Mitha masih bergelung malas di dalam selimutnya. Udara dingin masuk dari balkon kamar yang terbuka, membuat wanita itu memilih melanjutkan tidurnya kembali. Dia seakan buta dengan sekitar, hingga tidak menyadari langkah Vano memasuki kamar. Belaian lembut di kepala membuat Mitha menggeliatkan tubuhnya malas. Alih-alih merasa terganggu, dia malah tersenyum semakin larut dalam mimpinya.
"Jika kau tidak juga bangun, mungkin aku akan bergabung denganmu di dalam selimut itu lagi," bisik Vano di telinganya.Netra Mitha seketika terbuka, menatap Vano dengan raut wajah bingung. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini!" pekiknya. Mitha beringsut duduk di kepala ranjang, sambil menarik selimutnya hingga sebatas leher. Tentu saja reaksinya seperti itu. Saat ini dia hanya memakai kamisol dan celana super pendek. Meski mereka cukup intim seminggu terakhir, tetap saja ada kecanggungan terasa.Vano tertawa melihat reaksi istrinya itu, terlihat semakin menggemaskan dan menantang. Dia tidak pernah menyangka di balik sikap Mitha yang keras dan kejam ternyata memiliki sisi lembut dan manis."Jangan bilang kau suka amnesia dadakan. Lupa keberadaanku atau mungkin perlu kita mengulang yang semalam?" Vano mengerling nakal kepada Mitha.Blush!Mungkin saat ini wajah Mitha sudah seperti kepiting rebus. Akhir-akhir ini Vano suka sekali menggodanya. Dia kadang lupa, benarkah Vano lelaki yang sama? Yang menikahinya tiga tahun lalu? Bersumpah akan menyakitinya seumur hidup. Semua seperti mimpi bagi wanita itu. Dia bahagia dan berharap tidak akan pernah bangun lagi."Mandilah, aku akan menyiapkan sarapan untuk kita." Vano mengacak puncak kepala Mitha dan melabuhkan sebuah kecupan ringan di keningnya sebelum melangkah keluar.Mitha hanya mengangguk, mengulas senyum tipis. Tatapan bahagia mengiringi langkah Vano yang menjauh.**Mitha menatap pantulannya di depan cermin. Lengkung senyum terbit di bibirnya. Senyum yang belakangan ini selalu terukir di wajahnya. Semua di mulai seminggu yang lalu. Sejak terakhir dia mabuk dan menghabiskan malam panas di apartemen suaminya.Esoknya Mitha mendapati Vano membawa barang-barangnya ke rumah yang selama ini dia tempati. Memang, selama pernikahan mereka, Vano dan dirinya tidur terpisah. Lelaki itu tinggal di apartemen sedangkan Mitha di rumah hadiah pernikahan dari Hermawan."Apa yang kau lakukan, Mas?" Mitha terkejut dengan kehadiran Vano lengkap dengan dua koper besar miliknya.Vano hanya melirik sambil mengeluarkan satu per satu barang bawaannya dari dalam koper."Mas, Aku tanya! Kamu ngapain bawa barang segini banyak?" ulangnya berdiri di pintu kamar."Aku pindah ke sini," jawab Vano acuh.Netra Mitha membola, berderap mendekati Vano. "Pindah? Maksudmu ... tinggal di sini?!" tanya wanita itu. Dia terlihat shock."Ya, kenapa?""Apa yang kamu rencanain, Mas!" cecar Mitha, lagi.Vano menatap Mitha, meraih jemari wanitanya menautkan dengan jemarinya. "Aku berencana tinggal dengan istriku, tidur, dan bangun dengan melihatnya. Apa itu salah?" tanya Vano lembut.Jawaban Vano membuat Mitha semakin bingung, ini bukan Vano, bukan suami yang di kenalnya. "Kamu sehat, 'kan, Mas?" tanya Mitha lagi.Vano tertawa terbahak. Mitha terpana. Selama ini Vano tidak pernah tertawa selepas ini, kecuali saat bersama Evelin.Satu-satunya wanita yang dicintai suaminya itu. Ada sedikit nyeri yang mengganggu hatinya ketika mengingat itu.Mitha menutup mata dan mengembuskan napas kasar. Entah mengapa dia masih bingung dengan perubahan vano yang tiba-tiba. Netranya menangkap nampan yang berisi segelas kopi yang tadi dibawa Vano. Menyuguhkan minuman setiap pagi menjadi kebiasaan lelaki itu sekarang.Jika boleh jujur, Mitha bahagia dengan perubahan laki-laki itu. Selama tiga tahun lamanya dia mencoba meraih hati Vano, melindunginya dari balik bayangan. Mengotori tangannya agar sang lelaki tetap duduk tenang di kursinya. Hanya Mitha dan Hermawan yang tahu begitu banyak lawan bisnis yang menginginkan kejatuhan klan Hermawan. Mereka menyerang melalui Vano karena hanya dia yang paling lemah dan mudah di pengaruhi, tetapi laki-laki itu sama sekali tidak menyadarinya.**Wangi masakan menyambut langkah Mitha di meja makan. Tampak Vano sedang menuang air mineral ke dalam gelas. Mitha tersenyum geli, bayangkan saja, dia terlihat 'menakjubkan' dengan celemek berwarna merah yang melekat di tubuh berototnya."Hai, sarapan, yuk! Aku masak nasi goreng special buat kamu," ujar Vano, menyadari kehadiran Mitha. Mitha menyesap kopi yang di bawa dari kamar untuk menyembunyikan senyumnya. "Kamu masak?" Mitha mendekat ke meja makan."Emm, ya ... cobain deh," Vano menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut Mitha.Mitha bergeming. Satu lagi perlakuan manis Vano. Sesaat angannya melayang berharap ini bukan hanya sebuah kamuflase. Suatu hal yang wajar jika wanita itu curiga, mengingat perubahan drastis lelaki itu."Mit!" panggil Vano, sendok masih menggantung di udara.Mitha gelagapan. "Eh, iya ...." Vano mengisyaratkan membuka mulutnya."Bagaimana, enak?""Enak banget, kamu yang masak, Mas?" tanya Mitha takjub.Vano tersenyum puas. "Aku suapin, ya," tawarnya tanpa memberi kesempatan Mitha untuk menolak.Rasa hangat perlahan menyelubungi hati Mitha. Musim semi mengganti kemarau di hatinya. Bunga- bunga cinta mulai bermekaran. Beku yang selama ini menyekap sebongkah daging di dada perlahan meleleh. Salahkah jika kini dia berharap lebih? Berharap Vano tulus mencintai dirinya.**Mitha tersenyum membaca notifikasi yang baru saja masuk ke ponselnya. Satu bulan sudah romantisme antara dia dan Vano mengalir seperti air. Begitu tenang sekaligus memabukan, rasa hangat perlahan masuk ke dalam hati yang membeku. Sedikit demi sedikit menebas prasangka yang masih menggayuti hatinya. Pelangi terbit di hati wanita itu. Tunas-tunas kecil mulai tumbuh seiring kebersamaan mereka. Mitha pun mulai berharap lebih terhadap hubungan ini."Sepertinya ponselmu lebih menarik ketimbang aku," suara Max menghamburkan lamunannya.Mitha mengangkat kepala. Entah sejak kapan Max berdiri di seberang meja kerjanya. Mata lelaki itu menyorot tajam menatapnya."Pernahkah kau diajarkan tata krama? Mengetuk pintu dulu sebelum masuk," tegur Mitha dengan nada sinis.Max terkekeh, bergerak duduk dengan santai di kursi putar di depan wanita itu. Kedua kakinya saling menupang dengan punggung tegak, sepasang tangannya tergeletak bebas di atas lengan kursi."Mit, aku ngga bisa menunggu lagi, sampai sekarang kau belum menjawab pertanyaanku.""Pertanyaan yang mana?" jawab Mitha acuh. Jemarinya sibuk menari di atas ponsel miliknya.Max geram, dia tidak terima dengan sikap Mitha yang mengacuhkan dirinya."Mitha! Aku cukup sabar menghadapi sikapmu. Jangan salahkan jika aku memaksamu!" ancamnya.Mitha meletakan ponselnya, menjalin jemari di bawah dagu dengan siku bertumpu di atas meja."Max, hentikan semua kegilaan ini. Aku kakak iparmu! Itu kenyataannya. Dulu kau pergi begitu saja, tanpa pesan atau apa pun. Tiga tahun, Max! Selama itu aku jatuh bangun meraih hati Vano. Sekarang tanpa rasa bersalah kau memintaku ikut denganmu. Yang benar saja." ucapnya lembut, tetapi ada ketegasan di sana.Max terdiam, kata-kata Mitha telak menikam jantungnyaDia tidak menyangka akan mendapat penolakan dari wanita itu. Mitha yang sekarang sangat jauh berbeda dengan yang dulu dia kenal.Max berdiri. Dia berjalan ke arah jendela. Di luar hujan turun dengan sangat deras, menghantamkan jutaan kubik tetes air ke jendela kantor Mitha. Laki-laki itu menghela napas lelah, sepasang tangannya tergantung lemah di sisi tubuhnya."Tadinya aku berharap bisa memenangkanmu kembali, memperbaiki kesalahanku. Ternyata semua telah berubah, kau berubah, hatimu pun telah berubah," lirih Max, menatap Mitha sendu."Apa kau mencintainya?" tanya Max lagi.Mitha menunduk, jemarinya kembali mainkan ponsel di tangannya, berpikir sejenak."Sejak Vano mengucap sumpah pernikahan, aku sudah mengabdikan diri untuknya. Tidak perlu dia mencintaiku atau tidak. Namun, sekarang dia berubah, menjadi lebih hangat, dia begitu ... manis." Netra Mitha menerawang mengingat perlakuan Vano kepadanya satu bulan terakhir."Benarkah?! Apa kau tidak curiga kalau itu hanya siasatnya untuk menyingkirkanmu?" tanya Max sinis, mencoba memprokasi wanita itu.Mitha menoleh pada Max, berpikir sejenak. 'Jika benar maka aku yang akan menghancurkannya hingga tidak bisa bangkit lagi," jawabnya.Max tersenyum. "Semoga cinta tidak membutakan instingmu, Princess!" Max mengingatkan. "Aku pergi dulu, mungkin sekarang aku ditolak, tapi percayalah, aku akan selalu mengawasimu. Sekali saja si bodoh itu menyakitimu, lagi ... aku akan bertindak tanpa meminta persetujuanmu!" Max melangkah pergi meninggalkan Mitha yang diam membeku.**Vano menuntun Mitha menaiki tangga batu yang melingkar. Tangan kanannya erat menggenggam jemari Mitha, sementara tangan kirinya merangkul pinggang wanitanya erat."Pelan-pelan, Mit," ujar Vano mengingatkan."Sebenarnya mau ke mana, sih? Kenapa harus ditutup gini matanya?" tanya Mitha penasaran.Vano hanya tersenyum, semakin mengeratkan rangkulannya."Oke, sudah sampai."Perlahan Vano membuka kain hitam yang digunakan untuk menutup mata Mitha.Netra wanita itu mengerjap beberapa kali. Dia masih buta dengan keadaan sekitar, perlahan manik bening miliknya mulai menangkap pemandangan di sekelilingnya. Netranya menjelajah di sekelilingnya, sepertinya saat ini mereka ada di sebuah tempat yang tinggi karena dari tempatnya berdiri terlihat kerlip-kerlip lampu dari perahu nelayan. Angin malam sepoi membelai rambut panjangnya yang dibiarkan terurai.Mata Mitha memandang takjub. Di depannya terdapat sebuah meja dan sepasang kursi berwarna coklat. Di atas meja terhidang beberapa menu makanan yang menggugah selera, sebotol wine dan beberapa lilin dipasang menambah syahdu suasana."Ini ...." Mitha menatap Vano meminta sebuah jawaban.Vano mendekat sambil memamerkan senyumnya."Aku siapin khusus buat kita," ucapnya meraih tubuh Mitha lebih dekat padanya.Mitha tersipu. "Ini berlebihan, Mas ....""Tidak ada yang berlebihan untuk ratuku." Vano menyelipkan rambut Mitha yang dipermainkan angin ke belakang telinganya."Maaf, selama ini aku memperlakukanmu dengan buruk, harusnya lebih jujur pada perasaanku. Maukah kau memberiku kesempatan? Kita mulai semuanya dari awal. Aku ingin mempunyai banyak anak dan menua bersamamu," pinta Vano lirih, sambil menatap Mitha lembut.Mitha terpukau dan terhanyut, kata-kata Vano menyentuh relung hati yang paling dalam, terasa begitu tulus. Bening mata Mitha menyelami danau kelam milik Vano. Tidak ada dusta di sana, yang ada hanya binar cinta yang memendarkan cahaya berkilau."Can i trust you?" lirih Mitha."Yes, you can!" tukas Vano penuh percaya diri.Perlahan Vano memagut bibir tipis istrinya penuh cinta, Mitha membalas dengan penuh suka cita. Akhirnya penantian Mitha bertahun-tahun berbuah manis.**Di tempat lain ....."Apa kau siap kembali?!""Lebih dari siap.""Tugasmu kali ini cukup berat, dia bukan gadis yang sama lagi. Dia tidak akan mematuhi keinginanmu seperti dulu.""Tenang saja, aku punya seribu satu cara untuk memisahkan mereka.""Bagus! Tapi ingat, ini permainanku. My rules!""Sesuai keinginanmu, sayang ...."Dua anak manusia itu tersenyum licik. Sebuah rencana siap mereka hujamkan pada rival mereka. Sebuah pembalasan yang akan terasa menyakitkan."Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki
Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke