“Aku sudah kirimkan orangku yang masih sehat untuk memberitahu para lurah, buyut, dan demang di kawasan utara. Mereka akan memberikan laporan bila melihat dua orang laki-laki dengan ciri mencurigakan seperti Saketi dan Remak, terlebih bila mereka terlihat bersama seorang anak remaja. Kuduga, mereka akan menuju kampung mereka yang bernama Margalayu itu, meski aku juga belum pernah dengar itu tepatnya ada di mana. Kau masih akan punya cukup waktu dan petunjuk jejak untuk memburu mereka.”
Wisnumurti tercenung. “Betul juga. Dan Remak juga tengah terluka, bukan, gara-gara Lintang Abyor dari Jaladri? Membawa satu sandera dan satu orang luka, Saketi tak akan bisa bergerak cepat. Malam ini mungkin dia masih berada di kawasan hutan sekitar sini, berusaha mengobati Remak sampai sembuh.”
“Ya. Kita tenangkan diri dulu, agar bisa menyusun langkah terbaik besok pagi.”
“Bagaimana keadaan Pratiwi dan Bajul? Sepertinya Bajul tak terlalu
“Maka, sebelum aku sampai pada pertanyaan soal bagaimana kau bisa mendapatkan ilmu itu, ada satu hal yang lebih menarik, yaitu siapa sebenarnya kau? Orang-orang di dapur tadi bilang, kau adalah Jaladri, putra Ki Somanagara, pedagang besar yang adalah adik dari Ki Gede Nipir. Tapi aku tidak percaya. Itu pasti hanya nama samaranmu untuk mengelabui semua orang!”Jaladri sudah bisa bernapas lagi, namun ia kembali dibikin megap-megap dan terbata oleh pertanyaan itu.“Ap-apa maksudmu? Aku memang Jaladri, anak Ki Soma dari Karang Bendan.”“Hanya anak saudagar? Bukan warga Keraton?”Jaladri menggeleng. “Bukan. Keraton apaan? Keraton setan!?”“SEBAB ILMU ITU HANYA BOLEH DIAJARKAN UNTUK ORANG-ORANG KERATON! MUDENG!?”Ada dua hal yang membuat Jaladri nyaris kelenger.Satu, bau napas Suwung Saketi mirip ikan busuk yang sudah enam pekan mendekam tak terurus di dapur. Apalagi pria itu bert
“Kapan itu, Mbah?” tanya Pratiwi. “Sudah agak siang ini atau masih pagi sesudah subuh tadi?”“Masih pagi sekali, Mas Rara. Persis setelah subuh. Mereka lewat sini, minta nasi dan lauk ikan, tapi tidak baik hati seperti Mas Rara berdua.”“Mereka jalan kaki apa naik kuda?” tanya Wisnumurti.“Berkuda, Denmas. Dua ekor. Yang bongkok dibonceng pria yang tinggi. Anak muda satunya lagi menunggang kuda sendiri. Dia kelihatannya juga sakit. Matanya lebam, yang kiri.”Wisnumurti tercekat, menahan napas. “Tapi dia baik-baik saja, bukan? Tidak pincang atau terlihat kesakitan?”“Tidak, Denmas. Dia bisa jalan biasa saja, dan lebih kuat dari si bongkok.”“Ke arah mana mereka pergi, Mbah?”“Waktu Mbah tanya, katanya mau ke Kajoran. Apakah mereka musuh Nakmas berdua? Sepertinya mereka dan Denmas berdua sama-sama pesilat.”Wisnumurti terdi
“Kalau mau membantu, bantu saja. Malah cuma ngoceh!”Pratiwi sempat juga mengamati sekilas orang itu. Siapapun dia, ditilik dari caranya melakukan penampakan yang sangat tidak umum, pastilah pria itu juga seorang jagoan kelas tinggi seperti Wisnumurti.Pria di atap kemudian berdiri. Dengan gerakan yang sangat enteng, ia melompat tinggi sekali, seperti sengaja menjatuhkan diri ke tanah. Sedepa sebelum tiba di Bumi, tangan kanannya menghentak ke depan dengan kelima jari terentang sempurna. Detik itu gempa terjadi. Warga yang berkerumun menjerit karena merasakan tanah di pijakan benar-benar bergoyang.Wisnumurti melancarkan empat kali tendangan berantai yang membuat lawannya kembali nyungsep. Dalam arah gerakan yang sama, ia bergeser mendekati Pratiwi, dan tepat berada di depan gadis itu saat hentakan tenaga dari pria pendatang baru itu tadi tiba di titik tempat Pratiwi berada.Lalu mereka terlempar. Lebih tepatnya, Wisnumurti menabrak Pratiwi, s
Ki Soma menguap lebar saat menutup salat magribnya di mushala yang berada tepat di kiri kediamannya. Tepat di ambang pintu, seorang pengawal menunggunya dengan wajah tegang.“Ndara, ada Kanjeng Gusti Adipati,” kata sang pengawal sambil mengacungkan ibu jari ke arah pendapa.Mata Ki Soma melebar. “Kanjeng Adipati?”Pengawal itu mengangguk. “Bet-betul, Ndara Soma. Itu... di pendapa.”Ki Soma langsung bergegas, bahkan setengah berlari. Memang terlihat sesosok pria tegap berbusana serba hitam duduk menunggu seorang diri di pendapa. Dalam keremangan cahaya lentera, sosok itu nampak angker dan berwibawa. Ki Soma menaiki pendapa rumahnya sendiri sambil berjongkok dan menyembah. Memang yang hadir adalah Adipati Jayapati, namun menyamar menjadi rakyat kebanyakan dengan mengenakan busana dan ikat kepala yang sangat sederhana sekaligus murahan.“Tidak usah menyembah, Adimas! Nanti orang tahu siapa aku. Padahal sudah k
Begitu mereka dilumpuhkan, arwah-arwah di dalam tubuh para warga itu tak bisa lagi berbuat apa-apa. Jika tidak, mereka semua termasuk dua warga yang menyerang Wisnumurti dan Pratiwi akan mampu terus bergerak hingga badan mereka remuk rusak sendiri karena kelelahan.Dan sesudah dipingsankan, mereka semua bangun sebagai diri asli masing-masing. Rombongan arwah yang disalahgunakan langsung pada pergi entah ke mana.“Sepertinya mereka makin berani bertingkah di luaran,” kata Wisnumurti. “Apakah ada gejala bahwa mereka akan melakukan serangan besar-besaran?”“Aku khawatir begitu. Laporan-laporan mengenai terjadinya pengacauan dengan ciri khas cara kerja Lambang Merah makin meningkat belakangan ini. Aku juga takut itu semua adalah latihan sebelum mereka melakukan satu serangan pengacauan besar. Masalahnya adalah, kapan, dan di mana?”“Dan yang seperti ini bakalan sangat susah diatasi dengan cara-cara biasa, bahkan denga
“Kakang, bangun! Ini sudah subuh. Mau salat tidak?”Jaladri terbangun mendadak, dan seketika tersadar akan hawa luar biasa dingin yang mencekam kulit. Dalam gelap, yang paling awal tertangkap matanya adalah goyangan nyala api unggun yang seketika memberi rasa damai pada terkaman suhu dingin itu.“Lagian aneh ini. Kelenger karena pingsan kok berlanjut tidur pulas semalaman.”Pemuda itu seketika bangkit oleh suara yang belakangan ini, soalnya lembut dan merdu sekali. Saat ia menoleh, yang ia lihat adalah seorang gadis manis yang menggunakan baju dan kain berlapis-lapis untuk menahan dingin. Di sebelah satunya lagi ada seorang pemuda. Dan ia seketika mengenalinya.“Loh... kau...?” ia menuding.“Ya, betul. Dan tadi itu aku mendekati Kakang dan dua orang yang bersama Kakang itu untuk mengalihkan perhatian kalian, agar Ningrum punya waktu untuk memasukkan ular ke rumah banjar itu tadi.”Jaladri kemba
Dari tempat mereka berbincang-bincang bersama para pendekar di dekat api unggun, Ki Randu Alas dan Pratiwi menoleh. Wisnumurti terlihat bergegas keluar meninggalkan pintu rumah banjar. Dilihat dari raut wajah pemuda itu, sepertinya ada hal penting yang baru saja didapatkannya di dalam.“Bapak-bapak yang barusan kutanyai bilang, dia sempat melihat Jaladri bicara dengan seseorang tepat sebelum ular masuk ke sana,” katanya tanpa menunggu ditanyai terlebih dulu oleh Ki Randu Alas.Blarak dan para pria itu ikut berdiri dan memerhatikan Wisnumurti.“Apa dia sempat mengamati ciri-cirinya?” tanya Ki Randu.“Ya. Anak muda seumuran aku dan Jaladri. Kata dia, anak itu cukup bersih, kemungkinan orang kaya. Lalu ada orang lain lagi yang bilang dia sempat ngobrol sebentar dengan anak muda itu. Dia ternyata orang Paranggelung. Mau pulang ke sana sesudah bepergian beberapa hari ke Tanggul Wetan. Dia jalan bersama adiknya, perempuan. Karena g
Matahari belum sepenuhnya muncul ketika kesibukan Ki Gede Nipir mengaji di mushala terusik oleh gerakan di pintu gerbang rumah itu. Ia menoleh sekilas, dan langsung tahu yang datang adalah seseorang yang sudah sangat dikenal dan berpangkat cukup tinggi. Para penjaga gerbang menyambut orang itu sambil membungkuk hormat dan tertawa-tawa ramah. Lalu, dia dengan leluasa menapak pekarangan rumah hingga sisi pendapa tanpa perlu turun dari kuda.Pria tersebut baru melompat ke tanah sesudah seorang pegawai rumah kediaman Ki Soma menyambut tali kekang kudanya. Setelah agak dekat baru Ki Gede Nipir tahu bahwa orang itu adalah Senopati Bantala. Karena saling melihat, sang senopati langsung bergegas mendatangi mushala dan berjabat tangan hangat dengan Ki Gede sebelum ikut duduk bersila di situ.Karena Senopati Bantala mencari Ki Soma, Ki Gede Nipir pun menyuruh seorang karyawan untuk memanggil Ki Soma. Sebentar kemudian yang dicari sudah datang tergopoh-gopoh ke tempat itu.