Part 4
“Maaf, tadi aku meeting dengan perusahaan semen. Maaf, aku sudah hilang kendali karena was-was dan cemas dengan keadaan Abi.”
“Kalau kamu memang cemas, seharusnya kamu pulang lebih awal. Bukan pulang terlambat, terus menyalahkan. Kemana saja tadi kamu, Mas? Apa meeting sampai sesibuk itu? Bahkan pesanku hanya kamu baca tanpa kamu balas.” Felicia menatap penuh selidik.
“Habis dari toko, aku langsung meeting, lanjut meninjau lokasi yang akan menjadi tempat toko baru kita lagi.”
“Kamu tidak datang ke toko hari ini, itu yang Harun katakan.”
“Aku datang waktu Harun sedang ada di belakang. Mengecek sebentar lalu pergi.”
“Kamu sudah tahu Abi sakit, kenapa malah meninjau lokasi baru, Mas?”
Di sini aku mulai kehabisan cara dan alasan untuk menjawab. Namun, aku berusaha bersikap setenang mungkin. “Pemiliknya memaksa aku untuk datang kesana secepatnya. Kalau aku tidak datang, bisa saja tanah itu sudah dijual ke orang lain. Bukankah kamu ingin kita punya toko yang tidak terlalu jauh dari sini?” Akhirnya, aku bisa membuat alasan lagi.
Felicia terlihat mulai curiga. Dia perempuan yang sangat cerdas yang ketika aku salah bicara, pasti akan ditanya dari akar sampai ujung.
“Kita bicarakan besok lagi. Aku akan menemui dokter,” kataku memutus pembicaraan lalu pergi meninggalkan Felicia.
Saat sampai di luar ruangan, hidung langsung menghirup udara sebanyak-banyaknya. Aku harus lebih hati-hati mulai sekarang. Felicia pasti akan mencari bukti jika aku sampai gegabah.
Kaki melangkah cepat menuju ruangan perawat.
Demam berdarah, penyakit yang menimpa Abizar. Tulangku lemas seketika mendengar itu. rasa takut menyergap dalam hati, membayangkan jika Abizar akan bernasib sama dengan anak pertama kami. Namun, aku segera menghempaskan pikiran buruk itu jauh-jauh. Abizar pasti akan sembuh.
Ah, seandainya pernikahan dengan Safira aku tunda, pasti Abizar masih bisa kutemani sejak pagi.
Aku kembali ke kamar dengan lutut yang sangat lemas. Langkah kakiku sangat pelan, terlebih saat membuka gagang pintu ruangan yang hanya dihuni oleh Abizar saja. Rasa malu tiba-tiba hadir karena telah menghianati Felicia, wanita yang telah mengrobankan segala hal untuk hidup bersamaku.
Kriettt ....
Pintu berbunyi lirih. Kulihat Felicia duduk di samping ranjang Abizar sambil memegang sebuah tasbih kecil. Mulutnya terus bergerak, ia pasti tengah berdzikir.
“Kamu mau makan? Kalau iya, ayo kita keluar! Abizar akan kutitipkan pada suster,” kataku pelan saat sudah berhadapan dengan Felicia yang terhalang ranjang Abizar.
“Tidak. Kamu saja keluar sendiri kalau mau makan,” jawabnya pelan.
Ponsel di celanaku bergetar lama. Aku tahu jika ada telepon. Untung tidak kubunyikan. Jangan-janagn Safira yang menelpon. Perasaanku berkecamuk, antara ingin menemani Felicia, atau keluar untuk menghubungi Safira. Otak kotorku merindukan suara de-sa-hannya.
Felicia tidak menatapku sama sekali. Matanya tidak lepas dari Abizar.
“Papah ...,” rintih Abizar lirih.
“Mama di sini, Sayang. Kamu perlu apa? Abizar mau minum?” Felicia langsung menyahut.
Apa dia marah padaku? Sudah tahu Abizar memanggilku, kenapa dia malah menyebut dirinya sendiri?
“Abizar, anak Papa, Papa di sini, Nak. Kamu mau sama Papa?” tanyaku pada Abizar dan mendekatkan wajah di kepalanya.
Saat itu, wajah Felicia pun sangat dekat denganku, tetapi lagi-lagi dia tidak memandangku. Tidak, Felicia tidak boleh marah. Aku harus bisa membujuknya. Kenapa juga aku harus menyalahkan dia tadi? Apa ini hukum alam karena aku sudah berbohong?
“Ma, dia mau sama aku. Kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek karena sudah menjaga Abizar dari tadi siang. Gantian aku.” Aku berusaha membujuk Felicia.
“Tidak. Aku yang sudah bersalah kata kamu tadi. Jadi, aku yang menjaga Abizar. Kamu saja yang istirahat, sepertinya kamu lebih capek dari aku. Bukankah seharian kamu melakukan banyak hal? Sedangkan aku, aku hanya duduk di sini saja,” jawab Felicia masih dengan tidak mau menatapku.
“Maafkan aku, maaf, aku sudah salah bicara tadi.”
Ponselku kembali bergetar lama. “Baik, aku akan keluar mencarikan makan untuk kamu.” Tanpa menunggu jawaban dari Felicia, aku segera keluar kamar.
Tujuan utama bukan mencari tempar makan, tetapi mencari toilet. Setelah menemukan, aku langsung masuk ke dalam dan memeriksa ponselku.
Ada banyak pesan dan panggilan. Diantaranya dari Safira.
“Kenapa lama tidak mengangkat teleponku?” Protes Safira begitu aku balik menelpon.
“Aku bersama Felicia tadi.”
“Bagaimana keadaan Abizar?”
“Dia terkena demam berdarah. Panasnya tinggi dan tidak turun juga. Kamu jangan menghubungiku dulu ya! Aku akan di dalam bersama Felicia lagi,”
“Iya, Mas, gak papa. Aku hanya ingin memastikan kamu sudah sampai dengan selamat. Tunggui dulu Abizar sampai sembuh,” kata Safira lagi. “Aku sabar menantikan kamu kok, Mas. Kalau sudah membaik, pulang sebentar ya! Aku kangen ....” Dua kata terakhir yang Safira ucapkan membuatku darahku berdesir.
Akan tetapi, mengingat keadaan Abizar dan aku harus waspada, maka kuputuskan untuk mengakhiri obrolan kami meski harus menahan gelora penganti baru.
Selesai berbincang dengan Safira, aku kembali lagi ke dalam ruangan. Felicia menatapku tajam, memperhatikan dari bawah ke atas. “Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanyaku.
“Bukankah kamu tadi pamit mau membelikan makanan? Mana makanannya?” Pertanyaan balik dari Safira membuatku berhenti melangkah seketika. Kenapa aku jadi lupa kalau alasanku keluar untuk mencari makan?
“Ah, iya, aku mau tanya sama kamu, kamu mau makan apa? Takutnya kalau tidak sesuai, malah kamu tidak mau memakannya.” Aku berhasil membuat alasan.
Wanita bermata sipit itu masih menatap tajam, membuatku salah tingkah. Seketika merasa jika oksigen di ruangan ini hampir habis.
“Aku tahu ada yang disembunyikan dariku, dan jika aku tahu itu sebuah kebohongan yang membuatku sakit hati, maka kamu tahu resiko yang akan terjadi,” ucap Felicia sambil berlalu pergi.
Felicia bangkit dan berjalan melewatiku tanpa menatap.
“Kamu mau kemana?” Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab olehnya, hanya bunyi pintu tertutup yang menandakan jika ia sudah keluar dari ruang ini.
Segera kujatuhkan bobot pada sofa, menarik napas panjang dan menghembuskan napas perlahan. Berbohong pada Felicia membuat dadaku sesak. Kini otakku tidak hanya memikirkan bagaimana cara menyembunyikan pernikahan dengan Safira, tetapi juga dihadiri rasa takut bila akhirnya Felicia mengetahui semuanya.
Apakah aku lelaki yang jahat karena sudah menghianati sosok yang sudah berkorban banyak untukku? Akan tetapi, Safira juga wanita yang butuh perlindungan.
Ponselku kembali bergetar, tetapi hanya pesan, bukan panggilan.
Jangan lupa makan, Sayang! Kalau Abizar sudah membaik, pulang sebentar, ya! Aku sangat takut kalau lelaki itu datang lagi.
Aku memilih mematikan layar ponsel. Ancaman Felicia membuatku sangat takut, sehingga tidak peduli dengan keadaan Safira.
Apa aku memang belum pantas beristri dua dan memberi keadilan pada mereka berdua?
“Teruntuk suamiku, Mas Hanan, pria yang sudah membuat aku memeluk Islam dari aku yang sebelumnya nonis, selamat menempuh hidup baru ya, Pah. Terima kasih sudah membohongi aku dan Abizar. Terima kasih sudah meninggalkan kami sendirian dan kamu memilih hidup di kota ini demi bersama dengan dia istri simpanan kamu. Aku menemanimu dari yang awalnya kamu pemuda miskin tidak punya apa-apa, sampai sekarang kaya raya dan bisa membuat pesta yang sangat megah. Aku dimusuhi keluargaku, meninggalkan kedua orang tuaku yang kaya raya demi hidup bersama kamu. Masih ingat tidak, Pah, kita memulai usaha semua dari tabungan aku. Aku menyayangi ibumu dan memenuhi kebutuhan keluargamu tanpa pernah mengungkit. Aku kira itu cukup bisa membuat kamu setia, ternyata di belakang aku, kamu berkhianat.” Dengan nada lemah lembut Felicia berucap.Semua tamu yang hadir langsung duduk dan mendengarkan.“Kau menggunakan uang kita untuk membahagiakan perempuan yang di sampingmu. Aku ikhlas, Pah. Sangat ikhlas. Aku seba
Part 28“Halo, adik maduku. Kenalkan, aku Felicia, istri sah Hanan. Pasti kamu sudah sering mendengar namaku ‘kan? Kamu cantik sekali. Selamat ya atas pernikahan kalian. Pelaminannya megah, pestanya mewah. Beruntung sekali kamu mendapatkan seorang pria kaya seperti suamiku.” Felicia beralih pada Safira yang masih berdiri ditopang ibunya. Sambil berbicara, tangannya sibuk merapikan jas Hanan.Tamu yang hadir dan sedang mengantri terpaksa diberhentikan oleh Ustadz Ridho untuk tidak naik ke pelaminan lebih dulu. Ia juga sering mencuri pandang pada Veronica yang terlihat sangat cantik.Sementara Salamah, sesekali melempar tatapan marah pada Veronica. Sadar sesuatu hal kalau Veronica bisa jadi menggoda suaminya karena balas dendam.“Aku mau foto dulu dengan kalian. Untuk kenang-kenangan. Vero, tolong ambilkan gambar pakai ponselku,” kata Felicia pada Veronica. “Ah, adik madu kamu kelelahan ya? Gak papa, aku ambil foto sebentar saja.”Seperti dihipnotis, Safira tidak bisa berkutik dan menga
Sepulangnya dari menemui Hanan, Abizar tidak pernah lagi bertanya tentang ayahnya. Namun begitu, ia lebih banyak menyendiri dan bersedih.Besok adalah hari resepsi pernikahan Hanan dan Safira. Felicia sudah mempersiapkan hati dan mental untuk hadir kesana. Tidak lupa sebuah kado telah dia bungkus sebagai hadiah pernikahan. Sebuah foto keluarga yang bahagia. Ia, Hanan, Abizar dan ibu mertuanya telah disobek menjadi dua, dibingkai dengan kaca pecah dan dimasukkan kedalam dus dibungkus kertas serta dihiasi pita.“Abi, besok Mama mau ada perlu dan menginap. Kamu sama Mbak di rumah ya? Sama Om Adi juga. Mama minta maaf sebelumnya ya, Sayang?”“Mama menginap berapa malam?” tanya Abizar.“Hanya semalam saja.”Meski berat hati Abizar mengizinkan.Malam harinya, Felicia menelpon agen penjualan rumah di kota tempat Hanan tinggal. “Berapapun yang penting laku cepat,” katanya.Semua sertifikat rumah dan tanah yang ia miliki bersama Hanan sudah ada di tangan. “Kamu tidak akan menggunakan harta yan
Part 27“Setidaknya kalau kamu mau menitipkan Abizar, kamu harusnya beritahu aku dulu.”“Bukankah kamu tidak merespon telepon dari aku terus, Hanan?”“Feli, kamu bisa berkirim pesan.”“Apa kehadiran Abizar selama beberapa hari saja akan membuat kamu terganggu? Hanan, jika dihitung-hitung, lebih banyak waktu kamu yang dilewati seorang diri. Aku membawa Abi dan menitipkan sama kamu hanya paling lama dua atau tiga hari. Apa kamu benar-benar tidak suka?” Nada bicara Felicia meninggi.“Papa, Mama, jangan bertengkar! Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Papa dan Mama.” Di saat keduanya adu mulut, Abizar keluar sambil menangis. “Papa tidak mau aku tinggal di sini sama Papa?”“Abi.” Hanan mendekati anak semata wayangnya.“Papa tidak suka ya kalau ketemu aku? Kenapa sepertinya tidak mau aku ada di sini?” Dengan wajah sedih Abizar bertanya.“Jagoan Papa tidak boleh bicara seperti itu! Papa senang kok Abi ada di sini, hanya saja Papa sedang sibuk sekali.”“Baiklah, Papa, aku akan ikut Mama
“Mas, aku boleh gak lihat rumah Mas yang sama Mbak Feli yang rumah di kota ini?” tanya Safira saat sudah di dalam mobil.“Memangnya kenapa?”“Aku pengen tahu saja.”“Rumah itu aku yang membeli. Jadi, kalau kemungkinan terburuknya Felicia tahu tentang hubungan kita, aku akan menjualnya.”Safira tersenyum senang mendengar jawaban dari Hanan.***“Mama kenapa Papa sudah tidak pernah menelpon aku?” tanya Abizar.“Papa sibuk, Sayang. Gak papa, selagi ada Mama di sini.”“Mama, aku rindu memancing sama Papa.” Abizar duduk di sofa dekat jendela, mengamati tumbuhan yang daunnya menari-nari di taman depan kamar sang ibu. Tangannya memeluk lutut.“Mama antar kamu memancing di tempat biasanya ya?” Felicia mendekati Abizar dan duduk di bawa sofa.“Tempatnya sama, tetapi rasanya beda. Aku butuh Papa. Aku ingin sama papa.”Felicia mengepalkan tangan. ‘Meski balas dendam itu dosa, aku tetap akan melakukannya, Hanan. Kamu sudah keterlaluan.’“Abi, dengar! Suatu saat Mama akan cerita, kenapa Papa tidak
Part 26“Kamu dari mana saja?” tanya Felicia kesal. “Aku harus pulang cepat, kasihan Abizar.”“Cari suami orang,” jawab Veronica asal. “Ayo, Kak berangkat!”“Tugas kamu sudah selesai. Kamu boleh mundur dari kajian itu.”“Belum dong. Aku masih harus berangkat minggu depan. Melihat situasi dan keadaan apakah resepsinya jadi atau batal.”“Resepsinya harus jadi. Aku ingin melihat Hanan bersanding di pelaminan dengan wanita itu.”“Wah, ini rencana Kakak? Mau datang ke resepsi mereka? Aku ikut ya, Kak?”“Kamu ‘kan dapat undangan, kesana sendiri saja!”“Aku akan menjadi pengawal Kak Feli.”Felicia keluar rumah menuju mobil. “Jadi antar aku tidak?”“Jadi dong! Aku mau pulang juga, kangen Mama.”Felicia kembali diam di dalam mobil. Hatinya membara penuh amarah, tetapi ia tidak ingin meluapkan di hadapan Veronica.“Kak, kalau aku pada akhirnya memilih kembali pada keyakinan lama aku, apa aku akan berdosa?” tanya Veronica sambil fokus menyetir.“Menurut Islam ya dosa. Makanya kalau belum mantap,