Aku masih berdiri diam di depan sebuah kamar. Kamar yang selama aku mondok menjadi tempat yang sering kubersihkan ternyata kini bakalan menjadi kamarku. Namun, melangkahkan kaki ke sana pun aku tak sanggup. Kedua kakiku terasa berat bagai ada lem cap gajah yang menahannya.
"Ngapain berdiri di sana? Masuk!" Suara dingin yang sudah kuhapal terdengar. Aku tak perlu menoleh, karena jelas suara ini pasti suara Gus Arnaf. Gus Arnaf membuka pintu dan masuk duluan. Dengan hati dan langkah yang sama beratnya aku pun masuk. Tak lupa salam aku ucapkan meski tak ada sahutan dari Gus Arnaf. Padahal dia dengar. "Tutup pintunya!" Lagi, suara dingin itu yang keluar. Aku pun segera menutup pintu dengan pelan. "Kunci!" Dan aku pun menguncinya sesuai permintaan yang punya kamar. "Duduk!" Gus Arnaf memintaku duduk, aku melihat sekeliling, hanya ada sofa panjang yang sangat nyaman dan ranjang, serta kursi belajar. Aku memilih duduk di kursi belajar karena sofa sudah diduduki Gus Arnaf. Ranjang kubiarkan saja dengan bunga-bunga berbentuk hati masih tertata rapi, belum tersentuh. "Dengar ya Kirana, aku menikahimu hanya demi ibuku. Suatu hari nanti, aku ingin kita bercerai. Aku mencintai Salma dan akan menjadikan dia istriku, ngerti?" "Nggih, Gus." "Sampai saatnya tiba, kamu harus berperan seolah-olah pernikahan kita baik-baik saja. Ngerti?" "Ngerti, Gus." "Aku akan mencari cara agar kita bisa bercerai, tanpa drama, tanpa apapun. Ngerti?" "Ngerti, Gus." "Bagus. Pokoknya jangan sampai Umi tahu pernikahan kita tidak baik-baik saja. Dan jangan sampai Umi tahu masalahku dan Salma. Aku gak mau Umi berpikiran buruk tentang dia. Dia baik saja, tidak Umi setujui gimana kamu ngata-ngatain Salma?" Aku hanya diam. Sungguh picik sekali pemikiran lelaki yang kini bergelar suamiku. Dia maunya tambatan hati tampak harum mewangi sementara aku? Sejak berita perjodohan kami, banyak sekali gunjingan, ucapan sinis bahkan perlakuan tak baik yang kudapatkan dari para santriwati dan para ustazah. Tapi aku diam dan tak bicara apa pun. Untuk apa? Aku hanyalah gadis yang baru lulus MA, sementara Ning Salma seorang ning dari Purworejo. Sudah lulus kuliah setahun yang lalu. Cantik, pintar dan menyenangkan. Berbeda sekali denganku yang dari segi apa pun jelas kalah. "Pokoknya akan aku cari cara, agar kita berpisah secara baik-baik. Tanpa menyakiti pihak mana pun. Kamu ngerti, kan?" "Nggih." "Satu lagi. Aku tidur di sofa, kamu di ranjang. Dan jangan meminta nafkah batin dariku dan ...." Gus Arnaf menaruh sebuah ATM di atas meja dekat sofa panjang. "Untukmu. Meski aku gak bisa memberikan nafkah batin, tapi aku tidak akan melepas tanggungjawabku. Kamu mau sekolah lagi, gak masalah. Malah kalau bisa sejauh mungkin dari sini. Agar kita bisa menjadikan LDR sebagai alasan bercerai dan aku akan menikahi Salma." Aku hanya diam. Tak mengatakan apa pun. Bahkan ketika Gus Arnaf menyebutkan peraruran-peraturan seperti : 1. Tidak boleh saling menyentuh 2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing 3. Harus bersikap layaknya pasangan di depan Umi Dan entah peraturan apalagi yang dia ucapkan, aku tak peduli. Karena begitu tahu kalau aku akan menikah dengannya, aku tahu bersamaan dengan itu duniaku pasti hancur. "Ngerti, kan? Apa yang harus kamu lakukan?" Aku hanya mengangguk. Tak ingin mengatakan apa pun. "Bagus. Aku mau tidur." Dan tanpa perasaan Gus Arnaf mematikan lampu kamarnya, dia bahkan tak memberikan cahaya sedikit pun agar aku bisa mencapai ranjang. Luar biasa sekali suamiku ini. Padahal aku perlu ke kamar mandi untuk gosok gigi dan membersihkan diri. Ya Allah, hamba benar-benar pasrah. Akhirnya dengan minimnya cahaya, aku berusaha berjalan menuju ke ranjang. Duk! "Aduh!" Aku memekik cukup keras. Segera saja kututup mulutku agar tidak kena omel. Tapi tetap saja kena. "Matamu ke mana? Pakai ponsel atau apa kek! Sebelah nakas ada lampu tidur. Bisa kamu gunakan itu!" hardik Gus Arnaf dengan suara yang mendesis pelan namun menusuk. Aku hanya diam. Sambil menahan rasa sakit, aku meraba-raba nakas, menyalakan lampu tidur. Sedikit penerangan sangat membantuku berada di kamar. Aku menatap ke arah Gus Arnaf yang kini berbaring dengan memunggungiku. Aku mengucap istighfar. Belum satu hari aku menjadi istrinya. Tapi dia sudah berlaku kasar dan semena-mena padaku. Entahlah, aku bisa sabar atau tidak aku tak tahu. Malas berurusan dengan si Dokter Galak, aku memilih menuju koperku, mencari daster panjang dan kerudung instan serta pounch yang berisi peralatan kosmetikku. Lalu begitu sudah menemukan apa yang kucari, segera saja kamar mandi menjadi tujuan. Malam ini, kami lewatkan acara malam pertama kami dalam keheningan. Pagi harinya, saat baru keluar dari kamar, Umi Saroh menyambut kami dengan senyum lebarnya. Aku segera menyalami setelah Gus Arnaf. "Tidurnya nyenyak?" Aku hanya mengangguk saja. Umi Saroh kembali tersenyum lalu mengajak kami ke ruang tengah. Beliau menyuruhku duduk di samping Gus Arnaf. Karena tadi malam, tulang kering sebelah kanannku terantuk sudut ranjang cukup keras hingga terjadi memar, maka jalanku jadi tidak seperti biasanya. Cara jalan yang malah menimbulkan ledekan dari Alina. "Cieee, yang habis ngamalin si Qurotun, ahay!" "Apaan sih, Dek! Diem gak?!" bentak Gus Arnaf. Wajahnya merona merah tanda marah. "Cieee yang pipinya merona, pasti malu ya, cie cie cie, kayaknya bakalan cepet dapat ponakan ini, hihihi." Alina terus saja menggoda kami. Gus Arnaf sesekali menghardik sang adik. Umi dan Ning Ulya hanya terkekeh melihat perdebatan putra sulung dan anak bungsu. "Sudah, jangan ribut. Kamu ya, Lin, suka banget godain kakakmu, dan kamu Naf, masa kamu masih saja suka tersulut emosi kalau ngadepin Alina," tegur Umi Saroh kepada putra sulung dan putri bungsunya. "Hihihi, iya ya Umi. Mas mah emosian mulu heran kenapa jadi dokter? Kayaknya mana ada pasien yang mau diperiksa sama dia. Lihat tuh muka galak dan dinginya, hiiii. Gak punya pasien kamu, Mas." "Diem gak, Lin! Kalau gak, jatah jajanmu aku potong." "Monggo, gak takut kan ada Umi weeee!" Alina seperti biasa tak pernah takut pada kakak sulungnya yang galak. Ning Ulya sendiri lebih banyak diam karena dia memang orangnya pendiam dan kalem. "Wes to, jangan gelut wae ayok makan. Kirana, jangan lupa ambilin buat umi ya Nduk, setelah kamu ngambilin buat Arnaf. Umi pengen disayang sama mantu," ucap Umi dengan binar bahagia. Aku tak perlu disuruh dua kali dan segera melaksanakan apa yang Umi perintahkan. "Segini, Gus?" tanyaku pada Gus Arnaf saat mengambilkan nasi. "Cukup." "Mau lauk apa?" "Sop, ayam goreng sama sambal." Aku segera menuangkan apa yang dia inginkan lalu menyerahkan pada Gus Arnaf. "Makasih," ucapnya lembut sambil mengulas senyum manis. Aku terhenyak, sempat terpesona karena ternyata lelaki dingin seperti dia bisa tersenyum. Namun aku kembali ingat, poin-poin yang tadi malam dia utarakan. Ah, rupanya hanya sandiwara. Berkat pemahaman ini, aku jadi tidak baper dan memilih segera mengambilkan makan untuk Umi lalu diriku sendiri. Akhirnya kami pun makan dengan tenang. Selesai makan, Umi mengajak kami bercerita hingga ada satu kalimatnya yang membuat aku begidik ngeri sementara Gus Arnaf sampai tersedak minuman kopinya. "Umi harap, kalian gak nunda momongan. Umi pengen cepet punya cucu!" "Uhuk. Uhuk. Uhuk." Ucapan Umi benar-benar membuatku takut sementara Gus Arnaf kini sibuk mengatasi batuknya."Kamu mau beli apa?""Daster palingan Mas.""Buat Alina sama Ulya juga?""Iya, buat Umi juga.""Oke."Dasarnya aku wanita, ya aku seperti wanita kebanyakan. Kalab kalau sudah perihal belanja. Beruntung suamiku tidak masalah, bahkan dengan ikut antusias membantuku memilihkan model daster untuk aku, dan tiga wanita terkasihnya yang lain. Bahkan, tak lupa kami membeli daster-daster lucu untuk Keisya. Setelah semua urusan di Unnes maupun di Undip selesai, Gus Arnaf tak langsung membawaku pulang. Aku langsung dibawanya menuju ke Jogja. Rupanya dia benar-benar memanfaatkan ijin cutinya dengan baik. Kami berencana di sini selama satu hari satu malam. Besok baru pulang ke rumah."Kamu sayang banget sama Keisya." Gus Arnaf mengomentariku yang tengah asik memilih daster untuk anak-anak."Keisya gemesin tahu gak sih, Mas. Pokoknya tiap liat baju anak cewek, aku selalu ingatnya Keisya.""Alina bisa cemburu kamu duain dia loh.""Dih. Bilang aja Mas Arnaf yang cemburu.""Gak kok. Aku malah seneng l
Aku sedang membelai pria yang berubah manja kalau kami hanya berdua seperti ini. Gus Arnaf suka sekali menaruh kepalanya di pangkuanku sambil rebahan. Saat aku sedang membelai kepalanya, aku menemukan bekas luka di area kepala sebelah kanan. "Mas." "Hem." "Aku kok baru sadar ini, di kepalamu ada bekas luka, mana cukup besar lagi." "Oh itu bekas kecelakaan." "Njenengan pernah kecelakaan?" "Waktu mau KKN. Aku sama tiga teman yang satu tempat sama aku, berencana mengunjungi tempat KKN dulu. Ceritanya biar kita tahu tempatnya dimana, lokasinya kayak apa, masyarakatnya gimana gitu. Nah, kita akhirnya memutuskan naik mobil. Aku yang jadi sopir. Tapi ... baru juga setengah jalan, kami terlibat kecelakaan. Mobil kita disalip tapi yang nyalip kaget karena dari arah berlawanan ada truk. Banting setir deh, ke kiri. Nah, waktu itu aku yang lagi nyetir langsung kena hantam dari mobil yang nabrak kita. Aku gak sempat menghindar karena kejadiannya cepet banget." "Innalilahi, semua tema
Urusan Kost selesai dan Mas Arnaf sudah membayar DP-nya, kami pun memutuskan kembali ke hotel. Sampai sana, kami langsung membersihkan diri. Aku langsung rebahan, rasanya lelah sekali. Gus Arnaf juga ikutan rebahan. Tapi, sudah kubilang kan? Napsu suamiku memang terlalu besar. Bukannya membiarkan aku beristirahat malah mengajakku bekerja sangat keras. Sejak tadi tangan dan bibirnya sudah nakal menjelajahi bagian tubuhku. "Njenengan ya, emang gak bisa lihat aku santai." "Gak bisa. Ingat tujuan kita ke sini, ngurusin urusan kuliah kamu dan bulan madu. Karena semua urusan sudah beres saatnya kita bulan madu," ucapnya sambil melucuti kain yang menempel pada tubuhku. "Dasar mesum," ucapku sambil menarik hidungnya yang mancung. Aku sangat menyukai hidung mancung suamiku. Aku berharap kalau punya anak, semua anakku meniru hidung Gus Arnaf yang bak papan luncur beda denganku yang tergolong mungil meski bukan kategori pesek juga. "Mesum sama istri sendiri itu bagus tahu." "Awas saja mes
Rasanya sudah lama sekali aku tak merasakan rasanya disayangi oleh seorang lelaki. Sejak kecil, aku sudah kehilangan sosok ayahku. Sehingga mendapatkan limpahan kasih sayang dan perhatian dari lelaki yang kini bergelar suamiku rasanya menyenangkan sekali. Selama ini aku pikir dia hanya lelaki ketus, dingin dan galak. Ternyata ada banyak sisi yang tidak kuketahui tentang dirinya. Di balik sikap cueknya, ternyata Gus Arnaf adalah lelaki yang perhatian dan penyayang. Tanpa terasa waktu terus berlalu. Sudah tiga bulan aku menjadi istrinya. Selama dua bulan terakhir, hubungan kami yang baik mengantarkan hal-hal yang baik pula untukku. Aku juga sudah selesai ujian hafizoh. Dan mau tak mau aku harus berterima kasih pada suamiku, berkat dia yang meluangkan waktunya yang super sibuk untuk membantu, aku jadi mudah menyelesaikan hapalan. Masalah kuliah juga sudah beres.Setelah melakukan berbagai proses panjang, kini aku resmi diterima di Unnes untuk jurusan pendidikan IPA. Bulan Agustus mulai
Sejak tadi aku benar-benar harus berusaha menahan diri untuk tidak bersuara apalagi mendesah. Sejak malam pertama tiga hari yang lalu, Gus Arnaf tidak pernah mau melepasku. Dia seperti lelaki yang begitu lapar, mengajakku bercinta terus setiap ada waktu luang. Terhitung di hari minggu ini, sudah tiga kali dia menyentuhku sedari semalam dan kini malah sengaja memojokkanku di sofa setelah aku pulang dari pengajian sore di pondok. Aku mengerang, sejak tadi Gus Arnaf sedang memainkan dadaku. Aku sudah mencoba menjauhkan wajahnya, tetapi dia tidak mau lepas. "Mas, berhenti," ucapku sambil menjauhkan wajahnya dari dadaku. "Gak mau. Kamu gak lihat aku lagi kehausan." "Ya minum, Mas. Aku ambilin air." "Aku gak mau air, kopi atau apa pun. Pokoknya ini lagi jadi favoritku," ucapnya dan kembali bermain di atas dadaku dengan mulut, lidah bahkan tangannya. "Apa njenengan gak puas? Hari libur bukannya aku santai, njenengan malah ginian aku terus loh. Gak tahu apa, kalau itunya aku sa
Sebuah pelukan datang dari arah belakangku. Sedikit kaget namun tak mencoba melepasnya. "Baru pulang Gus?""Mas."Aku tersenyum mendengar nada merajuk dalam suaranya. "Kamu udah makan?" tanyanya. "Udah. Mas?""Udah. Sama Ari dan Mala. Keisya juga. Dia malah nanyain kamu mulu."Aku tersenyum. Rupanya dia sedang berusaha jujur padaku. Keheningan melanda kami berdua. Posisi kami pun masih sama tiduran dengan dia memelukku dari belakang. Jujur aku tak berani berbalik, karena jika hal itu kulakukan maka kami akan saling bertatapan dan aku malu. Lama kami terdiam, sesekali kudengar suara helaan napas dari Gus Arnaf. Entah kenapa, dari suara helaan napasnya dia seperti sedang tersiksa. "Mas, njenengan kenapa?" Aku tak tahan untuk bertanya. "Gak papa. Udah tidur lagi."Aku pun tidak bertanya lagi. Tapi makin lama, helaan napas Gus Arnaf makin terdengar. Dia seperti sedang tersiksa akan sesuatu."Mas." Aku sedikit memiringkan badan namun Gus Arnaf mencegahku berbalik. "Jangan berbalik,