Share

21

Penulis: Dewanu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 19:31:51

"Sombong!" dengan suara menggelegar Melly membentaknya keras.

"Bersih-bersih toko saja sudah nggak mau. Kau ini semakin banyak membangkang!"

Asih bangkit dari duduknya, hendak pergi.

"Kalau nggak ada yang lain, sepertinya saya harus pulang."

"Lihatlah, sama ibu mertuanya saja nggak punya sopan santun!"

"Bu, Helena yang punya toko, biar dia yang bersih-bersih, itu kan toko calon suaminya, pasti Helena lebih pantas untuk membersihkannya."

Asih hanya melirik sekilas Arif dan Helena lalu beranjak dari sana.

Hardi segera memanggilnya, "Asih, duduklah dulu, kita belum selesai membicarakan penjualan tokonya."

Akhirnya Asih duduk kembali.

Di dalam surat itu, Hardi mendapatkan pembagian tujuh puluh persen dari harga toko. Akan tetapi hanya tersisa sepuluh persen saja setelah dikurangi hak Helena atas tanah tepi pantai.

Pemilik sah toko adalah Arif Raharja.

"Ayo tanda tangani sebagai saksi," perintah Arif.

Dengan berat, Asih akhirnya menandatangani surat itu.

Pertemuan
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   24

    Sesaat Asih terkesima dengan semua sikap Arif, mencoba memahami sisi gelap yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Enam tahun lalu, hanya ada sikap manis dan penuh kasih dari pria ini. Namun, Asih sadar, dirinyalah yang telah membuatnya menjadi seperti ini. "Jadi kau inginkan kematianku? Kau ingin aku merasakan apa yang kau alami?" tanya Asih lirih, masih diliputi ketakutan. "Aku bersalah, tapi rumah ini tidaklah bersalah padamu, Arif?" Kedua mata Arif memerah, ada luka yang tengah menyala di sana. Namun, melihat Asih seolah menyerah begitu saja justru membuatnya kesal. "Apa kau sanggup menanggung konsekuensinya?" tanyanya balik, dengan nada mengancam. "Apa yang kau inginkan?" Asih balik bertanya. Tiba-tiba, dari saku pria itu terdengar dering ponsel, memecah ketegangan di antara mereka. Arif mengangkat panggilan itu. "Pak, ada berita buruk," sebuah suara dari seberang membuat Arif mengerutkan dahinya. "Berita buruk apa maksudmu?" Arif menjauh, melangkah meninggalkan Asih

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   23

    "Asih, apakah kau akan menyerah sekarang? Sepertinya takdir tidak berpihak padamu," suara tajam itu, yang hanya menggema di benaknya, mencekiknya. Dada Asih terasa sesak. Ia merasa seperti mempertaruhkan segalanya, menjual satu-satunya peninggalan berharga demi martabat dirinya, namun kini ia malah terhempas begitu saja. Apalagi yang bisa diharapkan? Asih menepuk dadanya kuat-kuat, berusaha mengumpulkan akal sehat yang tersisa untuk menegakkan tubuhnya. Ya, hanya dengan akal sehat, semua ini akan teratasi. "Aku tidak akan menyerah, Arif. Kalau perlu, kau harus hancur bersama mereka," bisik Asih, suaranya bergetar menahan gejolak amarah dan kepedihan yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Perlahan, butiran bening itu meluncur membasahi pipinya. Dengan tekad yang membara di balik tangisnya, Asih tetap berkehendak untuk mengambil gambar setiap detail rumah. Kecuali satu sudut: tempat dulu ia selalu bertemu Arif. Ya, entah mengapa, kini ia membenci setiap kenangan di sana, memb

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   22

    Bagas akhirnya menghubungi Asih. Hari ini adalah waktu serah terima sertifikat vila miliknya. Pagi itu, semangat Asih membuncah. Ia mengenakan gamis peach dan hijab berwarna salem, warnanya kontras menawan dengan kulit kuning langsatnya. Riasan tipis yang memulas wajahnya membuat Asih terlihat berseri, memancarkan aura kegembiraan. Asih segera menuju lokasi yang Bagas sebutkan: sebuah restoran lesehan di pinggir kota. "Kau harus menemuinya tepat waktu, Asih. Maklum saja, dia orang sibuk. Itulah sebabnya tidak bisa menemuimu tempo hari," pesan Bagas tadi pagi. "Enggak masalah, Gas. Aku akan sampai di sana lebih dulu," jawab Asih penuh percaya diri. Ia pun menemukan restoran itu. Tampilannya sangat asri, dengan berbagai macam ukiran indah menghiasi setiap sudut. Asih mengagumi detailnya. Selama ini, ia terlalu banyak berdiam di rumah, sehingga tak menyadari ada tempat sebagus ini di kota kelahirannya. Dua pramusaji menyambutnya dengan senyum ramah. "Meja atas nama Ibu Asih ada di

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   21

    "Sombong!" dengan suara menggelegar Melly membentaknya keras. "Bersih-bersih toko saja sudah nggak mau. Kau ini semakin banyak membangkang!" Asih bangkit dari duduknya, hendak pergi. "Kalau nggak ada yang lain, sepertinya saya harus pulang." "Lihatlah, sama ibu mertuanya saja nggak punya sopan santun!" "Bu, Helena yang punya toko, biar dia yang bersih-bersih, itu kan toko calon suaminya, pasti Helena lebih pantas untuk membersihkannya." Asih hanya melirik sekilas Arif dan Helena lalu beranjak dari sana. Hardi segera memanggilnya, "Asih, duduklah dulu, kita belum selesai membicarakan penjualan tokonya." Akhirnya Asih duduk kembali. Di dalam surat itu, Hardi mendapatkan pembagian tujuh puluh persen dari harga toko. Akan tetapi hanya tersisa sepuluh persen saja setelah dikurangi hak Helena atas tanah tepi pantai. Pemilik sah toko adalah Arif Raharja. "Ayo tanda tangani sebagai saksi," perintah Arif. Dengan berat, Asih akhirnya menandatangani surat itu. Pertemuan

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   20

    Hari ini Asih teringat dengan janjinya pada Bagas untuk bertemu langsung pembeli Vila dikarenakan hari ini adalah hari pelunasan Vila tersebut. Sebagai pemilik Vila, tentu saja Asih sangat ingin melihat kembali kenangan indah vila itu, mengenang saat dulu bersama kedua orang tuanya. Untung saja Hardi sudah pergi sejak pagi menemui ibunya sehingga ia bisa pergi tanpa banyak pertanyaan. Sesampainya di Vila itu, Asih mendapati bangunan itu masih seperti dulu tanpa ada perubahan. Sepertinya pemilik yang baru hanya memperbarui cat dinding dan merapikan saja seperlunya. Bahkan bangunan itu belum juga ditempati dengan baik. Bisa jadi pemiliknya merasa tidak nyaman kalau belum melunasi pembayarannya atau memang belum membutuhkan untuk menempatinya. Bagas juga mengatakan bahwa pemilik vila belum menempatinya karena belum menikah. Dalam hati Asih merasa iri dengan wanita beruntung itu. Dahulu orang tuanya merangkak dari satu bata hingga bisa membangun vila megah seperti ini. Sem

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   19

    "Apakah semua itu benar, Mas?" Kali ini Helena menuntut jawaban dari Hardi, suaranya dipenuhi amarah. "Helena, tidak seperti itu... kami memang ke Bali... tapi..." Hardi tergagap, mencari alasan. "Jadi benar?" Helena menyela, "Pantas saja aku heran dari mana kalian mendapatkan uang bersenang-senang ke Bali? Sial! Kenapa aku tidak terpikirkan, ya?" sesalnya. "Berapa kau jual tanah tepi pantai itu, Mas?" Hardi menatap Asih tajam. Ia tak menyangka istrinya akan berbicara seolah tanpa berpikir atau berunding dengannya terlebih dahulu. Hardi merasa Asih benar-benar bodoh. "Bukan aku yang menjualnya, Helena. Tapi Asih yang mendapatkan pembelinya," Hardi mencoba mengelak, melemparkan tanggung jawab. Helena berganti menatap Asih, menunggu penjelasannya. "Kalian kesulitan mencari pembeli, apa salahnya aku membantu?" Asih menjawab santai. "Ah sudahlah, aku mau mencuci pakaian ini dulu." Asih pamit, membiarkan kedua kakak beradik itu berdebat. Sebenarnya, Asihlah yang membeli tanah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status