Bab 4
*Maksudnya Apa?
"Ra, mana catatan belanjanya?" Tahu-tahu Mas Elman sudah berdiri di ambang pintu kamar Zila.
"Catatan belanja?" tanyaku bingung. Otakku blank, karena dari tadi sibuk memikirkan nasib pernikahanku, yang sedang berada di ujung tanduk karena kedatangan Mbak Dita.
"Katamu tadi, stock makanan kita habis?" Aku menepuk keningku sendiri, kenapa aku jadi pelupa begini? Padahal Mas Elman tadi minta catatan belanja.
"Oh, itu? Nggak usah aja deh, Mas. Biar aku belanja sendiri, kalau belanjanya ke supermarket aku bisa ajak Zila, kok," tolakku halus. Bukannya aku menolak kebaikan suami yang ingin menolong istri, aku hanya ingin membiasakan diri, hidup tanpa bantuannya. Takut diri ini merasa nyaman, dan akan merasa terluka lebih dalam, bila suatu hari nanti Mas Elman memutuskan kembali pada Mbak Dita.
"Ya sudah, kalau begitu nanti siang aku jemput. Sekalian kita makan di luar, sudah lama kita nggak keluar bertiga, kan," ucapnya sambil berjalan mendekat. Diciumnya Zila yang memeluk erat leherku, hingga aku bisa mencium wangi rambut Mas Elman. Hati ini kembali berdesir.
"Sayang, Papa kerja dulu ya? Jadi anak yang manis, jangan rewel, kasihan Bunda." Mas Elman mengelus kepala Zila, tapi gadis itu diam tak merespon. Kebiasaan Zila kalau bangun tidur males ngapa-ngapain, termasuk merespon orang lain
"Aku pergi dulu, baik-baik di rumah. Jangan lupa nanti siang tunggu aku, jangan berangkat sendiri," ucap Mas Elman seraya menyodorkan tangannya.
Aku menatapnya bingung. Apa maksudnya? Minta aku salim? Eyang sudah tidak ada, kurasa tak perlu lagi bersandiwara. Pura-pura mesra, hanya untuk menyenangkan eyang.
"Nira? Mas mau berangkat kerja, kamu nggak mau nyium tangan suamimu ini?" Terpaksa aku menyambut tangan Mas Elman dan menciumnya.
Mas Elman mendekatkan wajahnya padaku, tapi terpaksa berhenti ketika suara itu menginterupsi. "El, sudah siang ini. Kita berangkat sekarang yuk!" Suara Mbak Dita membuatku melepaskan tangan Mas Elman.
Baru saja hati ini berbunga-bunga, karena diperlukan seperti istri yang sebenarnya. Wanita itu sudah datang mengganggu, apa dia tidak pernah diajari sopan santun orang tuanya? Bertamu di rumah orang lain, main selonong aja. Bayangkan, dia sudah berdiri di ujung tangga tepat di bawah kamar Zila berada.
"Sebentar Ta, aku lagi pamitan sama anak istriku," sahut Mas Elman.
"Mbak Dita bareng kamu, Mas?"
"Iya, kamu keberatan?" Mas Elman menilisik mata ini.
"Memang dia kesini naik apa? Kok pulangnya minta diantar." Jujur aku tidak suka, suamiku dekat-dekat dengan mantan pacarnya, tapi untuk melarangnya aku tidak berani, takutnya Mas Elman memberi respon diluar ekspektasi.
"Naik taksi online katanya. Nggak pa-pa ya? Aku antar dia ke kantornya sekalian, dekat ini."
Segitu niatnya Mbak Dita, mendekati kembali Mas Elman. Pagi-pagi mengantar sarapan, padahal rumahnya berada di kota sebelah, butuh waktu sekitar satu jam-an untuk sampai. Pakai acara nggak bawa kendaraan pula, aku tahu itu hanya modusnya agar bisa nebeng Mas Elman. Bisa ngobrol lama-lama dengan Mas Elman. Dasar gatel!
"Terserah kamu saja, Mas. Kalau tak merasa direpotkan, ya silahkan saja," ucapku datar. Meski dada terasa sesak, toh aku tetap mengijinkan. Kalau Mas Elman peka, harusnya dia menolak permintaan Mbak Dita.
"Sudah, nggak usah ditekuk gitu mukanya. Mas berangkat dulu," pamitnya.
Cup! Tanpa diduga dia mencium keningku. Seketika kupu-kupu berterbangan di hatiku. Ini yang membuat hatiku seperti roler coaster, tiba-tiba naik ke atas, sesaat kemudian menukik kembali bawah. Melihat perlakuan manisnya padaku, tapi dia juga bersikap manis pada Mbak Dita.
"Ra, aku pulang dulu ya?" seru Mbak Dita, berpamitan padaku. "Iya Mbak, sekalian nggak usah kembali lagi ke sini!" Tentu saja aku mengatakan itu dalam hati.
Kupandangi punggung suamiku hingga menghilang di balik pintu. Melihat wajah cerianya bersama Mbak Dita, membuat hatiku teriris.
* * * * * * * * * * *
"Belanjaanmu banyak banget Ra? Gini kok mau pergi sendiri, gimana kamu bawanya? Masih harus jagain Zila pula," ucap Mas Elman, saat kami berjalan menuju kasir.
Aku belanja stock makanan, dan kebutuhan lain. Seperti perlengkapan mandi dan cuci, jadi belanjaanku sudah seperti orang mau jualan aja.
"Kan pakai troli Mas, sampai parkiran dibantu sopir taksi."
Mas Elman mendorong troli, dengan Zila yang duduk di bagian depan troli. Sekilas orang melihat, kami adalah keluarga bahagia. Tapi sayang, itu hanya nampak luarnya saja, nyatanya dalam hati harus mempersiapkan diri untuk kehilangan dia.
"Kita makan di sana ya?" Mas Elman menunjuk ke area food, yang masih berada di area supermarket.
"Iya, Mas."
"Nanti aku bantu kamu beresin belanjaan, kasihan kamu, kalau harus mengerjakan semua sendiri." Tumben Mas Elman banyak bicara, biasanya dia hanya singkat-singkat, seperlunya saja, itu pun kalau di tanya.
"Nggak usah, aku sudah biasa melakukan semua pekerjaan sendiri, kok. Lagipula Mas Elman harus kembali ke kantor, kan?" Lagi-lagi aku menolak bantuan suamiku. Bukan apa-apa, takut jadi candu.
"Kamu kenapa sih? Kayak menghindari aku gitu?" Mas Elman menatapku heran.
"Nggak pa-pa, Mas. Aku hanya nggak mau merepotkan kamu. Lagipula itu pekerjaan sepele, nggak butuh bantuan." Sebenarnya aku ingin mengatakan alasan yang sebenarnya, tapi bibir ini masih kelu.
"Sudah kubilang, bantuin istri nggak merepotkan. Kamu masih menganggap aku suamimu, kan?" Ditanya begitu aku jadi bingung harus jawab apa. Tentu saja aku masih menganggap dia suamiku, dan berharap bisa mendampingi dia sepanjang umurku, tapi apa mungkin? Sedangkan ada Mbak Dita yang terang-terangan berusaha menarik perhatiannya.
"Silahkan!" Ucapan kasir menginterupsi obrolan kami.
"Mas, giliran kita bayar." Untung saja tiba giliran kami membayar, hingga aku terbebas dari situasi canggung ini.
Usai membayar, kami menuju food court untuk makan, di jam makan siang seperti sekarang, pengunjungnya ramai sekali. Untung saja kami masih kebagian tempat duduk.
Sambil menunggu pesanan, Mas Elman sibuk bercanda dengan anak gadisnya, sementara aku hanya jadi penonton setia, sesekali menimpali candaan mereka. Seandainya momen bahagia ini bisa kunikmati setiap saat, alangkah bahagianya aku.
Pesanan kami datang, tiba waktunya menikmati makan siang. Baru saja beberapa suap makanan masuk ke mulutku, tiba-tiba orang paling tidak ingin kulihat datang.
"Aduh El .... Kamu ngapain aja, sih? Aku WA nggak dibalas, ditelfon nggak diangkat. Aku ke kantormu, lho tadi. Katanya kamu ada perlu di luar. Untung lokasimu nyala, jadi aku bisa menemukan kamu di sini."
Aku dan Mas Elman saling tatap, bisa ku lihat suamiku ini merasa tidak nyaman dengan kehadiran Mbak Dita di antara kami. Tapi aku masih menunggu, bagaimana reaksi Mas Elman, apa yang akan dia katakan pada Mbak Dita? Akankah dia bersikap manis seperti tadi pagi?
Bersambung ....
"Aduh El .... Kamu ngapain aja sih? Aku WA nggak dibalas, ditelfon nggak diangkat. Aku ke kantormu, katanya kamu ada perlu di luar. Untung lokasimu nyala, jadi aku bisa menemukan kamu di sini."Aku dan Mas Elman saling tatap, bisa ku lihat suamiku ini merasa tidak nyaman dengan kehadiran Mbak Dita di antara kami. Tapi aku masih menunggu, bagaimana reaksi Mas Elman, apa yang akan dia katakan pada Mbak Dita? Mas Elman meletakkan sendok di atas piring, aktivitas menyuapi Zila dia hentikan. "Hm!" Mas Elman berdehem, lalu dia menatapku beberapa saat, seperti minta persetujuan. " Telfon sengaja aku silence. Lagi pengen quality time sama anak istri," jawab Mas Elman datar. Mbak Dita menghempaskan pantatnya di kursi sebelah Mas Elman, lalu berkata, "tapi nggak harus matiin HP juga, kan? Bukan acara penting, ini." Wajah Mbak Dita merengut, bibirnya mengerucut. Lagaknya sok manja, harusnya dia tahu sikapnya itu tidak pantas dilakukan oleh perempuan seumuran dia, apalagi pada suami orang.Tak
"Kasihan?" Mas Elman mengangguk. "Kasihan Dita, dia menjadi korban --- " ucapan Mas Elman menggantung. Seperti ada sesuatu yang berat, yang membuatnya sulit berkata. "Korban? Korban apa? Nggak usah nyari alasan, untuk membenarkan kesalahan kalian," sahutku ketus. Menurutku Mas Elman hanya mengada-ada, masa wanita dewasa seperti Mbak Dita perlu dikasihani. Dia cantik, mandiri, karir cemerlang, segalanya dia punya, kurang apalagi? "Dengar dulu, jangan nyela! Aku tahu kamu nggak suka sama Dita, tapi setelah kamu mendengar ceritaku, pandanganmu berubah.""Iya, iya.""Aku kenal Dita di kampus, dia gadis yang enerjik dan menarik. Meski beda prodi, itu menyurutkan keinginanku untuk mendekatinya. Singkat kata, kami menjalin hubungan. Setelah beberapa bulan pacaran, aku membawanya ke rumah, untuk berkenalan dengan Eyang. Awalnya Eyang menyambutnya dengan baik, dan ramah. Tapi setelah Dita menceritakan siapa kedua orang tuanya, Eyang tiba-tiba berubah sikap. Keramahan yang tadi ditunjukkan h
Tut ... Tut ... tiba-tiba ponsel Mas Elman berdering. Wajahnya berubah panik saat mendengar suara dari seberang. "Siapa Mas?""Dita ... " Mas Elman bangkit dari duduknya, kemudian buru-buru berjalan ke kamar, tak lama kemudian keluar, sambil memakai jaketnya. Wajahnya paniknya nampak makin menjadi. "Mas, mau kemana?" tanyaku bingung. "Dita kecelakaan, aku ke rumah sakit sekarang!" Tanpa menunggu jawabanku, Mas Elman berlalu. Tak lama kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan rumah. Aku mengerang kecewa, katanya nggak punya perasaan apa-apa, tapi mendengar Mbak Dita kecelakaan, paniknya luar biasa. Akhirnya aku memutuskan kembali ke kamar Zila, setelah mengunci pintu dan pagar. Meski tidak mengantuk, tetap kupaksa mata ini agar terpejam. Azan subuh membangunkan tidurku, gegas aku bangkit, untuk menjalani kewajibanku. Saat kulihat kamar Mas Elman, maksudku kamar kami berdua, kosong. Mas Elman tidak ada. Pun di tempat lain, tak kutemukan keberadaan suamiku itu. Mencoba berfik
"Kalian dari mana saja? Aku sampai panik, bangun-bangun kalian udah nggak ada," ucap Mas Elman menyambut kedatanganku. Ada sorot khawatir dalam tatapannya, tulus, tidak dibuat-buat. "Aku dari daycare, Papa." Zila yang menjawab, bukan aku. Mas Elman berjongkok, menyamai tinggi putrinya. "Dari daycare?" Gadis berambut kepang itu mengangguk antusias. "Seneng dong? Tadi di sana ketemu siapa?" tanya Mas Elman kemudian. "Tante Lianti, sama temen-temen Zila," jawab Zila, dengan gaya bicara khas anak kecil. Mas Elman memeluk dan mencium pipi Zila. "Zila, ke kamar dulu ya? Papa mau bicara sama bunda sebentar." Gadis itu mengangguk lalu berlari. "Kenapa nggak pamit dulu?" ucap Mas Elman lembut. "Kan kamu tidur, Mas. Aku nggak berani ganggu, kayaknya kamu capek banget," jawabku datar. "Ya kalau hanya untuk pamitan, kan nggak pa-pa Ra. Daripada aku kebingungan, mana telfonnu nggak bisa dihubungi lagi. Aku sampai mikir yang enggak-enggak tadi, takut kalau terjadi sesuatu sama kalian.""Tel
#Merengkuh_Hati_Suamiku 9Alunan ayat suci yang biasa dilantunkan sebelum azan mengusik tidurku, perasaan baru tidur sebentar, tiba-tiba saja sudah mau subuh. Perlahan kubuka mata, aku sedikit terkejut mendapati diri ini tidur dalam pelukan Mas Elman. Apalagi saat melihat tubuh polos kami di bawah selimut yang sama. Aku jadi tersenyum sendiri, mengingat aktivitas kami sebelum terlelap. Nggak nyangka, aku sudah menjadi istri sepenuhnya. Perlahan ku singkirkan tangan Mas Elman yang melingkar di perutku, bermaksud turun dari tempat tidur. Aku butuh membersihkan diri."Mau kemana? Masih pagi ini, tidur aja lagi," ucap Mas Elman dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Tanpa membuka mata. "Aku mau mandi, Mas. Sudah mau subuh." Bukannya melepaskan, Mas Elman justru semakin mempererat pelukannya. "Mas .... Lepas dong! Aku mau mandi, badanku rasanya lengket semua," rengekku manja. "Aku masih belum bisa move on, Sayang. Lagi yuk!" Duh, kenapa Mas Elman jadi mesum begini, padahal biasan
Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan, saat Zila terlelap. Berarti sudah lebih dari satu jam, Mas Elman ngobrol dengan tamunya. Perlahan aku beringsut dari tempat tidur, bermaksud menyusul suamiku. Penasaran, obrolan apa yang membuat mereka berlama-lama di ruang tamu. "Terimakasih ya, El, kamu memang berhati baik. Coba kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu apa yang terjadi padaku malam itu." Tunggu, kok ada suara perempuan? Perasaan tadi Dito sendirian, mana suaranya familiar sekali di telingaku. Itu suara Mbak Dita. "Sama-sama, aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan," balas Mas Elman. "Aku harap kamu mempertimbangkan tawaran ku, kalau kamu takut istrimu melarang, kamu diam aja nggak usah cerita. Toh kamu bisa melakukannya setelah pulang kerja." Duh, bikin penasaran aja. Apa sih maksud Mbak Dita ngomong kayak gitu? Jangan-jangan dia minta dinikahi Mas Elman, bisa jadi kan? Itu tidak boleh terjadi, aku harus menggagalkan rencana mereka. "Eh, ada Mbak Dita. Apa kabar, Mbak
Sejak malam kedatangan Mbak Dita dan adiknya, sikap Mas Elman berubah 180°, tak lagi hangat dan mesra, seperti saat hubungan kami membaik. Bahkan dia sering pulang malam dalam keadaan capek, kalau sudah begitu, dia akan langsung tidur setelah mandi. Ritual sarapan pagi pun, dia lewatkan begitu saja. Alasannya, pekerjaan sudah menunggu. Sesibuk itukah suamiku? Aku dan Zila terpaksa berangkat ke day care berdua, naik motor matic yang kubeli sebelum menikah. Rasanya hubunganku dengan Mas Elman lebih buruk daripada awal menikah dulu. Kalau dulu masih ada Eyang, dia masih bersikap mesra, meski hanya pura-pura. Tapi sekarang? Ingin sekali aku menjadi detective dadakan, menyelidiki kegiatan suamiku bila sedang di luaran. Namun apa daya, aku harus bekerja, dan masih harus mengurus Zila. Untuk menyewa orang membuntuti suamiku, aku tak tahu harus menyuruh siapa. Aku belum lama tinggal di kota ini, tak banyak kenalan. Hanya Riyanti teman dekatku, tapi gadis itu pun sama denganku, dia pendatang
Atas ide Riyanti, aku meretas WA Mas Elman. Meski terlihat polos, ternyata gadis itu lihai juga urusan sadap menyadap HP. "Nih! Kamu sudah memantau komunikasi suamimu," ucap gadis yang usianya lebih muda tiga tahun dariku itu, sambil menyerahkan ponsel. "Makasih ya?" Aku menerima ponsel itu, sambil men scrol riwayat chat suamiku. Nggak ada yang aneh, semuanya normal. Percakapan pun membahas seputar pekerjaan. "Aman aja, Ri. Nggak ada yang aneh," gumamku. "Mungkin chat lama sudah dihapus, sementara belum ada chat baru yang masuk. Biasanya orang selingkuh itu lihai, pinter nyari celah. Mereka sudah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa membongkar kebejatan mereka." Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Riyanti. Masa iya Mas Elman sudah se-ekspert itu? Perasaan dia orangnya kalem. Selama ini tidak ada gejala-gejala yang aneh, hanya sering pulang malam itu saja. "Kalau misalnya mereka pakai aplikasi lain gimana? Kan ada telegram, messenger, we chat, atau mungkin kak