Share

lima

Author: Dewanu
last update Last Updated: 2025-08-27 19:13:29

"Aku takut kau menyesal bercerai dariku, Asih," tiba-tiba Hardi bersuara. Rupanya saat menandatangani berkas itu pikirannya berkutat pada sikap Asih yang sangat tenang.

Apa maksudmu, Mas? Kita putuskan saja untuk bercerai. Dengan begitu Citra akan senang dan segera menerima lamaran darimu."

Sedikit ragu, Hardi terus membubuhi tanda tangan. Beberapa berkas kertas yang Hardi sendiri tak yakin apa yang ada di dalamnya. Hardi harus menandatangani berkas itu sebelum Asih berubah pikiran.

Asih tersenyum menang, meskipun hatinya sangat sakit ia merasa terbebas sekarang, ia berharap rencananya akan berjalan mulus.

"Mas, surat ini adalah surat wewenang penjualan tanah tepi pantai, dan yang ini adalah berkas pengajuan perceraian. Adapun selain itu, kau akan tau nanti," terang Asih seolah semua itu hanya berkas sepele. Iapun mengambil dari hadapan Hardi, mengumpulkan menjadi satu dalam sebuah map.

Hardi mengerutkan dahi, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia mengira berkas itu cuma berkas penjualan tanah tepi pantai.

Surat perceraian? ia tak berfikir secepat itu. Dan sekarang Asih berbicara soal semua aset yang ia miliki?

"Apa... kau sedang menipuku?" Hardi mulai curiga. "Kenapa kau tidak bilang semua berkas ini adalah hal yang berbeda-beda? Berikan dulu berkas tadi itu padaku, aku mau melihatnya lagi."

Asih tak menghiraukan, pura-pura tak mendengarnya lalu beranjak pergi, menyimpan rapat berkas itu.

Setelah itu ia kembali pada Hardi dengan senyum samar.

Menipu katanya?

"Apa iya aku menipumu, Mas?" katanya dengan raut seperti orang bingung. " Ya Enggak lah, Mas. Aku cuma mau ambil hakku. Mas ingat nggak waktu acara pernikahan kita? Pernikahan itu diadakan keluargaku, semua biaya yang kalian janjikan ternyata tidak terbukti, jadi aku menghitungnya sebagai hutang," kata Asih, lalu iapun beranjak mengambil segelas air putih, diberikan pada suaminya itu. Khawatir Hardi terlalu terkejut dan membuatnya dehidrasi.

"Setelah itu, kau membangun rumah ini juga pake tabunganku. Kalau dihitung-hitung, sepertinya pas dengan harga rumah ini."

Hardi yang menerima air putih langsung menenggak habis isi gelas itu, terlebih saat mendengar rincian Asih. Ia tak menyangka Asih sedetil itu.

"Apa maksudmu... sekarang rumah ini menjadi milikmu? Nggak masuk akal," gerutunya.

Asih tidak langsung menjawab, "Huh... gimana ya, itupun sebetulnya masih belum cukup loh, Mas. Selama kau menganggur dulu, aku bahkan menjual perhiasan peninggalan orang tuaku untuk biaya hidup, seharusnya itu kewajibanmu untuk memenuhi kebutuhan," pungkasnya.

"Apalagi? Kau benar-benar menipuku rupanya. Kenapa kau ungkit-ungkit masa lalu? Bukannya suami istri itu harus berbagi? Aku suamimu, kau harus siap membantuku."

"Iya, Mas. Aku kan sudah membantumu waktu itu. Dan aku juga nggak akan nipu. Apa yang kuambil darimu itu benar-benar milikku, Mas, hakku sebagai istri," tegasnya.

Hardi benar-benar kesal. Tapi semua itu memang benar, "Ah, sudahlah. Jadi sebenarnya yang kau mau?" dengusnya.

"Toko, Mas. Kalau Citra artis, kau mungkin mau jadi aktor, kau tidak akan bisa meneruskan toko alat tulis itu," cibir Asih sekaligus mengajukan permintaan.

"Jangan melucu. Kau pasti punya rencana jahat, aku tidak bisa memberikan toko alat tulis itu padamu," bantah Hardi . "Semua mau kau kuasai, rumah ini sudah kau klaim jadi milikmu dan sekarang toko?"

"Sayang sekali, padahal aku bermaksud baik padamu, Mas. Aku tau toko itu mau bangkrut, bahkan jika tidak bisa membayar angsuran bank, maka toko itu akan disita bank tanpa menyisakan apapun."

Ucapan Asih memang benar. Beberapa hari ini ia kebingungan karena Bank sudah memberikan tenggat pembayaran, namun belum juga bisa membayarnya.

"Jadi... apa maumu?"

"Serahkan padaku toko itu, Mas. Sebagai komisiku jika aku berhasil menjual tanah tepi pantai."

Hardi makin dibuat pusing. "Komisi? Kau ini memang serakah, Asih? Dulu kau nggak seperti ini, nggak pernah cerewet soal uang, nggak banyak nuntut, tapi sekarang kau malah menuntut yang bukan-bukan."

Asih mendesah, lalu berjalan menjauh. "Ya sudah, kalau nggak mau, urus saja sendiri! Atasi saja toko alat tulis itu, yang penting jangan sampai disita bank, kan malu, Mas," bantahnya. "Padahal tanah itu ada yang mau beli, tapi akan ku batalkan saja karena kau tidak menyetujui harapanku," ujarnya sambil lalu.

Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Pikirannya mulai berputar soal tanah pinggir pantai yang sangat susah untuk dijual.

Ia sudah berusaha menjual tanah itu bahkan dengan harga yang sangat murah.

Dan sekarang Asih bilang mau membatalkan penjualan tanah itu gegara minta toko kecil itu sebagai komisi.

"Apa kau serius tanah itu ada yang mau beli?" Hardi cepat bangkit, mendekati Asih yang sedang memutar mesin cuci. "Kalau begitu pertemukan aku dengan orang itu."

Asih tersenyum tipis, "Nggak bisa, Mas. Kau kan sudah tanda tangan soal pelimpahan wewenang penjualan tanah itu, jadi aku akan menanganinya sendiri."

Jelas sekali wajah itu terlihat kesal.

"Helena tidak akan setuju kalau toko itu dijadikan komisi, itu terlalu besar. Dengan menjual tanah itu maka aku akan memberi komisi untukmu tiga ratus ribu, itu sudah cukup banyak buatmu."

Lima ratus ribu? Asih menggelengkan kepalanya karena heran dengan keserakahan Hardi.

Selama menjadi istrinya ia harus mencukupkan dirinya dengan apa yang diberikan Hardi. Ia tak pernah tau berapa hasil pendapatan dari toko alat tulis itu.

Kalau Asih meminta uang untuk suatu keperluan maka Hardi selalu punya alasan untuk mengelak.

"Ya sudah kalau Helena tidak setuju, aku nggak maksa kok. Tapi pikirkan jika tanah itu terjual dengan harga dua miliar, bukannya kau bisa beli mobil mewah?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sepuluh

    "Maaf, aku tidak akan menyinggung soal pribadi di sini. Meskipun kita adalah keluarga, kau tidak berhak tau urusan keluargaku," jawab Asih lalu berdiri dari duduknya kalau berkata, "Oh ya, aku akan mengantar ibu ke Bandara, jadi aku harus pergi," katanya dan berlalu dari sana. Asih memutuskan untuk cepat pergi dari sana, lalu menuju lobi hotel untuk check out. Keberadaan Arif di sana membuatnya tidak nyaman, ia harus segera pergi dari sana. Asih menjemput keluarga Hardi, sengaja melayani mereka, menunjukkan sebenarnya mereka selalu membutuhkan Asih dalam segala keadaan. Sesampainya di sana, Hardi dan ibunya sudah berdiri cemas di lobi hotel. Begitu juga Citra duduk cemberut di bangku menatap jengah kehadirannya. "Cepat, angkat barang-barangku!" perintah Melly saat Asih sudah dekat. Pandangan Asih langsung tertuju pada tumpukan barang di sudut ruangan. "Kenapa diam saja? Cepat angkat keluar!" Asih melihat ke arah Hardi. "Dia yang laki-laki, kenapa aku yang harus angk

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sembilan

    Hardi tak bisa berkata-kata, saat Asih sedikit keras menepis tangan Hardi dari pergelangan tangannya. Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Ada rasa bangga menyelimuti hatinya. Asih begitu pengertian padanya. Wanita itu kini terlihat semakin cantik dan penuh percaya diri. Hardi lupa bahwa berkas perceraian sudah ditandatangani olehnya. Sesampainya di penginapan, Asih hendak membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamar di sebelahnya terbuka dan seseorang keluar. Mereka saling terpaku, bertatapan mata. Jantung Asih berdegup kencang. Ia tak bisa percaya. Pria di sebelah kamarnya itu ternyata Arif Raharja. Arif tersenyum tipis. "Bukankah kamu Kakak Ipar Helena?" suaranya lembut, namun membuat Asih semakin gugup. Dengan jemari yang mendadak dingin, Asih mengangguk pelan. "Benar. Kamu... ada di sini?" "Kebetulan sekali," ujar Arif, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit Asih baca. "Tapi... di mana Mas Hardi?" "Eh, itu... kami..." Asih tergagap, mencari kata-kata. "Kalian tidak

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Delapan

    Saat pintu kamarnya terbuka perlahan, seorang staf office boy (OB) berdiri di sana, menatapnya dengan raut khawatir yang tulus. "Maaf, Bu, saya mendapatkan laporan dari kamar sebelah ada suara tangisan yang sedikit mengganggu. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?" tanya OB itu dengan sopan, nadanya lembut, seolah tak ingin menambah beban Asih. Asih tersentak, rasa malu seketika menyerbu karena tangisannya yang tak tertahankan telah terdengar. Wajahnya memerah, bukan hanya karena air mata tapi juga karena rasa terkejut. Ia buru-buru menarik napas, berusaha menormalkan suaranya yang serak. "Oh, maafkan saya, Mas. Saya... saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya sedikit kelelahan." Ia memaksakan senyum tipis, berharap OB itu segera pergi, agar ia bisa kembali tenggelam dalam kesendiriannya. OB itu mengangguk penuh pengertian, memberikan senyum simpati, dan pamit undur diri. Asih menutup pintu, seolah ingin mengunci kerapuhannya di dalam. Lega, karena tak ada yang perlu tahu badai emosi

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Tujuh

    Berfoya-foya? Hardi benar-benar terperangah. Asih adalah istri yang sangat hemat, kenapa dia mau berfoya-foya? "Oh tidak, aku tidak bisa menurutimu." "Tapi Mas, aku sudah terlanjur memesan tiket pesawat untuk kita berempat." "Berempat?" Hardi tentu saja tidak langsung setuju. "Makin kesini kau ini makin melunjak," cibirnya pedas. "Memangnya kau keberatan kalau aku mengatakan ini sebagai permintaanku yang terakhir?" katanya dengan wajah yang sendu, seolah sedang menyesali sesuatu. "Aku... pengen perpisahan denganmu sekaligus mengajak ibu dan Citra." "Hah? Kau... serius?" Wanita itu mengangguk. Hardi mengerutkan keningnya. Permintaan terakhir Asih sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Transportasi ke Bali juga tidak mahal. Selain itu setelah ini ia akan kembali ke rumah ibu setelah Helena menikah. Jadi dia cuma butuh Citra mau menikah dengannya. "Oke, kita ke Bali." ### Setelah mendapatkan jadwal penerbangan, Asih mengirim bukti pemesanan tiket ke nomor Hardi dan

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Enam

    "Kau... serius bisa menjual dengan harga dua miliar?" Asih menatap Hardi, sorot mata itu adalah sorot mata pasrah karena tidak ada pilihan lain. "Aku akan usahakan, Mas. Kalau kau percaya padaku, dan memberikan toko itu sebagai komisi, maka aku akan membantumu." Bagi Asih, motivasi terbesarnya saat ini adalah membalikkan keadaan. Hinaan, cemoohan, dan perlakuan kasar mereka selama ini harus ada harga yang harus dibayar oleh suaminya itu. Mengambil satu persatu aset Hardi akan menjadi hiburan yang menyenangkan. "Eh... kau janji kan?" Asih cepat mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Bukankah aku sudah tandatangani semua yang kau butuhkan?" Asih tersenyum manis pada suaminya, senyum termanis yang harus Hardi ingat untuk selamanya. Setelah Hardi lelap dalam tidurnya, Asih menatap tanda tangan Hardi di atas kertas. Bibirnya membentuk senyum tipis yang tak terlihat. Di ponselnya, suara Bagas terdengar terkejut, "Kau benar-benar menjual vilamu pada hanya untuk membeli tanah Hard

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   lima

    "Aku takut kau menyesal bercerai dariku, Asih," tiba-tiba Hardi bersuara. Rupanya saat menandatangani berkas itu pikirannya berkutat pada sikap Asih yang sangat tenang. Apa maksudmu, Mas? Kita putuskan saja untuk bercerai. Dengan begitu Citra akan senang dan segera menerima lamaran darimu." Sedikit ragu, Hardi terus membubuhi tanda tangan. Beberapa berkas kertas yang Hardi sendiri tak yakin apa yang ada di dalamnya. Hardi harus menandatangani berkas itu sebelum Asih berubah pikiran. Asih tersenyum menang, meskipun hatinya sangat sakit ia merasa terbebas sekarang, ia berharap rencananya akan berjalan mulus. "Mas, surat ini adalah surat wewenang penjualan tanah tepi pantai, dan yang ini adalah berkas pengajuan perceraian. Adapun selain itu, kau akan tau nanti," terang Asih seolah semua itu hanya berkas sepele. Iapun mengambil dari hadapan Hardi, mengumpulkan menjadi satu dalam sebuah map. Hardi mengerutkan dahi, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia mengira ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status