Part 2
Pov Hanan (Suami)
“Saya terima nikah dan kawinnya Safira Aini Binti Haji Mubasyir dengan mas kawin dua puluh gram kalung berlian dibayar tuuu nai!” Ucapan yang keluar dari mulutku sebagai tanda ikatan suci bernama pernikahan--terdengar lantang. Hari ini, telah aku ikrarkan ijab qabul untuk seorang wanita yang duduk beberapa meter di belakang sana.
Safira Aini, janda muda yang beberapa bulan kukenal, telah memikat hati ini. Aku sangat ingin melindungi dan menjadi imam untuknya, juga menjadi ayah untuk anaknya. Maka kuputuskan untuk menghalalkan Safira agar bisa menunaikan tugas itu.
“Bagaimana saksi, sah?” Seorang ustadz yang juga guru spiritualku bertanya pada beberapa orang yang kupilih untuk menjadi saksi pernikahan.
“Sah ....” Jawaban kompak dari beberapa pria yang duduk di samping kanan dan kiri.
Aku menoleh sambil memberikan seulas senyum pada Safira. Ia hanya membalas dengan menarik dua sudut bibir.
“Mbak Safira, silakan bisa maju untuk mencium tangan Mas Hanan.” Guru spirituaku berkata sambil tersenyum pula.
Safira menoleh ke kanan dan kiri. Meminta persetujuan sang ibu yang duduk sambil memeluk sang cucu.
“Majulah! Dia sudah halal untukmu,” ucap wanita paruh baya dengan sudut mata berkaca.
Safira maju dan mencium takdim punggung tanganku. Untuk kali pertama setelah beberapa bulan kenal--kami bersentuhan.
Hasrat yang telah lama terpendam, semakin bergejolak dalam dada. Aku mengecup lembut pucuk kepalanya seraya membisikkan sebuah doa. Doa yang sama yang pernah ku ucap beberapa tahun silamuntuk wanita lain.
Kutatap wajah ayu Safira yang berbalut hijab putih berhiaskan ronce melati. Ada candu saat melihat wajah sendunya. Berharap setelah ini beban hidupnya akan berkurang, bahkan hilang.
“Sudah selesai ‘kan, Mas Hanan, acaranya?” Lelaki yang ku undang menjadi saksi bertanya, membuatku tersadar dan salah tingkah.
“Sudah. Kami juga mau pulang,” jawabku mengalihkan pandangan.
Setelah basa-basi sebentar, aku mengajak Safira, Ibu Mertua dan anak Safira pulang dari rumah Ustadz Ridho.
“Antarkan Ibu ke rumah sakit, Hanan. Nayma biar ikut bersamaku. Kamu ajak Safira pulang. Ia sudah sangat lelah,” kata Bu Widi memecah keheningan.
“Nayma mau pulang sama Bunda atau ikut Nenek?” tanyaku tanpa menoleh karena jalan yang ku lalui sangat ramai.
“Dia akan pulang bersama kita,” sahut Safira.
“Aku mau sama Nenek,” jawab Nayma.
“Nanti tidak boleh masuk rumah sakit,” kataku.
“Umur Nayma sudah sembilan tahun. Badannya besar. Aku bisa mengatakan kalau ia sudah sepuluh tahun,” ujar Bu Widi.
“Tapi, Bu ....” Safira terlihat tidak ingin berpisah.
“Safira, kamu baru saja menikah. Layani suami kamu dengan baik!” Bu Widi sepertinya sedang ingin memberikan waktu untuk kami berdua.
Kami kembali diam. Dan benar saja, Bu Widi mengajak Nayma turun dari mobil.
“Kamu mau aku ajak kemana? Ke rumah, atau ke hotel? Barangkali kamu ingin istirahat sebentar ....”
Safira menatapku sayu. Ah, gelora itu menjadi semakin besar.
“Terserah Mas Hanan,” jawab Safira pasrah.
***
“Bukalah jilbabmu! Kita sudah halal,” ucapku saat kami sudah berada di kamar berdua. Deru napasku sepertinya dirasakan pula olehnya.
Safira tidak menjawab. Ia hanya menatapku lekat. Tangan ini yang akhirnya menggantikan tugasnya. Melepaskan ronce yang terpasang di jilbab, lalu terakhir meletakkan kain putih yang sejak tadi menutup kepala perempuan berbulu mata lentik itu--di atas kasur.
“Jangan takut lagi! Aku sudah di sini,” kataku sambil mendekatkan wajah hingga jarak diantara kami hampir tidak ada lagi. Ujung hidungku bertemu dengan ujung hidungnya yang mancung.
Semuanya buyar tatkala ponsel yang ada di saku celana berdering. Aku mengambilnya.
My wife memanggil.
“Teruntuk suamiku, Mas Hanan, pria yang sudah membuat aku memeluk Islam dari aku yang sebelumnya nonis, selamat menempuh hidup baru ya, Pah. Terima kasih sudah membohongi aku dan Abizar. Terima kasih sudah meninggalkan kami sendirian dan kamu memilih hidup di kota ini demi bersama dengan dia istri simpanan kamu. Aku menemanimu dari yang awalnya kamu pemuda miskin tidak punya apa-apa, sampai sekarang kaya raya dan bisa membuat pesta yang sangat megah. Aku dimusuhi keluargaku, meninggalkan kedua orang tuaku yang kaya raya demi hidup bersama kamu. Masih ingat tidak, Pah, kita memulai usaha semua dari tabungan aku. Aku menyayangi ibumu dan memenuhi kebutuhan keluargamu tanpa pernah mengungkit. Aku kira itu cukup bisa membuat kamu setia, ternyata di belakang aku, kamu berkhianat.” Dengan nada lemah lembut Felicia berucap.Semua tamu yang hadir langsung duduk dan mendengarkan.“Kau menggunakan uang kita untuk membahagiakan perempuan yang di sampingmu. Aku ikhlas, Pah. Sangat ikhlas. Aku seba
Part 28“Halo, adik maduku. Kenalkan, aku Felicia, istri sah Hanan. Pasti kamu sudah sering mendengar namaku ‘kan? Kamu cantik sekali. Selamat ya atas pernikahan kalian. Pelaminannya megah, pestanya mewah. Beruntung sekali kamu mendapatkan seorang pria kaya seperti suamiku.” Felicia beralih pada Safira yang masih berdiri ditopang ibunya. Sambil berbicara, tangannya sibuk merapikan jas Hanan.Tamu yang hadir dan sedang mengantri terpaksa diberhentikan oleh Ustadz Ridho untuk tidak naik ke pelaminan lebih dulu. Ia juga sering mencuri pandang pada Veronica yang terlihat sangat cantik.Sementara Salamah, sesekali melempar tatapan marah pada Veronica. Sadar sesuatu hal kalau Veronica bisa jadi menggoda suaminya karena balas dendam.“Aku mau foto dulu dengan kalian. Untuk kenang-kenangan. Vero, tolong ambilkan gambar pakai ponselku,” kata Felicia pada Veronica. “Ah, adik madu kamu kelelahan ya? Gak papa, aku ambil foto sebentar saja.”Seperti dihipnotis, Safira tidak bisa berkutik dan menga
Sepulangnya dari menemui Hanan, Abizar tidak pernah lagi bertanya tentang ayahnya. Namun begitu, ia lebih banyak menyendiri dan bersedih.Besok adalah hari resepsi pernikahan Hanan dan Safira. Felicia sudah mempersiapkan hati dan mental untuk hadir kesana. Tidak lupa sebuah kado telah dia bungkus sebagai hadiah pernikahan. Sebuah foto keluarga yang bahagia. Ia, Hanan, Abizar dan ibu mertuanya telah disobek menjadi dua, dibingkai dengan kaca pecah dan dimasukkan kedalam dus dibungkus kertas serta dihiasi pita.“Abi, besok Mama mau ada perlu dan menginap. Kamu sama Mbak di rumah ya? Sama Om Adi juga. Mama minta maaf sebelumnya ya, Sayang?”“Mama menginap berapa malam?” tanya Abizar.“Hanya semalam saja.”Meski berat hati Abizar mengizinkan.Malam harinya, Felicia menelpon agen penjualan rumah di kota tempat Hanan tinggal. “Berapapun yang penting laku cepat,” katanya.Semua sertifikat rumah dan tanah yang ia miliki bersama Hanan sudah ada di tangan. “Kamu tidak akan menggunakan harta yan
Part 27“Setidaknya kalau kamu mau menitipkan Abizar, kamu harusnya beritahu aku dulu.”“Bukankah kamu tidak merespon telepon dari aku terus, Hanan?”“Feli, kamu bisa berkirim pesan.”“Apa kehadiran Abizar selama beberapa hari saja akan membuat kamu terganggu? Hanan, jika dihitung-hitung, lebih banyak waktu kamu yang dilewati seorang diri. Aku membawa Abi dan menitipkan sama kamu hanya paling lama dua atau tiga hari. Apa kamu benar-benar tidak suka?” Nada bicara Felicia meninggi.“Papa, Mama, jangan bertengkar! Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Papa dan Mama.” Di saat keduanya adu mulut, Abizar keluar sambil menangis. “Papa tidak mau aku tinggal di sini sama Papa?”“Abi.” Hanan mendekati anak semata wayangnya.“Papa tidak suka ya kalau ketemu aku? Kenapa sepertinya tidak mau aku ada di sini?” Dengan wajah sedih Abizar bertanya.“Jagoan Papa tidak boleh bicara seperti itu! Papa senang kok Abi ada di sini, hanya saja Papa sedang sibuk sekali.”“Baiklah, Papa, aku akan ikut Mama
“Mas, aku boleh gak lihat rumah Mas yang sama Mbak Feli yang rumah di kota ini?” tanya Safira saat sudah di dalam mobil.“Memangnya kenapa?”“Aku pengen tahu saja.”“Rumah itu aku yang membeli. Jadi, kalau kemungkinan terburuknya Felicia tahu tentang hubungan kita, aku akan menjualnya.”Safira tersenyum senang mendengar jawaban dari Hanan.***“Mama kenapa Papa sudah tidak pernah menelpon aku?” tanya Abizar.“Papa sibuk, Sayang. Gak papa, selagi ada Mama di sini.”“Mama, aku rindu memancing sama Papa.” Abizar duduk di sofa dekat jendela, mengamati tumbuhan yang daunnya menari-nari di taman depan kamar sang ibu. Tangannya memeluk lutut.“Mama antar kamu memancing di tempat biasanya ya?” Felicia mendekati Abizar dan duduk di bawa sofa.“Tempatnya sama, tetapi rasanya beda. Aku butuh Papa. Aku ingin sama papa.”Felicia mengepalkan tangan. ‘Meski balas dendam itu dosa, aku tetap akan melakukannya, Hanan. Kamu sudah keterlaluan.’“Abi, dengar! Suatu saat Mama akan cerita, kenapa Papa tidak
Part 26“Kamu dari mana saja?” tanya Felicia kesal. “Aku harus pulang cepat, kasihan Abizar.”“Cari suami orang,” jawab Veronica asal. “Ayo, Kak berangkat!”“Tugas kamu sudah selesai. Kamu boleh mundur dari kajian itu.”“Belum dong. Aku masih harus berangkat minggu depan. Melihat situasi dan keadaan apakah resepsinya jadi atau batal.”“Resepsinya harus jadi. Aku ingin melihat Hanan bersanding di pelaminan dengan wanita itu.”“Wah, ini rencana Kakak? Mau datang ke resepsi mereka? Aku ikut ya, Kak?”“Kamu ‘kan dapat undangan, kesana sendiri saja!”“Aku akan menjadi pengawal Kak Feli.”Felicia keluar rumah menuju mobil. “Jadi antar aku tidak?”“Jadi dong! Aku mau pulang juga, kangen Mama.”Felicia kembali diam di dalam mobil. Hatinya membara penuh amarah, tetapi ia tidak ingin meluapkan di hadapan Veronica.“Kak, kalau aku pada akhirnya memilih kembali pada keyakinan lama aku, apa aku akan berdosa?” tanya Veronica sambil fokus menyetir.“Menurut Islam ya dosa. Makanya kalau belum mantap,