Share

3. Kang Ammar Pamit

Author: Bai_Nara
last update Last Updated: 2025-05-07 11:53:59

Lelaki yang baru menyandang status sebagai suamiku selama satu hari, tampak berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Aku yang sejak tadi menemani, sampai bosan dibuatnya. jadilah kuarahkan kedua mataku ke arah jendela. Setidaknya pemandangan di sana jauh lebih menarik daripada pemandangan manusia hidup di depanku.

"Gak bisa begini," gumam Gus Arnaf.

"Gak bisa. Pokoknya gak bisa."

Aku tanpa sadar melirik ke arahnya. Dahiku mengernyit mendengar sejak tadi dia ngomong sendiri.

"Ki!" bentaknya. 

Aku sedikit kaget, tapi segera menatap ke arahnya. Gus Arnaf paling tidak suka kalau dia lagi ngomong, tidak ada yang memperhatikan.

"Iya, Gus."

"Kamu harus bisa ngomong ke Umi. Pokoknya kamu bilang aja, kamu masih muda. Belum kepingin punya anak. Pokoknya kamu harus bisa beralasan ke Umi. Biar Umi gak nuntut soal anak ke kita. Ngerti kan kamu?!" Suaranya meninggi. Matanya sengaja melotot kepadaku. Mengintimidasi, memprovokasi.

Jujur aku takut, tapi mengangguk juga.

"Bagus!"

Dia lalu segera mengambil tas kerja dan kunci mobil. Tanpa pamit dia berlalu begitu saja. Aku hanya bisa menghela napas. Aku pun berdiri dan memutuskan untuk ke perpustakaan. 

Bertemu banyak buku sedikit mengalihkanku pada rasa sepi dan kesedihan yang kualami. Saking asiknya memilih dan memilah tanpa sengaja aku hampir menubruk seseorang.

"Kang."

"Ning."

Secara tak sengaja aku bertemu dengan Kang Amar di perpus saat akan meminjam beberapa buku persiapan masuk ke perguruan tinggi. 

"Mari Ning, saya duluan. Assalamu'alaikum." 

"Wa'alaikumsalam."

Aku hanya bisa membiarkan Kang Amar pergi begitu saja. Setelah itu, aku memilih duduk di pojokan. Bersyukur, kondisi perpus sangat sepi sehingga aku tak perlu khawatir akan ada yang melihatku tengah berduka. Sudah satu hari aku menjadi istri Gus Arnaf, selama itu juga setiap aku berjumpa dengan santriwati, pandangan semua orang terlihat menatapku dengan cemooh.

Aku tak tahu salahku apa. Apakah menikah dengan Gus Arnaf itu sebuah dosa? Kenapa mereka hanya membullyku saja? Kenapa Gus Arnaf tidak mereka bully juga? Sampai kapan aku harus menahan sakit hatiku gara-gara perlakuan Gus Arnaf. Ingin sekali berteriak tapi untuk apa? Yang ada Gus Arnaf akan semakin semena-mena. Aku juga ingin meminta semua jangan mengejekku, aku gak salah. Tapi ... apa mungkin mereka percaya.

Ingin rasanya aku menyerah tapi beruntung aku masih ingat akan siksaan Tuhan. Aku memilih tetap bersabar. Lalu demi menenangkan hati, aku memilih berjibaku dengan berbagai materi di mejaku. Aku tak peduli dengan keriuhan yang terjadi di sekitar perpus. Toh, tak ada satu pun yang akan menyapaku. Kecuali .... 

"Kiran!"

Aku mendongak lalu tersenyum saat ketiga sahabatku datang. 

"Belajar?"

"Iya, Za."

"Ayo bareng."

Aku mengangguk, jadilah kami berempat belajar bersama. Sesekali terjadi perdebatan di antara kami namun tak berselang lama tawa akan terdengar. 

Aku meninggalkan perpus pukul sepuluh siang. Moza dan Tika kembali ke pondok sementara aku dan Alina kembali ke rumah. Saat sampai di teras depan rumah, kulihat di halaman rumah Umi ada sebuah mobil Avanza hitam. Aku terdiam melihat plat nomor yang ada. 

"Ada tamu, Ki."

Aku tak menjawab dan memilih masuk sambil menunduk. Sampai di ruang tamu, aku bisa melihat siapa tamu yang datang. Ternyata dugaanku benar. 

"Kirana!" pekik seorang wanita. 

Aku tersenyum pada wanita paruh baya yang memanggil namaku, mencium tangannya lembut dan menerima pelukan hangatnya. 

"Kiran selamat ya? Maaf Tante gak bisa datang kemarin. Pas lagi ke Mekkah buat umrah."

"Gak apa, Tante Aisyah. Makasih."

Tante Aisyah yang baik hati adalah tetanggaku di Pekalongan. Rumah kami masih satu RT hanya berbeda gang. Tante Aisyah dan Om Ahsan adalah orang tua Kang Ammar. Hubungan keluarga kami baik. 

"Tante sama Om mau jemput Ammar, alhamdulillah setelah dua tahun usaha, dia bisa ke Mesir buat kuliah di sana." Tante Aisyah terlihat bahagia sekali pun dengan Om Ahsan. Kang Ammar sendiri terlihat hanya diam dan menunduk. 

"Alhamdulillah. Selamat ya Tante, Om, Kang. Semoga berkah," ucapku mencoba menahan sesak di dada. Karena itu berarti, aku tak akan bisa bertemu dengannya untuk waktu yang lama. Atau ...? Mungkin selamanya kami tak akan pernah bertemu. 

"Matur nuwun, Ning." Kang Ammar mengucap lirih tanpa melihatku. 

Umi Saroh dan kedua orang tua Kang Ammar tampak mengobrol dengan hangat. Aku, Alina dan Kang Ammar hanya diam, lebih sebagai pendengar saja. Setelah cukup lama mengobrol, keluarga Kang Ammar pamit. Aku menyalami Tante Aisyah, memeluknya sayang, menyalami Om Ahsan dan terakhir hanya menangkupkan kedua tangan pada Kang Ammar. Sejenak mata kami bertemu pandang, aku bisa melihat binar kesedihan di matanya. Rasa sesak kembali menghujam hatiku. Aku butuh sendiri, aku ingin menangis. 

"Ini buat Kiran, sebagai hadiah pernikahan. Ammar bantu Umi milihin." Tante Aisyah menyerahkan satu kado besar padaku sebelum masuk ke dalam mobil. Aku pun menerimanya. 

Kang Ammar dan kedua orang tuanya akhirnya pergi. Meninggalkan kekosongan dalam hatiku. Patah. Bahkan rasanya lebih menyakitkan dibanding meberima perlakuan buruk dari Gus Arnaf. 

"Yah, Kang ganteng pergi ya, Ki. Padahal aku suka sama dia. Baik, kalem, ih! Sosok the best buat jadi suami." Kudengar Alina sedang memuji Kang Ammar. 

Umi Saroh terkekeh lalu membenarkan perkataan putri bungsunya. 

"Iya, dia baik. Umi juga suka sama dia."

"Aku mau loh Umi sama dia."

"Tapi belum tentu dia mau sama kamu."

"Hihihi, benar juga."

Kami bertiga masih terdiam di teras depan rumah hingga Umi yang pertama kali sadar dan menyuruh kami masuk ke dalam rumah. Karena mau dhuhur. Aku langsung ke kamar dan tidak ikut ke masjid karena sedang halangan. Menyadari jika rumah sedang sepi, sengaja aku masuk ke kamar Gus Arnaf dan menguncinya.

Dengan jantung berdebar kubuka hadiah dari Tante Aisyah. Rupanya sebuah mukena yang sangat cantik dan sebuah gamis yang tak kalah cantik. Dan ternyata masih ada lagi, sebuah surat. Segera saja kubuka surat itu, dan membacanya.

Assalamu'alaikum Kirana.

Hai, apa kabar? Bagaimana keadaanmu? Semoga kamu baik-baik saja. 

Maaf ya, aku memutuskan pergi. Aku hanya takut berbuat nekat dan malah berpikir untuk merebut kamu dari suamimu. Kan dosa? Hahaha. Rasanya aku tak ingin menjadi lakon jahat yang merugikan diri sendiri, kedua orang tuaku dan kamu. Meski jujur, aku sering kesal melihat perlakuan dingin suamimu, tapi ... aku tak mau kalah oleh hawa napsu. 

Pernikahan kalian nyata. Allah telah menakdirkan kamu dan Gus Arnaf untuk bersama. Dan aku yakin, kebaikan hatimu suatu hari nanti akan menyentuh hati suamimu, cepat atau lambat. Karena itu, aku memilih mengalah. 

Tahu gak Ki, dulu aku selalu berdoa dan bermimpi kisah kita akan indah pada waktunya. Saat kita sudah dewasa, saat kamu sudah dewasa, ternyata? 

Aku minta maaf, karena tak bisa memenuhi janjiku untuk mengajakmu mengunjungi Ka'bah, Mekkah, Madinah, Turki, Yaman bahkan Mesir bersama-sama. Ah, jangankan ke tempat-tempat itu, mengajakmu pergi ke Baturaden, atau Guci saja mungkin tidak akan pernah bisa kulakukan. Hahaha. 

Sekali lagi selamat untukmu, Ki. Aku dengan tulus mendoakan kebahagiaanmu. Ingat Ki, kamu harus bahagia. Kamu harus tetap menjadi Kirana yang bahagia. 

Namun, jika suatu saat kamu tak bahagia, aku hanya berharap bukan aku yang merusaknya. Tapi ... aku berharap jika itu terjadi, maka aku yang akan menjadi pengganti suamimu, pelindungmu. Hahaha, ya ampun, Ki. Doaku jahat sekali. 

Maaf ya, sepertinya suratku makin melantur. Pokoknya, jangan sampai kamu tidak bahagia. Kamu harus bahagia. Mari kita raih bahagia kita masing-masing. Meski raga tak saling memiliki tapi doa tulusku selalu untukmu, Ki. 

Dari aku yang pernah dan akan selalu mencintaimu. 

Ammar

NB: Setelah kamu membaca surat ini, tolong surat ini kamu bakar atau sobek, Ki. Jangan sampai kamu mendapat masalah. 

Aku tersenyum. Kang Ammar selalu saja begitu. Perhatian. Tentu saja aku tak perlu berpikir dua kali. Segera saja aku meremas surat dari Kang Amar lalu berjalan ke kamar mandi, membuka kloset duduk dan membuang gumpalan surat ke dalamnya. Lalu kutekan tombol di atas dan segera saja, kloset bekerja menelan gumpalan surat dari Kang Ammar. 

"Selamat tinggal, Kang. Terima kasih."

Begitu yakin, surat itu sudah tak ada, aku kembali ke kamar. Duduk di lantai di dekat hadiah dari Kang Ammar. Aku tersenyum, rupanya di bawah gamis dan mukena masih ada lagi. Mushaf berwarna pink, dan tasbih. Aku tersenyum dan menangis secara bersamaan. 

"Ya Allah Kang, serasa kamu yang akan menikah denganku, hiks hiks hiks."

Kali ini air mataku semakin luruh, aku memeluk hadiah Kang Ammar penuh sayang. Biarlah siang ini kutumpahkan semua sesak di dada. Karena jika Gus Arnaf kembali, maka kenyataan sesungguhnya akan membuatku makin sesak. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   19. Pesan Provokasi

    Satu minggu ini hubunganku dan Gus Arnaf kembali renggang. Aku sebetulnya sudah bisa memaafkan Gus Arnaf. Setelah kupikir-pikir, mungkin aku juga yang salah. Kalau tidur kayak orang mati, tentu saja aku tak merasakan apa yang terjadi pada tubuhku.Belum lagi pas dia cumbu rayu, sikapku kurang tegas dan tidak menolak. Tentu saja Gus Arnaf jadi kebablasan. Lagian dia cowok. Cowok kan begitu. Katanya cinta sama si A tapi bisa bercinta dengan cewek B.Dan hal yang paling membuatku sadar karena dia suamiku. Dia berhak atas diriku. Dalam islam, istri itu punya kewajiban melayani suami. Kalau tidak mau ya kena dosa. Nah, aku sudah jelas berdosa di sini.Tapi tidak mungkin aku mengatakan kalau dia boleh menyentuhku kan? Gila kalau aku sampai bilang begitu.Gus Arnaf sendiri lebih banyak diam setelah pertengkaran kami waktu itu. Dia tidak lagi bersikap dingin atau berbicara ketus. Tapi sikap perhatiannya tetap sama. Segala kebutuhanku tetap dia perhatikan. Sama seperti aku yang selalu memperha

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   18. Rasa Jijik

    Aku menatap penampakkan diri di cermin yang ada di kamar mandi. Ada rasa kesal begitu mengetahui sebuah kebenaran yang baru kuketahui dikarenakan minimnya pengalamanku."Pantas saja, waktu aku mau ngolesin Autan dia bilang, katanya itu obat nyamuk oles gak bagus," dengusku."Gak bagus buat dia, bisa keracunan kalau aku nekat pake. Aih, ternyata ini ulahnya. Dasar Drakula berkedok sok gak suka. Ish, kenapa aku gak pakai Autan aja sih! Biar dia wassalam sekalian. Aku jadi janda. Tapi ... kalau dia mati, dikira aku yang ngeracunin dong. Agh!" Aku mengacak-acak rambut basahku. Aku benar-benar kesal menyadari Gus Arnaf sudah bermain curang denganku. Apanya yang gak cinta. Bilang gak cinta tapi buktinya tiap malam, badanku dia gerayangin sampai bikin tanda dimana-mana. Ah, kesel banget rasanya pas aku sudah tahu nyamuk mana yang bikin tanda merah di area leher dan sekitarnya. Dan bodohnya aku, kenapa aku gak kerasa dan malah tetap tidur kayak kebo. Padahal aku sedang dicabuli sama monster

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   17. Ancaman

    Aku hanya bisa menghela napas. Lagi-lagi aku mendapat chat berisi ancaman dari nomer asing. Sejujurnya aku sudah mempunyai dugaan siapa dalangnya tapi aku berusaha tak menggubrisnya. Fokusku kini hanyalah menjalani hidup, fokus hapalan dan masuk ke universitas. Sementara untuk masalah pernikahanku, aku memilih bersikap seperti air yang mengalir saja. Tidak mau terlalu berharap.Kutatap kembali ponselku lalu segera menghapus pesan-pesan ancaman yang masuk.“Ini orang apa gak ada kerjaan? Gangguin orang aja. Main ancem-ancem segala. Kelihatan banget butuh validasi. Heran, kenapa Gus Arnaf bisa keblinger sama cewek modelan gini. Tampang aja sok alim, kelakuan kayak memedi."Aku menaruh ponselku di atas meja lalu kembali fokus ke hapalanku. Sayangnya, baru juga dapat satu ayat, pintu kamarku terbuka dan tampaklah Gus Arnaf yang baru pulang."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawabku.Aku mengernyitkan dahi, lalu segera mengambil ponsel untuk memastikan hari ini adalah hari selasa. Ter

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   16. Keluarga Cemara

    "Kamu nyari apa?" tanya Gus Arnaf saat aku sibuk mencari minyak kayu putih di tas gendong kecil milikku."Nyari minyak kayu putih," ucapku tanpa melihatnya. Soalnya aku sibuk mencari minyak kayu putih.Aku senang karena berhasil menemukannya. Segera saja aku duduk di sisi ranjang. Tanpa membuka mukena atasan, aku langsung mengolesi leherku dengan minyak kayu putih."Kamu sakit?""Gak.""Kenapa ngolesin minyak kayu putih? Kamu masuk angin? AC-nya kegedean kah?"Gus Arnaf duduk di sampingku. Dia meraba dahiku dengan punggung tangannya."Gak panas, kok.""Aku gak panas, Gus. Cuma digigit nyamuk.""Nyamuk? Mana ada? Ruangan ini tertutup. Kamar ber-AC juga, ya gak bakalan ada nyamuk lah," ucapnya kebingungan.Aku menatap Gus Arnaf dengan wajah cemberut. Lalu dengan tergesa aku membuka mukena atasan. Sedikit menyingkirkan rambut yang mengenai leherku lalu menunjukkan banyaknya noda merah di leherku."Nih! Tuh lihat. Aku digigit Gus. Banyak banget ini. Mana gede banget bekas gigitannya. Nyam

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   15. Digigit Nyamuk?

    Awalnya terasa canggung saat berjumpa dengan rekan kerja plus keluarga dari rekan Gus Arnaf. Tapi lama kelamaan aku bisa beradaptasi.Meski kuakui, para istri, maupun dokter wanita di tempat kerja Gus Arnaf ada yang berpenampilan ala sosialita, tapi bersyukur aku bisa membaur. Yah, aku selalu ingat pesan Mamah, kalau dimana pun kita berada, langit harus dijunjung, pembawaan diri jangan sampai luntur tapi tidak boleh tidak beradab. Dan itu selalu kubawa ke mana pun aku pergi seperti saat ini."Mbak Kiran usia berapa ya?" tanya dokter spesialis kandungan bernama Mala. Katanya dia termasuk seniornya Gus Arnaf. Dia sudah menikah dan punya satu anak. Anaknya berusia empat tahun. Cewek. Dan si bocil kini sedang berada di pangkuanku."Delapan belas, Dokter.""Mbak Mala. Jangan panggil dokter. Orang lagi santai juga." Senyum persahabatan dari Dokter Mala membuatku merasa nyaman."Iya Mbak." Aku pun ikut tersenyum."Mmm, masih muda banget ya. Tapi gak papa deh, penting Arnafnya suka."Aku hany

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   14. Ambigu

    Beberapa hari ini aku merasa ada yang aneh dengan sikap Gus Arnaf. Dulu dia yang seringnya cuek padaku, terlihat lebih memperhatikan kehadiranku.Dia selalu pamit kalau akan berangkat bekerja. Gus Arnaf bekerja di RSUD saat siang. Sementara di sore hari, dia bekerja di salah satu rumah sakit swasta cukup ternama di kota kami. Sabtu minggu dia membantu di klinik temannya. Jadwalnya memang sepadat itu. Makanya untuk urusan pondok, dia cenderung bergerak di balik layar, tidak terjun langsung.Sesekali dia akan pulang larut karena kesibukannya. Anehnya, kini, kalau pulang larut, dia selalu chat aku. Bahkan bisa sehari sampai lima kali dia mengirimi chat hanya untuk bertanya hal-hal receh.Bukan hanya itu saja, beberapa kali kulihat dia membawakan jajanan untukku setiap pulang kerja, bahkan pernah dia membelikan aku beberapa stel gamis. Membuat Alina uring-uringan karena dia tidak dibelikan. Alina baru semringah saat sang kakak membelikan dia gamis juga. Tapi, ternyata dia juga membelikan

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   13. Sedikit Mencair

    "Kamu kenapa dorong aku? Sakit tahu gak?" teriak Gus Arnaf.Aku tak mempedulikan perkataannya malah sibuk mengamati keadaanku. Aku menghembuskan napas, merasa lega karena bajuku masih nempel dan artinya, semalam tidak terjadi apa-apa.Lalu kutatap Gus Arnaf yang mencoba bangun. "Gus Arnaf ngapain peluk-peluk aku segala sih? Tidur tinggal tidur aja," ucapku ketus."Ya mana kutahu, aku kan biasa peluk guling. Mana kutahu itu kamu.""Ck. Dasar lelaki. Selalu saja nyari kesempatan. Bilangnya gak suka gak napsu. Pantes banyak di luaran sana ngakunya sayang anak sayang istri tapi selingkuh juga. Poligami juga. Dasar!" gerutuku sambil turun dari ranjang dan memilih menuju ke arah kamar mandi.Tapi langkahku terhenti karena suara gedoran di depan pintu kamar. Disertai teriakan Alina yang bertanya aku sudah bangun apa belum."Udah, Lin. Makasih udah dibangunin.""Oke!" teriak Alina dari arah pintu.Aku pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk cuci muka, buang air kecil dan tentu saja berwudhu

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   12. Merawat Suami

    "Umi istirahat aja. Biar Kirana yang nungguin, Guse," ucapku pada Umi Saroh.Umi Saroh tampak menghela napas. "Kamu pasti juga capek.""Gak papa Umi. Meski aku capek, besok kan aku nganggur gak ada kesibukan. Beda sama Umi yang harus sehat karena banyak tugas."Umi Saroh tersenyum. Dia menatap ke arah sang putra. Lalu membelai rambutnya dengan lembut.“Dulu dia manut sekali anaknya. Selalu bikin bangga. Tapi, nambah umur makin gak bisa umi kendalikan,” ucap beliau dengan tatapan sendu.“Gak tahu kenapa dia banyak berubah. Kadang umi mikir, apa umi salah didik dia ya?”“Perubahan kan bukan cuma faktor didikan, Umi. Mungkin banyak hal yang bikin Guse berubah. Bisa saja selama kuliah, Guse banyak dapat tekanan, atau hal-hal lain yang buat dia berubah.”“Bisa jadi. Umi juga baru tahu, kalau kuliah kedokteran itu, senioritas tinggi. Itu loh dari berita yang dr. Aulia sampai bunuh diri, kasus si Lady Lady itu juga. Baru umi tahu, kalau kuliah di dunia kedokteran begitu. Pantas, rata-rata ya

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   11. Gak Diajak

    Sarapan pagi berlangsung dalam keheningan. Tak ada satu pun dari kami yang bersuara. Hanya suara denting sendok yang bertarung dengan piring. "Umi selesai. Hari ini umi ada acara, di Purwokerto. Dan Ulya, kamu jadi balik ke Al Hikam hari ini?""Jadi Umi. Mulai besok, Ulya udah kuliah lagi.""Ya sudah. Bareng umi ya berangkatnya?""Iya Umi."Lalu Umi Saroh menatapku dan Alina."Mau ikut?""Ikut Umi. Mau ngelihat Gus Aslan yang katanya ganteng banget. Hihihi.""Dasar. Ayuk siap-siap.""Baik!" teriak Alina.Umi sama sekali tak mengajak putranya. Jangankan mengajak, menegur atau mengatakan satu patah kata pun tidak. Sepertinya beliau memang masih marah. Beliau berdiri. Kami pun ikut berdiri kecuali Gus Arnaf.Masing-masing berjalan menuju ke kamar termasuk aku. Tak kupedulikan sosok Gus Arnaf dan memilih menuju ke kamar untuk mengganti baju. Aku memilih salah satu gamis kesukaanku yang tentu saja pemberian Kang Ammar. Setelah itu aku juga menyiapkan gamis cadangan plus kerudungnya. Soaln

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status