Part 3
Wajah Safira sedikit sendu saat tahu siapa sosok yang menelponku.
“Angkatlah! Siapa tahu ada yang penting,” katanya sambil mengurai senyum tipis. Senyum yang dipaksakan.
“Kalau kamu keberatan, aku bisa mengabaikannya,” jawabku sambil menekan tombol matikan layar.
“Jangan! Angkat saja! Dia adalah istri pertamamu, dia lebih berhak atasmu dibanding aku.”
Aku izin keluar kamar dan dia mengangguk pelan.
“Assalamualaikum, Mah ....”
“Waalaikumsalam. Pah, bisa pulang? Abizar tiba-tiba panas tinggi. Dia sepertinya harus dibawa ke rumah sakit.” Felicia memberi kabar buruk di hari bahagiaku dengan Safira.
“Dikasih paracetamol dulu saja.”
“Sudah. Panas sejak tadi malam, aku kira pagi bisa sembuh. Tetapi malah tambah parah.”
Bukan tidak menyayangi Abizar, tetapi, saat ini tidak mungkin meninggalkan Safira yang baru saja kunikahi.
“Pah ....” Suara Felicia membuatku tersadar.
“Iya ... kamu berangkat ke rumah sakit dulu saja. Aku akan langsung kesana. Pilih kamar VIP.”
“Tapi kamu pulang ‘kan, Pah? Toko bisa dititipkan sama Harun,” kata Felicia lagi.
Harun adalah orang kepercayaanku dan dia saat ini sedang ada di toko. Aku membuka usaha toko bahan bangunan di kota kecil tempat Safira tinggal karena waktu itu, di sini belum ada toko bangunan yang lengkap. Sudah lima tahun mengembangkan bisnis dan di tahun ke empat, aku mulai mengenal Safira.
“Iya, tapi tidak bisa sekarang. Ini ada barang yang mau datang. Aku konfirmasi dulu sama sales, mau datang sekarang atau bisa ditunda. Yang penting sekarang bawa Abizar ke rumah sakit dulu. Biar bisa dapat penanganan yang cepat. Kamu tidak usah hubungi aku. Aku pasti datang setelah urusanku selesai.”
“Pah ....”
“Felic, segera bawa Abizar ke rumah sakit!” Aku memotong ucapan Felicia.
“Ba-baik ....” Felicia menutup telepon.
“Anakmu sakit, Mas?” Safira ternyata ada di belakangku.
Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Iya, tidak apa-apa, cuma panas sedikit,” kataku sambil terpana menatap wajah Safira yang sudah tidak memakai kerudung.
“Pulanglah saja dulu, Mas. Mbak Felic mungkin membutuhkanmu.”
“Tidak apa-apa. Felic bisa mengatasi sendiri.” Hasrat ini sudah tidak terbendung melihat kecantikan Safira. Rambut hitamnya, bulu mata lentiknya serta bibirnya yang ranum, mendorong diri untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang suami.
Safira menatapku dalam. Deru napasnya pun terdengar sama kerasnya denganku. Aku tahu, ia sudah merindukan kasih sayang sejak lama. Aku paham, jika saat sekarang pun, ia tengah menungguku menyempurnakan hubungan kami.
Rumah yang sepi, hanya kicauan burung tetangga dan deru kendaraan yang sesekali lewat saja yang menemani kebersamaan kami.
“Safira, kamu sudah siap menjadi milikku seutuhnya?” tanyaku sambil mendekatkan diri.
“Kau tidak ingat istrimu, Mas? Kau tidak ingat anakmu yang sakit?” Ia balik bertanya.
“Kamu juga istriku, Safira. Jangan bahas selain kita bila bersama. Aku hanya ingin menikmati waktuku denganmu saja,” jawabku sambil membingkai wajah manisnya.
“Apa kamu hanya kasihan sama aku, Mas?” Safira bertanya lagi.
Aku tidak perlu menjawab pertanyaannya tentang itu. Safira juga sudah memejamkan mata. Betapa hari ini adalah saat yang sangat membahagiakan untukku. Tak perlu mengingat siapapun. Asalkan aku bisa menempatkan diriku di dua tempat yang berbeda.
“Safira ...,” ucapku lirih sambil mengecup lembut bibirnya.
Kami melakukan itu di hari menjelang siang dengan penuh gelora. Safira yang sudah lama menjada pun terlihat menikmati setiap sentuhan yang kuberi untuknya. Tidak ada kata terucap dari bibir kami. Hanya de--sah suara yang terkadang keluar tanpa kendali.
“Kenapa menangis?” tanyaku saat melihat pipinya basah di sela-sela aktivitas.
“Aku sangat bahagia, Mas, terima kasih sudah menjadikanku yang halal bagimu,” jawabnya sambil memeluk erat tubuhku. Jawaban Safira membuat diri ini semakin terbakar gelora. Merasa menjadi lelaki sejati yang bisa memberi kebahagiaan pada wanita yang cantiknya bak bidadari itu.
“Aku akan selalu melindungimu, jangan takut akan apapun lagi, Safira!” kataku sambil mengusap rambutnya yang hitam.
Hari ini telah kutunaikan keinginan hati menjadikan janda cantik itu menjadi milikku seutuhnya. Setelah ini, takkan kubiarkan siapapun menyakitinya, juga Nayma, anak semata wayang Safira.
Felicia dan Abizar, aku masih tetap bisa memberikan kasih sayang sebagaimana mestinya.
“Safira, aku mencintaimu ...,” kataku lirih setelah mencapai puncak dari apa yang kuinginkan.
“Aku juga mencintaimu, Mas Hanan,” balasnya pelan sambil mengalungkan kedua tangan di leherku.
Lelah pikiran ditambah tenaga yang terkuras habis menunaikan kewajibanku sebagai suami pada Safira, membuatku lupa akan janji yang sudah terucap untuk Felicia. Mata ini begitu berat dan hati yang sangat nyaman berada dalam dekapan istri kedua membuat kesadaran hilang seketika dan ruh berpindah ke alam mimpi.
Jiwa yang bahagia ternyata berpengaruh juga pada alam bawah sadar saat tidur. Rasanya sangat damai, saat kepala kuletakkan di pangkuannya. Selama kami saling kenal, baru sekarang melakukan hal ini. Aku menyentuhnya saat ia sudah benar-benar menjadi yang halal.
Saat ini, kami berada di sebuah taman bunga bersama Nayma. Gadis cantik yang menuruni garis wajah sang ibu itu tengah menangkap kupu-kupu yang hinggap di beberapa bunga dan daun. Aku memegang erat tangan Safira. Sangat lama. Menikmati setiap helaan napas yang keluar dari mulutnya.
“Jangan pernah pergi dari hidup kami lagi ya, Mas Hanan. Aku mencintaimu dan aku sangat ikhlas meski hanya menjadi yang kedua. Tak mengapa kamu menyembunyikanku dari banyak orang. Asalkan ada ruang hati yang kamu sisakan untuk kami. Hanya untuk kami berdua,” kata Safira.
Tak berapa lama kemudian kurasakan tepukan tangan Safira di pipi berkali-kali. Sangat lembut.
“Bangunlah, kamu belum sholat Dzuhur, Mas. Ayo, kita mandi.” Suaranya terdengar sangat pelan. Mata ini begitu berat saat terbuka.
Ah, ternyata hanya mimpi. Kini, wajah cantik Safira dengan rambut basah yang terurai terpampang jelas di depan mata.
“Apa aku tidur lama?” tanyaku pada Safira.
Ia tersenyum dan mengecup lembut bibirku. “Iya. Kamu mendengkur tadi,” jawabnya.
“Aku mau tidur lagi,” bisikku lirih di telinga Safira.
“Sudah Dzuhur, sudah waktunya sholat. Ayo, bangun! Aku sudah siapkan handuk untuk mandi,” ucap Safira sambil mengelus pelan pipiku dengan tangannya.
“Aku mau mandi bersama kamu,” jawabku manja.
“Jangan, nanti malah tambah lama. Kamu harus pulang, ‘kan? Mbak Felic pasti sedang cemas menunggumu datang. Bangun, mandi dan berangkatlah!”
“Astaghfirullah ...,” ucapku pelan. Aku lupa jika Abizar sekarang ada di rumah sakit. Mungkin. Karena aku belum mengecek ponsel.
“Jam berapa ini?” tanyaku.
“Jam dua.”
“Ya Allah ....”
Kusingkirkan selimut dan gegas mandi. Guyuran air yang terasa dingin membuat otakku sedikit rileks. Abizar pasti baik-baik saja. Dia pasti sudah di rumah sakit dan mendapatkan perawatan yang terbaik. Sekalipun aku datang dengan segera, toh yang akan melakukan tindakan penolongan ya petugas medis. Bukan aku. Jadi, aku tidak perlu merasa bersalah.
Abizar berumur sembilan tahun, sama dengan Nayma. Ia adalah anak semata wayangku dengan Felic, tetapi bukan anak pertama. Karena anak pertamaku meninggal saat berusia dua tahun. Sakit panas.
Ya Allah, aku pernah kehilangan anak karena sakit panas. Lekas kupercepat kegiatan mandi karena ingin segera pulang. Kenapa aku lupa kalau pernah kehilangan anak karena sakit yang sama?
“Kamu tidak apa-apa kutinggal?” tanyaku pada Safira yang merapikan kerah baju setelah selesai mandi.
“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri. Pria jahat itu pasti tidak akan berani lagi menggangguku. Sekarang aku sudah tenang karena punya kamu. Pulanglah! Aku juga akan ke rumah sakit. Nanti beri kabar kalau sudah sampai,” jawab Safira.
Bau parfum yang ia kenakan begitu menggoda. Sehingga membuat naluri lelakiku kembali bangkit. Bukankah itu normal? Kami ini pengantin baru, jadi wajar jika sedang mesra-mesranya.
“Aku pamit,” ucapku lirih di telinganya.
“Hati-hati di jalan!” kata Safira lagi.
“Aku tidak ingin berpisah dari kamu, Safira ... aku ingin di sini selalu bersamamu.”
“Aku pun begitu, Mas. Akan tetapi, bukankah sekarang kamu dibutuhkan oleh istrimu?” Safira berkata dengan tatapan menggoda. Pandangan perempuan itu sungguh menggoda. Membangkitkan sesuatu yang telah tuntas tadi, menuntut untuk menciptakan lagi gelora-gelora cinta.
“Boleh minta sebentar?” tanyaku menggoda.
“Kamu sudah harus pergi,” jawab Safira. Meski berkata demikian, tetapi aku tahu kalau ia juga menginginkannya.
Aku ingin melupakan sejenak tentang Felicia dan Abizar. Lelah bekerja selama ini, bukankah hati dan perasaan juga butuh hiburan? Safira aku anggap hiburan yang sangat indah. Toh setelah ini, aku juga akan bertemu dan bergelut dengan sakit Abizar.
“Kamu sangat cantik ....” Kalimat terakhir yang terucap sebelum akhirnya, aku kembali menyelami nikmatnya surga dunia bersamanya.
***
Di balik kemudi, aku mengecek ponsel yang ternyata sudah ada puluhan panggilan dari Felicia. Aku memilih membuka pesan saja. Ia memberikan foto Abizar yang tergeletak lemas tak berdaya.
[Kamu dimana?]
[Kata Harun kamu tidak ada di toko]
[Pulanglah segera, Pah. Aku takut ....]
[Abizar panasnya tak juga turun meskipun sudah diinfus dan ditangani dokter]
[Abizar merintih memanggil namamu, Mas ....]
[Kenapa tak juga sampai? Ini sudah berjam-jam]
[Adakah sesuatu yang terjadi denganmu?]
“Astaghfirullahaladzim ... ya Allah, kenapa Abizar harus sakit di saat yang tidak tepat?” kataku lirih sambil menatap Safira yang sudah memakai jilbab berdiri di tepi teras untuk mengantar kepergianku.
Maafkan aku, Safira, seharusnya kita masih bisa bersama di dalam sana. Doakan Abizar segera membaik, sehingga aku bisa pulang kesini.
Mobil melaju setelah membunyikan klakson. Pintu gerbang segera ditutup Safira setelah mobil keluar dari pekarangan. Aku membelikannya rumah dua minggu yang lalu. Memilih cluster daripada komplek perumahan biasa, karena pengamanannya lebih terjamin. Setiap tamu yang masuk, harus lapor dulu sama satpam. Sehingga aku tidak perlu takut saat meninggalkan Safira dan juga tentang hubungan kami, sepertinya akan lebih aman dari pantauan siapapun.
Setelah menempuh waktu dua jam, akhirnya aku sampai di rumah sakit. Abizar, bocah laki-laki yang berusia sembilan tahun yang dekat denganku meski tak setiap hari bersama. Kulihat Felicia tertidur di tepi ranjang sambil memegang sebuah tasbih. Aku mendekat dan mengelus kepalanya lembut.
Apakah sama rasanya dengan saat aku menyentuh Safira?
Tentu saja tidak. Mereka berdua memiliki arti berbeda dalam hidupku.
“Mas Hanan,” kata Felicia lali menghambur di pelukanku. “Kenapa kamu baru datang? Aku takut sekali Abi akan seperti Nazmi,” ucapnya lagi.
“Jangan berpikiran yang buruk, Felic! Abi anak yang kuat. Sekarang aku sudah ada di sini, jadi, kamu tidak perlu takut lagi. Abi pasti akan baik-baik saja,” kataku berusaha menenangkan Felicia.
Felicia melepaskan pelukan setelah mungkin merasa tenang.
“Abi, bangunlah, Nak! Papa sudah di sini,” kataku pada Abi. Kupegang keningnya sangat panas.
Rasa cemas mendadak datang lagi. Terlebih saat kupandangi wajahnya yang tidur sambil merintih. Ah, seandainya tadi waktu habis melakukan kewajiban pada Safira, aku langsung pulang, pasti tidak akan separah ini keadaan Abi.
“Apa dia tidak bangun dari tadi? Apa dia seperti ini terus?” tanyaku sambil menoleh pada Felic.
“Iya, dia merintih terus.”
“Kenapa tidak bilang padaku? Kalau bilang ‘kan, aku akan cepat pulang.”
“Kamu tidak mengangkat teleponku, Mas. Aku sudah bilang sebelum Dzuhur kalau Abi sakit. Akan tetapi, kamu tidak kunjung datang. Nomor kamu aktif, tetapi tidak menjawab teleponku dan sekarang kamu menyalahkanku?” Felicia menatap tajam dan penuh amarah.
Aku sudah hilang kendali tadi. Ah, bagaimana bisa aku menjelaskan pda Felicia jika ia menuntutku jujur? Kenapa tadi aku tidak bisa mengontrol diri?
“Teruntuk suamiku, Mas Hanan, pria yang sudah membuat aku memeluk Islam dari aku yang sebelumnya nonis, selamat menempuh hidup baru ya, Pah. Terima kasih sudah membohongi aku dan Abizar. Terima kasih sudah meninggalkan kami sendirian dan kamu memilih hidup di kota ini demi bersama dengan dia istri simpanan kamu. Aku menemanimu dari yang awalnya kamu pemuda miskin tidak punya apa-apa, sampai sekarang kaya raya dan bisa membuat pesta yang sangat megah. Aku dimusuhi keluargaku, meninggalkan kedua orang tuaku yang kaya raya demi hidup bersama kamu. Masih ingat tidak, Pah, kita memulai usaha semua dari tabungan aku. Aku menyayangi ibumu dan memenuhi kebutuhan keluargamu tanpa pernah mengungkit. Aku kira itu cukup bisa membuat kamu setia, ternyata di belakang aku, kamu berkhianat.” Dengan nada lemah lembut Felicia berucap.Semua tamu yang hadir langsung duduk dan mendengarkan.“Kau menggunakan uang kita untuk membahagiakan perempuan yang di sampingmu. Aku ikhlas, Pah. Sangat ikhlas. Aku seba
Part 28“Halo, adik maduku. Kenalkan, aku Felicia, istri sah Hanan. Pasti kamu sudah sering mendengar namaku ‘kan? Kamu cantik sekali. Selamat ya atas pernikahan kalian. Pelaminannya megah, pestanya mewah. Beruntung sekali kamu mendapatkan seorang pria kaya seperti suamiku.” Felicia beralih pada Safira yang masih berdiri ditopang ibunya. Sambil berbicara, tangannya sibuk merapikan jas Hanan.Tamu yang hadir dan sedang mengantri terpaksa diberhentikan oleh Ustadz Ridho untuk tidak naik ke pelaminan lebih dulu. Ia juga sering mencuri pandang pada Veronica yang terlihat sangat cantik.Sementara Salamah, sesekali melempar tatapan marah pada Veronica. Sadar sesuatu hal kalau Veronica bisa jadi menggoda suaminya karena balas dendam.“Aku mau foto dulu dengan kalian. Untuk kenang-kenangan. Vero, tolong ambilkan gambar pakai ponselku,” kata Felicia pada Veronica. “Ah, adik madu kamu kelelahan ya? Gak papa, aku ambil foto sebentar saja.”Seperti dihipnotis, Safira tidak bisa berkutik dan menga
Sepulangnya dari menemui Hanan, Abizar tidak pernah lagi bertanya tentang ayahnya. Namun begitu, ia lebih banyak menyendiri dan bersedih.Besok adalah hari resepsi pernikahan Hanan dan Safira. Felicia sudah mempersiapkan hati dan mental untuk hadir kesana. Tidak lupa sebuah kado telah dia bungkus sebagai hadiah pernikahan. Sebuah foto keluarga yang bahagia. Ia, Hanan, Abizar dan ibu mertuanya telah disobek menjadi dua, dibingkai dengan kaca pecah dan dimasukkan kedalam dus dibungkus kertas serta dihiasi pita.“Abi, besok Mama mau ada perlu dan menginap. Kamu sama Mbak di rumah ya? Sama Om Adi juga. Mama minta maaf sebelumnya ya, Sayang?”“Mama menginap berapa malam?” tanya Abizar.“Hanya semalam saja.”Meski berat hati Abizar mengizinkan.Malam harinya, Felicia menelpon agen penjualan rumah di kota tempat Hanan tinggal. “Berapapun yang penting laku cepat,” katanya.Semua sertifikat rumah dan tanah yang ia miliki bersama Hanan sudah ada di tangan. “Kamu tidak akan menggunakan harta yan
Part 27“Setidaknya kalau kamu mau menitipkan Abizar, kamu harusnya beritahu aku dulu.”“Bukankah kamu tidak merespon telepon dari aku terus, Hanan?”“Feli, kamu bisa berkirim pesan.”“Apa kehadiran Abizar selama beberapa hari saja akan membuat kamu terganggu? Hanan, jika dihitung-hitung, lebih banyak waktu kamu yang dilewati seorang diri. Aku membawa Abi dan menitipkan sama kamu hanya paling lama dua atau tiga hari. Apa kamu benar-benar tidak suka?” Nada bicara Felicia meninggi.“Papa, Mama, jangan bertengkar! Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Papa dan Mama.” Di saat keduanya adu mulut, Abizar keluar sambil menangis. “Papa tidak mau aku tinggal di sini sama Papa?”“Abi.” Hanan mendekati anak semata wayangnya.“Papa tidak suka ya kalau ketemu aku? Kenapa sepertinya tidak mau aku ada di sini?” Dengan wajah sedih Abizar bertanya.“Jagoan Papa tidak boleh bicara seperti itu! Papa senang kok Abi ada di sini, hanya saja Papa sedang sibuk sekali.”“Baiklah, Papa, aku akan ikut Mama
“Mas, aku boleh gak lihat rumah Mas yang sama Mbak Feli yang rumah di kota ini?” tanya Safira saat sudah di dalam mobil.“Memangnya kenapa?”“Aku pengen tahu saja.”“Rumah itu aku yang membeli. Jadi, kalau kemungkinan terburuknya Felicia tahu tentang hubungan kita, aku akan menjualnya.”Safira tersenyum senang mendengar jawaban dari Hanan.***“Mama kenapa Papa sudah tidak pernah menelpon aku?” tanya Abizar.“Papa sibuk, Sayang. Gak papa, selagi ada Mama di sini.”“Mama, aku rindu memancing sama Papa.” Abizar duduk di sofa dekat jendela, mengamati tumbuhan yang daunnya menari-nari di taman depan kamar sang ibu. Tangannya memeluk lutut.“Mama antar kamu memancing di tempat biasanya ya?” Felicia mendekati Abizar dan duduk di bawa sofa.“Tempatnya sama, tetapi rasanya beda. Aku butuh Papa. Aku ingin sama papa.”Felicia mengepalkan tangan. ‘Meski balas dendam itu dosa, aku tetap akan melakukannya, Hanan. Kamu sudah keterlaluan.’“Abi, dengar! Suatu saat Mama akan cerita, kenapa Papa tidak
Part 26“Kamu dari mana saja?” tanya Felicia kesal. “Aku harus pulang cepat, kasihan Abizar.”“Cari suami orang,” jawab Veronica asal. “Ayo, Kak berangkat!”“Tugas kamu sudah selesai. Kamu boleh mundur dari kajian itu.”“Belum dong. Aku masih harus berangkat minggu depan. Melihat situasi dan keadaan apakah resepsinya jadi atau batal.”“Resepsinya harus jadi. Aku ingin melihat Hanan bersanding di pelaminan dengan wanita itu.”“Wah, ini rencana Kakak? Mau datang ke resepsi mereka? Aku ikut ya, Kak?”“Kamu ‘kan dapat undangan, kesana sendiri saja!”“Aku akan menjadi pengawal Kak Feli.”Felicia keluar rumah menuju mobil. “Jadi antar aku tidak?”“Jadi dong! Aku mau pulang juga, kangen Mama.”Felicia kembali diam di dalam mobil. Hatinya membara penuh amarah, tetapi ia tidak ingin meluapkan di hadapan Veronica.“Kak, kalau aku pada akhirnya memilih kembali pada keyakinan lama aku, apa aku akan berdosa?” tanya Veronica sambil fokus menyetir.“Menurut Islam ya dosa. Makanya kalau belum mantap,