Share

Bab 4

Author: Nay Azzikra
last update Huling Na-update: 2024-12-17 15:22:01

Part 4

“Maaf, tadi aku meeting dengan perusahaan semen. Maaf, aku sudah hilang kendali karena was-was dan cemas dengan keadaan Abi.”

“Kalau kamu memang cemas, seharusnya kamu pulang lebih awal. Bukan pulang terlambat, terus menyalahkan. Kemana saja tadi kamu, Mas? Apa meeting sampai sesibuk itu? Bahkan pesanku hanya kamu baca tanpa kamu balas.” Felicia menatap penuh selidik.

“Habis dari toko, aku langsung meeting, lanjut meninjau lokasi yang akan menjadi tempat toko baru kita lagi.”

“Kamu tidak datang ke toko hari ini, itu yang Harun katakan.”

“Aku datang waktu Harun sedang ada di belakang. Mengecek sebentar lalu pergi.”

“Kamu sudah tahu Abi sakit, kenapa malah meninjau lokasi baru, Mas?”

Di sini aku mulai kehabisan cara dan alasan untuk menjawab. Namun, aku berusaha bersikap setenang mungkin. “Pemiliknya memaksa aku untuk datang kesana secepatnya. Kalau aku tidak datang, bisa saja tanah itu sudah dijual ke orang lain. Bukankah kamu ingin kita punya toko yang tidak terlalu jauh dari sini?” Akhirnya, aku bisa membuat alasan lagi.

Felicia terlihat mulai curiga. Dia perempuan yang sangat cerdas yang ketika aku salah bicara, pasti akan ditanya dari akar sampai ujung.

“Kita bicarakan besok lagi. Aku akan menemui dokter,” kataku memutus pembicaraan lalu pergi meninggalkan Felicia.

Saat sampai di luar ruangan, hidung langsung menghirup udara sebanyak-banyaknya. Aku harus lebih hati-hati mulai sekarang. Felicia pasti akan mencari bukti jika aku sampai gegabah.

Kaki melangkah cepat menuju ruangan perawat.

Demam berdarah, penyakit yang menimpa Abizar. Tulangku lemas seketika mendengar itu. rasa takut menyergap dalam hati, membayangkan jika Abizar akan bernasib sama dengan anak pertama kami. Namun, aku segera menghempaskan pikiran buruk itu jauh-jauh. Abizar pasti akan sembuh.

Ah, seandainya pernikahan dengan Safira aku tunda, pasti Abizar masih bisa kutemani sejak pagi.

Aku kembali ke kamar dengan lutut yang sangat lemas. Langkah kakiku sangat pelan, terlebih saat membuka gagang pintu ruangan yang hanya dihuni oleh Abizar saja. Rasa malu tiba-tiba hadir karena telah menghianati Felicia, wanita yang telah mengrobankan segala hal untuk hidup bersamaku.

Kriettt ....

Pintu berbunyi lirih. Kulihat Felicia duduk di samping ranjang Abizar sambil memegang sebuah tasbih kecil. Mulutnya terus bergerak, ia pasti tengah berdzikir.

“Kamu mau makan? Kalau iya, ayo kita keluar! Abizar akan kutitipkan pada suster,” kataku pelan saat sudah berhadapan dengan Felicia yang terhalang ranjang Abizar.

“Tidak. Kamu saja keluar sendiri kalau mau makan,” jawabnya pelan.

Ponsel di celanaku bergetar lama. Aku tahu jika ada telepon. Untung tidak kubunyikan. Jangan-janagn Safira yang menelpon. Perasaanku berkecamuk, antara ingin menemani Felicia, atau keluar untuk menghubungi Safira. Otak kotorku merindukan suara de-sa-hannya.

Felicia tidak menatapku sama sekali. Matanya tidak lepas dari Abizar.

“Papah ...,” rintih Abizar lirih.

“Mama di sini, Sayang. Kamu perlu apa? Abizar mau minum?” Felicia langsung menyahut.

Apa dia marah padaku? Sudah tahu Abizar memanggilku, kenapa dia malah menyebut dirinya sendiri?

“Abizar, anak Papa, Papa di sini, Nak. Kamu mau sama Papa?” tanyaku pada Abizar dan mendekatkan wajah di kepalanya.

Saat itu, wajah Felicia pun sangat dekat denganku, tetapi lagi-lagi dia tidak memandangku. Tidak, Felicia tidak boleh marah. Aku harus bisa membujuknya. Kenapa juga aku harus menyalahkan dia tadi? Apa ini hukum alam karena aku sudah berbohong?

“Ma, dia mau sama aku. Kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek karena sudah menjaga Abizar dari tadi siang. Gantian aku.” Aku berusaha membujuk Felicia.

“Tidak. Aku yang sudah bersalah kata kamu tadi. Jadi, aku yang menjaga Abizar. Kamu saja yang istirahat, sepertinya kamu lebih capek dari aku. Bukankah seharian kamu melakukan banyak hal? Sedangkan aku, aku hanya duduk di sini saja,” jawab Felicia masih dengan tidak mau menatapku.

“Maafkan aku, maaf, aku sudah salah bicara tadi.”

Ponselku kembali bergetar lama. “Baik, aku akan keluar mencarikan makan untuk kamu.” Tanpa menunggu jawaban dari Felicia, aku segera keluar kamar.

Tujuan utama bukan mencari tempar makan, tetapi mencari toilet. Setelah menemukan, aku langsung masuk ke dalam dan memeriksa ponselku.

Ada banyak pesan dan panggilan. Diantaranya dari Safira.

“Kenapa lama tidak mengangkat teleponku?” Protes Safira begitu aku balik menelpon.

“Aku bersama Felicia tadi.”

“Bagaimana keadaan Abizar?”

“Dia terkena demam berdarah. Panasnya tinggi dan tidak turun juga. Kamu jangan menghubungiku dulu ya! Aku akan di dalam bersama Felicia lagi,”

“Iya, Mas, gak papa. Aku hanya ingin memastikan kamu sudah sampai dengan selamat. Tunggui dulu Abizar sampai sembuh,” kata Safira lagi. “Aku sabar menantikan kamu kok, Mas. Kalau sudah membaik, pulang sebentar ya! Aku kangen ....” Dua kata terakhir yang Safira ucapkan membuatku darahku berdesir.

Akan tetapi, mengingat keadaan Abizar dan aku harus waspada, maka kuputuskan untuk mengakhiri obrolan kami meski harus menahan gelora penganti baru.

Selesai berbincang dengan Safira, aku kembali lagi ke dalam ruangan. Felicia menatapku tajam, memperhatikan dari bawah ke atas. “Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanyaku.

“Bukankah kamu tadi pamit mau membelikan makanan? Mana makanannya?” Pertanyaan balik dari Safira membuatku berhenti melangkah seketika. Kenapa aku jadi lupa kalau alasanku keluar untuk mencari makan?

“Ah, iya, aku mau tanya sama kamu, kamu mau makan apa? Takutnya kalau tidak sesuai, malah kamu tidak mau memakannya.” Aku berhasil membuat alasan.

Wanita bermata sipit itu masih menatap tajam, membuatku salah tingkah. Seketika merasa jika oksigen di ruangan ini hampir habis.

“Aku tahu ada yang disembunyikan dariku, dan jika aku tahu itu sebuah kebohongan yang membuatku sakit hati, maka kamu tahu resiko yang akan terjadi,” ucap Felicia sambil berlalu pergi.

Felicia bangkit dan berjalan melewatiku tanpa menatap.

“Kamu mau kemana?” Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab olehnya, hanya bunyi pintu tertutup yang menandakan jika ia sudah keluar dari ruang ini.

Segera kujatuhkan bobot pada sofa, menarik napas panjang dan menghembuskan napas perlahan. Berbohong pada Felicia membuat dadaku sesak. Kini otakku tidak hanya memikirkan bagaimana cara menyembunyikan pernikahan dengan Safira, tetapi juga dihadiri rasa takut bila akhirnya Felicia mengetahui semuanya.

Apakah aku lelaki yang jahat karena sudah menghianati sosok yang sudah berkorban banyak untukku? Akan tetapi, Safira juga wanita yang butuh perlindungan.

Ponselku kembali bergetar, tetapi hanya pesan, bukan panggilan.

Jangan lupa makan, Sayang! Kalau Abizar sudah membaik, pulang sebentar, ya! Aku sangat takut kalau lelaki itu datang lagi.

Aku memilih mematikan layar ponsel. Ancaman Felicia membuatku sangat takut, sehingga tidak peduli dengan keadaan Safira.

Apa aku memang belum pantas beristri dua dan memberi keadilan pada mereka berdua?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 33

    Part 33Sejujurnya hati Felicia membara ketika mobil berjalan masuk di komplek perumahan elit. Kini ia bisa melihat dengan jelas kebohongan yang disembunyikan Hanan selama ini. Setega itu menggunakan uang mereka untuk membahagiakan istri kedua.“Kamu lelaki penyayang ya, Pah, membelikan rumah yang bagus di komplek yang elit,” sindir Felicia.“Aku membeli ini agar tidak kejauhan pulangnya,” jawab Hanan asal.“Benarkah? Jadi kamu tidak membelikan rumah ini untuk gundik kamu?”“Feli, mulai sekarang biasakan memanggil adik madumu dengan namanya. Bukankah kamu sudah setuju dengan pernikahanku? Kenapa masih memanggil dia serendah itu?”“Jadi kamu tidak terima aku memanggil dia seperti itu? Kamu sakit hati? Wah, hati kamu sudah lebih banyak buat dia ternyata ya? Pantas saja lupa sama Abizar dan juga ibu kamu. Malang sekali nasibku. Sudah tidak mendapatkan nafkah batin tapi masih harus mengurusi ibu kamu.” Hati Felicia terasa nyeri menyadari Hanan seperti tidak tertarik pada tubuhnya lagi.“B

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 32

    Part 32Felicia langsung mengantar Abizar ke sekolah tanpa pulang ke rumah lebih dulu. Setelahnya ia langsung ke butik. Hatinya masih malas Hanan menunggu rumah seorang diri karena ternyata pembantu dan sopir Felicia disuruh berlibur.Ia bangun dan mendapati rumah yang sangat sepi. Tak ada makanan, tidak ada Felicia yang menyambut hangat seperti jauh sebelum ia bertemu Safira. Dalam keadaan kesepian dan bingung, pria itu memilih membuka ponsel dan mengecek barangkali ada pesan penting. Tangannya berhenti pada pesan yang dikirim dari Safira.Aku tidak tahu apa yang akan Mas putuskan dengan hubungan kita. Aku sudah lelah, sangat lelah. Jika memang Mas mau menceraikan aku dan memilih Mbak Feli, aku ikhlas, Mas. Dari awal aku memang hanya istri simpanan yang meminjam dari Mbak Feli. Sekarang waktunya aku mengembalikan Mas pada pemiliknya.Hanan langsung menelpon Safira. Terdengar suara dari seberang sedang menangis.“Aku tidak akan meninggalkan kamu. Percayalah padaku, Fira! Hanya saja, a

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 31

    Part 31“Feli, mama papa kamu bicara apa tadi?” tanya Hanan setelah mertuanya pergi dan dia berani masuk ruangan.“Menanyakan tentang kabarku selama tidak bertemu mereka. Memintaku untuk membawa Abizar ke rumah mereka. Dimana tadi Abizar aku cari pas Mama Papa pengen ketemu kok gak ada?”“Dia pergi keluar sama Si Mbak. Apa kamu sudah menyuruh dia untuk menjauhiku, Feli?”“Selain kamu tidak setia, kamu sudah berubah, Hanan. Kamu penuh curiga dan tukang fitnah. Bukankah kamu sendiri yang menciptakan jarak dengan anakmu? Kamu masih ingin terus menyalahkanku, Hanan?” Felicia menatap Hanan tanpa kedip.“Maaf aku salah.”“Kamu mau menginap di sini atau kembali ke rumah istri kamu?” tanya Felicia sambil berlalu ke kamar mandi.“Ini masih rumahku, ‘kan? Kenapa bertanya seperti itu?”Felicia keluar dengan wajah basah. “Aku tidak tahu, apa kamu masih menganggap ini rumahmu, aku istrimu dan Abizar anakmu atau tidak.”“Feli, kamu sudah bertemu dengan orang tuamu, apa mereka memaafkan kesalahanmu

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 30

    Part 30Pagi telah menjelang.Hanan tetap berada di toko, Felicia kembali ke rumahnya dan Safira masih meratapi nasib di atas tempat tidur. Widiyanti terus memaksa agar putrinya bangkit dari keterpurukan serta bertindak segera untuk segera menghancurkan toko milik Felicia. Akan tetapi, Safira belum mau beranjak.“Kamu mau terus menangis sampai kapan? Kamu sudah mengorbankan banyak hal demi mendapatkan Hanan. Kamu mau terus seperti itu atau kamu akan menghancurkan toko Felicia agar dia merasakan penderitaan juga?”“Biarkan aku berpikir dulu, Ibu. Ibu pikir ini mudah? Aku mencintai Mas Hanan bukan karena harta, tetapi karena aku mencintai dia, Ibu. Kalau aku bertindak gegabah, Mas Hanan bisa meninggalkanku.” Safira yang kesal berteriak.“Bunda, aku bagaimana? Berangkat sekolah atau tidak, Bunda?” Nayma yang sudah mandi bertanya bingung.Safira tambah stres, sejenak menyesali keputusan Hanan yang memindahkan sekolah Nayma. Untuk berangkat kesana perlu diantar, tidak seperti di sekolah se

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 29

    Part 29Felicia memilih b menginap di hotel sendirian. Ia juga mematikan ponsel setelah sebelumnya memberi kabar pada Abizar agar tidak cemas menunggu telepon darinya. Masuk ke kamar, Felicia segera menggelar sajadah dan berdzikir sambil menangis.“Ya Allah, aku sudah terlanjur mencintaiMu, maka jangan jadikan ujian ini untuk melemahkan imanku,” kta Felicia lirih dalam sujud.Lama ia mengadukan keadaan hati pada Sang Pemilik Hidup, hingga tak sadar waktu sholat sudah silih berganti. Selepas Isya Felicia bangun dan teringat kalau ia belum memberi kabar pada Veronica. Tadinya hanya pamit untuk membeli keperluan pribadi, tetapi akhirnya memutuskan untuk menyendiri di hotel.“Biar sajalah besok saja,” kata Felicia mengabaikan perasaan. Ia tidak ingin diganggu oleh siapapun.Felicia terpaksa meminum obat tidur agar tidak terbebani dengan banyak pikiran. Tubuhnya lelah perlu istirahat, tetapi tanpa sebuah obat, mustahil dapat memejamkan mata.Veronica yang tidak bisa tidur karena memikirkan

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 28 B

    “Teruntuk suamiku, Mas Hanan, pria yang sudah membuat aku memeluk Islam dari aku yang sebelumnya nonis, selamat menempuh hidup baru ya, Pah. Terima kasih sudah membohongi aku dan Abizar. Terima kasih sudah meninggalkan kami sendirian dan kamu memilih hidup di kota ini demi bersama dengan dia istri simpanan kamu. Aku menemanimu dari yang awalnya kamu pemuda miskin tidak punya apa-apa, sampai sekarang kaya raya dan bisa membuat pesta yang sangat megah. Aku dimusuhi keluargaku, meninggalkan kedua orang tuaku yang kaya raya demi hidup bersama kamu. Masih ingat tidak, Pah, kita memulai usaha semua dari tabungan aku. Aku menyayangi ibumu dan memenuhi kebutuhan keluargamu tanpa pernah mengungkit. Aku kira itu cukup bisa membuat kamu setia, ternyata di belakang aku, kamu berkhianat.” Dengan nada lemah lembut Felicia berucap.Semua tamu yang hadir langsung duduk dan mendengarkan.“Kau menggunakan uang kita untuk membahagiakan perempuan yang di sampingmu. Aku ikhlas, Pah. Sangat ikhlas. Aku seba

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status