Share

Agresif

Bab 3

*Agresif

Tak terasa seminggu sudah eyang meninggalkan kami, acara tahlilan tujuh hari pun usai digelar. Tenda, kursi, karpet dan semua peralatan acara sudah dibereskan. Rumah jadi kembali bersih dan terlihat lega. 

Sekarang tinggal kami bertiga, aku jadi merasa kesepian. Di rumah ini hanya eyang temanku ngobrol, zila hanya anak kecil, tak bisa diajak berkeluh kesah. Sementara Mas Elman, aku masih canggung ngobrol dengannya. 

"Mas, pagi ini sarapan seadanya ya? Aku panasin lauk semalam, nggak pa-pa kan? " tanyaku pada Mas Elman yang tengah bersiap pergi bekerja. 

Mas Elman bukan tipe penuntut, apapun yang kumasak, pasti dimakannya. Suami idaman memang, tapi sayang aku bukan istri idamannya. 

"Iya," jawabnya singkat, sembari tangannya sibuk membetulkan dasi. 

Badannya tegap, tidak gemuk tidak juga kurus. Meski tidak atletis, tapi cukup proporsional menurutku. Kulitnya sawo matang, khas kulit pria Indonesia. Hidungnya mancung, tatap matanya teduh. Memang tidak setampan artis-artis di TV, tapi tidak membosankan bila dipandang. 

"Ada apa?" Mas Elman menatapku bingung, melihatku masih berdiri di ambang pintu. Aku jadi malu sendiri kepergok mengagumi suamiku. 

"Mmm --- Itu, mmm --- " Tiba-tiba saja bibirku terasa kelu untuk bersuara. 

"Kamu kenapa? Biasanya kamu banyak bicara kalau ada eyang, sekarang kok jadi pendiam?" Aku memang biasa ngobrol dengan eyang tentang apa saja, tapi kan aku nggak biasa ngomong sama Mas Elman, kalau nggak penting-penting banget. 

"Itu Zila ---" 

"Zila kenapa?"

Aku menata kembali debar jantung yang sulit diatur kalau hanya berdua saja dengan suamiku seperti  ini. 

"Stock belanjaan di kulkas habis, aku mau ke pasar, tapi Zila nggak ada yang jaga." Huf, akhirnya aku lancar bicara. 

Jangan salah kan aku yang merasa kesulitan ngomong sama suami sendiri, karena selama ini eyang yang jadi jubirku, kalau aku ingin menyampaikan sesuatu pada Mas Elman. 

"Oh itu? Kirain apa, ya udah. Mana catatannya? Biar aku yang belanja ke supermarket." Mas Elman menadahkan tangannya padaku. 

"Eh, nggak usah. Biar aku aja yang belanja."

"Kamu khawatir aku nggak bisa?"

"Bukan."

"Terus?"

"Aku biasa  belanja di pasar, Mas. Harganya lebih murah."

"Nggak usah terlalu perhitungan, beda harga dikit aja. Dah, biar aku aja yang belanja! Kamu bilang Zila nggak ada yang jaga, kan?"

"Tapi kan, Mas harus kerja. Aku nggak mau merepotkan," cicitku. 

"Enggak merepotkan, kamu istriku, wajar kan, kalau aku membantu? Lagi pula aku belanjanya pas istirahat makan siang nanti, sekalian beliin kamu makanan. Kamu mau dibawain apa?"

Duh, hatiku jadi meleleh mendapat perlakuan seperti ini. 

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Mas Elman, tiba-tiba bel berbunyi. 

"Ada tamu Mas, aku ke depan dulu." pamitku, tanpa menunggu jawaban Mas Elman, aku segera melangkah keluar. 

Dan alangkah terkejutnya aku, demi melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Wanita yang kehadirannya sama sekali tidak kuinginkan. Kalau saja boleh meminta, aku ingin wanita ini dimusnahkan selamanya. Entah mengapa, melihat Mbak Dita aku merasa akan ada masalah. 

"Pagi Nira! Elmannya ada?" sapa Mbak Dita dengan riang Kepalanya melongok ke dalam, mencari keberadaan laki-laki pujaannya. 

Benar kan dugaanku? Wanita ini cara gara-gara. Pagi-pagi sudah mendatangi laki-laki, sudah beristri pula. Agresif sekali dia, apa tidak takut aku marah? 

"Ada, lagi siap-siap mau berangkat kerja." Terpaksa aku jujur, bohong pun percuma, mobil dan motor Mas Elman masih terparkir manis di garasi. 

Nada suaraku datar, berharap dia sadar bahwa aku tidak suka dia datang. Tapi sayangnya Mbak Dita tidak mau ambil pusing dengan sikapku. Buktinya, senyum terus menghiasi wajahnya. 

"Kebetulan kalau gitu, aku bawain makanan kesukaannya. Dia belum sarapan, kan?" ujar Mbak Dita, tangannya mengangkat tote bag.

"Tamunya siapa, Ra?" Suara Mas Elman menghentikan obrolan kami. 

"Hai El! Ini aku!" Aku menoleh ke belakang, rupanya Mas Elman menghampiri kami. "Dari mana, Ta? Pagi-pagi sudah sampai sini?"

"Dari rumah, sengaja ke sini.  Mau nganter ini." Lagi, Mbak Dita mengangkat tote bagnya. "Kamu sudah mau berangkat ya?" 

"Iya, tapi mau sarapan dulu. Masuk yuk! Nggak enak ngobrol di depan pintu begini." Dengan cueknya, Mbak Dita masuk melewati tubuhku tanpa permisi. Mengikuti Mas Elman yang melangkah lebih dulu. 

"Aku bawa sandwich tuna kesukaanmu, El. Aku bikin sendiri lho, spesial buat kamu," ucap Mbak Dita riang. 

Aku hanya bisa menyaksikan dua sejoli mantan kekasih itu berinteraksi. Apa aku tidak cemburu? Tentu saja aku cemburu. Ingin rasanya menjambak rambut indahnya yang tergerai, dan menyeretnya keluar rumah. Tapi dengan bersikap bar-bar tidak akan menyelesaikan masalah, yang terjadi justru sebaliknya. Dan menjatuhkan harga diriku. 

"Wah, pastikan enak sekali. Kebetulan Nira nggak masak," sahut Mas Elman. Aku merutuk dalam hati, kenapa Mas Elman masih bersikap hangat pada Mbak Dita? Padahal ada aku disini. 

"Kok bisa kebetulan ya? Padahal aku tadi sempat ragu, Jangan-jangan kamu dibuatkan sarapan istrimu."

Kedua sejoli itu berjalan beriringan menuju ruang makan. Dalam hatiku dongkol setengah mati, merasa dikacangin. Katanya hanya masa lalu, tapi nyatanya menyambut hangat kedatangan mantan kekasihnya. Gini kok bilangnya "kita sama-sama usaha" nyatanya dia memberi harapan juga pada Mbak Dita. 

"Duduk, Ta!" ucap mas Elman ketika sampai di meja makan. 

"Eh, Ra. Makan bareng yuk. Aku bawa banyak kok, ini buat kamu, buat Zila juga ada." Mbak Dita  mengeluarkan isi tasnya, lalu menatanya di atas meja. Dari bahasa tubuhnya, terlihat seperti sudah terbiasa berada di rumah ini. 

Di sini aku jadi bingung, sebenarnya tuan rumahnya itu siapa? Harusnya aku yang menawari Mbak Dita, ini kok sebaliknya. Kalau Eyang masih ada, aku jamin wanita ini sudah diusir sebelum mencapai pintu. 

"Kalian makan berdua aja, aku mau ke kamar Zila. Anak itu semalam tidurnya larut, jadi susah dibangunin." Sebenarnya itu hanya alasanku saja, untuk menghindari pemandangan yang menyesakkan di depanku. 

Bayangkan, istri mana yang tidak kecewa, melihat suami makan dilayani mantan kekasihnya. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Mas Elman seolah tidak menikmatinya. 

"Kalau masih tidur biarkan saja, Ra. Ayo kita makan!" Ini Mas Elman yang angkat bicara. 

"Nggak, Mas. Aku makan bareng Zila saja." Kutinggalkan mereka berdua, menuju lantai atas. Aku mana mungkin selera makan, di depan mantan pasangan kekasih yang masih saling mengharapkan itu. 

Meski alasanku ke kamar Zila, nyatanya aku tidak benar-benar melakukannya. Aku masih berdiri di ujung tangga, menyaksikan Mas Elman dan Mbak Dita makan berdua. Hatiku mencelos, melihat pemandangan yang tersaji di depan mata. Mereka makan diselingi obrolan dan sesekali disertai gelak tawa. Dada ini  semakin terasa sesak, melihat Mas Elman tertawa lebar, hal yang tak pernah dilakukan saat bersamaku. 

Meski kulihat Mbak Dita lebih mendominasi percakapan, tapi kulihat Mas Elman begitu menikmatinya. Kalau sudah begini, opsi terakhirku menyerah saja. 

Bersambung ... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status