Prameswari Paramitha. Seorang istri yang tak pernah dicintai suaminya. Namun, dia bertahan demi sesuatu yang dia yakini, bahwa cepat atau lambat kebahagiaan pasti berpihak padanya. Kesabaran dan kesetiaannya terus diuji oleh sang suami dan masa lalunya yang kembali. Saat seorang wanita yang pernah dicinta suaminya kembali dan membawa anak yang diakui sebagai anak mereka, pertahanan Mitha runtuh. Dia dilema memilih bertahan atau menyerah karena pada akhirnya tetap dia yang terluka. Aku membencinya. Namun, aku membutuhkan dia di sisiku, hanya dia yang bisa membuatku terus bertahan. (Zivano Hermawan) Sekuat apa pun kau mendorongku pergi, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kecuali hatiku tidak lagi berdetak untukmu. (Prameswari Paramitha) Tinggalkan lelaki bodoh itu, aku punya segudang rencana masa depan denganmu. (Maxwell Hermawan)
Lihat lebih banyakHidup wanita itu memang tidak sempurna, tapi dia bahagia. Keluarga Hermawan bersedia membiayai pendidikannya hingga selesai. Namun, dengan konsekuensi yang berat di kemudian hari. Menikahi putra sulung keluarga itu dan melahirkan pewaris baru. Tentu bukan hal yang sulit jika keduanya memang saling cinta. Akan tetapi hidup, tidak seindah dongeng penghantar tidur.
Sang pewaris sangat membenci wanita itu. Dia menyiksanya dengan membawa banyak wanita ke dalam hidup mereka. Akan tetapi, si wanita adalah ratu di istananya sendiri. Hampir apa pun selir yang dibawa suaminya akan disingkirkan karena dia adalah ratu meski tanpa mahkota
* Langkah Mitha dengan tenang memasuki rumah yang di dalamnya terdapat manusia pendosa. Siapa lagi kalau bukan suaminya tercinta-Zivano Hermawan-dan jalang tidak tahu diri yang baru beberapa bulan menjadi sekretaris suaminya. Kedua asistennya setia berada di sampingnya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan wanita bermata bulat itu. Dengan sekali gebrak pintu kamar terbuka lebar.Suami wanita itu hanya menatap sekilas, kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya. Seolah-olah kehadiran sang istri bukanlah sesuatu yang penting. Lelaki itu meminum secangkir kopi dan menyesapnya dalam diam. Sementara di sisi tepian, si sekretaris sekaligus gundik baru lelaki itu merapikan baju kurang bahan yang mengundang syahwat. Dia berdiri sambil tersenyum pongah. Seakan-akan merasa di atas angin karena berhasil membawa sang lelaki ke atas.
Mitha tersenyum remeh. Menggelengkan kepala keberanian keberanian sang jalang menantangnya. Dia dekati lelakinya, lalu duduk di hadapannya.
"Apa sudah cukup main-mainnya?" Netra berbalut selaput bening itu menghunjam manik hitam pekat milik Vano lekat.
Sang lelaki tersenyum. "Kenapa? Apa kau sakit hati?" tanyanya sinis.
Mitha tertawa. "Menggelikan, ini bukan yang pertama, Mas. Haruskah aku sakit hati?!" tanyanya balik tanya.
Wajah Vano berubah datar. Jadi. Lelaki itu berharap sang istri akan mengamuk dan memohon padanya, kemudian meminta cerai. Akan tetapi, Mitha tak selemah itu!
"Jika kau sudah selesai dengan jalan ini, segeralah kembali ke kantor. Rapat pemegang saham akan segera dimulai. Kau tidak mau, kan, jika Presiden mengetahui kelakuanmu?!" ancam Mitha sambil mengulas senyum tipis, tapi sarat intimidasi.
Vano mendengkus, lalu bangkit merapikan pakaiannya. Mitha berdiri, lalu membantu menyorongkan jas berwarna hitam ke tubuh si lelaki, mengikatkan dasi berwarna merah ke leher suaminya, 'Selesai' dia pulih sambil mundur. Lengkung senyum terbit di bibir wanita itu melihat karyanya tergantung rapi di sana. "Pergilah!" Dia berucap lagi seraya menunjuk pintu ke luar dengan dagu.
Lelaki itu tersenyum kecut, kemudian melangkah keluar kamar. Akan tetapi, jalang tadi menyebut nama Vano dengan nada suara menggoda yang terdengar menjijikkan di telinga Mitha.
"Mas, aku bagaimana?"
"Terserah! Aku enggak butuh kau lagi," jawab Vano dingin. Ekspresinya begitu datar, kemudian berderap meninggalkan kamar tempat dia berbagi peluh dengan wanita itu.
Setelah sosok Vano tak tampak di mata, Mitha berbalik. Dia mendekati sekretaris penjual langkah demi langkah. Pelan-pelan. Ketukan sepatunya seperti nyanyian kematian yang sangat merdu. Wanita berpenampilan seksi itu masih mencoba terlihat kuat, walau dari sorot mata terlihat sebenarnya dia ketakutan setengah mati. Tangannya meremas ujung gaun yang panjangnya hanya setengah paha. Begitu pun tetes keringat mengucur deras di belahan dada yang terekspos.
“Cih! Benar-benar murahan,” desis Mitha. "Jadi kau ingin menantangku, begitu?!" Kini dia berdiri tegak di depan si wanita yang tingginya hanya sebahunya. Wanita penggoda tersebut terlihat meneguk air liangnya. Dia mulai gentar, sorot matanya tidak sepongah tadi.
"JAWAB!"
Wanita itu terlonjak, hingga tanpa sadar langkahnya pasang surut ke belakang. Melihat ketakutan yang terpeta di wajah jalang itu, Mitha tertawa sumbang. Tangannya bergerak menampar pipi yang dibubuhi perona murahan sehingga terjengkang ke atas meleset. Rambut kemerahan panjang milik sekretaris Vano dia jambak sampai kepalanya terdongak.
"Kau pikir siapa dirimu?! Kau hanya alat untuk menyakitiku. Jika tak berguna maka kau akan disingkirkan," bisik Mitha di telinga wanita itu, nada suaranya terdengar kejam serupa dengan raut dinginnya.
Wanita itu hanya menangis, sambil menahan sakit di pipi karena pukulan kerasnya Mitha. Dia memegang tangan Mitha yang menjambak jenggot sangat erat. Tak sudi tangan wanita itu menyentuhnya, Mitha melepaskan cengkeramannya hingga wanita tadi jatuh terlentang di atas menambahkan.
"Maaf, Buk. Sudah waktunya." Anita, sang sekretaris pribadi mengingatkan sebelum Mitha bertindak lebih beringas. "Wanita ini biar, Haris yang menangani," lanjutnya.
Mitha mendengkus, mengalihkan perhatian pada lelaki bertubuh tegap yang berdiri di sampingnya.
"Haris, kau tahu apa yang harus dilakukan?"
"Tentu, seperti biasa akan ada yang membayar mahal tubuh wanita ini," jawabnya.
"Siapa?"
"Adik-kakak. Satu penyuka masokhis dan satunya nekrofilia," jelasnya dengan gamblang.
Mata wanita itu membelalak. Dia beringsut bersimpuh memohon ampun, tapi Mitha bergeming. "Bagus!" Mitha tersenyum puas. Dia merunduk, lalu membelai rambut panjang gundik suaminya. "Kau dengar itu? Selamat menikmati nerakamu," tambahnya sambil tertawa, lalu berbalik meninggalkan lawannya yang masih menangis memohon belas kasihan.
'Rasakan! Harusnya dia tidak bermain-main denganku'. Gumam Mitha dengan nada sinis. "Anita, carikan sekretaris baru untuk suamiku!" Dia memberi titah sambil terus berjalan.
"Segera, Buk!"
Dia, Prameswari Paramitha.
Seorang komisaris utama sekaligus istri yang tidak pernah dicintai, meski pun mencintai suaminya dengan mencintai jiwa raga. Dia, istri yang tak dianggap sekali pun keberadaannya penting bagi seorang Zivano Hermawan."Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki
Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen