Faihah tidak menduga bahwa dia akan kembali bertemu bahkan bekerja dengan Haruka, si pria berdarah Jepang-Korea dalam sebuah proyek di kota tempat Faihah tinggal. Haruka, si pria menyeramkan, kembali menjadi 'rumah' bagi Faihah yang nyaris menyerah untuk hidup. Faihah yang sebelumnya pergi meninggalkan Haruka karena takut terluka merasa bimbang ketika Haruka benar-benar mengulurkan tangan untuk saling mendampingi seumur hidup. Bisakah Faihah menerima Haruka sebagai partner seumur hidupnya?
View MoreKliriiing … kliriiing …
Aku melihat siapa yang memanggilku pada pukul segini. Rupanya Koordinator Seo.
“Halo. Seo-sensei, ada apa?”
“Faihah-san. Aku minta maaf telah mengganggumu. Tapi, besok bisakah kamu menjemput Yuichi sensei ke Sawargi?”
Yuichi sensei adalah salah satu relawan pengajar dari Jepang yang akan mengisi kelas bahasa Jepang untuk guru bahasa Jepang sekolah-sekolah di Kota Sawargi selama tiga bulan.
Aku mengerutkan dahi, “Bukankah Yuanita yang akan menjemput, sensei?”
“Dia tidak bisa ku hubungi sejak siang tadi, sedangkan aku butuh kepastian cepat.”
“Kapan Yuichi sensei akan sampai di Indonesia?”
“Dia sebenarnya sudah sampai sejak seminggu yang lalu.”
Aku mendadak bengong mendengar jawaban Seo sensei. Serius? Apa yang orang itu telah lakukan di Indonesia?
“Aku akan memberimu kontaknya. Kamu bisa mengontaknya malam ini”
Percakapan lalu terputus.
Ting!
Tidak lama, Seo-sensei mengirimkan kontak yang dia maksud, dan menambahkannya dengan sebaris kalimat.
“Faihah-san, aku percayakan dia kepadamu. Dia adalah teman baikku.”
Aku mengerutkan dahi melihat nama kontak tersebut. Tapi aku segera melupakannya. Nama itu cukup pasaran.
“Selamat malam Yuichi sensei. Saya Faihah, yang akan menjemput anda ke Sawargi besok. Saya mendapatkan kontak anda dari Seo sensei. Salam kenal sebelumnya. Besok mau dijemput di mana dan pukul berapa?”
Terkirim
Sepuluh menit … Dua puluh menit … Tiga puluh menit …
Bahkan pesan itu belum dibalas sampai aku tidur.
===Aku baru mendapatkan balasannya pada pukul 10.00 pagi keesokan harinya.
Halo Faihah-san. Sejujurnya saya tidak tahu di mana sekarang. Tapi bisakah kamu menjemput saya hari ini?
Beserta beberapa foto.
Aku mengerutkan dahi sambil menghela napas kesal. Walaupun cewek dikenal sebagai makhluk yang “jago stalking”, sayangnya aku bukan salah satu di antara mereka.
Selain itu, aku kehilangan jadwal pemberangkatan kereta lokal sepuluh menit yang lalu. Jadwal pemberangkatan kereta lokal selanjutnya dari kota tempat ku tinggal adalah dua jam kemudian.
“Sensei, bisakah Anda mengirimkan lokasi anda lewat aplikasi ini?”
Sepuluh menit kemudian, terdapat balasan. Lagi-lagi aku mengerutkan kening.
Kampus Wijaya? Kampus almamaterku dulu?
Aku lalu menggunakan foto yang Yuichi sensei kirimkan dengan pencarian gambar. Rupanya foto itu menunjukkan lokasi kampus tempat aku dulu mengambil gelar sarjana.
Kenapa orang itu ada di sana?
Segala macam kemungkinan berputar di kepalaku. Dia tidak mungkin sedang kuliah kan? Seo sensei sendiri usianya hampir 40-an. Kalau orang ini memang kawan baik Seo sensei, usianya tidak mungkin jauh lebih muda bukan?
Apakah dia sedang melakukan wisata masa lalu?
“Pak, saya minta maaf. Tapi karena bapak membalas pesan saya tidak cepat. Saya kehilangan jadwal pemberangkatan kereta pukul 10. Jadi saya akan berangkat dari Sawargi pukul 12, atau pemberangkatan selanjutnya.”
Lagi-lagi tidak ada balasan.
===Aku memandangi bus-bus kampus yang berjejer di depan halte pemberhentian terakhir yang berada di depan asrama kampus. Aku sebenarnya ke asrama kampus karena ingin jajan rujak, alias lapar. Sayangnya, tukang rujak itu tidak berjualan. Entah sedang tidak berjualan, atau sudah tidak berjualan.Aku menyenderkan kepala ke pilar halte pemberhentian bus dengan lesu. Sudah tiga jam aku terdampar di kampus almamaterku tercinta, hanya karena sebuah gambar dari seorang sensei yang belum pernah bertemu sebelumnya. Seseorang yang merenggut hari liburku yang indah.Sayangnya dia adalah calon atasanku. Aku memandangi ponsel. Orang ini benar-benar tidak membalas sejak aku berangkat dari Sawargi. Aku menghela napas. Aku menghubunginya lewat panggilan suara untuk ketiga kalinya.Lagi-lagi orang itu tidak mengangkatnya.
Aku lalu membuka pesan dari orang itu dan melihat kembali foto yang dia kirimkan. Aku tidak familiar dengan tempat ini. Aku menghela napas dan menyenderkan kepala ke tiang halte. Entah kenapa aku merasa lelah. Aku mengirimkan pesan seperti ini.
“Sensei, saya sudah di kampus. Kalau baca pesan ini tolong hubungi saya secepatnya, biar kita bisa kembali ke Sawargi hari ini dan secepatnya. ASAP.”
Aku memasukan kembali ponsel ke dalam tas, dan kembali memandangi pemandangan.Tidak banyak orang-orang dan kendaraan yang lalu lalang.
“Tuh, yang merah mau jalan. Naik! Naik!”
Aku mengikuti arahan supir menaiki bus yang dimaksud, dan duduk paling belakang. Aku mengecek waktu di ponsel, setengah jam lagi asar.
Apa yang harus aku lakukan?
Aduh, aku pengen pulang aja. Mana fisikku tidak seperti dulu, dan menunggu tidak jelas seperti ini melelahkan.
Aku memandangi halte stasiun dengan muka lesu. Sepertinya aku akan turun setelah halte ini. Halte terdekat dengan perpustakaan kampus. Kebetulan bagian paling bawah perpustakaan terbuka untuk umum dilengkapi dengan sofa yang sangat nyaman.
Aku bersiap untuk turun ketika bus mendekati halte tujuan. Ada dua orang yang hendak turun di depanku. Bus berhenti, lalu aku turun ketika pintu bus otomatis terbuka. Aku berjalan dengan gontai dari halte menuju perpustakaan. Aku memandangi masjid raya kampus yang terbentang di depanku.
Apa aku ke sana aja ya? Toh, sebentar lagi juga waktu asar.
Suasana depan gerbang masjid itu cukup ramai dengan orang-orang yang hendak beribadah. Aku melangkahkan kaki menuju tempat ibadah untuk perempuan.
===
Aku menyandarkan diri di atas sofa perpustakaan yang empuk. Tanganku reflek memegang ponsel, lagi-lagi tidak ada pesan dari Yuichi sensei.
Orang macam apa dia sampai tidak merespon pesanku seperti ini?
Aku menaruh ponsel ke dalam tas dan mendengus kesal. Aku menyenderkan kepala ke tembok dan memeluk tasku dengan erat. Perlahan mataku memberat dan menjadi gelap.
===
Mataku memburam dan perlahan menjadi sedikit terang. Sayangnya badanku masih terasa lemas sehingga belum ada kekuatan untuk bangkit.
Aku sudah tertidur berapa lama?
Aku dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih menggerakkan leher yang terasa pegal. Tanganku meraba-raba ponsel di dalam tas, untuk mengecek sudah berapa lama aku tertidur. Sepertinya setengah jam aku tertidur.
Huh? Panggilan tidak terjawab? Pesan?
Badanku seketika menjadi linglung. Rupanya ada rentetan pesan dan panggilan tidak terjawab dari sensei! Aku menggunakan siku untuk membantuku bangkit sedangkan tangan kananku membaca pesan dari sensei.
Pesan ini telah terhapus.
Ah biarlah! Yang penting tandanya dia sudah bisa dihubungi.
Aku akhirnya mencoba mengendalikan rasa linglung dan kembali membuat panggilan dengan sensei.
Kring … kring …
Aku reflek memutuskan panggilan. Setelah diam beberapa saat, aku kembali membuat panggilan.
Kring … kring ….
Demi apa? Kenapa ada yang bunyi setiap aku membuat panggilan?
“Faihah?” Aku terdiam mendengar seseorang di sebelah memanggil namaku.
Suara seseorang yang rasanya sangat familiar, dan pernah menjadi bagian dalam beberapa episode kehidupanku sebelumnya.
"Teteh, ada yang ingin ibu bicarakan ke kamu."Badanku mendadak merinding mendengar perkataan ibuku. Sore ini aku memang mampir ke rumah ibuku sebelum kembali ke rumah kosan. Aku menyebutnya rumah kosan karena itu adalah rumah keluargaku yang dijadikan kosan.Aku yang duduk di kursi meja makan hanya memandang ibu, "Kenapa Bu?"Ibu yang baru saja pulang dari sekolah menghempaskan badan di kursi depanku. "Tadi pengacara keluarga Shireen ke kelas ibu."Deg! Kini aku tahu kemana pembicaraan ini mengarah. "Sebelumnya maafin ibu Teh, ibu gak tahu kalau kamu juga korban di kampus itu ... maafin ibu Teh."Aku paling benci momen seperti ini, karena otomatis ada air mata yang akan keluar. Mendadak aku bangkit dan membawa tas ku keluar dari rumah. "Teteh, mau kemana??"Aku tidak menjawab, hanya memundurkan motor dengan kasar. Tiba-tiba aku kehilangan kendali. Brak!Motor ku terjatuh begitu saja. Aku hanya memandangi motorku dengan tatapan kosong. Aku lalu jongkok dan meletakkan kepala di ba
“Teteh, kata Yuanita kamu lagi dekat dengan yang dulu mengajar Mumtaz di sekolah?” Aku yang tengah menggulir sosial media dalam ponsel menoleh, “Gurunya Mumtaz peserta pelatihan, Bu.” “Kang Rian lebih muda dibanding Teteh tahu bu.” Mumtaz tiba-tiba menyela. “Ya teruuus,” alih-alih malah aku yang menyahut. “Teteh pacaran sama Pak Rian?” “Teteh hanya kenal biasa. Gak usah ngadi-ngadi (mengada-ada) deh.” Malam itu aku sedang menginap di rumah ibuku. Mumtaz sedang memijat pundak ibu. “Tapi Kang Rian orangnya baik kan Taz? Ibadahnya bagus?” “Baik sih Bu, salatnya gak pernah ketinggalan sih … kayaknya mah …” “Kalau kamu sama dia, ibu dukung aja sih Teh ...” Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di balik perkataan ibuku. “Ibu sudah pasrahkan segalanya kepada Allah, kamu juga sudah dewasa hampir 30 tahun, ibu juga serahkan apapun pilihan jodohmu. Tapi ibu harap setidaknya jodohmu harus yang satu iman.” Aku lagi-lagi tidak menjawab. “Apa kamu masih belum bisa memaafka
Pagi ini aku mengantar adikku yang sedang pulang kampung dari kampusnya ke pameran kampus yang diadakan di SMA tempat aku belajar dulu. “Teh Faihah?”Aku seketika menoleh dan menyipit melihat seseorang yang rasanya tidak asing.“Oh A Rian?”A Rian menghampiriku dengan motornya, “Habis antar Mumtaz Teh?”Aku mengangguk, “Iya, A Rian?”“Habis antar ponakan Teh, dia katanya mau lihat-lihat kampus.”Aku mengangguk-angguk. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benakku, tapi aku ragu untuk mengatakannya.“Teh Faihah mau langsung balik?”Aku menggeleng, “A, mau lihat-lihat dalam juga gak? Saya penasaran soalnya mau lihat sekarang pamerannya seperti apa.”“Oh boleh. Parkir di luar aja Teh, di dalam sekolah biasanya susah buat keluar.”“Oke A.”Suasana sekolah ramai dengan anak-anak menggunakan baju bebas dan membawa tas. Di bagian lapangan terdapat beberapa kedai makanan sementara yang padat oleh pengunjung. Aku memandangi kelas-kelas yang ditempel oleh label kampus. “Teh Faihah pernah ke sini
“Miss Ningsih!” Aku sontak menoleh mendengar suara yang tidak asing.Hari ini sekolah tempat ibuku mengajar mengadakan sebuah open house untuk semua unit sekolah dari TK sampai SMA. Aku sedang membantu temanku semasa SMA menjaga stand makanan di open house tersebut. “Ooh, Kak Yuanita. Gak bareng sama Kak Sherin?”Aku nyaris saja mengumpat dan buru-buru duduk di belakang Tari, temanku sekaligus pemilik stand makanan, agar tidak terlihat. Padahal jelas-jelas dia lebih pendek dariku.Tari seketika menoleh, “Lu ngapain deh?” Aku tidak langsung menjawab. “Teteh? Faihah?”“Tuh, Mak lu manggil!”“Ini gue berkata kasar bisa gak sih.”Mau tidak mau aku bangkit dan keluar dari stand lalu menghampiri kedua orang itu.“Teh Faihah?”Aku tidak tahu harus menyapa seperti apa, syukurlah ibuku menyelanya.“Kamu kenal sama Yuanita, Teh?”“Iya Miss, aku sama Teh Faihah lagi bareng satu proyek.”“Oh, yang program pengajar bahasa Jepang itu?”“Iya Miss.”“Ya sudah kak, Miss tinggal dulu ya. Nanti kalau k
“Menurutmu bagaimana performa mengajar Pak Nandang?”Tanganku memegang kemudi dengan erat karena berpapasan dengan truk yang lumayan besar, membuatku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Kawata sensei. “Jika saya berada di posisi sebagai murid, penyampaiannya sudah cukup baik, sensei.”"Ah begitu." Suasana hening sejenak. "Aku dengar Nandang-san termasuk populer. Semua orang membicarakan tentangnya.""Saya tidak begitu tahu, Sensei. Namun, dari berkasnya saya rasa bukan orang yang main-main. Hanya beliau yang punya sertifikat JLPT N2, Sensei.""Benarkah? Tidak heran dia bisa masuk kelas Haruka. Dia awalnya akan dimasukkan ke dalam kelasku, tapi karena kemampuan bahasa Jepang dia sudah tinggi, kami putuskan dia akan masuk ke kelas Haruka."Aku berusaha keras mendengarkan perkataan Kawata sensei sembari menyetir. Ini bukan jalanan yang biasa aku lewati, dan banyak sawah di pinggir jalan kanan dan kiri. "Tapi sensei akan mempertimbangkan hasil wawancara dia tadi?""Hmmm ... aku belu
“Bu Faihah?”Lamunanku buyar. Padahal aku berharap yang memanggilku janitor, rupanya tidak sesuai harapan. Aku kembali menatap para guru di depanku.“Untuk apa yang terjadi di masa lalu itu adalah urusan Yuichi sensei.” Akhirnya aku mulai angkat bicara, “Yuichi sensei tidak akan menjadi pengajar jika tidak berkompeten, baik itu dari kinerja atau dari cara dia dalam mengelola emosi. Perusahaan cukup ketat dalam menyeleksi, apalagi ini menyangkut nama baik perusahaan juga.”Aku terdiam, bingung ingin melanjutkan dengan apa. “Mengenai keterangan Kang Ujang, memang benar saya mengenal Yuichi sensei sebelum proyek ini berlangsung. Yuichi sensei sebenarnya tidak semenakutkan yang ibu atau bapak pikirkan.” Tiba-tiba aku menatap Pak Peter, “Seperti Pak Peter lah, kelihatannya garang padahal hatinya hello kitty.”Pak Peter tiba-tiba tersipu dan menatap ke arah Pak Salim, “Pak Haji! Benarkan kata Teh Faihah, Saya itu badannya saja yang sangar, aslinya saya nih …” tangan Pak Peter mendadak berge
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments