LOGIN"Kau... serius bisa menjual dengan harga dua miliar?"
Asih menatap Hardi, sorot mata itu adalah sorot mata pasrah karena tidak ada pilihan lain. "Aku akan usahakan, Mas. Kalau kau percaya padaku, dan memberikan toko itu sebagai komisi, maka aku akan membantumu." Bagi Asih, motivasi terbesarnya saat ini adalah membalikkan keadaan. Hinaan, cemoohan, dan perlakuan kasar mereka selama ini harus ada harga yang harus dibayar oleh suaminya itu. Mengambil satu persatu aset Hardi akan menjadi hiburan yang menyenangkan. "Eh... kau janji kan?" Asih cepat mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Bukankah aku sudah tandatangani semua yang kau butuhkan?" Asih tersenyum manis pada suaminya, senyum termanis yang harus Hardi ingat untuk selamanya. Setelah Hardi lelap dalam tidurnya, Asih menatap tanda tangan Hardi di atas kertas. Bibirnya membentuk senyum tipis yang tak terlihat. Di ponselnya, suara Bagas terdengar terkejut, "Kau benar-benar menjual vilamu pada hanya untuk membeli tanah Hardi?" Asih menghela napas, "Bukan menjual, Gas. Itu investasi," bisiknya pelan. "Sekarang tanah itu milikku. Dan Hardi... dia pikir dia sedang beruntung." Bagas tak bisa berkata-kata, tekad Asih sepertinya sudah bulat "Boleh-boleh saja memperlakukan aku seenaknya, tapi jika kesabaran itu masih ada padaku. Kalau tidak... terima konsekuensinya," batin Asih dengan dingin. ### Beberapa hari kemudian setelah Asih menerima pembayaran Vila, Asih mengatur rencana. Rasanya belum tenang kalau tidak memanfaatkan Hardi saat ini. Ia akan membeli tanah Hardi dengan harga yang sedikit mahal, lebih dari harga yang ditawarkan Hardi yang tidak genap dua miliar. Asih sudah mempertimbangkan, ia tak akan rugi. Dengan langkah mantap iapun menemui Hardi di ruang tamu. "Mas, kalau tanah itu sudah dibayar, uangmu buat beli mobil ya?" "Mobil?" "Iya, mobil baru buat ganti mobil jelekmu itu." "Asih, buat apa memangnya?" "Buat apa lagi? Semua barangmu di rumah ini bukannya butuh angkutan buat pindahan? Bagus kan kalau uang yang nanti kudapatkan dari jual tanahmu buat beli mobil?" Hardi termenung. Uang sebanyak itu tentu sangat wajar kalau bisa buat beli mobil. Hanya saja lelucon Asih barusan membuatnya kesal. "Tapi Asih, kau sedang mengusirku?" "Ya Enggak lah Mas, belum kok. Nanti saja kalau kau sudah beneran nikah sama Citra, aku bantu buat angkat-angkat," sindir Asih. "Haish, kau ini berlebihan," jawab Hardi karena merasa Asih sedang merajuk, mendengar dirinya hendak menikahi perempuan lain. "Jelas sekali kau ngambek, cemburu karena aku akhirnya memilih Citra. Tenang saja, aku sudah kembalikan hutangku, bayar rumah, bayar utang pernikahan dan bahkan kasih komisi besar dengan kasih toko alat tulis itu. Kurang apalagi?" Asih tersenyum tipis. Tentu saja tidak semudah itu. Selama lima tahun, rasanya hampir menyerah dan melarikan diri dari keluarga ini. Namun, cara itu pasti sangat memalukan. Pastilah ia semakin kehilangan harga diri. Untung saja, Vila itu menjadi penyelamat hidupnya. Saat ini mereka berbincang di ruang tengah seolah sedang mengobrol santai. Asih menggunakan momen ini untuk memprovokasi Hardi. "Oh ya, pengajuan perceraian sudah dikabulkan," Asih menghela napas, mencoba mengalihkan pembicaraan Hardi. "Kita akan segera menghadap ke pengadilan untuk pengesahan." Hardi yang semula asyik dengan ponsel, seketika berhenti. Ia menanggapi dengan nada yang terlalu santai, "Benarkah? Baguslah kalau begitu." "Iya, tapi..." Kalimat Asih terhenti. Hardi langsung mengangkat wajah, menatap mata Asih. Ada sesuatu yang tak biasa di sorot mata Asih. "Ada apa lagi?" tanyanya. "Kau masih punya uang banyak. Selama menikah tidak pernah sekalipun kau membawaku berekreasi. Bisakah kau membawaku ke Bali?" Hardi berdecak. Permintaan Asih semakin aneh-aneh. Sudah rumah, toko, mobil dan sekarang ke Bali? "Asih, kau mau bikin aku bangkrut? Kau sudah dapat bagian rumah dan toko, masih mau ke Bali?" dengus Hardi kesal. "Mas, jangan bilang kau memberikan aku rumah ini dengan cuma-cuma. Tolong diingat lagi kalau rumah ini adalah langkahmu membayar hutang!" Hardi langsung terdiam. "Dan toko itu, toko yang hampir disita bank. Bukankah kau sudah setuju untuk memberikan padaku karena menjual tanah itu?" Lagi-lagi Hardi terdiam. "Jadi jangan bilang kau ini sangat baik padaku!" Hardi benar-benar tak percaya. Saat wanita itu berbicara, ia sangat terkejut karena sikap Asih yang berubah seratus delapan puluh derajat. Wanita itu berbicara keras, tegas dan tanpa ampun. Sangat berbeda dengan Asih yang dikenalnya. Sekarang ia merasa tidak bisa membantah semua ucapan Asih. Wanita ini semakin menakutkan, batinnya. "Tunggu, ngapain sih ke sana?" Asih tersenyum, ia hanya bertekad untuk mengambil bagian dari hidupnya yang hilang. Setidaknya sedikit mencicipi uang Hardi sebelum benar-benar pergi. Dia tak perduli lagi jika Hardi harus menderita, tapi itulah bayaran yang harus Hardi berikan untuknya. "Aku mau berfoya-foya, Mas."Kekasih gelap Arif Raharja? Pembantu keluarga Hardi? Apa yang mereka maksudkan? Asih merasa ada yang tak beres. Ia menyabarkan dirinya, tidak tergesa-gesa dalam mengungkap kebenaran ucapan mereka. Setelah semua selesai, beberapa pria keluar mencari angin segar dan bersantai di halaman samping. Secara kebetulan Asih berada di sana dan salah seorang dari mereka mendekati Asih. "Hebat ya, kamu. Pembantu tapi sudah jadi terkenal," sindir pria itu, nada suaranya penuh ejekan. "Apa maksudmu?" Asih mengerutkan kening. "Kau enggak tahu? Nih kalau mau tahu, kamu sudah masuk koran nasional dan menjadi terkenal. Jujur, kalau kamu terawat begitu, kau tak terlihat kalau hanya seorang pembantu." Pria itu menyodorkan selembar koran yang sudah terlipat. Asih menerima koran itu dan membacanya. Matanya membelalak, ia akhirnya mengerti sekarang. Helena telah melancarkan rencananya. "Kalau begitu, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Asih, suaranya tercekat. "Ah tidak, kami cuma mencari
Helena menelan ludah, mencari kejujuran di sorot mata Arif. Ia mulai sangsi dengan dugaannya sendiri, entah mengapa ia menjadi paranoid setelah melihat foto-foto itu. Namun, jika ia berani membahasnya, bukankah itu justru akan membuat Arif mengingat siapa Asih sebenarnya? Sebentar lagi wanita itu (Asih) harus pergi, tak seharusnya ia merusak segalanya. "Sayang, kau pasti tahu perasaan cintaku padamu," sungutnya, nadanya melunak, ada sedikit keputusasaan di sana. "Aku tentu saja bisa salah paham dengan berita aneh ini." Di hadapan semua orang yang di sana, tidak seharusnya Helena mengungkap kehidupan pribadi calon suaminya. Helena lalu melingkarkan tangannya di lengan Arif dan menatap staf media kesal, "Lain kali, kalau mau menerbitkan berita, tolong konfirmasi dulu dengan benar!" bentaknya. Arif mengangguk pada Helena, lalu menatap tajam ke arah staf media. "Benar, kalian ternyata terlalu berani mengusik reputasiku. Kalian seharusnya menanggung konsekuensi dariku." Saat Arif b
Sesaat Asih terkesima dengan semua sikap Arif, mencoba memahami sisi gelap yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Enam tahun lalu, hanya ada sikap manis dan penuh kasih dari pria ini. Namun, Asih sadar, dirinyalah yang telah membuatnya menjadi seperti ini. "Jadi kau inginkan kematianku? Kau ingin aku merasakan apa yang kau alami?" tanya Asih lirih, masih diliputi ketakutan. "Aku bersalah, tapi rumah ini tidaklah bersalah padamu, Arif?" Kedua mata Arif memerah, ada luka yang tengah menyala di sana. Namun, melihat Asih seolah menyerah begitu saja justru membuatnya kesal. "Apa kau sanggup menanggung konsekuensinya?" tanyanya balik, dengan nada mengancam. "Apa yang kau inginkan?" Asih balik bertanya. Tiba-tiba, dari saku pria itu terdengar dering ponsel, memecah ketegangan di antara mereka. Arif mengangkat panggilan itu. "Pak, ada berita buruk," sebuah suara dari seberang membuat Arif mengerutkan dahinya. "Berita buruk apa maksudmu?" Arif menjauh, melangkah meninggalkan Asih
"Asih, apakah kau akan menyerah sekarang? Sepertinya takdir tidak berpihak padamu," suara tajam itu, yang hanya menggema di benaknya, mencekiknya. Dada Asih terasa sesak. Ia merasa seperti mempertaruhkan segalanya, menjual satu-satunya peninggalan berharga demi martabat dirinya, namun kini ia malah terhempas begitu saja. Apalagi yang bisa diharapkan? Asih menepuk dadanya kuat-kuat, berusaha mengumpulkan akal sehat yang tersisa untuk menegakkan tubuhnya. Ya, hanya dengan akal sehat, semua ini akan teratasi. "Aku tidak akan menyerah, Arif. Kalau perlu, kau harus hancur bersama mereka," bisik Asih, suaranya bergetar menahan gejolak amarah dan kepedihan yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Perlahan, butiran bening itu meluncur membasahi pipinya. Dengan tekad yang membara di balik tangisnya, Asih tetap berkehendak untuk mengambil gambar setiap detail rumah. Kecuali satu sudut: tempat dulu ia selalu bertemu Arif. Ya, entah mengapa, kini ia membenci setiap kenangan di sana, memb
Bagas akhirnya menghubungi Asih. Hari ini adalah waktu serah terima sertifikat vila miliknya. Pagi itu, semangat Asih membuncah. Ia mengenakan gamis peach dan hijab berwarna salem, warnanya kontras menawan dengan kulit kuning langsatnya. Riasan tipis yang memulas wajahnya membuat Asih terlihat berseri, memancarkan aura kegembiraan. Asih segera menuju lokasi yang Bagas sebutkan: sebuah restoran lesehan di pinggir kota. "Kau harus menemuinya tepat waktu, Asih. Maklum saja, dia orang sibuk. Itulah sebabnya tidak bisa menemuimu tempo hari," pesan Bagas tadi pagi. "Enggak masalah, Gas. Aku akan sampai di sana lebih dulu," jawab Asih penuh percaya diri. Ia pun menemukan restoran itu. Tampilannya sangat asri, dengan berbagai macam ukiran indah menghiasi setiap sudut. Asih mengagumi detailnya. Selama ini, ia terlalu banyak berdiam di rumah, sehingga tak menyadari ada tempat sebagus ini di kota kelahirannya. Dua pramusaji menyambutnya dengan senyum ramah. "Meja atas nama Ibu Asih ada di
"Sombong!" dengan suara menggelegar Melly membentaknya keras. "Bersih-bersih toko saja sudah nggak mau. Kau ini semakin banyak membangkang!" Asih bangkit dari duduknya, hendak pergi. "Kalau nggak ada yang lain, sepertinya saya harus pulang." "Lihatlah, sama ibu mertuanya saja nggak punya sopan santun!" "Bu, Helena yang punya toko, biar dia yang bersih-bersih, itu kan toko calon suaminya, pasti Helena lebih pantas untuk membersihkannya." Asih hanya melirik sekilas Arif dan Helena lalu beranjak dari sana. Hardi segera memanggilnya, "Asih, duduklah dulu, kita belum selesai membicarakan penjualan tokonya." Akhirnya Asih duduk kembali. Di dalam surat itu, Hardi mendapatkan pembagian tujuh puluh persen dari harga toko. Akan tetapi hanya tersisa sepuluh persen saja setelah dikurangi hak Helena atas tanah tepi pantai. Pemilik sah toko adalah Arif Raharja. "Ayo tanda tangani sebagai saksi," perintah Arif. Dengan berat, Asih akhirnya menandatangani surat itu. Pertemuan







