Share

2. Malam Yang Dingin

Author: Bai_Nara
last update Last Updated: 2025-05-07 11:53:28

Aku masih berdiri diam di depan sebuah kamar. Kamar yang selama aku mondok menjadi tempat yang sering kubersihkan ternyata kini bakalan menjadi kamarku. Namun, melangkahkan kaki ke sana pun aku tak sanggup. Kedua kakiku terasa berat bagai ada lem cap gajah yang menahannya. 

"Ngapain berdiri di sana? Masuk!" Suara dingin yang sudah kuhapal terdengar. Aku tak perlu menoleh, karena jelas suara ini pasti suara Gus Arnaf. 

Gus Arnaf membuka pintu dan masuk duluan. Dengan hati dan langkah yang sama beratnya aku pun masuk. Tak lupa salam aku ucapkan meski tak ada sahutan dari Gus Arnaf. Padahal dia dengar. 

"Tutup pintunya!" Lagi, suara dingin itu yang keluar. 

Aku pun segera menutup pintu dengan pelan. 

"Kunci!"

Dan aku pun menguncinya sesuai permintaan yang punya kamar. 

"Duduk!" Gus Arnaf memintaku duduk, aku melihat sekeliling, hanya ada sofa panjang yang sangat nyaman dan ranjang, serta kursi belajar. Aku memilih duduk di kursi belajar karena sofa sudah diduduki Gus Arnaf. Ranjang kubiarkan saja dengan bunga-bunga berbentuk hati masih tertata rapi, belum tersentuh. 

"Dengar ya Kirana, aku menikahimu hanya demi ibuku. Suatu hari nanti, aku ingin kita bercerai. Aku mencintai Salma dan akan menjadikan dia istriku, ngerti?"

"Nggih, Gus."

"Sampai saatnya tiba, kamu harus berperan seolah-olah pernikahan kita baik-baik saja. Ngerti?"

"Ngerti, Gus."

"Aku akan mencari cara agar kita bisa bercerai, tanpa drama, tanpa apapun. Ngerti?"

"Ngerti, Gus."

"Bagus. Pokoknya jangan sampai Umi tahu pernikahan kita tidak baik-baik saja. Dan jangan sampai Umi tahu masalahku dan Salma. Aku gak mau Umi berpikiran buruk tentang dia. Dia baik saja, tidak Umi setujui gimana kamu ngata-ngatain Salma?"

Aku hanya diam. Sungguh picik sekali pemikiran lelaki yang kini bergelar suamiku. Dia maunya tambatan hati tampak harum mewangi sementara aku? Sejak berita perjodohan kami, banyak sekali gunjingan, ucapan sinis bahkan perlakuan tak baik yang kudapatkan dari para santriwati dan para ustazah. Tapi aku diam dan tak bicara apa pun. Untuk apa? Aku hanyalah gadis yang baru lulus MA, sementara Ning Salma seorang ning dari Purworejo. Sudah lulus kuliah setahun yang lalu. Cantik, pintar dan menyenangkan. Berbeda sekali denganku yang dari segi apa pun jelas kalah. 

"Pokoknya akan aku cari cara, agar kita berpisah secara baik-baik. Tanpa menyakiti pihak mana pun. Kamu ngerti, kan?"

"Nggih."

"Satu lagi. Aku tidur di sofa, kamu di ranjang. Dan jangan meminta nafkah batin dariku dan ...."

Gus Arnaf menaruh sebuah ATM di atas meja dekat sofa panjang. 

"Untukmu. Meski aku gak bisa memberikan nafkah batin, tapi aku tidak akan melepas tanggungjawabku. Kamu mau sekolah lagi, gak masalah. Malah kalau bisa sejauh mungkin dari sini. Agar kita bisa menjadikan LDR sebagai alasan bercerai dan aku akan menikahi Salma."

Aku hanya diam. Tak mengatakan apa pun. Bahkan ketika Gus Arnaf menyebutkan peraruran-peraturan seperti :

1. Tidak boleh saling menyentuh

2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing

3. Harus bersikap layaknya pasangan di depan Umi

Dan entah peraturan apalagi yang dia ucapkan, aku tak peduli. Karena begitu tahu kalau aku akan menikah dengannya, aku tahu bersamaan dengan itu duniaku pasti hancur. 

"Ngerti, kan? Apa yang harus kamu lakukan?"

Aku hanya mengangguk. Tak ingin mengatakan apa pun. 

"Bagus. Aku mau tidur." 

Dan tanpa perasaan Gus Arnaf mematikan lampu kamarnya, dia bahkan tak memberikan cahaya sedikit pun agar aku bisa mencapai ranjang. Luar biasa sekali suamiku ini. Padahal aku perlu ke kamar mandi untuk gosok gigi dan membersihkan diri. Ya Allah, hamba benar-benar pasrah. 

Akhirnya dengan minimnya cahaya, aku berusaha berjalan menuju ke ranjang. 

Duk! 

"Aduh!" Aku memekik cukup keras. Segera saja kututup mulutku agar tidak kena omel. Tapi tetap saja kena. 

"Matamu ke mana? Pakai ponsel atau apa kek! Sebelah nakas ada lampu tidur. Bisa kamu gunakan itu!" hardik Gus Arnaf dengan suara yang mendesis pelan namun menusuk. 

Aku hanya diam. Sambil menahan rasa sakit, aku meraba-raba nakas, menyalakan lampu tidur. Sedikit penerangan sangat membantuku berada di kamar. Aku menatap ke arah Gus Arnaf yang kini berbaring dengan memunggungiku. Aku mengucap istighfar. Belum satu hari aku menjadi istrinya. Tapi dia sudah berlaku kasar dan semena-mena padaku. Entahlah, aku bisa sabar atau tidak aku tak tahu. 

Malas berurusan dengan si Dokter Galak, aku memilih menuju koperku, mencari daster panjang dan kerudung instan serta pounch yang berisi peralatan kosmetikku. Lalu begitu sudah menemukan apa yang kucari, segera saja kamar mandi menjadi tujuan. 

Malam ini, kami lewatkan acara malam pertama kami dalam keheningan. Pagi harinya, saat baru keluar dari kamar, Umi Saroh menyambut kami dengan senyum lebarnya. Aku segera menyalami setelah Gus Arnaf. 

"Tidurnya nyenyak?"

Aku hanya mengangguk saja. Umi Saroh kembali tersenyum lalu mengajak kami ke ruang tengah. Beliau menyuruhku duduk di samping Gus Arnaf. Karena tadi malam, tulang kering sebelah kanannku terantuk sudut ranjang cukup keras hingga terjadi memar, maka jalanku jadi tidak seperti biasanya. Cara jalan yang malah menimbulkan ledekan dari Alina. 

"Cieee, yang habis ngamalin si Qurotun, ahay!"

"Apaan sih, Dek! Diem gak?!" bentak Gus Arnaf. Wajahnya merona merah tanda marah. 

"Cieee yang pipinya merona, pasti malu ya, cie cie cie, kayaknya bakalan cepet dapat ponakan ini, hihihi."

Alina terus saja menggoda kami. Gus Arnaf sesekali menghardik sang adik. Umi dan Ning Ulya hanya terkekeh melihat perdebatan putra sulung dan anak bungsu. 

"Sudah, jangan ribut. Kamu ya, Lin, suka banget godain kakakmu, dan kamu Naf, masa kamu masih saja suka tersulut emosi kalau ngadepin Alina," tegur Umi Saroh kepada putra sulung dan putri bungsunya. 

"Hihihi, iya ya Umi. Mas mah emosian mulu heran kenapa jadi dokter? Kayaknya mana ada pasien yang mau diperiksa sama dia. Lihat tuh muka galak dan dinginya, hiiii. Gak punya pasien kamu, Mas."

"Diem gak, Lin! Kalau gak, jatah jajanmu aku potong."

"Monggo, gak takut kan ada Umi weeee!"

Alina seperti biasa tak pernah takut pada kakak sulungnya yang galak. Ning Ulya sendiri lebih banyak diam karena dia memang orangnya pendiam dan kalem. 

"Wes to, jangan gelut wae ayok makan. Kirana, jangan lupa ambilin buat umi ya Nduk, setelah kamu ngambilin buat Arnaf. Umi pengen disayang sama mantu," ucap Umi dengan binar bahagia. 

Aku tak perlu disuruh dua kali dan segera melaksanakan apa yang Umi perintahkan. 

"Segini, Gus?" tanyaku pada Gus Arnaf saat mengambilkan nasi. 

"Cukup."

"Mau lauk apa?"

"Sop, ayam goreng sama sambal."

Aku segera menuangkan apa yang dia inginkan lalu menyerahkan pada Gus Arnaf. 

"Makasih," ucapnya lembut sambil mengulas senyum manis. 

Aku terhenyak, sempat terpesona karena ternyata lelaki dingin seperti dia bisa tersenyum. Namun aku kembali ingat, poin-poin yang tadi malam dia utarakan. Ah, rupanya hanya sandiwara. 

Berkat pemahaman ini, aku jadi tidak baper dan memilih segera mengambilkan makan untuk Umi lalu diriku sendiri. Akhirnya kami pun makan dengan tenang. 

Selesai makan, Umi mengajak kami bercerita hingga ada satu kalimatnya yang membuat aku begidik ngeri sementara Gus Arnaf sampai tersedak minuman kopinya.

"Umi harap, kalian gak nunda momongan. Umi pengen cepet punya cucu!"

"Uhuk. Uhuk. Uhuk."

Ucapan Umi benar-benar membuatku takut sementara Gus Arnaf kini sibuk mengatasi batuknya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   19. Pesan Provokasi

    Satu minggu ini hubunganku dan Gus Arnaf kembali renggang. Aku sebetulnya sudah bisa memaafkan Gus Arnaf. Setelah kupikir-pikir, mungkin aku juga yang salah. Kalau tidur kayak orang mati, tentu saja aku tak merasakan apa yang terjadi pada tubuhku.Belum lagi pas dia cumbu rayu, sikapku kurang tegas dan tidak menolak. Tentu saja Gus Arnaf jadi kebablasan. Lagian dia cowok. Cowok kan begitu. Katanya cinta sama si A tapi bisa bercinta dengan cewek B.Dan hal yang paling membuatku sadar karena dia suamiku. Dia berhak atas diriku. Dalam islam, istri itu punya kewajiban melayani suami. Kalau tidak mau ya kena dosa. Nah, aku sudah jelas berdosa di sini.Tapi tidak mungkin aku mengatakan kalau dia boleh menyentuhku kan? Gila kalau aku sampai bilang begitu.Gus Arnaf sendiri lebih banyak diam setelah pertengkaran kami waktu itu. Dia tidak lagi bersikap dingin atau berbicara ketus. Tapi sikap perhatiannya tetap sama. Segala kebutuhanku tetap dia perhatikan. Sama seperti aku yang selalu memperha

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   18. Rasa Jijik

    Aku menatap penampakkan diri di cermin yang ada di kamar mandi. Ada rasa kesal begitu mengetahui sebuah kebenaran yang baru kuketahui dikarenakan minimnya pengalamanku."Pantas saja, waktu aku mau ngolesin Autan dia bilang, katanya itu obat nyamuk oles gak bagus," dengusku."Gak bagus buat dia, bisa keracunan kalau aku nekat pake. Aih, ternyata ini ulahnya. Dasar Drakula berkedok sok gak suka. Ish, kenapa aku gak pakai Autan aja sih! Biar dia wassalam sekalian. Aku jadi janda. Tapi ... kalau dia mati, dikira aku yang ngeracunin dong. Agh!" Aku mengacak-acak rambut basahku. Aku benar-benar kesal menyadari Gus Arnaf sudah bermain curang denganku. Apanya yang gak cinta. Bilang gak cinta tapi buktinya tiap malam, badanku dia gerayangin sampai bikin tanda dimana-mana. Ah, kesel banget rasanya pas aku sudah tahu nyamuk mana yang bikin tanda merah di area leher dan sekitarnya. Dan bodohnya aku, kenapa aku gak kerasa dan malah tetap tidur kayak kebo. Padahal aku sedang dicabuli sama monster

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   17. Ancaman

    Aku hanya bisa menghela napas. Lagi-lagi aku mendapat chat berisi ancaman dari nomer asing. Sejujurnya aku sudah mempunyai dugaan siapa dalangnya tapi aku berusaha tak menggubrisnya. Fokusku kini hanyalah menjalani hidup, fokus hapalan dan masuk ke universitas. Sementara untuk masalah pernikahanku, aku memilih bersikap seperti air yang mengalir saja. Tidak mau terlalu berharap.Kutatap kembali ponselku lalu segera menghapus pesan-pesan ancaman yang masuk.“Ini orang apa gak ada kerjaan? Gangguin orang aja. Main ancem-ancem segala. Kelihatan banget butuh validasi. Heran, kenapa Gus Arnaf bisa keblinger sama cewek modelan gini. Tampang aja sok alim, kelakuan kayak memedi."Aku menaruh ponselku di atas meja lalu kembali fokus ke hapalanku. Sayangnya, baru juga dapat satu ayat, pintu kamarku terbuka dan tampaklah Gus Arnaf yang baru pulang."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawabku.Aku mengernyitkan dahi, lalu segera mengambil ponsel untuk memastikan hari ini adalah hari selasa. Ter

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   16. Keluarga Cemara

    "Kamu nyari apa?" tanya Gus Arnaf saat aku sibuk mencari minyak kayu putih di tas gendong kecil milikku."Nyari minyak kayu putih," ucapku tanpa melihatnya. Soalnya aku sibuk mencari minyak kayu putih.Aku senang karena berhasil menemukannya. Segera saja aku duduk di sisi ranjang. Tanpa membuka mukena atasan, aku langsung mengolesi leherku dengan minyak kayu putih."Kamu sakit?""Gak.""Kenapa ngolesin minyak kayu putih? Kamu masuk angin? AC-nya kegedean kah?"Gus Arnaf duduk di sampingku. Dia meraba dahiku dengan punggung tangannya."Gak panas, kok.""Aku gak panas, Gus. Cuma digigit nyamuk.""Nyamuk? Mana ada? Ruangan ini tertutup. Kamar ber-AC juga, ya gak bakalan ada nyamuk lah," ucapnya kebingungan.Aku menatap Gus Arnaf dengan wajah cemberut. Lalu dengan tergesa aku membuka mukena atasan. Sedikit menyingkirkan rambut yang mengenai leherku lalu menunjukkan banyaknya noda merah di leherku."Nih! Tuh lihat. Aku digigit Gus. Banyak banget ini. Mana gede banget bekas gigitannya. Nyam

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   15. Digigit Nyamuk?

    Awalnya terasa canggung saat berjumpa dengan rekan kerja plus keluarga dari rekan Gus Arnaf. Tapi lama kelamaan aku bisa beradaptasi.Meski kuakui, para istri, maupun dokter wanita di tempat kerja Gus Arnaf ada yang berpenampilan ala sosialita, tapi bersyukur aku bisa membaur. Yah, aku selalu ingat pesan Mamah, kalau dimana pun kita berada, langit harus dijunjung, pembawaan diri jangan sampai luntur tapi tidak boleh tidak beradab. Dan itu selalu kubawa ke mana pun aku pergi seperti saat ini."Mbak Kiran usia berapa ya?" tanya dokter spesialis kandungan bernama Mala. Katanya dia termasuk seniornya Gus Arnaf. Dia sudah menikah dan punya satu anak. Anaknya berusia empat tahun. Cewek. Dan si bocil kini sedang berada di pangkuanku."Delapan belas, Dokter.""Mbak Mala. Jangan panggil dokter. Orang lagi santai juga." Senyum persahabatan dari Dokter Mala membuatku merasa nyaman."Iya Mbak." Aku pun ikut tersenyum."Mmm, masih muda banget ya. Tapi gak papa deh, penting Arnafnya suka."Aku hany

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   14. Ambigu

    Beberapa hari ini aku merasa ada yang aneh dengan sikap Gus Arnaf. Dulu dia yang seringnya cuek padaku, terlihat lebih memperhatikan kehadiranku.Dia selalu pamit kalau akan berangkat bekerja. Gus Arnaf bekerja di RSUD saat siang. Sementara di sore hari, dia bekerja di salah satu rumah sakit swasta cukup ternama di kota kami. Sabtu minggu dia membantu di klinik temannya. Jadwalnya memang sepadat itu. Makanya untuk urusan pondok, dia cenderung bergerak di balik layar, tidak terjun langsung.Sesekali dia akan pulang larut karena kesibukannya. Anehnya, kini, kalau pulang larut, dia selalu chat aku. Bahkan bisa sehari sampai lima kali dia mengirimi chat hanya untuk bertanya hal-hal receh.Bukan hanya itu saja, beberapa kali kulihat dia membawakan jajanan untukku setiap pulang kerja, bahkan pernah dia membelikan aku beberapa stel gamis. Membuat Alina uring-uringan karena dia tidak dibelikan. Alina baru semringah saat sang kakak membelikan dia gamis juga. Tapi, ternyata dia juga membelikan

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   13. Sedikit Mencair

    "Kamu kenapa dorong aku? Sakit tahu gak?" teriak Gus Arnaf.Aku tak mempedulikan perkataannya malah sibuk mengamati keadaanku. Aku menghembuskan napas, merasa lega karena bajuku masih nempel dan artinya, semalam tidak terjadi apa-apa.Lalu kutatap Gus Arnaf yang mencoba bangun. "Gus Arnaf ngapain peluk-peluk aku segala sih? Tidur tinggal tidur aja," ucapku ketus."Ya mana kutahu, aku kan biasa peluk guling. Mana kutahu itu kamu.""Ck. Dasar lelaki. Selalu saja nyari kesempatan. Bilangnya gak suka gak napsu. Pantes banyak di luaran sana ngakunya sayang anak sayang istri tapi selingkuh juga. Poligami juga. Dasar!" gerutuku sambil turun dari ranjang dan memilih menuju ke arah kamar mandi.Tapi langkahku terhenti karena suara gedoran di depan pintu kamar. Disertai teriakan Alina yang bertanya aku sudah bangun apa belum."Udah, Lin. Makasih udah dibangunin.""Oke!" teriak Alina dari arah pintu.Aku pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk cuci muka, buang air kecil dan tentu saja berwudhu

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   12. Merawat Suami

    "Umi istirahat aja. Biar Kirana yang nungguin, Guse," ucapku pada Umi Saroh.Umi Saroh tampak menghela napas. "Kamu pasti juga capek.""Gak papa Umi. Meski aku capek, besok kan aku nganggur gak ada kesibukan. Beda sama Umi yang harus sehat karena banyak tugas."Umi Saroh tersenyum. Dia menatap ke arah sang putra. Lalu membelai rambutnya dengan lembut.“Dulu dia manut sekali anaknya. Selalu bikin bangga. Tapi, nambah umur makin gak bisa umi kendalikan,” ucap beliau dengan tatapan sendu.“Gak tahu kenapa dia banyak berubah. Kadang umi mikir, apa umi salah didik dia ya?”“Perubahan kan bukan cuma faktor didikan, Umi. Mungkin banyak hal yang bikin Guse berubah. Bisa saja selama kuliah, Guse banyak dapat tekanan, atau hal-hal lain yang buat dia berubah.”“Bisa jadi. Umi juga baru tahu, kalau kuliah kedokteran itu, senioritas tinggi. Itu loh dari berita yang dr. Aulia sampai bunuh diri, kasus si Lady Lady itu juga. Baru umi tahu, kalau kuliah di dunia kedokteran begitu. Pantas, rata-rata ya

  • Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)   11. Gak Diajak

    Sarapan pagi berlangsung dalam keheningan. Tak ada satu pun dari kami yang bersuara. Hanya suara denting sendok yang bertarung dengan piring. "Umi selesai. Hari ini umi ada acara, di Purwokerto. Dan Ulya, kamu jadi balik ke Al Hikam hari ini?""Jadi Umi. Mulai besok, Ulya udah kuliah lagi.""Ya sudah. Bareng umi ya berangkatnya?""Iya Umi."Lalu Umi Saroh menatapku dan Alina."Mau ikut?""Ikut Umi. Mau ngelihat Gus Aslan yang katanya ganteng banget. Hihihi.""Dasar. Ayuk siap-siap.""Baik!" teriak Alina.Umi sama sekali tak mengajak putranya. Jangankan mengajak, menegur atau mengatakan satu patah kata pun tidak. Sepertinya beliau memang masih marah. Beliau berdiri. Kami pun ikut berdiri kecuali Gus Arnaf.Masing-masing berjalan menuju ke kamar termasuk aku. Tak kupedulikan sosok Gus Arnaf dan memilih menuju ke kamar untuk mengganti baju. Aku memilih salah satu gamis kesukaanku yang tentu saja pemberian Kang Ammar. Setelah itu aku juga menyiapkan gamis cadangan plus kerudungnya. Soaln

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status