Share

Tujuh

Author: Dewanu
last update Last Updated: 2025-08-23 13:31:54

Berfoya-foya?

Hardi benar-benar terperangah. Asih adalah istri yang sangat hemat, kenapa dia mau berfoya-foya?

"Oh tidak, aku tidak bisa menurutimu."

"Tapi Mas, aku sudah terlanjur memesan tiket pesawat untuk kita berempat."

"Berempat?"

Hardi tentu saja tidak langsung setuju. "Makin kesini kau ini makin melunjak," cibirnya pedas.

"Memangnya kau keberatan kalau aku mengatakan ini sebagai permintaanku yang terakhir?" katanya dengan wajah yang sendu, seolah sedang menyesali sesuatu. "Aku... pengen perpisahan denganmu sekaligus mengajak ibu dan Citra."

"Hah? Kau... serius?"

Wanita itu mengangguk.

Hardi mengerutkan keningnya. Permintaan terakhir Asih sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Transportasi ke Bali juga tidak mahal. Selain itu setelah ini ia akan kembali ke rumah ibu setelah Helena menikah. Jadi dia cuma butuh Citra mau menikah dengannya.

"Oke, kita ke Bali."

###

Setelah mendapatkan jadwal penerbangan, Asih mengirim bukti pemesanan tiket ke nomor Hardi dan ibu mertuanya.

Hal itu membuat Melly terkejut.

"Ya ampun, kenapa nggak bilang kalau kamu mau ajak ibu ke Bali?" seru ibunya senang. "Dan ini, Citra juga kau ajak ya?"

Hardi tertegun, Asih memesan tiket untuknya, ibu dan juga Citra. Apa maksudnya?

Tapi melihat ibunya sangat senang ia hanya pasrah, terlebih Asih bilang itu perpisahan.

"Iya Bu, anggap saja liburan, bonus karena tanahku terjual."

"Astaga, syukurlah kalau begitu. Sayang Helena masih di London, kalau di rumah, kita bisa ke sana bersama tunangannya itu."

"Benar Bu. Oh ya, ibu harus bersiap-siap ya."

Beberapa kemudian, mereka berangkat ke Bandara, menunggu pesawat menuju Bali. Senyum mengembang di bibir ibu mertuanya, ia bersikap akrab pada Citra yang menutupi wajahnya dengan masker hitam. Sementara itu, Asih sudah terbiasa diacuhkan. Hardi berjalan menjaga jarak darinya.

"Bawa trolinya yang benar, jangan sampai tas Citra jatuh dan merusaknya. Kau tahu kan barang Citra itu mahal dan berkelas?" kata Hardi. Pria itu meminta istrinya mendorong troli yang penuh dengan koper mereka semua.

"Tapi ini berat, Mas. Kau laki-laki, seharusnya kau yang melakukannya."

"Sudahlah, kau lebih cocok. Di antara kami, cuma kau yang paling cocok mendorong troli," jawab Hardi, meremehkan.

"Mas, kau selalu bersikap keterlaluan padaku, apa aku ini orang lain di matamu?"

Hardi mendengus. "Asih, jangan salah paham. Seharusnya kau bersyukur bisa ke Bali pakai uangku. Kau juga yang minta kita semua ke Bali. Jadi wajarlah kalau kau sedikit bersusah payah."

"Rasanya aku lebih mirip pembantu rumah tangga dalam keluargamu," lirih Asih yang jelas terdengar di telinga Hardi, tapi pria itu pura-pura tidak tahu.

Di pesawat, Asih sengaja memesan kursi secara terpisah dari Hardi dan ibunya. Hal itu sukses membuat Hardi merasa aneh, tapi ia mengabaikannya. Sementara Citra, melihat tindakan Asih itu sebagai sebuah kebodohan.

"Jujur, kamu ini tidak terlihat seperti istri Hardi," desis Citra di telinga Asih, nadanya meremehkan. "Kenapa kau masih bertahan, sih?" ejeknya.

"Memangnya kenapa?" balas Asih tak kalah tajam, suaranya pelan namun menusuk. "Kenyataannya kalian belum sah suami istri, jadi lebih baik diam saja atau aku akan mencemarkan nama baikmu sebagai artis."

Hal itu sukses membuat Citra terdiam, wajahnya berubah kesal. Ia segera mendekati Hardi dan ibu mertuanya, mungkin untuk mengadu dan mencari perlindungan. Asih tak peduli, ia tahu Citra bisa saja mengadu yang bukan-bukan.

Sesuai rencana, Asih telah menyiapkan kamar hotel terpisah untuk Hardi, Ibu, dan Citra. Sementara itu, Asih sendiri menginap di hotel yang berbeda, tentu saja tanpa Hardi ketahui. Asih telah mengatur jadwalnya agar tidak bisa diganggu, hanya menerima pesan, guna memastikan fokusnya tidak terpecah.

Malam harinya, ponsel Asih bergetar. Hardi dan ibunya sibuk menghubungi karena Asih tak kunjung kembali ke kamar mereka.

"Kau di mana? Kami kehabisan air minum, belikan di supermarket."

Pesan itu membuat Asih tersenyum miring. "Kau pikir air minum jatuh dari langit? Kau bisa melakukannya sendiri, Hardi," gumam Asih, tahu betul sifat ketergantungan Hardi pada dirinya. Ia membalas cepat: "Aku akan pulang besok, ada seseorang yang harus kutemui." Setelah itu, Asih segera mematikan ponselnya.

Asih bisa membayangkan keributan yang pasti terjadi di antara Hardi dan ibu mertuanya, hanya karena urusan sepele seperti air minum. Keluarga itu tidak terbiasa tanpa ada orang lain yang bisa disuruh-suruh, dan siapapun bisa jadi sasaran ujung telunjuk jika tidak pintar berkelit. Asih tersenyum getir, merasakan kepuasan yang dingin. Cukup sudah ia menjadi bulan-bulanan di keluarga Hardi. Kini giliran mereka merasakan sedikit 'ketidaknyamanan' yang selama ini ia alami.

Asih menemui Dokter Alisa, dokter kecantikan yang direkomendasikan Bagas. Saat bertemu, Alisa menyambutnya dengan ramah, senyum hangat merekah di wajahnya.

"Kau sepupunya Bagas?" tanya Alisa.

Asih mengangguk. "Terima kasih banyak karena mau membantuku," balas Asih tulus, merasa sedikit lega.

"Jangan sungkan, aku hanya melakukan yang aku bisa. Lagipula Bagas adalah temanku yang terbaik," jawab Dokter Alisa, nadanya menenangkan.

Asih mengobrol panjang lebar dengan Dokter Alisa seputar perawatan kecantikan non-invasif yang akan diterapkan padanya. Ia sangat tertarik karena Dokter Alisa terkenal memberikan hasil luar biasa tanpa perlu operasi.

"Aku akan membayar berapapun harganya," kata Asih tegas, ingin memastikan dirinya mendapatkan perawatan maksimal.

"Sudah kubilang, aku akan melakukan pekerjaan ini sesuai kemampuanku," jawab Dokter Alisa, senyumnya tak luntur.

Dokter Alisa menjadwalkan perawatan Asih secara detail, menjelaskan setiap tahapan yang harus dilakukan, lalu membekali Asih dengan beberapa obat herbal untuk diminum dan produk perawatan khusus. Meskipun semua terasa asing baginya, Asih sudah bertekad untuk melakukannya dengan sungguh-sungguh. Ini adalah langkah pertamanya menuju perubahan.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Asih bisa tidur dengan sangat nyenyak.

Saat terbangun di pagi hari, Asih duduk menghadap cermin, menatap pantulan dirinya.

"Asih, kau harus bahagia. Kau berhak untuk bahagia," bisiknya pada bayangannya di cermin. Kata-kata dari Bibi Alya terus terngiang, menjadi motivasi terbesarnya.

"Kata Dokter Alisa, kecantikan bisa dibangun semakin sempurna jika memiliki kepercayaan diri penuh, dan juga rasa bahagia yang ada di hati. Merias diri harus menjadi bagian yang membahagiakan," lirih Asih, mencoba mencerna nasihat itu. Sebuah senyum getir terukir di bibirnya. "Sayangnya... kebahagiaan itu telah direnggut oleh lelaki yang berstatus suamiku sendiri. Bagaimana aku bisa merasa bahagia untuk merias wajahku?" Tak terasa, air mata berlinang membasahi pipi. Rasa sakit dan dendam yang selama ini ia pendam akhirnya menemukan jalannya melalui air mata.

Asih sadar, meskipun menjadi cantik, ia tak akan sudi bertahan dalam pernikahannya bersama Hardi.

"Hanya menunggu waktu," lirih Asih perih. Asih sadar ia telah bersikap kejam, tapi rasa sakit di hatinya sangatlah dalam. Asih sadar, bahkan setelah Hardi hancur, akankah dirinya bahagia?

Pagi itu, untuk pertama kalinya Asih menangis sejadinya, hingga suara ketukan keras terdengar dari pintu kamarnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sepuluh

    "Maaf, aku tidak akan menyinggung soal pribadi di sini. Meskipun kita adalah keluarga, kau tidak berhak tau urusan keluargaku," jawab Asih lalu berdiri dari duduknya kalau berkata, "Oh ya, aku akan mengantar ibu ke Bandara, jadi aku harus pergi," katanya dan berlalu dari sana. Asih memutuskan untuk cepat pergi dari sana, lalu menuju lobi hotel untuk check out. Keberadaan Arif di sana membuatnya tidak nyaman, ia harus segera pergi dari sana. Asih menjemput keluarga Hardi, sengaja melayani mereka, menunjukkan sebenarnya mereka selalu membutuhkan Asih dalam segala keadaan. Sesampainya di sana, Hardi dan ibunya sudah berdiri cemas di lobi hotel. Begitu juga Citra duduk cemberut di bangku menatap jengah kehadirannya. "Cepat, angkat barang-barangku!" perintah Melly saat Asih sudah dekat. Pandangan Asih langsung tertuju pada tumpukan barang di sudut ruangan. "Kenapa diam saja? Cepat angkat keluar!" Asih melihat ke arah Hardi. "Dia yang laki-laki, kenapa aku yang harus angk

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Sembilan

    Hardi tak bisa berkata-kata, saat Asih sedikit keras menepis tangan Hardi dari pergelangan tangannya. Hardi menatap punggung Asih yang menjauh. Ada rasa bangga menyelimuti hatinya. Asih begitu pengertian padanya. Wanita itu kini terlihat semakin cantik dan penuh percaya diri. Hardi lupa bahwa berkas perceraian sudah ditandatangani olehnya. Sesampainya di penginapan, Asih hendak membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamar di sebelahnya terbuka dan seseorang keluar. Mereka saling terpaku, bertatapan mata. Jantung Asih berdegup kencang. Ia tak bisa percaya. Pria di sebelah kamarnya itu ternyata Arif Raharja. Arif tersenyum tipis. "Bukankah kamu Kakak Ipar Helena?" suaranya lembut, namun membuat Asih semakin gugup. Dengan jemari yang mendadak dingin, Asih mengangguk pelan. "Benar. Kamu... ada di sini?" "Kebetulan sekali," ujar Arif, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit Asih baca. "Tapi... di mana Mas Hardi?" "Eh, itu... kami..." Asih tergagap, mencari kata-kata. "Kalian tidak

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Delapan

    Saat pintu kamarnya terbuka perlahan, seorang staf office boy (OB) berdiri di sana, menatapnya dengan raut khawatir yang tulus. "Maaf, Bu, saya mendapatkan laporan dari kamar sebelah ada suara tangisan yang sedikit mengganggu. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?" tanya OB itu dengan sopan, nadanya lembut, seolah tak ingin menambah beban Asih. Asih tersentak, rasa malu seketika menyerbu karena tangisannya yang tak tertahankan telah terdengar. Wajahnya memerah, bukan hanya karena air mata tapi juga karena rasa terkejut. Ia buru-buru menarik napas, berusaha menormalkan suaranya yang serak. "Oh, maafkan saya, Mas. Saya... saya baik-baik saja. Mungkin saya hanya sedikit kelelahan." Ia memaksakan senyum tipis, berharap OB itu segera pergi, agar ia bisa kembali tenggelam dalam kesendiriannya. OB itu mengangguk penuh pengertian, memberikan senyum simpati, dan pamit undur diri. Asih menutup pintu, seolah ingin mengunci kerapuhannya di dalam. Lega, karena tak ada yang perlu tahu badai emosi

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Tujuh

    Berfoya-foya? Hardi benar-benar terperangah. Asih adalah istri yang sangat hemat, kenapa dia mau berfoya-foya? "Oh tidak, aku tidak bisa menurutimu." "Tapi Mas, aku sudah terlanjur memesan tiket pesawat untuk kita berempat." "Berempat?" Hardi tentu saja tidak langsung setuju. "Makin kesini kau ini makin melunjak," cibirnya pedas. "Memangnya kau keberatan kalau aku mengatakan ini sebagai permintaanku yang terakhir?" katanya dengan wajah yang sendu, seolah sedang menyesali sesuatu. "Aku... pengen perpisahan denganmu sekaligus mengajak ibu dan Citra." "Hah? Kau... serius?" Wanita itu mengangguk. Hardi mengerutkan keningnya. Permintaan terakhir Asih sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Transportasi ke Bali juga tidak mahal. Selain itu setelah ini ia akan kembali ke rumah ibu setelah Helena menikah. Jadi dia cuma butuh Citra mau menikah dengannya. "Oke, kita ke Bali." ### Setelah mendapatkan jadwal penerbangan, Asih mengirim bukti pemesanan tiket ke nomor Hardi dan

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   Enam

    "Kau... serius bisa menjual dengan harga dua miliar?" Asih menatap Hardi, sorot mata itu adalah sorot mata pasrah karena tidak ada pilihan lain. "Aku akan usahakan, Mas. Kalau kau percaya padaku, dan memberikan toko itu sebagai komisi, maka aku akan membantumu." Bagi Asih, motivasi terbesarnya saat ini adalah membalikkan keadaan. Hinaan, cemoohan, dan perlakuan kasar mereka selama ini harus ada harga yang harus dibayar oleh suaminya itu. Mengambil satu persatu aset Hardi akan menjadi hiburan yang menyenangkan. "Eh... kau janji kan?" Asih cepat mengangguk. "Baiklah, aku setuju. Bukankah aku sudah tandatangani semua yang kau butuhkan?" Asih tersenyum manis pada suaminya, senyum termanis yang harus Hardi ingat untuk selamanya. Setelah Hardi lelap dalam tidurnya, Asih menatap tanda tangan Hardi di atas kertas. Bibirnya membentuk senyum tipis yang tak terlihat. Di ponselnya, suara Bagas terdengar terkejut, "Kau benar-benar menjual vilamu pada hanya untuk membeli tanah Hard

  • Menjual Warisan Demi Harga Diri   lima

    "Aku takut kau menyesal bercerai dariku, Asih," tiba-tiba Hardi bersuara. Rupanya saat menandatangani berkas itu pikirannya berkutat pada sikap Asih yang sangat tenang. Apa maksudmu, Mas? Kita putuskan saja untuk bercerai. Dengan begitu Citra akan senang dan segera menerima lamaran darimu." Sedikit ragu, Hardi terus membubuhi tanda tangan. Beberapa berkas kertas yang Hardi sendiri tak yakin apa yang ada di dalamnya. Hardi harus menandatangani berkas itu sebelum Asih berubah pikiran. Asih tersenyum menang, meskipun hatinya sangat sakit ia merasa terbebas sekarang, ia berharap rencananya akan berjalan mulus. "Mas, surat ini adalah surat wewenang penjualan tanah tepi pantai, dan yang ini adalah berkas pengajuan perceraian. Adapun selain itu, kau akan tau nanti," terang Asih seolah semua itu hanya berkas sepele. Iapun mengambil dari hadapan Hardi, mengumpulkan menjadi satu dalam sebuah map. Hardi mengerutkan dahi, tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya ia mengira ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status