"Apa? Bukannya kalian sudah lama bercerai?" Delia menatap Karin dengan bingung.

Karin melangkah satu langkah lebih dekat. Ia menarik ujung rambut Delia dan memainkannya. Delia sedikit menghindar, karena ia merasa tidak nyaman.

"Apa maksudmu?" Delia menanyakan pertanyaan itu lagi.

"Kami belum resmi cerai, karena Erlan nggak mau memberikan harta gono-gini. Kamu juga nggak mau kan disebut sebagai pelakor?" Karin menaikan alisnya sebelah, hingga membuat Delia jadi semakin ciut.

Delia hampir tak percaya. Ia seperti seorang pelakor di dalam rumah tangga Karin dan Erlan. Wajahnya yang sudah pucat jadi bertambah pucat.

Dulu, awalnya Delia juga begitu ragu dengan Erlan. Tapi, desakan tiap desakan yang dipaksa oleh Tante Mia membuat Delia menerima lamaran Erlan. Ia kini terdiam tak berdaya, dicecari perkataan seperti itu oleh Karin.

Delia melepaskan pegangan Karin pada tangannya. Tapi Karin tidak mau melepasnya. Ia seperti ingin mengajak Delia ke suatu tempat.

"Karin, lepaskan aku. Aku mau pergi dari sini."

"Kenapa? Apa kamu merasa terancam olehku?" sindirnya.

Sejujurnya ia sedikit iri dengan Delia. Delia memiliki wajah yang putih alami, serta bibir yang mungil. Juga badan yang begitu ideal. Begitu mudah baginya jika ingin mendapatkan pria. Itu sungguh berbeda dengannya yang terlihat kurang perawatan, karena terlalu sering makan hati. Tapi, mulai sekarang, ia berusaha mendapatkan apa yang menjadi haknya selama ini.

"Karin, maaf jika aku pernah jadi duri dalam rumah tangga kalian. Sungguh, aku nggak pernah berniat ngelakuin itu, Karin. Maaf, aku nggak tau itu semua."

Jawaban yang keluar dari mulut Delia, sedikit mengagetkan Karin. Ia tak menyangka, orang yang nampak sombong seperti Delia bisa meminta maaf. Ia jadi mengubah sedikit pandangannya pada seorang janda seperti Delia.

"Permisi, aku buru-buru." Delia menyentakkan tangannya, lalu mempercepat langkahnya.

Karin menatapnya dari kejauhan. Ia tak ingin lagi mengejar Delia. Wanita itu juga pergi ke arah yang berlawanan.

Sekarang, ia jadi sedikit bingung, karena sangat tidak mungkin kalau ia kembali ke rumah paman dan tantenya. Tentunya, Deff akan kembali mudah menemukannya.

Di lain tempat. Putri sedang bersantai di cafe, pastinya bersama teman-teman sebayanya. Ia kini seperti ratu yang berada bersama para pelayannya. Karena sekarang mereka semua melayani semua keinginannya.

"Pesanin aku jus!" serunya sambil memainkan gawainya.

"Siap, tuan putri." Salah satu dari mereka segera beranjak dari kursi, lalu berjalan ke arah dapur.

"Oh ya, ngomong-ngomong, kamu dapat duit dari mana, Put?" tanya teman-temannya.

"Ada deh, kalian mau tau aja." Putri tersenyum sambil menghitung uang yang banyak dari dalam amplop.

"Lah, masalahnya selama ini kamu hampir gak pernah pegang uang banyak, Put. Hmm, kami jadi curiga. Jangan-jangan kamu ...."

"Udah, tenang aja. Ini uang dikasih sama mantan suaminya Delia. Ya, katanya sih ini uang sogokan." Putri menatap mereka dengan bola mata membesar.

"Apa? Uang sogokan? Dia nyogok kamu?"

"Bukan aku, tapi ibu."

"Ohh, gitu ya?" Mereka semua saling menganggukkan kepalanya sambil tersenyum antara satu sama lain.

"Putri, Minggu depan kamu sibuk nggak?"

"Kayanya nggak, tuh." Putri lekas mengambil menyedot jus yang sudah berada di hadapannya. Minuman itu menjadi penyegar tenggorokannya saat ini.

"Em, gimana kalau kita jalan-jalan ke pantai?" ajak teman-temannya.

"Pantai? Kayanya boleh juga."

"Ya udah, nanti aku minta izin ke ibuku dulu," ucap Putri lagi.

Mereka pun bersorak kegirangan. Bagaimana tidak, mereka bisa liburan secara gratis bersama sumber uang.

Delia berjalan gontai. Ia meraba sakunya, dan mencari-cari sedikit uang di sana. Sialnya, tak ada dompetnya di dalam. Entah dompet itu masih tertinggal di mobil Deff atau rumahnya.

"Gimana ini? Aku udah nggak punya uang." Delia mengusap kepalanya frustasi.

Tiba-tiba, ia mendengar suara tangisan anak kecil. Ia memandang ke arah samping, memang di sana ada sosok anak kecil, kira-kira berumur lima tahunan. Anak itu sepertinya sedang berpisah dengan ibunya. Delia yang merasa iba pun segera mendekatinya.

"Dek, kamu kenapa? Kamu pisah sama mama kamu ya?" tanyanya.

Anak itu hanya mengangguk, tanpa berhenti menangis. Delia memeluknya, serta mengusap belakang lehernya. Ia pun berusaha menghibur anak kecil itu.

"Gimana kalau kita cari mama kamu ke sana?" tanyanya seraya menunjuk ke arah ujung.

Anak itu nampak berbinar, lalu menghapus air matanya yang hanya sedikit itu. Delia ikut senang melihat reaksinya. Mereka kini berjalan menyusuri trotoar. Sebenarnya langkahnya sudah terasa berat, tapi apa boleh buat, ia juga tak mungkin tega melihat anak kecil yang terus-menerus menangis.

"Denta!"

"Mama!"

Nampak ibu-ibu sosialita tengah berlari ke arah mereka. Anak dan ibu itu kini tengah berpelukan di tengah jalan sana.

"Denta, kamu ke mana aja?"

"Tadi Denta cari-cari mama. Untung ada kakak ini." Ia meraih tangan Delia.

Delia menatap mereka sambil tersenyum. "Ya udah, kakak pergi dulu ya."

"Jangan pergi dulu, biar kami antar pulang. Kamu mau pulang ke mana?"

"E, a-aku." Delia jadi salah tingkah.

Seolah paham apa yang terjadi. "Ayo, mobil kami ada di sana." Ibu anak itu mengajak Delia pergi ke mobilnya.

"Ta-tapi ...."

"Nggak usah sungkan. Kamu kelihatan pucat, apa kamu sakit? Atau lapar?"

Delia menatap ibu dan anak itu secara bergantian. Ia yakin, sepertinya mereka adalah orang baik. Tanpa pikir panjang lagi, Delia pun segera ikut mereka.

"Iya, sedikit."

"Kalau begitu, ayo."

Delia masuk ke mobil mereka. Deru mobil membawa angin segar bagi rambutnya. Karena jendela mobil masih saja terbuka. Ibu itu menatap ke arah spion, yang memantulkan bayangan Delia. Mata Delia mengingatkannya pada seseorang.

Beliau lantas bertanya, kenapa Delia berada di jalanan. Apakah dia sedang bersama seseorang. Delia yang sudah tak punya jawaban, hanyalah diam tanpa kata. Beliau seperti bisa menebak pikiran Delia. Oleh karena itu, beliau juga diam tanpa kata.

"Sudah sampai."

Delia terlonjak dari lamunan. Sudah berapa lama mereka dalam perjalanan, membuat perutnya jadi semakin lapar.

"Wajah kamu makin pucat saja, kamu sakit? Atau kamu belum makan?"

"I-iya, Bu."

"Ya sudah, ayo cepat masuk. Kita makan di dalam."

Wanita itu buru-buru mengajak Delia masuk. Delia mengikuti langkahnya dari belakang. Rumahnya nampak begitu mewah, menunjukkan bahwa beliau memang orang kaya. Beliau membawa Delia ke meja makan.

"Hmmm, baunya enak sekali." Delia berkata dalam hati, namun begitu malu mengeluarkannya.

"Nak, ayo makan."

"I-iya, Bu."

Delia mengambil nasi, lalu diisi dengan daging yang menggugah selera. Ditambah es jeruk nipis yang baru saja diletakkan bibi di sampingnya. Delia segera meneguknya, menghilangkan rasa serak yang ada di tenggorokan. Ia pun melanjutkan makannya.

"Sepertinya kamu memang lapar."

Delia hanya mengangguk malu.

"Kakak makan yang banyak," ucap Denta.

"Oh ya, kita dari tadi belum kenalan. Nama saya Diana. Kamu boleh panggil Ibu saja.

"Iya, Bu Diana. Nama aku Delia."

"Nama yang bagus, ayo makan yang banyak."

Setelah selesai makan, Delia baru menceritakan nasibnya yang diusir oleh keluarga. Ibu itu terlihat begitu simpati dengan cerita Delia. Entah kenapa, Delia bisa mempercayai orang secepat itu. Hanya saja, hatinya merasa lega usai bercerita.

"Sekarang kamu masuk kamar dulu ya, biar saya carikan baju yang cocok buat kamu."

"Terimakasih, Bu. Tapi, aku mau beresin ini dulu."

"Udah, nggak usah. Kan ada Bibi. Bi!" panggil bu Diana, membuat Delia jadi semakin tidak enak.

"Iya, Bu!"

Seorang wanita yang terlihat seumuran dengan beliau kini berlari ke arah mereka. Dia adalah seorang art yang mengabdi di keluarga ini sejak lama.

"Bi, anterin Delia ke kamar tamu, ya. Ini tamu saya."

"Baik, Bu. Mari Non."

"E, iya, Bi."

Delia jadi semakin tidak enak diperlakukan seperti ini. Ia takut, ia hanya akan merepotkan yang punya rumah. Namun, bibi membuat hatinya sedikit tenang, karena kata bibi, bu Diana adalah seorang yang baik.

Pada malam harinya. Delia sedang berdiri di atas balkon, menikmati indahnya suasana malam. Baru kali ini ia bisa setenang ini, walau pikirannya masih memikirkan serangkaian kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini.

Di sebuah kamar. Seorang pria sedang menatap dua ajudannya dengan tegas. Membuat mereka jadi menundukkan kepala.

"Kenapa kalian sampai kehilangan jejak?!"

author note. (Diusahakan up 2 hari sekali)😁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status