Share

Bab 3

Penulis: Nay Azzikra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-17 15:21:34

Part 3

Wajah Safira sedikit sendu saat tahu siapa sosok yang menelponku.

“Angkatlah! Siapa tahu ada yang penting,” katanya sambil mengurai senyum tipis. Senyum yang dipaksakan.

“Kalau kamu keberatan, aku bisa mengabaikannya,” jawabku sambil menekan tombol matikan layar.

“Jangan! Angkat saja! Dia adalah istri pertamamu, dia lebih berhak atasmu dibanding aku.”

Aku izin keluar kamar dan dia mengangguk pelan.

“Assalamualaikum, Mah ....”

“Waalaikumsalam. Pah, bisa pulang? Abizar tiba-tiba panas tinggi. Dia sepertinya harus dibawa ke rumah sakit.” Felicia memberi kabar buruk di hari bahagiaku dengan Safira.

“Dikasih paracetamol dulu saja.”

“Sudah. Panas sejak tadi malam, aku kira pagi bisa sembuh. Tetapi malah tambah parah.”

Bukan tidak menyayangi Abizar, tetapi, saat ini tidak mungkin meninggalkan Safira yang baru saja kunikahi.

“Pah ....” Suara Felicia membuatku tersadar.

“Iya ... kamu berangkat ke rumah sakit dulu saja. Aku akan langsung kesana. Pilih kamar VIP.”

“Tapi kamu pulang ‘kan, Pah? Toko bisa dititipkan sama Harun,” kata Felicia lagi.

Harun adalah orang kepercayaanku dan dia saat ini sedang ada di toko. Aku membuka usaha toko bahan bangunan di kota kecil tempat Safira tinggal karena waktu itu, di sini belum ada toko bangunan yang lengkap. Sudah lima tahun mengembangkan bisnis dan di tahun ke empat, aku mulai mengenal Safira.

“Iya, tapi tidak bisa sekarang. Ini ada barang yang mau datang. Aku konfirmasi dulu sama sales, mau datang sekarang atau bisa ditunda. Yang penting sekarang bawa Abizar ke rumah sakit dulu. Biar bisa dapat penanganan yang cepat. Kamu tidak usah hubungi aku. Aku pasti datang setelah urusanku selesai.”

“Pah ....”

“Felic, segera bawa Abizar ke rumah sakit!” Aku memotong ucapan Felicia.

“Ba-baik ....” Felicia menutup telepon.

“Anakmu sakit, Mas?” Safira ternyata ada di belakangku.

Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Iya, tidak apa-apa, cuma panas sedikit,” kataku sambil terpana menatap wajah Safira yang sudah tidak memakai kerudung.

“Pulanglah saja dulu, Mas. Mbak Felic mungkin membutuhkanmu.”

“Tidak apa-apa. Felic bisa mengatasi sendiri.” Hasrat ini sudah tidak terbendung melihat kecantikan Safira. Rambut hitamnya, bulu mata lentiknya serta bibirnya yang ranum, mendorong diri untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang suami.

Safira menatapku dalam. Deru napasnya pun terdengar sama kerasnya denganku. Aku tahu, ia sudah merindukan kasih sayang sejak lama. Aku paham, jika saat sekarang pun, ia tengah menungguku menyempurnakan hubungan kami.

Rumah yang sepi, hanya kicauan burung tetangga dan deru kendaraan yang sesekali lewat saja yang menemani kebersamaan kami.

“Safira, kamu sudah siap menjadi milikku seutuhnya?” tanyaku sambil mendekatkan diri.

“Kau tidak ingat istrimu, Mas? Kau tidak ingat anakmu yang sakit?” Ia balik bertanya.

“Kamu juga istriku, Safira. Jangan bahas selain kita bila bersama. Aku hanya ingin menikmati waktuku denganmu saja,” jawabku sambil membingkai wajah manisnya.

“Apa kamu hanya kasihan sama aku, Mas?” Safira bertanya lagi.

Aku tidak perlu menjawab pertanyaannya tentang itu. Safira juga sudah memejamkan mata. Betapa hari ini adalah saat yang sangat membahagiakan untukku. Tak perlu mengingat siapapun. Asalkan aku bisa menempatkan diriku di dua tempat yang berbeda.

“Safira ...,” ucapku lirih sambil mengecup lembut bibirnya.

Kami melakukan itu di hari menjelang siang dengan penuh gelora. Safira yang sudah lama menjada pun terlihat menikmati setiap sentuhan yang kuberi untuknya. Tidak ada kata terucap dari bibir kami. Hanya de--sah suara yang terkadang keluar tanpa kendali.

“Kenapa menangis?” tanyaku saat melihat pipinya basah di sela-sela aktivitas.

“Aku sangat bahagia, Mas, terima kasih sudah menjadikanku yang halal bagimu,” jawabnya sambil memeluk erat tubuhku. Jawaban Safira membuat diri ini semakin terbakar gelora. Merasa menjadi lelaki sejati yang bisa memberi kebahagiaan pada wanita yang cantiknya bak bidadari itu.

“Aku akan selalu melindungimu, jangan takut akan apapun lagi, Safira!” kataku sambil mengusap rambutnya yang hitam.

Hari ini telah kutunaikan keinginan hati menjadikan janda cantik itu menjadi milikku seutuhnya. Setelah ini, takkan kubiarkan siapapun menyakitinya, juga Nayma, anak semata wayang Safira.

Felicia dan Abizar, aku masih tetap bisa memberikan kasih sayang sebagaimana mestinya.

“Safira, aku mencintaimu ...,” kataku lirih setelah mencapai puncak dari apa yang kuinginkan.

“Aku juga mencintaimu, Mas Hanan,” balasnya pelan sambil mengalungkan kedua tangan di leherku.

Lelah pikiran ditambah tenaga yang terkuras habis menunaikan kewajibanku sebagai suami pada Safira, membuatku lupa akan janji yang sudah terucap untuk Felicia. Mata ini begitu berat dan hati yang sangat nyaman berada dalam dekapan istri kedua membuat kesadaran hilang seketika dan ruh berpindah ke alam mimpi.

Jiwa yang bahagia ternyata berpengaruh juga pada alam bawah sadar saat tidur. Rasanya sangat damai, saat kepala kuletakkan di pangkuannya. Selama kami saling kenal, baru sekarang melakukan hal ini. Aku menyentuhnya saat ia sudah benar-benar menjadi yang halal.

Saat ini, kami berada di sebuah taman bunga bersama Nayma. Gadis cantik yang menuruni garis wajah sang ibu itu tengah menangkap kupu-kupu yang hinggap di beberapa bunga dan daun. Aku memegang erat tangan Safira. Sangat lama. Menikmati setiap helaan napas yang keluar dari mulutnya.

 “Jangan pernah pergi dari hidup kami lagi ya, Mas Hanan. Aku mencintaimu dan aku sangat ikhlas meski hanya menjadi yang kedua. Tak mengapa kamu menyembunyikanku dari banyak orang. Asalkan ada ruang hati yang kamu sisakan untuk kami. Hanya untuk kami berdua,” kata Safira.

Tak berapa lama kemudian kurasakan tepukan tangan Safira di pipi berkali-kali. Sangat lembut.

“Bangunlah, kamu belum sholat Dzuhur, Mas. Ayo, kita mandi.” Suaranya terdengar sangat pelan. Mata ini begitu berat saat terbuka.

Ah, ternyata hanya mimpi. Kini, wajah cantik Safira dengan rambut basah yang terurai terpampang jelas di depan mata.

“Apa aku tidur lama?” tanyaku pada Safira.

Ia tersenyum dan mengecup lembut bibirku. “Iya. Kamu mendengkur tadi,” jawabnya.

“Aku mau tidur lagi,” bisikku lirih di telinga Safira.

“Sudah Dzuhur, sudah waktunya sholat. Ayo, bangun! Aku sudah siapkan handuk untuk mandi,” ucap Safira sambil mengelus pelan pipiku dengan tangannya.

“Aku mau mandi bersama kamu,” jawabku manja.

“Jangan, nanti malah tambah lama. Kamu harus pulang, ‘kan? Mbak Felic pasti sedang cemas menunggumu datang. Bangun, mandi dan berangkatlah!”

“Astaghfirullah ...,” ucapku pelan. Aku lupa jika Abizar sekarang ada di rumah sakit. Mungkin. Karena aku belum mengecek ponsel.

“Jam berapa ini?” tanyaku.

“Jam dua.”

“Ya Allah ....”

Kusingkirkan selimut dan gegas mandi. Guyuran air yang terasa dingin membuat otakku sedikit rileks. Abizar pasti baik-baik saja. Dia pasti sudah di rumah sakit dan mendapatkan perawatan yang terbaik. Sekalipun aku datang dengan segera, toh yang akan melakukan tindakan penolongan ya petugas medis. Bukan aku. Jadi, aku tidak perlu merasa bersalah.

Abizar berumur sembilan tahun, sama dengan Nayma. Ia adalah anak semata wayangku dengan Felic, tetapi bukan anak pertama. Karena anak pertamaku meninggal saat berusia dua tahun. Sakit panas.

Ya Allah, aku pernah kehilangan anak karena sakit panas. Lekas kupercepat kegiatan mandi karena ingin segera pulang. Kenapa aku lupa kalau pernah kehilangan anak karena sakit yang sama?

“Kamu tidak apa-apa kutinggal?” tanyaku pada Safira yang merapikan kerah baju setelah selesai mandi.

“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri. Pria jahat itu pasti tidak akan berani lagi menggangguku. Sekarang aku sudah tenang karena punya kamu. Pulanglah! Aku juga akan ke rumah sakit. Nanti beri kabar kalau sudah sampai,” jawab Safira.

Bau parfum yang ia kenakan begitu menggoda. Sehingga membuat naluri lelakiku kembali bangkit. Bukankah itu normal? Kami ini pengantin baru, jadi wajar jika sedang mesra-mesranya.

“Aku pamit,” ucapku lirih di telinganya.

“Hati-hati di jalan!” kata Safira lagi.

“Aku tidak ingin berpisah dari kamu, Safira ... aku ingin di sini selalu bersamamu.”

“Aku pun begitu, Mas. Akan tetapi, bukankah sekarang kamu dibutuhkan oleh istrimu?” Safira berkata dengan tatapan menggoda. Pandangan perempuan itu sungguh menggoda. Membangkitkan sesuatu yang telah tuntas tadi, menuntut untuk menciptakan lagi gelora-gelora cinta.

“Boleh minta sebentar?” tanyaku menggoda.

“Kamu sudah harus pergi,” jawab Safira. Meski berkata demikian, tetapi aku tahu kalau ia juga menginginkannya.

Aku ingin melupakan sejenak tentang Felicia dan Abizar. Lelah bekerja selama ini, bukankah hati dan perasaan juga butuh hiburan? Safira aku anggap hiburan yang sangat indah. Toh setelah ini, aku juga akan bertemu dan bergelut dengan sakit Abizar.

“Kamu sangat cantik ....” Kalimat terakhir yang terucap sebelum akhirnya, aku kembali menyelami nikmatnya surga dunia bersamanya.

***

Di balik kemudi, aku mengecek ponsel yang ternyata sudah ada puluhan panggilan dari Felicia. Aku memilih membuka pesan saja. Ia memberikan foto Abizar yang tergeletak lemas tak berdaya.

[Kamu dimana?]

[Kata Harun kamu tidak ada di toko]

[Pulanglah segera, Pah. Aku takut ....]

[Abizar panasnya tak juga turun meskipun sudah diinfus dan ditangani dokter]

[Abizar merintih memanggil namamu, Mas ....]

[Kenapa tak juga sampai? Ini sudah berjam-jam]

[Adakah sesuatu yang terjadi denganmu?]

“Astaghfirullahaladzim ... ya Allah, kenapa Abizar harus sakit di saat yang tidak tepat?” kataku lirih sambil menatap Safira yang sudah memakai jilbab berdiri di tepi teras untuk mengantar kepergianku.

Maafkan aku, Safira, seharusnya kita masih bisa bersama di dalam sana. Doakan Abizar segera membaik, sehingga aku bisa pulang kesini.

Mobil melaju setelah membunyikan klakson. Pintu gerbang segera ditutup Safira setelah mobil keluar dari pekarangan. Aku membelikannya rumah dua minggu yang lalu. Memilih cluster daripada komplek perumahan biasa, karena pengamanannya lebih terjamin. Setiap tamu yang masuk, harus lapor dulu sama satpam. Sehingga aku tidak perlu takut saat meninggalkan Safira dan juga tentang hubungan kami, sepertinya akan lebih aman dari pantauan siapapun.

Setelah menempuh waktu dua jam, akhirnya aku sampai di rumah sakit. Abizar, bocah laki-laki yang berusia sembilan tahun yang dekat denganku meski tak setiap hari bersama. Kulihat Felicia tertidur di tepi ranjang sambil memegang sebuah tasbih. Aku mendekat dan mengelus kepalanya lembut.

Apakah sama rasanya dengan saat aku menyentuh Safira?

Tentu saja tidak. Mereka berdua memiliki arti berbeda dalam hidupku.

“Mas Hanan,” kata Felicia lali menghambur di pelukanku. “Kenapa kamu baru datang? Aku takut sekali Abi akan seperti Nazmi,” ucapnya lagi.

“Jangan berpikiran yang buruk, Felic! Abi anak yang kuat. Sekarang aku sudah ada di sini, jadi, kamu tidak perlu takut lagi. Abi pasti akan baik-baik saja,” kataku berusaha menenangkan Felicia.

Felicia melepaskan pelukan setelah mungkin merasa tenang.

“Abi, bangunlah, Nak! Papa sudah di sini,” kataku pada Abi. Kupegang keningnya sangat panas.

Rasa cemas mendadak datang lagi. Terlebih saat kupandangi wajahnya yang tidur sambil merintih. Ah, seandainya tadi waktu habis melakukan kewajiban pada Safira, aku langsung pulang, pasti tidak akan separah ini keadaan Abi.

“Apa dia tidak bangun dari tadi? Apa dia seperti ini terus?” tanyaku sambil menoleh pada Felic.

“Iya, dia merintih terus.”

“Kenapa tidak bilang padaku? Kalau bilang ‘kan, aku akan cepat pulang.”

“Kamu tidak mengangkat teleponku, Mas. Aku sudah bilang sebelum Dzuhur kalau Abi sakit. Akan tetapi, kamu tidak kunjung datang. Nomor kamu aktif, tetapi tidak menjawab teleponku dan sekarang kamu menyalahkanku?” Felicia menatap tajam dan penuh amarah.

Aku sudah hilang kendali tadi. Ah, bagaimana bisa aku menjelaskan pda Felicia jika ia menuntutku jujur? Kenapa tadi aku tidak bisa mengontrol diri?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 33

    Part 33Sejujurnya hati Felicia membara ketika mobil berjalan masuk di komplek perumahan elit. Kini ia bisa melihat dengan jelas kebohongan yang disembunyikan Hanan selama ini. Setega itu menggunakan uang mereka untuk membahagiakan istri kedua.“Kamu lelaki penyayang ya, Pah, membelikan rumah yang bagus di komplek yang elit,” sindir Felicia.“Aku membeli ini agar tidak kejauhan pulangnya,” jawab Hanan asal.“Benarkah? Jadi kamu tidak membelikan rumah ini untuk gundik kamu?”“Feli, mulai sekarang biasakan memanggil adik madumu dengan namanya. Bukankah kamu sudah setuju dengan pernikahanku? Kenapa masih memanggil dia serendah itu?”“Jadi kamu tidak terima aku memanggil dia seperti itu? Kamu sakit hati? Wah, hati kamu sudah lebih banyak buat dia ternyata ya? Pantas saja lupa sama Abizar dan juga ibu kamu. Malang sekali nasibku. Sudah tidak mendapatkan nafkah batin tapi masih harus mengurusi ibu kamu.” Hati Felicia terasa nyeri menyadari Hanan seperti tidak tertarik pada tubuhnya lagi.“B

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 32

    Part 32Felicia langsung mengantar Abizar ke sekolah tanpa pulang ke rumah lebih dulu. Setelahnya ia langsung ke butik. Hatinya masih malas Hanan menunggu rumah seorang diri karena ternyata pembantu dan sopir Felicia disuruh berlibur.Ia bangun dan mendapati rumah yang sangat sepi. Tak ada makanan, tidak ada Felicia yang menyambut hangat seperti jauh sebelum ia bertemu Safira. Dalam keadaan kesepian dan bingung, pria itu memilih membuka ponsel dan mengecek barangkali ada pesan penting. Tangannya berhenti pada pesan yang dikirim dari Safira.Aku tidak tahu apa yang akan Mas putuskan dengan hubungan kita. Aku sudah lelah, sangat lelah. Jika memang Mas mau menceraikan aku dan memilih Mbak Feli, aku ikhlas, Mas. Dari awal aku memang hanya istri simpanan yang meminjam dari Mbak Feli. Sekarang waktunya aku mengembalikan Mas pada pemiliknya.Hanan langsung menelpon Safira. Terdengar suara dari seberang sedang menangis.“Aku tidak akan meninggalkan kamu. Percayalah padaku, Fira! Hanya saja, a

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 31

    Part 31“Feli, mama papa kamu bicara apa tadi?” tanya Hanan setelah mertuanya pergi dan dia berani masuk ruangan.“Menanyakan tentang kabarku selama tidak bertemu mereka. Memintaku untuk membawa Abizar ke rumah mereka. Dimana tadi Abizar aku cari pas Mama Papa pengen ketemu kok gak ada?”“Dia pergi keluar sama Si Mbak. Apa kamu sudah menyuruh dia untuk menjauhiku, Feli?”“Selain kamu tidak setia, kamu sudah berubah, Hanan. Kamu penuh curiga dan tukang fitnah. Bukankah kamu sendiri yang menciptakan jarak dengan anakmu? Kamu masih ingin terus menyalahkanku, Hanan?” Felicia menatap Hanan tanpa kedip.“Maaf aku salah.”“Kamu mau menginap di sini atau kembali ke rumah istri kamu?” tanya Felicia sambil berlalu ke kamar mandi.“Ini masih rumahku, ‘kan? Kenapa bertanya seperti itu?”Felicia keluar dengan wajah basah. “Aku tidak tahu, apa kamu masih menganggap ini rumahmu, aku istrimu dan Abizar anakmu atau tidak.”“Feli, kamu sudah bertemu dengan orang tuamu, apa mereka memaafkan kesalahanmu

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 30

    Part 30Pagi telah menjelang.Hanan tetap berada di toko, Felicia kembali ke rumahnya dan Safira masih meratapi nasib di atas tempat tidur. Widiyanti terus memaksa agar putrinya bangkit dari keterpurukan serta bertindak segera untuk segera menghancurkan toko milik Felicia. Akan tetapi, Safira belum mau beranjak.“Kamu mau terus menangis sampai kapan? Kamu sudah mengorbankan banyak hal demi mendapatkan Hanan. Kamu mau terus seperti itu atau kamu akan menghancurkan toko Felicia agar dia merasakan penderitaan juga?”“Biarkan aku berpikir dulu, Ibu. Ibu pikir ini mudah? Aku mencintai Mas Hanan bukan karena harta, tetapi karena aku mencintai dia, Ibu. Kalau aku bertindak gegabah, Mas Hanan bisa meninggalkanku.” Safira yang kesal berteriak.“Bunda, aku bagaimana? Berangkat sekolah atau tidak, Bunda?” Nayma yang sudah mandi bertanya bingung.Safira tambah stres, sejenak menyesali keputusan Hanan yang memindahkan sekolah Nayma. Untuk berangkat kesana perlu diantar, tidak seperti di sekolah se

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 29

    Part 29Felicia memilih b menginap di hotel sendirian. Ia juga mematikan ponsel setelah sebelumnya memberi kabar pada Abizar agar tidak cemas menunggu telepon darinya. Masuk ke kamar, Felicia segera menggelar sajadah dan berdzikir sambil menangis.“Ya Allah, aku sudah terlanjur mencintaiMu, maka jangan jadikan ujian ini untuk melemahkan imanku,” kta Felicia lirih dalam sujud.Lama ia mengadukan keadaan hati pada Sang Pemilik Hidup, hingga tak sadar waktu sholat sudah silih berganti. Selepas Isya Felicia bangun dan teringat kalau ia belum memberi kabar pada Veronica. Tadinya hanya pamit untuk membeli keperluan pribadi, tetapi akhirnya memutuskan untuk menyendiri di hotel.“Biar sajalah besok saja,” kata Felicia mengabaikan perasaan. Ia tidak ingin diganggu oleh siapapun.Felicia terpaksa meminum obat tidur agar tidak terbebani dengan banyak pikiran. Tubuhnya lelah perlu istirahat, tetapi tanpa sebuah obat, mustahil dapat memejamkan mata.Veronica yang tidak bisa tidur karena memikirkan

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 28 B

    “Teruntuk suamiku, Mas Hanan, pria yang sudah membuat aku memeluk Islam dari aku yang sebelumnya nonis, selamat menempuh hidup baru ya, Pah. Terima kasih sudah membohongi aku dan Abizar. Terima kasih sudah meninggalkan kami sendirian dan kamu memilih hidup di kota ini demi bersama dengan dia istri simpanan kamu. Aku menemanimu dari yang awalnya kamu pemuda miskin tidak punya apa-apa, sampai sekarang kaya raya dan bisa membuat pesta yang sangat megah. Aku dimusuhi keluargaku, meninggalkan kedua orang tuaku yang kaya raya demi hidup bersama kamu. Masih ingat tidak, Pah, kita memulai usaha semua dari tabungan aku. Aku menyayangi ibumu dan memenuhi kebutuhan keluargamu tanpa pernah mengungkit. Aku kira itu cukup bisa membuat kamu setia, ternyata di belakang aku, kamu berkhianat.” Dengan nada lemah lembut Felicia berucap.Semua tamu yang hadir langsung duduk dan mendengarkan.“Kau menggunakan uang kita untuk membahagiakan perempuan yang di sampingmu. Aku ikhlas, Pah. Sangat ikhlas. Aku seba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status