Drrrttt Drrrttt
Ponsel pria itu bergetar. Tangan kirinya dia gunakan untuk meraih ponsel yang diletakkan di dashboard mobil, sementara tangan kanan tetap memegang kendali. "Ya, hallo," jawab pria itu tanpa melihat siapa si penelepon terlebih dahulu, tapi sepersekian detik berikutnya dia mengenali suara tersebut."Oke. Saya akan segera kembali ke sana!"Pria itu memutar balik kendaraannya. Melaju dengan kecepatan tinggi agar segera sampai di tempat tujuan. Rasa penasaran yang dia miliki begitu tinggi. Membuat kaki panjangnya melangkah dengan cepat. Langkahnya seperti orang dikejar setan di siang bolong. "Bagaimana, Anggara?" tanya Ray menghampiri Anggara di ruangan asistennya. "Saya sudah menyelidikinya, Pak. Memang benar ada pengubahan data di laporan keuangan, sehingga menyebabkan perbedaan data antara yang terdapat pada laporan bagian akuntansi dan aktual di bagian lapangan."Ray memijat pelipisnya. "Ini benar tidak main-main, Anggara. Dia telah mencuri uang perusahaan sebanyak 3 Triliun. Jumlah yang sangat besar."Anggara menujukkan video rekaman CCTV yang terdapat pada tabletnya. "Saya rasa orang itu yang telah mengubah datanya, Pak. Di sistem ini menyatakan pada tanggal 20 terdapat pengubahan data. Orang itu juga sudah menghapus jejak-jejak yang dapat membuat orang-orang curiga. Namun, staf IT dapat menemukannya. Dia mengubah data menggunakan komputer milik salah satu staf bagian akuntansi.""Di hari itu dia pasti bukan hanya mengubah data, tapi juga sudah mengambil uangnya sekaligus. Lalu bagaimana caranya dia bisa memegang uang itu. Bukannya uang perusahaan kita simpan di bank? Jika ada uang tunai di brankas itupun bukan jumlah yang banyak, hanya untuk penggunaan belanja perusahaan sehari-hari saja kan?""Memang benar, Pak. Namun, segala jenis kartu atm juga kita simpan di brankas.""Cepat hubungi Melani, suruh dia kembali lagi ke kantor. Hanya saya dan Melani yang tahu pasword brankas itu. Saya ingin tahu apakah kartu kredit itu masih ada di tempat atau sudah lenyap. Saya butuh kesaksian Melani.""Baik, Pak."Ray membutuhkan kesaksian Melani, dia harus berada di sini. Anggara menghubungi Melani-staf bagian akuntansi. Melani merupakan salah satu staf senior di bagian akuntansi. Dia dipercaya untuk memegang semua keuangan perusahaan.Selang 20 menit Melani kembali ke kantor. Napasnya naik turun. Dia menemui Ray dan Anggara di ruangan asisten itu. Melani mengetuk pintu, menyapa Ray dan Anggara terlebih dahulu. Tidak mungkin jika dia langsung masuk ke ruangan itu, sangat tidak sopan. "Selamat malam Pak Ray, Pak Anggara."Ray langsung menyela. "Ikut saya, Mel!"Ray dan Melani pergi ke ruangan bagian akuntansi. Diikuti dengan Anggara. Mereka bertiga berjalan dengan tergesa-gesa. Ray membuka brankas tersebut. Terlihat tumpukan uang di dalam sana. Tidak perlu dihitung, Ray sangat yakin jika jumlah uangnya tidak berkurang karena dicuri. Pelaku itu tidak mungkin mengambil uang cash. Ray mengambil semua kartu yang ada di dalam kotak kecil. Benar dugaan Ray, jumlah kartu-kartu itu berkurang satu. Ray menatap Melani dengan tatapan yang sulit dimengerti. Seperti hendak marah, tapi dia tahan. "Kenapa kartunya kurang satu, Mel?" tanya Ray datar. "A... Apa, Pak?" Melani gugup. Bagaimana tidak? Setahunya semua kartu itu masih lengkap berada di tempatnya. "Coba kamu cari lagi!" pinta Ray. Melani mencari diantara tumpukan uang-uang. Meskipun dia yakin tidak akan menemukannya di sana. Dia selalu menyimpan semua kartu itu di dalam kotak kecil kemudian ditaruh di dalam brankas. Melani bingung harus menjelaskan dari mana. Dia hanya berkata yang sejujur-jujurnya. Semoga bosnya ini masih percaya pada dirinya. Dia sangat takut saat ini jika dituduh mengambil kartu kredit tersebut. Padahal sungguh, bukan dia yang menghilangkan kartu itu. "Saya kemarin hanya menggunakan kartu yang ini saja, Pak." Melani menunjuk salah satu kartu. "Untuk belanja keperluan perusahaan sehari -hari," imbuhnya. Dugaannya benar jika bukan Melani yang mengambil kartu tersebut. Ray sudah tidak tahan lagi. Kepalanya benar-benar pusing saat ini. "Astaga... Kepala saya hampir meledak rasanya," keluh Ray. "A... Ada apa ini sebenarnya, Pak. Sungguh, saya tidak tahu apapun.""Tutup brankas itu dan ikut ke ruangan saya!"Anggara memulai pembicaraan. "Kamu tahu saya pernah menanyakan pengeluaran pembangunan proyek hotel kita yang baru kan, Mel?""Iya, Pak. Mengenai data itu, kami seluruh bagian ankuntansi memang sudah mengecek ulang. Data yang kami berikan pada laporan keuangan sudah benar, dan saya rasa tidak ada kesalahan penghitungan.""Ya, kamu dan seluruh staf bagian akuntansi memang tidak salah menghitung. Saya akui itu.""Laporan bagian akuntansi dan laporan bagian lapangan jauh berbeda, Mel. Intinya, pengeluaran keuangan yang ada di data itu dan data aktualnya berbeda.""Bagaimana bisa, Pak? Data yang saya buat itu juga kan berdasarkan data aktual. Lagipula seluruh pembelanjaan yang menggunakan uang perusahaan pastinya memakai bukti. Bukti itu juga yang menjadi landasan kami dalam membuat laporan. Kami tidak pernah asal-asalan dalam membuat data, Pak.""Saya tahu, Mel. Saya bukan menyalahkan kinerja kamu ataupun staf akuntansi."Ray jadi pusing sendiri. Kedua orang di depannya ini berdebat sendiri. "Sudah... Sudah..." suara Ray terlihat melemah. "Di sini ada data palsu, Mel. Saya yang menemukannya. Makannya waktu itu saya menyuruh Anggara untuk mengkoordinasikan dengan bagian akuntansi, apakah ada kesalahan penghitungan atau tidak. Dan ya, kecurigaan saya memang benar.""Maksud Pak Ray bagaimana? Saya belum benar-benar paham?""Data palsu itu dan data aktual memiliki selisih 3 Triliun," jelas Ray. "Jadi maksud Pak Ray ada yang mencoba untuk melakukan pengelapan uang perusahaan?""Ya, kamu benar. Dan terbukti kan atm itu sekarang hilang. Anggara, coba cek bagian CCTV lagi! Fokuskan ke tempat penyimpanan brankas. Saya mau lihat siapa yang mengambil katu kredit itu.""Baik, Pak."Anggara mengecek cctv pada tanggal 20."Ini, Pak!" Anggara menyerahkan tablet yang dia pegang pada Ray. Ray mengamati rekaman CCTV. "Jadi dalangnya satu orang. Si pengubah data dan pencuri kartu kredit itu satu orang," gumam Ray. "Saya akan urus masalah ini sesegera mungkin, Pak.""Tunggu sebentar, Anggara. Saya rasa dia bukan staf di kantor ini. Saya seperti mengenali orang ini. Jangan libatkan polisi dulu. Saya akan mencari tahu sendiri. Saya akan buktikan kebenarannya.""Baik, Pak.""Yasudah, kalau begitu kamu dan Melani boleh pulang sekarang. Ingat, jangan beritahu staf lainnya. Biarkan ini menjadi rahasia kita bertiga sebelum kita tahu kebenarannya.""Baik, Pak Ray. Kalau begitu saya permisi pulang dulu. Mari, Pak Anggara," pamit Melani. Jantung Melani kembali aman. Untung tidak jadi lompat dari tempatnya. Di dalam ruangan tadi dia begitu takut jika dituduh yang tidak-tidak. Namun, dia sangat paham, bosnya tidak akan mungkin menuduh seseorang jika tidak memiliki bukti apapun. Lagipula bukan dia yang melakukannya. "Mari, Pak. Saya temani Bapak sampai ke parkiran." Anggara membungkukkan badan dengan sopan, mempersilakan Ray berjalan terlebih dahulu. "Ya. Terima kasih."***Gelisah. Itulah yang sedang Ray rasakan. Berjalan mondar-mandir seperti setrikaan tak tentu arah sembari berkacak pinggang. Ray menyugar rambutnya ke belakang. Menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali. Netra hitam milik pria itu sedari tadi tertuju pada wanitanya yang tengah tertidur pulas. Ray ingin membuktikan prasangka yang ada dalam dirinya. Namun, entah mengapa hati kecil Ray bertolak belakang dengan apa yang ada di pikirannya saat ini. Ray berdebat dengan diri sendiri. Antara pikiran dan hatinya tidak sejalan. 'Tidak mungkin jika Lia yang melakukan ini semua, tapi aku mengenali orang yang ada di CCTV itu. Perawakannya memang seperti Lia. Dan satu lagi, orang itu mengenakan sepatu yang sama persis dengan milik Lia. Sepatu itu langka di dunia. Hanya beberapa orang yang memilikinya. Bisa jadi kan jika memang Lia pelakunya?''Sebaiknya memang aku selidiki dulu.'Ray membuka laci nakas. Ray tahu, Lia biasa menaruh dompetnya di sana. Benar bukan? Ada dompet Lia teronggok di dalam sana. Dia buka dengan tidak sabar resleting pada dompet tersebut. Ray amati kartu-kartu yang ada di dompet Lia. Nihil, tidak ada kartu milik perusahaan Ray di sana. 'Astaga... Apa yang aku lakukan sebenarnya? Ini sama saja aku mencurigai istriku sendiri.'Cukup lama Ray duduk di depan nakas. Dia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Batin Ray berdebat hebat. Disatu sisi dia ingin melanjutkan penyelidikannya, tapi di sisi yang lain mengatakan dia harus menghentikan ini semua. Diletakkan kartu dan dompet Lia di tempat semula. Ray beralih pada almari di pojok ruangan. Dia buka lemari pakaian milik Lia. Mengobrak-abrik isi di dalamnya. Mata Ray membelalak. Sekali lagi dia amati benda persegi itu, takut jika penglihatannya salah. Itu yang dia cari! Ya, ada diantara tumpukan baju milik Lia. Penglihatannya tidak mungkin salah. Dia belum rabun, Bung! Dengan tangan gemetar Ray ambil benda persegi itu. Dia cek nomor seri yang ada di kartu. Astaga! Jantung Ray hampir meloncat seketika dari tempatnya. Ray mengenali nomor seri itu. Dugaannya benar. Kartu itu memang milik perusahaan.'Bagaimana bisa kartu ini ada pada Lia?'Ray tidak habis pikir. Mengapa Lia bisa mendapatkan kartu atm milik Sagara Corp. Dan lagi, mengapa Lia bisa membobol brankas tersebut dengan mudahnya. Astaga... Ray lupa, dia pernah memberitahu Lia tentang pasword brankas perusahaannya. Dasar bodoh... "Lia, bangun!" sentak Ray. Dia s***k selimut yang menutupi tubuh wanita itu. Membuangnya ke sembarang tempat.Lia mengerjapkan mata berulang kali. Kepalanya mendadak pusing karena dibangunkan secara paksa oleh suara tegas suaminya. 'Ada apa ini?' batin Lia bertanya-tanya. Nyawanya belum terkumpul seluruhnya. "Bangun!" Ray menarik paksa tangan Lia. Cengkraman itu begitu kuat, mungkin akan menimbulkan bekas merah setelahnya. Sungguh, Ray seperti orang kesetanan saat ini. ###Ceritanya digantung dulu ya? Hayo tebak, apa yang akan Ray lakukan pada Lia setelah ini?Ray mendekati sang mama. Membisikkan sesuatu di telinga Nyonya Helena. "Ma... Aku mau bicara berdua dengan Lia boleh?"Nyonya Helena mencebikkan bibirnya. "Bilang aja kamu mau ngusir Mama kan?" ucapnya ketus. Sebenarnya hanya bercanda. "Ish... Bukan gitu, Ma," sunggut Ray. "Arsa... Bella... kita keluar dulu sebentar yuk!" ajak Nyonya Helena menyeret lengan keduanya. "Mau kemana, Ma?" tanya Lia. "Ke kantin bentar." Nyonya Helena beralasan. Nyonya Helena sendiri ingin memberikan kesempatan pada Ray dan Lia. Siapa tahu dengan adanya janin dalam rahim Lia membuat keduanya bisa berbaikan dan menjalin hubungan rumah tangga yang harmonis seperti sebelumnya.Setelah ketiganya pergi Ray memutar roda pada kursinya. Roda-roda itu menggelinding ke depan. Semakin lama semakin dekat dengan ranjang pesakitan. Di mana wanitanya berada di atasnya. Melihat Ray semakin mendekat ke arahnya, semakin panik pula Lia dibuatnya."Jangan mendekat!" peringat Lia. Menghentikan gerakan suaminya. "Yasudah. A
Lia dibawa ke ruang pemeriksaan. Nyonya Helena berkacak pinggang seraya berjalan mondar mandir di depan ruangan. Melihat betapa Ray sangat mencintai Lia, membuat Nyonya Helena ikut mencemaskan keadaan sang menantu. "Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?" tanya Nyonya Helena, menyela sang dokter yang akan menjelaskan keadaan Lia. "Menantu anda pingsan karena kelelahan dan faktor berbadan dua, Nyonya, untuk pemeriksaan lebih lanjut nanti akan ditindak lanjuti oleh dokter kandungan.""Kalau begitu saya permisi, Nyonya.""Baik, Dok. Terima kasih banyak."Nyonya Helena meraup wajahnya penuh syukur. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan cucu dari Ray dan Lia secepat ini. Pernikahan Ray dan Lia yang baru satu bulan setengah itu ternyata dapat mewujudkan impian Nyonya Helena. Ya, beberapa bulan lagi Nyonya Helena dapat menimang seorang cucu yang selama ini dinantikannya. Lima tahun sudah Nyonya Helena menanti datangnya seorang cucu dari pernikahan Arsa dan Bella, tapi belum tampak
Ray mengucek kedua kelopak matanya. Ray takut apa yang dilihatnya hanyalah halusinasi semata karena dia tengah merindukan wanitanya. "Kamu benar Lia?" tanya Ray memastikan. "Iya," balas Lia ogah-ogahan. Ray mencubit tangannya sendiri. Rasanya sedikit sakit. Seperti digigit raja semut. Berarti Ray dalam keadaan sadar dan berada di dunia nyata. Ray bertemu dengan Lia bukan di dalam mimpi. Ah, betapa bahagianya hati Ray. Bunga yang tengah layu bagaikan tersiram air kembali. Merekah dengan indahnya. "Kemarilah, Sayang! Aku merindukanmu," ucapnya parau. Air mata kebahagiaan jatuh membasahi pipinya, tak dapat terbendung lagi. Betapa bahagianya Ray bisa bersua kembali dengan wanitanya. Semua terasa seperti mimpi. Ray masih tidak mempercayainya. "Mama keluar dulu ya." Nyonya Helena berlalu dan menutup pintu. Menyisakan dua insan di dalam ruangan pesakitan.Mengusap kasar sisa air mata, Ray merentangkan kedua tangannya. Rindunya tak terkira. Ray ingin merengkuh wanitanya, menumpahkan gulun
Lia sengaja berganti bus dua kali untuk mengecoh Anggara dan orang suruhan Ray. Tujuan awal kepergiannya ke Jawa Timur. Setelah menginap satu hari di sana, Lia kembali ke Jakarta. Pikirnya, Anggara dan orang suruhan Ray tidak mungkin bisa menebak keberadaannya sekarang. Luntang lantung di kota orang selama berminggu-minggu membuat Lia pusing tujuh keliling. Bukan karena jauh dari segala kemewahan yang diberikan Ray padanya, tapi lebih ke buta arah. Lia yang notabenenya anak rumahan merasa asing berada di kota orang. Apalagi Lia sama sekali tidak menggunakan ponselnya untuk membuka maps. Hanya mengandalkan bertanya orang yang dijumpainya saja, beruntunglah Lia bisa kembali ke Jakarta tanpa drama nyasar. Tujuan Lia ke Jakarta bukan untuk menyerahkan dirinya ataupun kembali pada Ray, melainkan untuk melancarkan aksi balas dendamnya pada Arsa. Selagi Lia berada di Jakarta, dia bisa mengawasi hubungan Arsa dan Bella, lalu membuat rumah tangga mereka berdua berantakan. Pagi ini Lia suda
"Friska, batalkan meeting kita hari ini!" perintah Ray pada sekretarisnya melalui sambungan interkom. "Tapi, Pak, meeting kita hari ini sangat penting," sahut Friska keberatan."Saya tidak peduli!"Persetan soal pekerjaannya saat ini. Ray hanya mau bertemu Lia dan memastikan bahwa yang dikatakan Anggara tidak benar adanya. Ray menggelengkan kepala, berusaha menampik kenyataan yang akan menyakitinya. 'Lia tidak berselingkuh di belakangku. Lia tidak akan menduakanku. Hanya aku yang dieluh-eluhkan wanitaku.' Ray mengukuhkan itu dalam pikirannya. Menghela napas kasar, pandangannya tertuju pada bangunan kota di luar kaca jendela. Menerawang beberapa peristiwa dari masa silam tentang kebersamaannya dengan Lia. "Ah shittt!" umpat Ray. Ray kehilangan fokusnya. Hampir saja Ray menabrak truk dari arah berlawanan. Demi menghindari tabrakan Ray membanting setir ke kiri. Ciitttt! Roda-roda saling bergesekan dengan jalan raya, menimbulkan bunyi decitan yang kencang. Debu jalanan pun ikut ter
Anggara dan beberapa orang suruhan Ray sedang berada di desa terpencil yang Lia singgahi. "Pak Anggara, kami mendapatkan informasi dari salah satu warga bahwa Nyonya Lia memang berada di desa ini, tepatnya di sebuah kontrakan kecil belakang sekolahan," lapor salah satu orang suruhan yang sering dijuluki si mancung karena hidungnya mancung. Anggara menghentikan kunyahannya. Meletakkan sendok dan bangkit dari duduknya. "Tunggu apalagi, kita cari sekarang juga!""Tunggu, Pak! Lebih baik kita selidiki lagi," cegahnya. "Selidiki apalagi hah? Kamu nggak tahu Pak Ray marah-marah gara-gara istrinya belum ketemu?" sentak Anggara. "Kami dapat informasi dari salah satu warga kalau Nyonya Lia berpacaran dengan anak lurah desa ini. Lebih baik kita selidiki dulu."Anggara menepis tangannya ke udara. "Hah? Mana mungkin?" jawabnya tak percaya. Mana mungkin sosok bos besar seperti Arrayyan Sagara tergantikan begitu saja dengan anak lurah. Apa nyonya-nya sebercanda itu? Mereka berjalan menuju seko
Memikirkan banyak hal membuat wanita berparas cantik itu sulit terlelap. Netra hazelnya memandang plafon kamar. Mengikuti arah pandang cicak-cicak yang berlarian bebas di atas sana. Satu persatu benang kusut diurainya. "Oke, Lia. Pertama, hancurkan rumah tangga Arsa terlebih dahulu. Ingat! Iblis itu yang membunuh Mamamu. Setelah rumah tangga Arsa hancur dan hidupnya menderita, barulah kamu buat Ray menderita juga.""Sekarang tidurlah! Balas dendam juga butuh tenaga."Lia memejamkan matanya, meski rasa kantuk belum menghampirinya. Menghitung domba mungkin akan membuatnya cepat terlelap, meskipun pikirannya belum kosong. Taman biasanya dipenuhi bunga bermekaran, bangku-bangku memanjang untuk tempat duduk, dan tempat bermain anak. Namun, berbeda dengan taman satu ini. Benar-benar tampak aneh. Tidak ada satu bunga pun tumbuh di sana. Hanya terdapat pohon beringin yang berjajar memenuhi area itu. Lia mengerutkan dahinya. Merasa semakin tidak paham dengan taman ini. Apalagi saat melihat
"Bang, kontrakannya udah pasti ada kan?" tanya Lia memastikan. Pasalnya Lia ingin sekalian membeli perabotan rumah. "Ada. Neng mau yang bagus apa yang biasa aja?" tanya Farid. "Pokoknya yang bersih, yang nyaman juga. Nggak usah terlalu luas gapapa. Kan cuma ditempatin sendiri.""Di tempat Bu Anik aja entar.""Hmm. Kalau beli peralatan dapur sekalian gapapa kan bang? Saya juga butuh magicom sama kipas angin. Abang bisa bawanya?""Bisa, Neng. Gampang."Setelah membeli berbagai makanan dan kebutuhan, Farid mengantarkan Lia menemui Bu Anik-pemilik kontrakan. "Permisi, Bu Anik," sapa Farid. "Ada apa, Bang Farid?" tanya Bu Anik sembari menyingkirkan berbagai alat-alat perkebunan. "Ini, Neng Ana lagi cari kontrakan.""Ayo masuk dulu, Neng Ana, Farid," ajak Bu Anik. "Makasih, Bu. Kami di sini saja," tolak Lia sopan. "Saya mau lihat langsung kontrakannya apa boleh?" tanya Lia. "Boleh, Neng. Bentar ya, Ibu ambilin kunci kontrakannya dulu."Bu Anik mengantarkan Lia melihat isi di dalam k
Netranya memandang nanar di sepanjang jalanan. Berulang kali mengumpat karena tidak menemukan keberadaan sang wanita. Pikirannya semakin kalut. Hatinya semakin resah. Ray memilih menepi barang sejenak. Menghubungi Anggara untuk mencari informasi di mana keberadaan wanitanya. "Bagaimana, Anggara? Apa sudah ada info?" tanya Ray ke inti pembahasan. "Keberadaan Nyonya saat ini belum bisa dilacak lebih jauh. Jejak terakhirnya berada di pertigaan hotel. Nyonya berjalan ke arah selatan. Detektif kita sudah menyelidiki jalanan yang kemungkinan dilewati Nyonya Lia, tapi sayang sekali, di sana tidak ada CCTV jalan. Sangat menyulitkan untuk kami melacak keberadaan Nyonya Lia.""Coba lacak melalui ponselnya!""Sudah, Pak. Ponselnya sudah tidak aktif semenjak dari hotel. Sim cardnya juga tidak terdeteksi.""Lacak dari atm, Anggara. Siapa tahu Lia menarik uang.""Sudah juga, Pak. Nyonya memang menarik uang dalam jumlah yang banyak di mesin atm dekat hotel. Apa struknya perlu saya kirim, Pak?""T