Tidak mudah menuliskan part ini. Sesungguhnya situasi seperti ini memang terjadi. Faihah aku buat seperti diriku sendiri di part ini, emosiku gampang terkuras ketika dalam situasi seperti ini. Mungkin aku ketriger? Entahlah.
Kliriiing … kliriiing … Aku melihat siapa yang memanggilku pada pukul segini. Rupanya Koordinator Seo. “Halo. Seo-sensei, ada apa?” “Faihah-san. Aku minta maaf telah mengganggumu. Tapi, besok bisakah kamu menjemput Yuichi sensei ke Sawargi?” Yuichi sensei adalah salah satu relawan pengajar dari Jepang yang akan mengisi kelas bahasa Jepang untuk guru bahasa Jepang sekolah-sekolah di Kota Sawargi selama tiga bulan. Aku mengerutkan dahi, “Bukankah Yuanita yang akan menjemput, sensei?” “Dia tidak bisa ku hubungi sejak siang tadi, sedangkan aku butuh kepastian cepat.” “Kapan Yuichi sensei akan sampai di Indonesia?” “Dia sebenarnya sudah sampai sejak seminggu yang lalu.” Aku mendadak bengong mendengar jawaban Seo sensei. Serius? Apa yang orang itu telah lakukan di Indonesia? “Aku akan memberimu kontaknya. Kamu bisa mengontaknya malam ini” Percakapan lalu terputus. Ting! Tidak lama, Seo-sensei mengirimkan kontak yang dia maksud, dan menambahkannya dengan sebaris kali
Aku memasukan ponsel ke dalam tas lalu menoleh dengan perlahan. Mataku tertumbuk dengan seorang pria yang rupanya jauh lebih tinggi dariku. Sejujurnya aku masih belum kembali sadar 100 %. Namun, tanpa ba-bi-bu aku langsung bangkit dan mengambil tas hendak meninggalkan pria itu. Grab! Aku kaget ketika pria itu mendadak berada di depanku, membuatku terduduk di atas sofa perpustakaan. Bruk! Tasku terlepas dari tangan lalu terjatuh ke bawah. Tatapan mataku terpaku dengan pria itu sampai dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Aku refleks mundur, namun ternyata dia mengambil tas yang terjatuh dan menaruhnya di sebelahku dengan perlahan. “Faihah … “ Tatapanku masih nanar ke depan walaupun tidak menatap matanya. “Kamu … Yuichi Sensei?” “Yuichi Haruka, lebih tepatnya.” Kumpulan emosi dan rasa lelah yang sedari tadi menggerogoti tubuh mulai menggumpal dan mengambang ke atas kepala. Menghasilkan air mata yang mengalir begitu saja dari kepala. Haruka seperti tersentak, “Fay … “
Tek! Sepiring makanan dengan segelas air mendarat di depanku. Aku menatap makanan yang Haruka ambil. “Kamu sering makan di sini?” Aku mengangguk, “Tempatku tinggal dulu di sekitar sini.” “Benarkah?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk. “Bisakah kita melewatinya saat menuju stasiun?” Aku menggeleng sebagai jawaban. “Kenapa?” Nada suara Haruka terdengar kecewa. Aku menghentikan suapanku dan memandangi Haruka, “Kenapa kamu terlihat sangat penasaran?” Haruka terdiam sejenak, “Baiklah kalau memang kamu tidak ingin menunjukkannya.” Haruka lalu mulai makan. Suasana di antara aku dan Haruka berubah menjadi hening, walaupun warung tersebut ramai dengan kumpulan mahasiswa yang tengah makan atau nongkrong. “Sudah ke mana saja selama berada di Indonesia?” "Bagaimana kamu tahu?" "Seo sensei yang memberitahuku kalau kamu sudah satu minggu berada di Indonesia." "Ah begitu." Haruka tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yang membuatku terkesiap. Majalah yang aku berikan kepadan
Aku memandangi ponselku dengan cemas, kenapa Kang Ujang susah sekali dihubungi? Seo sensei juga sama saja. "Fay?"Aku tersadar dan menoleh, "Kenapa?""Kamu kenapa?" Aku terdiam sejenak dan menggeleng. "Kamu terlihat gelisah dari tadi.""Aku tidak apa-apa.""Fay ... tatap aku ... "Aku menatap Haruka yang duduk di depanku. Kami memang tengah menunggu di sebuah kafe di bandara. "Katakan ada apa denganmu? Kamu dari tadi terlihat gelisah."Aku menghela napas, "Aku tidak bisa menghubungi orang yang akan menjemput kita.""Lalu?""Aku belum mendapat kontak sensei yang harus aku jemput, kalau itu aku masih bisa pakai papan. tapi kalau soal mobil ... ""Ada alternatif lain?""Ada bus bandara menuju Sawargi ... ""Oke, berarti kamu tidak perlu memusingkan hal itu."Aku tidak menanggapi perkataan itu lebih lanjut dan memilih memandangi kertas bertuliskan "Kawata Mi", nama sensei yang akan aku jemput. Kira-kira masih ada setengah jam lagi sebelum jadwal kedatangannya tiba.Kami akhirnya sibuk de
Kriiiingg .... Tanganku reflek mengambil ponsel, lalu mengangkatnya begitu melihat nama si pengirim. "Ya?" "Aku menganggumu?" "Aku baru bangun tidur, kenapa? Maksudku, aku ketiduran." "Aku butuh beberapa perlengkapan pribadi dan perlengkapan untuk mengajar. Kamu bisa mengantarku?" "Memangnya perusahaan tidak menyediakannya?" "Aku rasa lebih baik aku mencari barang bersamamu saja." Sontak aku menghela napas, Haruka memang agak banyak mau kalau soal seperti ini. "Hmm ... Kapan? Kalau untuk alat tulis aku tidak yakin karena tokonya pasti sebentar lagi akan tutup" "Kamu kapan bisa pergi?" Aku menatap jam di ponselku. "Aku siap-siap dulu, mungkin setengah jam kemudian aku akan menjemputmu." "Baiklah." :) Aku memandangi Haruka yang tengah mendorong kereta belanja. Pandanganku berganti-ganti dengan rak yang memajang produk-produk untuk makanan luar negeri seperti Korea dan Jepang. Sesuatu menarik perhatian, membuatku berdiri di depan produk itu dan memandanginya erat-erat. “Eee
“Mbak yang perwakilan dari pelatihan pengajar bahasa Jepang PT Naruyama?” Aku yang tengah berada di kantor subag akademik menoleh, seorang pria paruh baya menghampiriku.“Iya Pak, ada apa?”“Ini tadi kata Pak Dekan suruh ambilin meja di gudang buat depan kelas. Saya kira yang ke sini laki-laki, tahu-tahu perempuan. Sebentar ya Mbak.”Aku hanya mengangguk dan membiarkan bapak tersebut pergi. Beberapa menit kemudian aku menganga melihat meja yang diangkut.Meja mahasiswa yang cukup untuk meja dua orang.Aku buru-buru membantu bapak tersebut dan seorang janitor yang agak kesulitan membawa meja tersebut.“Udah mbak, gak usah.”Aku awalnya bingung untuk apa meja tersebut, kemudian aku menemukan jawabannya. ========= Aku ingin menghela napas menghadapi tumpukan berkas. Hari ini adalah hari pertama pelatihan dengan agenda tes penempatan kemampuan mengajar dan bahasa Jepang. Tentu saja ada berkas yang harus dikumpulkan. Aku menatap seorang ibu yang kutaksir usianya sekitar 30-an. Aku sebena
“Nasi padaangg … yash … “ aku dengan antusias membuka bungkusan tersebut. Aku membeli nasi padang dengan menu rendang. Aku sudah lama ingin makan nasi padang, tapi karena alasan umur aku sudah mengurangi konsumsinya sejak lama. “Halo, boleh bergabung?” Aku dan Kang Ujang serentak menoleh, “Silahkan sensei!” Kawata sensei lalu duduk di sebelahku. “Faihah, kenapa menumu berbeda?” “Aku hanya diberi uang makan sensei, karena aku hanya bagian dari proyek ini,” jawabku. “Oh, tapi aku ingin makanan seperti milikmu. Aku rindu makanan Indonesia.” Kawata sensei pernah tingal di Indonesia selama lima tahun untuk belajar bahasa Indonesia, dan sering mendapat murid bahasa Jepang dari Indonesia. “Yuichi sensei sedang bersama Yuanita, Sensei?” “Iya, Yuanita bilang ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai materi dan jadwal pengajaran, karena kedepannya kelas akan diadakan di sore hari. Aku tidak mau pusing-pusing karena sudah tua, jadi biarkan saja Haru yang masih muda untuk me
“Fay, ayo ikut.” Aku yang tengah merapihkan berkas menoleh, “Seo sensei? Ikut ke mana?” “Makan bersama,” jawab Seo sensei. Tidak lama Kawata sensei keluar, diikuti dengan Haruka dan Yuanita dari ruangan sebelah. Seo sensei menoleh ke arah Yuanita, “Yuanita, saya sudah mengecek tempat kuliner yang kamu rekomendasikan, sepertinya enak. Hari ini saya ingin mengajak kalian dan para sensei ke sana.” Yuanita mengangguk dengan antusias, “Ayo sensei!” Tanpa sadar aku menatap Yuanita dan merasa penasaran, tempat apa yang dimaksud oleh Yuanita? === Aku merapatkan bibir melihat sebuah durian yang sudah terbelah menjadi tiga. Diam-diam aku ingin menghela napas panjang. Aku tidak bisa makan durian. “Kamu tidak makan, Fay?” Aku menoleh, “Saya tidak bisa makan durian, Sensei.” Seo sensei mengerutkan dahi, “Tahu begitu, kamu pilih saja buah yang lain.” Aku bengong ketika Seo sensei mengeluarkan sebuah kartu, “Pakai kartu ini untuk membayarnya.” Aku menerimanya dengan agak canggung dan bang