“Jadi bagaimana ini? Kita pergi kan untuk membunuh Nipir. Lalu itu gagal. Dan ternyata kita malah mendapat yang lebih baik, yaitu anak aneh yang menguasai kemampuan Lintang Abyor. Kita berencana membawanya pulang ke Margalayu untuk mempelajari kemampuannya itu, tapi sekarang malah dia hilang. Kita harus bagaimana ini?”
“Aku yakin sebentar lagi akan ada petunjuk mengenai keberadaan anak itu.”
“Itu jadi tujuan utamamu sekarang rupanya.”
“Karena aku penasaran. Anak itu menguasai Lintang Abyor. Padahal ilmu itu berasal dari aliran silat Keraton, yang tidak diajarkan pada orang-orang di luar lingkaran terdekat Sultan. Entah bagaimana asal-usulnya, dia juga pasti terkait dengan istana. Aku ingin tahu itu.”
“Dia bilang dia berasal dari Kenipir.”
“Aku tidak percaya. Pasti dia bohong, atau memang sama sekali tidak ahu.”
“Tak mungkinkah Ki Soma itu punya darah keturunan Wira
“Ini kapan selesainya?”“Ya suka-suka mereka saja. Kalau belum capek, tentu tidak akan selesai begitu saja. Kadang bisa molor sampai semalaman.”Pratiwi membelalak. “Dan tidak tidur sama sekali?”“Iya lah. Kalau tidur kan ya namanya sudah selesai.”Gadis itu kembali menatap tontonan di kejauhan sana.“Lucu ya. Ada orang berkelahi tanpa ada tujuan apa-apa. Harusnya kan gara-gara rebutan apa gitu, atau nyawa terancam, atau debat kusir lalu naik darah dan tabok-tabokan.”Wisnumurti mendecak. “Itu kan kamu. Kalau marah, tabok-tabokan, lalu jambak-jambakan.”Pratiwi tertawa.Mereka kembali asyik menonton. Ki Randu Alas masih sibuk bertarung melawan temannya itu, yang tadi mengaku bernama Gagak Panolih dari lereng Merbabu. Tadi mereka bertiga sedang membelok meninggalkan alur jalan utama menuju Paranggelung ke jalan setapak mendaki ke Padepokan Gunung Walang. Tah
“Agar lebih jelas bagi kalian anak-anak muda, aku ceritakan saja semua sejak awal,” katanya pelan. “Jadi, dulu sekali, Pasir merupakan wilayah negara bawahan Keraton Demak. Itu sudah berlangsung sejak masa pemerintahan mendiang Sultan Alam Akbar Al Fath, pendiri Demak yang waktu mudanya bernama Senopati Jimbun itu. Semua berubah ketika sultan ketiga Demak, Trenggana, wafat dalam perang di Panarukan. Penggantinya, raja wali Hadiwijaya yang memindahkan Kotaraja ke Pajang, disibukkan dengan ancaman perang saudara dari para penguasa Bang Wetan, sehingga ia mulai abai pada wilayah tengah-barat. Tiga dasawarsa lalu, adipati terakhir Pasir sebagai negara bawahan Demak adalah Pangeran Senopati. Saat ia meninggal karena penyakit tua, putranya yang akan menggantikannya sebagai Pangeran Senopati II ketahuan menyebarkan ajaran-ajaran lama justru pada saat Pasir tengah menerima kunjungan kenegaraan Tumenggung Wirajaya dari Demak. Ia pun ditangkap dan dibawa ke Demak sebagai bud
Dibanding kampung halamannya, yaitu Karang Bendan, Paranggelung bagi Jaladri lebih mirip sebuah desa besar. Orang-orang tak terlalu banyak terlihat di jalanan. Gerak-gerik mereka pun cenderung lamban dan berkesan malas. Mungkin karena pengaruh suhu juga. Berada di lereng Pegunungan Dieng, tempat itu selalu sejuk sepanjang hari. Mungkin bahkan kala tengah hari dan matahari bersinar terang benderang pun, hawa udara tetap terasa dingin di kulit. Dan ia ingin melihat pagi subuh di sini. Barangkali akan ada kabut tebal, dan mulut kita mengeluarkan uap hangat saat bicara.Saat ia tiba bersama Wira dan Ningrum, waktu sudah menjelang magrib. Begitu memasuki wilayah kota, Wira langsung memimpin di depan dan mengarahkan laju kudanya menuju alun-alun. Tak terlalu ramai di sana. Maklum, tak lama lagi senja. Semua orang tentu sedang mandi untuk bersiap-siap menunggu azan salat magrib.Karena hanya tamu, Jaladri ikut saja ke mana Wira pergi. Tahu-tahu saja mereka sudah tiba di dekat
“Waduh!”Bajul menghentikan laju kudanya, yang segera diikuti tiga kuda lain di belakang. Dan seketika masa depan langsung berubah menjadi suram.Dalam cahaya sore yang mulai meredup menuju senja, air sungai lebar di depan mereka terlihat mirip gambaran mengenai neraka. Tak saja bergerak dalam kecepatan luar biasa tinggi, melainkan juga bergolak dan meluap-luap. Tak lama lagi air mungkin bahkan meluber naik hingga ke lereng tepian sungai.Barangkali hujan lebat berhari-hari terjadi di puncak Dieng sana, sehingga kemudian airnya menjelma banjir besar di titik ini.Penunggang kuda yang bertubuh mungil dan sejak tadi selalu ditempatkan di titik paling tengah mengurai jilbabnya, yang membungkus rapat dan hampir menutup keseluruhan wajah. Ia menatap nanar ke aliran sungai tepat di hadapannya.“Tak bisa menyeberang ya?” tanya dia, yang berhidung bangir dan berpipi tirus namun justru nampak serasi dengan bentuk tubuh dan wajahnya:
“Nanti Kakang bertiga tidurnya di sini,” kata Ni Sanadi. “Nanti Mbah bikinkan nasi goreng yang enak. Nah, khusus untuk Pramesti, kau tidur di dalam. Ayo!”Kembali Pramesti dengan patuh mengikuti sang nenek. Ia diajak masuk ke kamar yang berada tepat di balik amben bambu lebar di ruang depan.“Nanti kau tidur di situ,” Ni Sanadi menunjuk balai-balai bambu di sudut kamar. “Itu sudah ada selimut.”Pramesti meletakkan pantatnya di amben. Enak sekali, setelah menempuh perjalanan panjang dari Karang Bendan sejak subuh tadi. Rasanya ia ingin langsung rebahan.“Mbah sendiri nanti tidur di mana?” tanya dia.“Mbah bisa tidur di rumah tetangga. Kau istirahat dulu. Kalau mau, nanti kau bisa bantu Mbah membuat nasi goreng. Nasinya sudah ada, tinggal membuat bumbu dan menggoreng.”Pramesti mengangguk. “Mau, Mbah. O, ya, ini Ki Dewaningrat Pakulangit di mana?”&ldquo
Jaladri maju dengan langkah berjongkok. Ia menyembah. Pangeran Wiratmaka duduk di batu takhtanya, di sudut ruangan lebar itu, menghadapi sebuah meja rendah dari kayu berukir yang amat indah dan mewah.“Hamba menghadap, Gusti Pangeran.”Pangeran Wiratmaka menoleh. “Tidak usah menyembah! Tak ada yang lihat juga.”Jaladri mengangkat wajahnya.“Beneran?”“Iya. Biasa saja seperti seharian tadi di jalan. Ayo, sini! Ada yang mau kubicarakan denganmu.”“Asiiiik...!”Jaladri melompat ke arah Wiratmaka.“Tapi ya jangan lantas ndeso gitu.”“Peduli setan! Aku sudah pegal sejak tadi sok resmi seperti sedang ada jumenengan.”Jaladri bergegas mendekati meja dan duduk bersila di situ. Wiratmaka kemudian turun dari batu takhta untuk ikut duduk juga di karpet permadani.“Baik. Ini sangat penting. Kau siap mendengarnya?”
Senopati Bantala menutup kembali kedok di wajahnya saat ia mendengar suara derap kaki kuda dari kejauhan. Ia mundur merapat ke batang pohon besar di belakangnya, menyamarkan dirinya dalam kegelapan yang terlindung dedaunan dari sinar bulan yang sangat cerah malam ini.Lalu ia meraba hulu pedang saat kuda itu menapak pelan ke arahnya. Namun saat hidungnya menghidu bau tubuh yang sudah sangat ia hapal itu, seluruh kewaspadaannya seketika terurai. Ia bahkan melangkah maju agar terlihat. Kedok kain ia turunkan kembali.Yang datang memang Rinjani. Perempuan remaja itu juga sama sepertinya, mengenakan busana serba biru gelap untuk membuat diri tak terlihat dalam kegelapan malam.“Bagaimana? Semua lancar?” tanya Senopati Bantala.“Lancar, Senopati. Kami berangkat siang tadi selepas makan siang dengan naik kuda. Begitu masuk Kademangan Larangan Lor, pihak istana Pangeran Candrakumala menyambut dengan menyediakan tandu bagi kami bertiga. Perjalan
Pramesti merapatkan selimutnya. Enak. Hangat sekali. Dan baru sekian saat kemudian ia menyadari sesuatu yang tak biasa. Betul. Ia tak sedang berada di rumah. Rasa dingin yang asing dan tak nyaman itu seketika membangunkannya hingga terlompat bangkit dengan punggung tegak. Ia sibuk melihat sekeliling.“Apa ini?” ia menyingkirkan kain hitam lebar yang tadi ia pikir selimut tempat tidurnya di rumah.Jelas itu bukan sesuatu yang seharusnya dipakai tidur. Baunya aneh.Hal pertama yang ia lihat adalah nyala api unggun tak jauh dari tempatnya tergolek tidur beralaskan kain lain lagi yang juga berukuran lumayan lebar. Sekelilingnya adalah pepohonan dan sesemakan lebat. Lalu telinganya menangkap bunyi gemericik air. Pasti ini di dekat sungai. Masalahnya, ini di tlatah sebelah mana?Semua ingatan kembali dengan cepat. Sungai banjir, Ringin Pitu, Dewaningrat yang gila, lalu kemunculan seorang pria aneh bersenjata pedang yang hanya dengan satu ka