LOGIN"Aku takut kau menyesal bercerai dariku, Asih," tiba-tiba Hardi bersuara. Rupanya saat menandatangani berkas itu pikirannya berkutat pada sikap Asih yang sangat tenang.
Apa maksudmu, Mas? Kita putuskan saja untuk bercerai. Dengan begitu Citra akan senang dan segera menerima lamaran darimu." Sedikit ragu, Hardi terus membubuhi tanda tangan. Beberapa berkas kertas yang Hardi sendiri tak yakin apa yang ada di dalamnya. Hardi harus menandatangani berkas itu sebelum Asih berubah pikiran. Asih tersenyum menang, meskipun hatinya sangat sakit ia merasa terbebas sekarang, ia berharap rencananya akan berjalan mulus. "Mas, surat ini adalah surat wewenang penjualan tanah tepi pantai, dan yang ini adalah berkas pengajuan perceraian. Adapun selain itu, kau akan tau nanti," terang Asih seolah semua itu hanya berkas sepele. Iapun mengambil dari hadapan Hardi, mengumpulkan menjadi satu dalam sebuah map. Hardi mengerutkan dahi, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia mengira berkas itu cuma berkas penjualan tanah tepi pantai. Surat perceraian? ia tak berfikir secepat itu. Dan sekarang Asih berbicara soal semua aset yang ia miliki? "Apa... kau sedang menipuku?" Hardi mulai curiga. "Kenapa kau tidak bilang semua berkas ini adalah hal yang berbeda-beda? Berikan dulu berkas tadi itu padaku, aku mau melihatnya lagi." Asih tak menghiraukan, pura-pura tak mendengarnya lalu beranjak pergi, menyimpan rapat berkas itu. Setelah itu ia kembali pada Hardi dengan senyum samar. Menipu katanya? "Apa iya aku menipumu, Mas?" katanya dengan raut seperti orang bingung. " Ya Enggak lah, Mas. Aku cuma mau ambil hakku. Mas ingat nggak waktu acara pernikahan kita? Pernikahan itu diadakan keluargaku, semua biaya yang kalian janjikan ternyata tidak terbukti, jadi aku menghitungnya sebagai hutang," kata Asih, lalu iapun beranjak mengambil segelas air putih, diberikan pada suaminya itu. Khawatir Hardi terlalu terkejut dan membuatnya dehidrasi. "Setelah itu, kau membangun rumah ini juga pake tabunganku. Kalau dihitung-hitung, sepertinya pas dengan harga rumah ini." Hardi yang menerima air putih langsung menenggak habis isi gelas itu, terlebih saat mendengar rincian Asih. Ia tak menyangka Asih sedetil itu. "Apa maksudmu... sekarang rumah ini menjadi milikmu? Nggak masuk akal," gerutunya. Asih tidak langsung menjawab, "Huh... gimana ya, itupun sebetulnya masih belum cukup loh, Mas. Selama kau menganggur dulu, aku bahkan menjual perhiasan peninggalan orang tuaku untuk biaya hidup, seharusnya itu kewajibanmu untuk memenuhi kebutuhan," pungkasnya. "Apalagi? Kau benar-benar menipuku rupanya. Kenapa kau ungkit-ungkit masa lalu? Bukannya suami istri itu harus berbagi? Aku suamimu, kau harus siap membantuku." "Iya, Mas. Aku kan sudah membantumu waktu itu. Dan aku juga nggak akan nipu. Apa yang kuambil darimu itu benar-benar milikku, Mas, hakku sebagai istri," tegasnya. Hardi benar-benar kesal. Tapi semua itu memang benar, "Ah, sudahlah. Jadi sebenarnya yang kau mau?" dengusnya. "Toko, Mas. Kalau Citra artis, kau mungkin mau jadi aktor, kau tidak akan bisa meneruskan toko alat tulis itu," cibir Asih sekaligus mengajukan permintaan. "Jangan melucu. Kau pasti punya rencana jahat, aku tidak bisa memberikan toko alat tulis itu padamu," bantah Hardi . "Semua mau kau kuasai, rumah ini sudah kau klaim jadi milikmu dan sekarang toko?" "Sayang sekali, padahal aku bermaksud baik padamu, Mas. Aku tau toko itu mau bangkrut, bahkan jika tidak bisa membayar angsuran bank, maka toko itu akan disita bank tanpa menyisakan apapun." Ucapan Asih memang benar. Beberapa hari ini ia kebingungan karena Bank sudah memberikan tenggat pembayaran, namun belum juga bisa membayarnya. "Jadi... apa maumu?" "Serahkan padaku toko itu, Mas. Sebagai komisiku jika aku berhasil menjual tanah tepi pantai." Hardi makin dibuat pusing. "Komisi? Kau ini memang serakah, Asih? Dulu kau nggak seperti ini, nggak pernah cerewet soal uang, nggak banyak nuntut, tapi sekarang kau malah menuntut yang bukan-bukan." Asih mendesah, lalu berjalan menjauh. "Ya sudah, kalau nggak mau, urus saja sendiri! Atasi saja toko alat tulis itu, yang penting jangan sampai disita bank, kan malu, Mas," bantahnya. "Padahal tanah itu ada yang mau beli, tapi akan ku batalkan saja karena kau tidak menyetujui harapanku," ujarnya sambil lalu. Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Pikirannya mulai berputar soal tanah pinggir pantai yang sangat susah untuk dijual. Ia sudah berusaha menjual tanah itu bahkan dengan harga yang sangat murah. Dan sekarang Asih bilang mau membatalkan penjualan tanah itu gegara minta toko kecil itu sebagai komisi. "Apa kau serius tanah itu ada yang mau beli?" Hardi cepat bangkit, mendekati Asih yang sedang memutar mesin cuci. "Kalau begitu pertemukan aku dengan orang itu." Asih tersenyum tipis, "Nggak bisa, Mas. Kau kan sudah tanda tangan soal pelimpahan wewenang penjualan tanah itu, jadi aku akan menanganinya sendiri." Jelas sekali wajah itu terlihat kesal. "Helena tidak akan setuju kalau toko itu dijadikan komisi, itu terlalu besar. Dengan menjual tanah itu maka aku akan memberi komisi untukmu tiga ratus ribu, itu sudah cukup banyak buatmu." Lima ratus ribu? Asih menggelengkan kepalanya karena heran dengan keserakahan Hardi. Selama menjadi istrinya ia harus mencukupkan dirinya dengan apa yang diberikan Hardi. Ia tak pernah tau berapa hasil pendapatan dari toko alat tulis itu. Kalau Asih meminta uang untuk suatu keperluan maka Hardi selalu punya alasan untuk mengelak. "Ya sudah kalau Helena tidak setuju, aku nggak maksa kok. Tapi pikirkan jika tanah itu terjual dengan harga dua miliar, bukannya kau bisa beli mobil mewah?"Kekasih gelap Arif Raharja? Pembantu keluarga Hardi? Apa yang mereka maksudkan? Asih merasa ada yang tak beres. Ia menyabarkan dirinya, tidak tergesa-gesa dalam mengungkap kebenaran ucapan mereka. Setelah semua selesai, beberapa pria keluar mencari angin segar dan bersantai di halaman samping. Secara kebetulan Asih berada di sana dan salah seorang dari mereka mendekati Asih. "Hebat ya, kamu. Pembantu tapi sudah jadi terkenal," sindir pria itu, nada suaranya penuh ejekan. "Apa maksudmu?" Asih mengerutkan kening. "Kau enggak tahu? Nih kalau mau tahu, kamu sudah masuk koran nasional dan menjadi terkenal. Jujur, kalau kamu terawat begitu, kau tak terlihat kalau hanya seorang pembantu." Pria itu menyodorkan selembar koran yang sudah terlipat. Asih menerima koran itu dan membacanya. Matanya membelalak, ia akhirnya mengerti sekarang. Helena telah melancarkan rencananya. "Kalau begitu, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Asih, suaranya tercekat. "Ah tidak, kami cuma mencari
Helena menelan ludah, mencari kejujuran di sorot mata Arif. Ia mulai sangsi dengan dugaannya sendiri, entah mengapa ia menjadi paranoid setelah melihat foto-foto itu. Namun, jika ia berani membahasnya, bukankah itu justru akan membuat Arif mengingat siapa Asih sebenarnya? Sebentar lagi wanita itu (Asih) harus pergi, tak seharusnya ia merusak segalanya. "Sayang, kau pasti tahu perasaan cintaku padamu," sungutnya, nadanya melunak, ada sedikit keputusasaan di sana. "Aku tentu saja bisa salah paham dengan berita aneh ini." Di hadapan semua orang yang di sana, tidak seharusnya Helena mengungkap kehidupan pribadi calon suaminya. Helena lalu melingkarkan tangannya di lengan Arif dan menatap staf media kesal, "Lain kali, kalau mau menerbitkan berita, tolong konfirmasi dulu dengan benar!" bentaknya. Arif mengangguk pada Helena, lalu menatap tajam ke arah staf media. "Benar, kalian ternyata terlalu berani mengusik reputasiku. Kalian seharusnya menanggung konsekuensi dariku." Saat Arif b
Sesaat Asih terkesima dengan semua sikap Arif, mencoba memahami sisi gelap yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Enam tahun lalu, hanya ada sikap manis dan penuh kasih dari pria ini. Namun, Asih sadar, dirinyalah yang telah membuatnya menjadi seperti ini. "Jadi kau inginkan kematianku? Kau ingin aku merasakan apa yang kau alami?" tanya Asih lirih, masih diliputi ketakutan. "Aku bersalah, tapi rumah ini tidaklah bersalah padamu, Arif?" Kedua mata Arif memerah, ada luka yang tengah menyala di sana. Namun, melihat Asih seolah menyerah begitu saja justru membuatnya kesal. "Apa kau sanggup menanggung konsekuensinya?" tanyanya balik, dengan nada mengancam. "Apa yang kau inginkan?" Asih balik bertanya. Tiba-tiba, dari saku pria itu terdengar dering ponsel, memecah ketegangan di antara mereka. Arif mengangkat panggilan itu. "Pak, ada berita buruk," sebuah suara dari seberang membuat Arif mengerutkan dahinya. "Berita buruk apa maksudmu?" Arif menjauh, melangkah meninggalkan Asih
"Asih, apakah kau akan menyerah sekarang? Sepertinya takdir tidak berpihak padamu," suara tajam itu, yang hanya menggema di benaknya, mencekiknya. Dada Asih terasa sesak. Ia merasa seperti mempertaruhkan segalanya, menjual satu-satunya peninggalan berharga demi martabat dirinya, namun kini ia malah terhempas begitu saja. Apalagi yang bisa diharapkan? Asih menepuk dadanya kuat-kuat, berusaha mengumpulkan akal sehat yang tersisa untuk menegakkan tubuhnya. Ya, hanya dengan akal sehat, semua ini akan teratasi. "Aku tidak akan menyerah, Arif. Kalau perlu, kau harus hancur bersama mereka," bisik Asih, suaranya bergetar menahan gejolak amarah dan kepedihan yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Perlahan, butiran bening itu meluncur membasahi pipinya. Dengan tekad yang membara di balik tangisnya, Asih tetap berkehendak untuk mengambil gambar setiap detail rumah. Kecuali satu sudut: tempat dulu ia selalu bertemu Arif. Ya, entah mengapa, kini ia membenci setiap kenangan di sana, memb
Bagas akhirnya menghubungi Asih. Hari ini adalah waktu serah terima sertifikat vila miliknya. Pagi itu, semangat Asih membuncah. Ia mengenakan gamis peach dan hijab berwarna salem, warnanya kontras menawan dengan kulit kuning langsatnya. Riasan tipis yang memulas wajahnya membuat Asih terlihat berseri, memancarkan aura kegembiraan. Asih segera menuju lokasi yang Bagas sebutkan: sebuah restoran lesehan di pinggir kota. "Kau harus menemuinya tepat waktu, Asih. Maklum saja, dia orang sibuk. Itulah sebabnya tidak bisa menemuimu tempo hari," pesan Bagas tadi pagi. "Enggak masalah, Gas. Aku akan sampai di sana lebih dulu," jawab Asih penuh percaya diri. Ia pun menemukan restoran itu. Tampilannya sangat asri, dengan berbagai macam ukiran indah menghiasi setiap sudut. Asih mengagumi detailnya. Selama ini, ia terlalu banyak berdiam di rumah, sehingga tak menyadari ada tempat sebagus ini di kota kelahirannya. Dua pramusaji menyambutnya dengan senyum ramah. "Meja atas nama Ibu Asih ada di
"Sombong!" dengan suara menggelegar Melly membentaknya keras. "Bersih-bersih toko saja sudah nggak mau. Kau ini semakin banyak membangkang!" Asih bangkit dari duduknya, hendak pergi. "Kalau nggak ada yang lain, sepertinya saya harus pulang." "Lihatlah, sama ibu mertuanya saja nggak punya sopan santun!" "Bu, Helena yang punya toko, biar dia yang bersih-bersih, itu kan toko calon suaminya, pasti Helena lebih pantas untuk membersihkannya." Asih hanya melirik sekilas Arif dan Helena lalu beranjak dari sana. Hardi segera memanggilnya, "Asih, duduklah dulu, kita belum selesai membicarakan penjualan tokonya." Akhirnya Asih duduk kembali. Di dalam surat itu, Hardi mendapatkan pembagian tujuh puluh persen dari harga toko. Akan tetapi hanya tersisa sepuluh persen saja setelah dikurangi hak Helena atas tanah tepi pantai. Pemilik sah toko adalah Arif Raharja. "Ayo tanda tangani sebagai saksi," perintah Arif. Dengan berat, Asih akhirnya menandatangani surat itu. Pertemuan







