Pagi ini aku mengantar adikku yang sedang pulang kampung dari kampusnya ke pameran kampus yang diadakan di SMA tempat aku belajar dulu. “Teh Faihah?”Aku seketika menoleh dan menyipit melihat seseorang yang rasanya tidak asing.“Oh A Rian?”A Rian menghampiriku dengan motornya, “Habis antar Mumtaz Teh?”Aku mengangguk, “Iya, A Rian?”“Habis antar ponakan Teh, dia katanya mau lihat-lihat kampus.”Aku mengangguk-angguk. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benakku, tapi aku ragu untuk mengatakannya.“Teh Faihah mau langsung balik?”Aku menggeleng, “A, mau lihat-lihat dalam juga gak? Saya penasaran soalnya mau lihat sekarang pamerannya seperti apa.”“Oh boleh. Parkir di luar aja Teh, di dalam sekolah biasanya susah buat keluar.”“Oke A.”Suasana sekolah ramai dengan anak-anak menggunakan baju bebas dan membawa tas. Di bagian lapangan terdapat beberapa kedai makanan sementara yang padat oleh pengunjung. Aku memandangi kelas-kelas yang ditempel oleh label kampus. “Teh Faihah pernah ke sini
“Teteh, kata Yuanita kamu lagi dekat dengan yang dulu mengajar Mumtaz di sekolah?” Aku yang tengah menggulir sosial media dalam ponsel menoleh, “Gurunya Mumtaz peserta pelatihan, Bu.” “Kang Rian lebih muda dibanding Teteh tahu bu.” Mumtaz tiba-tiba menyela. “Ya teruuus,” alih-alih malah aku yang menyahut. “Teteh pacaran sama Pak Rian?” “Teteh hanya kenal biasa. Gak usah ngadi-ngadi (mengada-ada) deh.” Malam itu aku sedang menginap di rumah ibuku. Mumtaz sedang memijat pundak ibu. “Tapi Kang Rian orangnya baik kan Taz? Ibadahnya bagus?” “Baik sih Bu, salatnya gak pernah ketinggalan sih … kayaknya mah …” “Kalau kamu sama dia, ibu dukung aja sih Teh ...” Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di balik perkataan ibuku. “Ibu sudah pasrahkan segalanya kepada Allah, kamu juga sudah dewasa hampir 30 tahun, ibu juga serahkan apapun pilihan jodohmu. Tapi ibu harap setidaknya jodohmu harus yang satu iman.” Aku lagi-lagi tidak menjawab. “Apa kamu masih belum bisa memaafka
"Teteh, ada yang ingin ibu bicarakan ke kamu."Badanku mendadak merinding mendengar perkataan ibuku. Sore ini aku memang mampir ke rumah ibuku sebelum kembali ke rumah kosan. Aku menyebutnya rumah kosan karena itu adalah rumah keluargaku yang dijadikan kosan.Aku yang duduk di kursi meja makan hanya memandang ibu, "Kenapa Bu?"Ibu yang baru saja pulang dari sekolah menghempaskan badan di kursi depanku. "Tadi pengacara keluarga Shireen ke kelas ibu."Deg! Kini aku tahu kemana pembicaraan ini mengarah. "Sebelumnya maafin ibu Teh, ibu gak tahu kalau kamu juga korban di kampus itu ... maafin ibu Teh."Aku paling benci momen seperti ini, karena otomatis ada air mata yang akan keluar. Mendadak aku bangkit dan membawa tas ku keluar dari rumah. "Teteh, mau kemana??"Aku tidak menjawab, hanya memundurkan motor dengan kasar. Tiba-tiba aku kehilangan kendali. Brak!Motor ku terjatuh begitu saja. Aku hanya memandangi motorku dengan tatapan kosong. Aku lalu jongkok dan meletakkan kepala di ba
Kliriiing … kliriiing … Aku melihat siapa yang memanggilku pada pukul segini. Rupanya Koordinator Seo. “Halo. Seo-sensei, ada apa?” “Faihah-san. Aku minta maaf telah mengganggumu. Tapi, besok bisakah kamu menjemput Yuichi sensei ke Sawargi?” Yuichi sensei adalah salah satu relawan pengajar dari Jepang yang akan mengisi kelas bahasa Jepang untuk guru bahasa Jepang sekolah-sekolah di Kota Sawargi selama tiga bulan. Aku mengerutkan dahi, “Bukankah Yuanita yang akan menjemput, sensei?” “Dia tidak bisa ku hubungi sejak siang tadi, sedangkan aku butuh kepastian cepat.” “Kapan Yuichi sensei akan sampai di Indonesia?” “Dia sebenarnya sudah sampai sejak seminggu yang lalu.” Aku mendadak bengong mendengar jawaban Seo sensei. Serius? Apa yang orang itu telah lakukan di Indonesia? “Aku akan memberimu kontaknya. Kamu bisa mengontaknya malam ini” Percakapan lalu terputus. Ting! Tidak lama, Seo-sensei mengirimkan kontak yang dia maksud, dan menambahkannya dengan sebaris kali
Aku memasukan ponsel ke dalam tas lalu menoleh dengan perlahan. Mataku tertumbuk dengan seorang pria yang rupanya jauh lebih tinggi dariku. Sejujurnya aku masih belum kembali sadar 100 %. Namun, tanpa ba-bi-bu aku langsung bangkit dan mengambil tas hendak meninggalkan pria itu. Grab! Aku kaget ketika pria itu mendadak berada di depanku, membuatku terduduk di atas sofa perpustakaan. Bruk! Tasku terlepas dari tangan lalu terjatuh ke bawah. Tatapan mataku terpaku dengan pria itu sampai dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Aku refleks mundur, namun ternyata dia mengambil tas yang terjatuh dan menaruhnya di sebelahku dengan perlahan. “Faihah … “ Tatapanku masih nanar ke depan walaupun tidak menatap matanya. “Kamu … Yuichi Sensei?” “Yuichi Haruka, lebih tepatnya.” Kumpulan emosi dan rasa lelah yang sedari tadi menggerogoti tubuh mulai menggumpal dan mengambang ke atas kepala. Menghasilkan air mata yang mengalir begitu saja dari kepala. Haruka seperti tersentak, “Fay … “
Tek! Sepiring makanan dengan segelas air mendarat di depanku. Aku menatap makanan yang Haruka ambil. “Kamu sering makan di sini?” Aku mengangguk, “Tempatku tinggal dulu di sekitar sini.” “Benarkah?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk. “Bisakah kita melewatinya saat menuju stasiun?” Aku menggeleng sebagai jawaban. “Kenapa?” Nada suara Haruka terdengar kecewa. Aku menghentikan suapanku dan memandangi Haruka, “Kenapa kamu terlihat sangat penasaran?” Haruka terdiam sejenak, “Baiklah kalau memang kamu tidak ingin menunjukkannya.” Haruka lalu mulai makan. Suasana di antara aku dan Haruka berubah menjadi hening, walaupun warung tersebut ramai dengan kumpulan mahasiswa yang tengah makan atau nongkrong. “Sudah ke mana saja selama berada di Indonesia?” "Bagaimana kamu tahu?" "Seo sensei yang memberitahuku kalau kamu sudah satu minggu berada di Indonesia." "Ah begitu." Haruka tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yang membuatku terkesiap. Majalah yang aku berikan kepadan
Aku memandangi ponselku dengan cemas, kenapa Kang Ujang susah sekali dihubungi? Seo sensei juga sama saja. "Fay?"Aku tersadar dan menoleh, "Kenapa?""Kamu kenapa?" Aku terdiam sejenak dan menggeleng. "Kamu terlihat gelisah dari tadi.""Aku tidak apa-apa.""Fay ... tatap aku ... "Aku menatap Haruka yang duduk di depanku. Kami memang tengah menunggu di sebuah kafe di bandara. "Katakan ada apa denganmu? Kamu dari tadi terlihat gelisah."Aku menghela napas, "Aku tidak bisa menghubungi orang yang akan menjemput kita.""Lalu?""Aku belum mendapat kontak sensei yang harus aku jemput, kalau itu aku masih bisa pakai papan. tapi kalau soal mobil ... ""Ada alternatif lain?""Ada bus bandara menuju Sawargi ... ""Oke, berarti kamu tidak perlu memusingkan hal itu."Aku tidak menanggapi perkataan itu lebih lanjut dan memilih memandangi kertas bertuliskan "Kawata Mi", nama sensei yang akan aku jemput. Kira-kira masih ada setengah jam lagi sebelum jadwal kedatangannya tiba.Kami akhirnya sibuk de
Kriiiingg .... Tanganku reflek mengambil ponsel, lalu mengangkatnya begitu melihat nama si pengirim. "Ya?" "Aku menganggumu?" "Aku baru bangun tidur, kenapa? Maksudku, aku ketiduran." "Aku butuh beberapa perlengkapan pribadi dan perlengkapan untuk mengajar. Kamu bisa mengantarku?" "Memangnya perusahaan tidak menyediakannya?" "Aku rasa lebih baik aku mencari barang bersamamu saja." Sontak aku menghela napas, Haruka memang agak banyak mau kalau soal seperti ini. "Hmm ... Kapan? Kalau untuk alat tulis aku tidak yakin karena tokonya pasti sebentar lagi akan tutup" "Kamu kapan bisa pergi?" Aku menatap jam di ponselku. "Aku siap-siap dulu, mungkin setengah jam kemudian aku akan menjemputmu." "Baiklah." :) Aku memandangi Haruka yang tengah mendorong kereta belanja. Pandanganku berganti-ganti dengan rak yang memajang produk-produk untuk makanan luar negeri seperti Korea dan Jepang. Sesuatu menarik perhatian, membuatku berdiri di depan produk itu dan memandanginya erat-erat. “Eee