Oh, ayolah! Siapa yang tidak mengenal Arrayyan Sagara. CEO ternama di negara ini. Diumurnya yang ke 25 tahun Ray berhasil memimpin perusahaan yang dia dirikan sendiri, tanpa campur tangan keluarganya. Ya meskipun begitu, perusahaan Ray tetap menggunakan nama keluarganya-Sagara Corp.
Perusahaan Ray bergerak dibidang properti dan merupakan salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Sedangkan perusahaan milik keluarga Sagara bergerak dibidang industri. Ketegasan serta kepiawaian Ray dalam memimpin perusahaan membawa dampak yang baik bagi perusahaan ini. Banyak yang senang dengan kepemimpinan Ray. Tak hanya para karyawan, tapi juga partner bisnisnya. Ray tak pernah mengalami kegagalan dalam bisnisnya. Setiap tahun selalu berkembang lebih baik dari sebelumnya. Apapun masalah yang terjadi di dalamnya pasti bisa dia atasi. Namun, berbeda kali ini. Ray tampak frustasi dengan setumpuk dokumen di hadapannya. Pening di kepala Ray nampaknya enggan beranjak dan terus menggerogoti."Anggara!" sentak Ray, memanggil asisten pribadinya. Ray tak pernah semarah ini sebelumnya. Anggara berlari ke hadapan Ray. Pria itu menunduk dalam. Yang ada di dalam benak Anggara sekarang adalah dia melakukan kesalahan besar sehingga bosnya semarah ini. "I-iya, Pak." Anggara gugup. Pandangannya selalu menunduk ke bawah. Takut menatap kilatan amarah dari netra bos besar. "Cek ulang dokumen ini bersama dengan bagian akuntansi! Saya rasa terjadi kesalahan." Ray melempar dokumen ke arah Anggara, langsung ditangkap dengan sigap oleh pria itu. "Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit undur diri." Anggara membungkukkan badan sopan, langkah kakinya terus menjauh meninggalkan Ray di ruangan CEO.Selang beberapa menit kemudian terdengar ketukan pintu di ruangan Ray. "Masuk!" sahut Ray"Permisi, Pak." Anggara duduk di depan kursi kebesaran Ray, membuka dokumen yang ada di tangannya dan mencocokkan dengan laporan keuangan bagian akuntansi. "Saya sudah melakukan cek ulang pada dokumen ini dengan bagian akuntansi. Data yang terdapat pada dokumen ini memang sudah benar, Pak. Tidak terjadi suatu kesalahan apapun." Ray tak bisa meredam emosinya. Dia buka laporan bagian lapangan dengan kasar, kertasnya kusut seketika, untung tidak sampai sobek. "Lihatlah!" Ray memutar laporan pengeluaran bagian lapangan tersebut agar bisa dilihat oleh Anggara. Ray juga menunjukkan laporan pengeluaran bagian akuntansi pada Anggara. Anggara membelalakkan mata. "Astaga, Pak. Ini selisih 3 Triliun. Mengapa data bagian akuntansi yang bapak pegang berbeda dengan data bagian lapangan? Namun, data akuntansi yang saya pegang ini hasilnya sama dengan data bagian lapangan?" Anggara tak bisa berkata-kata lagi. Ia menelan ludah secara kasar. Pantas saja bosnya sedari tadi marah-marah. Ternyata kesalahan fatal di depan mata. "Ada yang tidak beres. Kamu tahu jika data yang saya pegang ini merupakan data palsu? Ada yang berniat merubahnya," ucap Ray sembari mengetuk meja menggunakan pulpen. Netranya menerawang jauh ke sana. "Kamu tahu kan harus bagaimana?" tanya Ray menatap Anggara. Anggara mengangguk dengan cepat. "Saya akan bereskan masalah ini, Pak. Saya akan cari dalang di balik penggelapan uang perusahaan.""Saya tunggu berita baik dari kamu.""Baik, Pak." Anggara kemudian pamit secara sopan dari ruangan Ray. Belum juga setengah jam Anggara dari ruangannya, pintu itu sudah diketuk kembali. "Apa lagi? Tidakkah dia memiliki pekerjaan lain? Dari tadi hanya bolak balik ke ruangan ini." Ray mengoceh sendiri.Pintu terus diketuk. Membuat Ray jengah dan memutar bola matanya malas. "Masuk! Ada apa lagi Anggara?" teriak Ray kesal. Ray salah. Bukan Anggara yang datang. Melainkan wanitanya. Lia datang dengan membawa rantang di tangan kanan. Berjalan perlahan ke arah Ray. "Maaf sudah marah-marah. Aku kira tadi yang datang Anggara." Ray memeluk pinggang ramping Lia. Mendudukkan wanita itu di sofa. Ray sendiri duduk di sebelahnya dan tetap memeluk wanitanya dari samping. Lia mengerucutkan bibir. Mendorong dada Ray perlahan agar pelukan pria itu terlepas. "Pantas saja mukamu cepat tua. Kerjaanmu hanya marah-marah saja," dengus Lia sebal. "Meskipun tua dan beruban aku akan tetap tampan," ucap Ray percaya diri. Ray memeluk Lia kembali. Membenamkan wajahnya di ceruk leher Lia. Dia hirup dalam-dalam aroma shampo yang menguar dari rambut Lia. Aroma yang selalu membuatnya betah jika berlama-lama menghirupnya. Disaat-saat seperti ini wanitanya sebagai penenang bagi Ray. Lia seakan bisa menjadi obat pusing untuk Ray dalam mengatasi segala kekacauan hari ini. Lihat saja, pria itu seakan lupa dengan masalah yang menimpanya hari ini karena kedatangan Lia."Ray, lepas! Ini di kantor." Lia memperingati Ray agar tidak terus-terusan mengusel-usel dirinya. "Biarkan saja. Siapa yang peduli?" jawab Ray acuh. "Ray, lepas!" kali ini Lia sampai meronta meminta dilepaskan.Ray beringsut menjauhi Lia. Wajahnya menjadi murung. Selalu saja ditolak saat sedang bermesraan. Ray menjatuhkan tubuhnya kembali di kursi kebesaran miliknya. Dia kembali berkutat dengan dokumen-dokumen di atas mejanya. Ray terlalu sibuk mengurusi dokumennya. Sebenarnya Ray sedang sengaja mendiamkan Lia karena terus-terusan menolaknya. Biarlah wanita itu paham mengapa suaminya menjadi dingin seperti ini. Lia terus melirik jam di pergelangan tangan. Dia menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Merasa sangat bosan jika hanya duduk dan melihat Ray yang sedang bekerja. Sudah sekitar satu jam sejak fokus Ray beralih ke dokumen di depannya, pria itu sama sekali tidak melirik Lia di ruangan ini. Kedatangan Lia sendiri di kantor ini sebenarnya ingin membaca situasi. Apakah Ray sudah mengetahui kejanggalan yang terjadi di perusahaannya atau belum. Namun, nampaknya pria itu tidak akan berbagi keluh kesah mengenai pekerjaannya pada Lia. Lia sudah tidak tahan lagi jika harus menunggu Ray berbicara. Lia hanya ingin tahu jika Ray sudah mengalami kegagalan dalam bisnisnya. Lia bahkan sudah mengadakan sebuah pesta terlebih dahulu sebelum melihat penderitaan yang dialami Ray. Lia berjalan mendekati Ray, menyusup di sela-sela meja dan kursi Ray, lalu duduk di atas pangkuan Ray. Siapa tahu jika mereka sedekat ini Ray akan membuka diri untuk bercerita. "Sayang, kamu ada masalah?" tanya Lia sembari menatap wajah tampan Ray. "Tidak," balas Ray singkat. Pandangannya lurus, tertuju pada laptop di depannya. Lia menyandarkan kepalanya di dada bidang Ray. Lia masih terus berusaha mengulik informasi yang dapat menyenangkan hatinya. "Aku lihat tadi wajahmu murung. Jika ada masalah sebaiknya berceritalah! Aku akan mendengarkan dengan baik." Lia terus berusaha agar Ray mau bercerita. Lia ingin mendengarkan kabar buruk dari Ray tentang perusahaannya. Ray menghentikan ketikan jemarinya di atas laptop. Tangannya beralih menangkup wajah Lia yang ayu. Netranya beralih menatap netra hazel milik Lia. "Aku baik-baik saja, Sayang. Tidak ada masalah sama sekali," jawab Ray berdusta. Ray tidak berniat menyembunyikan apapun dari Lia, kecuali masalah pekerjaan. Lia tidak harus tahu masalah pekerjaan yang dialami Ray saat ini. Biarkan Lia tahu bagian yang manis-manis saja dalam hidup Ray. Ray ingin membahagiakan Lia tanpa membebani wanita itu sedikitpun. Lia mencoba menyelami netra hitam milik Ray. Mencoba mencari kebenaran dari sana. 'Sepertinya Ray memang tidak menyembunyikan apapun. Atau mungkin Ray belum tahu mengenai kejanggalan dalam perusahaannya?' batin Lia bertanya-tanya. Lia mengusap dengan perlahan wajah Ray yang ditumbuhi bulu-bulu halus. "Yasudah. Kalau ada masalah atau apapun jangan sungkan untuk berbagi. Ingat, aku ini istrimu, Ray."Ray mengangguk. "Ya, kamu memang istriku, Lia. Wanita yang paling aku cintai." Ray menghujani kecupan penuh cinta pada pipi kiri Lia. Lia memukul dada Ray pelan. "Ray, ini di kantor. Jangan cium aku sembarangan." Lia mendecih sebal, sedangkan Ray hanya tertawa menanggapi ucapan Lia. "Sudah hampir jam makan siang, makanlah Ray! Aku akan segera pulang." Lia berdiri dari pangkuan Ray. Merapikan rok panjangnya yang sedikit berantakan. Dia juga meraih tangan Ray, mencium punggung tangan suaminya. Lia berlalu begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari Ray. Ray tidak mau melepas kepergian Lia begitu saja. Dia hampiri wanita yang sedang berjalan ke arah pintu itu, diraihnya pinggang Lia. "Makan sianglah bersamaku, Sayang!"Lia menggeleng, menolak ajakan makan siang Ray. "Aku buru-buru harus ke supermarket, Ray. Persediaan bahan makanan di rumah kita hampir habis. Aku tidak mau suamiku nanti malam kelaparan." Lia mengusap pipi Ray sekilas, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan ruangan CEO itu. Lia merasa kesal. Kedatangannya ke kantor Ray seperti tidak ada artinya sama sekali. Dia tidak mendapatkan informasi apapun mengenai kejanggalan di Sagara Corp.'Tunggu waktunya tiba, Ray. Perlahan kamu akan hancur,' batin Lia tertawa.Ray mendekati sang mama. Membisikkan sesuatu di telinga Nyonya Helena. "Ma... Aku mau bicara berdua dengan Lia boleh?"Nyonya Helena mencebikkan bibirnya. "Bilang aja kamu mau ngusir Mama kan?" ucapnya ketus. Sebenarnya hanya bercanda. "Ish... Bukan gitu, Ma," sunggut Ray. "Arsa... Bella... kita keluar dulu sebentar yuk!" ajak Nyonya Helena menyeret lengan keduanya. "Mau kemana, Ma?" tanya Lia. "Ke kantin bentar." Nyonya Helena beralasan. Nyonya Helena sendiri ingin memberikan kesempatan pada Ray dan Lia. Siapa tahu dengan adanya janin dalam rahim Lia membuat keduanya bisa berbaikan dan menjalin hubungan rumah tangga yang harmonis seperti sebelumnya.Setelah ketiganya pergi Ray memutar roda pada kursinya. Roda-roda itu menggelinding ke depan. Semakin lama semakin dekat dengan ranjang pesakitan. Di mana wanitanya berada di atasnya. Melihat Ray semakin mendekat ke arahnya, semakin panik pula Lia dibuatnya."Jangan mendekat!" peringat Lia. Menghentikan gerakan suaminya. "Yasudah. A
Lia dibawa ke ruang pemeriksaan. Nyonya Helena berkacak pinggang seraya berjalan mondar mandir di depan ruangan. Melihat betapa Ray sangat mencintai Lia, membuat Nyonya Helena ikut mencemaskan keadaan sang menantu. "Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?" tanya Nyonya Helena, menyela sang dokter yang akan menjelaskan keadaan Lia. "Menantu anda pingsan karena kelelahan dan faktor berbadan dua, Nyonya, untuk pemeriksaan lebih lanjut nanti akan ditindak lanjuti oleh dokter kandungan.""Kalau begitu saya permisi, Nyonya.""Baik, Dok. Terima kasih banyak."Nyonya Helena meraup wajahnya penuh syukur. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan cucu dari Ray dan Lia secepat ini. Pernikahan Ray dan Lia yang baru satu bulan setengah itu ternyata dapat mewujudkan impian Nyonya Helena. Ya, beberapa bulan lagi Nyonya Helena dapat menimang seorang cucu yang selama ini dinantikannya. Lima tahun sudah Nyonya Helena menanti datangnya seorang cucu dari pernikahan Arsa dan Bella, tapi belum tampak
Ray mengucek kedua kelopak matanya. Ray takut apa yang dilihatnya hanyalah halusinasi semata karena dia tengah merindukan wanitanya. "Kamu benar Lia?" tanya Ray memastikan. "Iya," balas Lia ogah-ogahan. Ray mencubit tangannya sendiri. Rasanya sedikit sakit. Seperti digigit raja semut. Berarti Ray dalam keadaan sadar dan berada di dunia nyata. Ray bertemu dengan Lia bukan di dalam mimpi. Ah, betapa bahagianya hati Ray. Bunga yang tengah layu bagaikan tersiram air kembali. Merekah dengan indahnya. "Kemarilah, Sayang! Aku merindukanmu," ucapnya parau. Air mata kebahagiaan jatuh membasahi pipinya, tak dapat terbendung lagi. Betapa bahagianya Ray bisa bersua kembali dengan wanitanya. Semua terasa seperti mimpi. Ray masih tidak mempercayainya. "Mama keluar dulu ya." Nyonya Helena berlalu dan menutup pintu. Menyisakan dua insan di dalam ruangan pesakitan.Mengusap kasar sisa air mata, Ray merentangkan kedua tangannya. Rindunya tak terkira. Ray ingin merengkuh wanitanya, menumpahkan gulun
Lia sengaja berganti bus dua kali untuk mengecoh Anggara dan orang suruhan Ray. Tujuan awal kepergiannya ke Jawa Timur. Setelah menginap satu hari di sana, Lia kembali ke Jakarta. Pikirnya, Anggara dan orang suruhan Ray tidak mungkin bisa menebak keberadaannya sekarang. Luntang lantung di kota orang selama berminggu-minggu membuat Lia pusing tujuh keliling. Bukan karena jauh dari segala kemewahan yang diberikan Ray padanya, tapi lebih ke buta arah. Lia yang notabenenya anak rumahan merasa asing berada di kota orang. Apalagi Lia sama sekali tidak menggunakan ponselnya untuk membuka maps. Hanya mengandalkan bertanya orang yang dijumpainya saja, beruntunglah Lia bisa kembali ke Jakarta tanpa drama nyasar. Tujuan Lia ke Jakarta bukan untuk menyerahkan dirinya ataupun kembali pada Ray, melainkan untuk melancarkan aksi balas dendamnya pada Arsa. Selagi Lia berada di Jakarta, dia bisa mengawasi hubungan Arsa dan Bella, lalu membuat rumah tangga mereka berdua berantakan. Pagi ini Lia suda
"Friska, batalkan meeting kita hari ini!" perintah Ray pada sekretarisnya melalui sambungan interkom. "Tapi, Pak, meeting kita hari ini sangat penting," sahut Friska keberatan."Saya tidak peduli!"Persetan soal pekerjaannya saat ini. Ray hanya mau bertemu Lia dan memastikan bahwa yang dikatakan Anggara tidak benar adanya. Ray menggelengkan kepala, berusaha menampik kenyataan yang akan menyakitinya. 'Lia tidak berselingkuh di belakangku. Lia tidak akan menduakanku. Hanya aku yang dieluh-eluhkan wanitaku.' Ray mengukuhkan itu dalam pikirannya. Menghela napas kasar, pandangannya tertuju pada bangunan kota di luar kaca jendela. Menerawang beberapa peristiwa dari masa silam tentang kebersamaannya dengan Lia. "Ah shittt!" umpat Ray. Ray kehilangan fokusnya. Hampir saja Ray menabrak truk dari arah berlawanan. Demi menghindari tabrakan Ray membanting setir ke kiri. Ciitttt! Roda-roda saling bergesekan dengan jalan raya, menimbulkan bunyi decitan yang kencang. Debu jalanan pun ikut ter
Anggara dan beberapa orang suruhan Ray sedang berada di desa terpencil yang Lia singgahi. "Pak Anggara, kami mendapatkan informasi dari salah satu warga bahwa Nyonya Lia memang berada di desa ini, tepatnya di sebuah kontrakan kecil belakang sekolahan," lapor salah satu orang suruhan yang sering dijuluki si mancung karena hidungnya mancung. Anggara menghentikan kunyahannya. Meletakkan sendok dan bangkit dari duduknya. "Tunggu apalagi, kita cari sekarang juga!""Tunggu, Pak! Lebih baik kita selidiki lagi," cegahnya. "Selidiki apalagi hah? Kamu nggak tahu Pak Ray marah-marah gara-gara istrinya belum ketemu?" sentak Anggara. "Kami dapat informasi dari salah satu warga kalau Nyonya Lia berpacaran dengan anak lurah desa ini. Lebih baik kita selidiki dulu."Anggara menepis tangannya ke udara. "Hah? Mana mungkin?" jawabnya tak percaya. Mana mungkin sosok bos besar seperti Arrayyan Sagara tergantikan begitu saja dengan anak lurah. Apa nyonya-nya sebercanda itu? Mereka berjalan menuju seko