Tidak terdengar lagi suara Bianca di luar sana. Dengan itu, Damian langsung bergegas keluar dari dalam toilet. Tujuannya jelas, yaitu mengejar buruannya yang telah kabur entah ke mana.
"Kau pikir kau bisa pergi begitu saja, Nona Moretti? Kau yang lebih dulu membangkitkanku. Jangan pikir aku hanya pria biasa seperti yang ada di pikiranmu," gumam Damian dengan senyum tipis.
Dengan cepat, ia melajukan mobilnya, meninggalkan Bianca yang masih sibuk mencari keberadaannya. Ia tahu betul di mana Lily. Damian adalah orang berkuasa yang tidak mudah dikelabuhi begitu saja—memiliki anak buah di mana-mana yang bisa memberikan informasi apa pun.
Mobil Damian berhenti di salah satu klub mewah. Buruannya ada di dalam sana.
Lily duduk di sofa VIP dengan anggun, jemarinya memainkan gelas wine merah yang berputar perlahan di tangannya. Sorot matanya penuh kepuasan saat mengamati kerumunan di lantai dansa, seolah yakin pria itu akan segera tiba.
Dan benar saja.
Damian melangkah masuk ke klub dengan langkah tegap, auranya begitu kuat hingga menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Beberapa wanita mencoba mencuri pandang, tetapi ia tidak peduli. Tatapannya hanya tertuju pada satu orang.
Lily.
Wanita itu menyambutnya dengan senyum tipis, mengangkat gelasnya sedikit, seperti memberi salam sebelum menyesap minumannya perlahan.
"Kau terlalu cepat, Tuan Richi. Apa kau begitu terburu-buru mengejarku?" nada suaranya santai, penuh kemenangan.
Damian tidak menjawab, hanya berjalan mendekat dengan tatapan berbahaya. Tanpa peringatan, ia meraih pergelangan tangan Lily, menariknya hingga wanita itu terpaksa bangkit berdiri.
"Oh, tentu saja aku tidak ingin menunda begitu lama. aku tidak sabar memangsa buruanku yang satu ini. Ia sangat nakal," bisiknya, begitu dekat hingga Lily bisa merasakan hembusan napasnya di kulitnya.
Alih-alih merasa terintimidasi, Lily justru terkekeh pelan, matanya penuh tantangan. "Hm, buruanmu ini bukan wanita biasa, pastikan kau siap untuk menikmatinya."
Damian menyipitkan mata, jemarinya perlahan menelusuri punggung tangan Lily sebelum menggenggamnya lebih erat, menariknya semakin dekat hingga tubuh mereka hampir bersentuhan.
"Aku tidak hanya menikmati," suaranya rendah, nyaris seperti geraman. "Aku ingin menyelesaikannya dengan lebih... memuaskan."
Lily tidak gentar. Ia malah mendekatkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh rahang Damian saat berbisik, "Lalu, apa yang kau tunggu?"
Tatapan Damian menggelap. Dalam hitungan detik, ia menyeret Lily keluar dari klub, tak memberi wanita itu kesempatan untuk menolak.
Damian melirik sekilas layar ponselnya yang terus bergetar, nama Bianca tertera jelas di sana. Ia mengabaikannya begitu saja, menekan tombol bisu tanpa sedikit pun ragu.
Lily menyandarkan tubuhnya pada sofa empuk di dalam mobil Damian, menatap pria itu dengan sorot menggoda. "Kau benar-benar pria yang kejam, meninggalkan kekasihmu tanpa penjelasan. Kasihan Bianca, pasti saat ini ia sibuk mencari-cari keberadaanmu."
Damian menoleh dengan tatapan tajam, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum miring. "Jika ia cukup pintar, maka seharusnya ia tahu batasannya. Aku sudah mengatakan menerima telephone dari orang penting."
Lily mengangkat alis, pura-pura berpikir. "Atau mungkin kau hanya tidak cukup peduli?"
Damian tidak menjawab, tetapi sorot matanya mengunci pandangan Lily, seolah ingin menelannya bulat-bulat. Ia meraih dagu wanita itu, mengangkatnya sedikit agar wajah mereka semakin dekat.
"Aku hanya peduli pada satu hal saat ini."
Lily terkekeh pelan, tidak menunjukkan sedikit pun ketakutan. "Dan itu adalah?"
Tanpa peringatan, Damian menekan bibirnya pada milik Lily, sebuah ciuman panas yang tak memberi celah untuk bernafas. Ia mencengkeram pinggang wanita itu, menariknya lebih dekat seakan ingin menandainya.
Sementara itu, ponselnya masih terus bergetar. Nama Bianca masih tertera di layar, tapi bagi Damian, saat ini hanya ada satu wanita yang menguasai pikirannya, yaitu wanita yang kini berhasil menarik perhatiannya dengan kenakalannya itu.
Dalam sekejap, mereka telah sampai di sebuah hotel berbintang—milik Richi.
Damian tersenyum tipis, lalu tanpa mengatakan apa pun, ia langsung menggendong Lily dalam posisi bridal carry. Aksi tiba-tiba itu nyaris membuat Lily terkejut. Pria itu begitu dominan, sedikit kasar, dan jelas berbahaya.
Hotel Richi yang biasanya ramai oleh tamu kini terasa sunyi. Lily mendengus pelan. Tidak perlu berpikir dua kali untuk mengetahui alasannya—Damian Richi pasti sudah mengatur semuanya.
Lily melingkarkan lengannya di leher Damian, matanya menatap pria itu dengan penuh teka-teki. "Kau tidak takut seseorang melihat kita?" bisiknya, sedikit terengah karena cara Damian membawanya terlalu mendominasi.
Damian hanya menyunggingkan senyum tipis. "Siapa yang berani melihatku tanpa izinku?" jawabnya, nada suaranya begitu dalam dan berbahaya.
Mereka memasuki lantai teratas hotel, sebuah penthouse eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang tertentu. Pintu otomatis terbuka saat Damian mendekat, seolah segalanya telah dipersiapkan untuknya. Lily menoleh ke sekeliling, menyadari betapa sunyinya tempat itu.
"Hm, kau benar-benar berkuasa, ya?" gumamnya, sedikit terkekeh.
Damian meletakkan Lily di atas ranjang mewah dengan satu gerakan penuh kepemilikan. Ia menatap wanita itu dari atas, rahangnya mengeras, matanya seakan terbakar oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar nafsu.
"Kau yang membangkitkan iblis dalam diriku, Lilyana Moretti," ucapnya dengan suara serak.
Lily menahan napas, tetapi tetap mempertahankan ekspresi angkuhnya. "Dan aku ingin melihat seberapa berbahayanya iblis itu."
Damian terkekeh pelan, lalu menunduk, mengurung Lily di bawahnya. Namun, sebelum ia sempat bertindak lebih jauh—
Drrrt!
Ponsel Damian kembali bergetar di meja samping. Nama Bianca tertera di layar, panggilan keempat dalam beberapa menit terakhir.
Lily mengangkat alis, menatap Damian seolah menantikan reaksinya. Namun, alih-alih mengambil ponsel itu, Damian justru mengabaikannya.
"Aku tidak suka diganggu," gumamnya, suaranya berat dan dalam.
Lily menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang, jemarinya memainkan ujung rambut panjangnya. "Hm, aku penasaran, apa yang sedang dirasakan kekasihmu saat ini?" tanyanya dengan nada menggoda.
Damian tidak menjawab. Ia hanya menatap Lily dalam-dalam, seakan menilai setiap gerakan dan ekspresi wanita itu. Kemudian, perlahan ia bergerak, menekan satu tombol di layar ponselnya.
Panggilan ditolak.
Di sisi lain, Bianca menggigit bibirnya, menatap layar ponselnya dengan cemas. Damian tidak pernah mengabaikan teleponnya seperti ini. Apalagi di saat seperti sekarang.
'Di mana dia?' pikirnya.
Ia menoleh ke sekeliling restoran yang mulai sepi, mencari sosok pria itu. Namun, Damian tidak ada di mana pun.
Bianca mencoba menenangkan diri. Mungkin dia sedang sibuk... mungkin ada urusan bisnis mendadak.
Tapi firasat buruk mulai merayapi pikirannya.
Sementara itu, di kamar mewah miliknya, Damian melemparkan ponselnya ke meja tanpa melihat lagi. Ia berjongkok di tepi ranjang, menatap Lily dengan intensitas yang sulit ditebak.
Dengan perhitungan matang, Damian melepaskan semua yang melekat pada dirinya. Ia bergerak cepat, siap menerkam Lily. Namun, siapa sangka wanita itu justru menghindar dengan gesit dan segera bangkit dari ranjang.
Tindakan itu berhasil memancing kemarahan Damian.
"Heh... kau..."
"Selamat pagi, Tuan Damian. Maaf telah membuat Anda menunggu lama." Lily melangkah dengan anggun, setiap gerakan tubuhnya dipenuhi kepercayaan diri yang terlatih. Tumit tingginya mengetuk lantai marmer dengan irama halus, sementara gaun formalnya membalut tubuh dengan sempurna, menonjolkan siluet yang tak bisa diabaikan. Ia duduk di hadapan Damian. Tatapannya tajam, lekat tertuju pada pria itu yang tampak dingin dan kaku—tak tergoyahkan sedikit pun oleh Lily yang tengah berusaha memancing perhatiannya. Lily menyunggingkan senyum tipis. Pikirannya berlarian liar, mencoba memikirkan kembali cara untuk menaklukkan pria yang jauh dari apa yang ia perkirakan. "Tidak masalah, Nona Moretti. Kita tidak perlu terlalu formal." Nada suara Damian terdengar santai, tapi Lily menangkap sesuatu di balik senyumnya yang samar. Ia tahu siapa Damian Richi. Seorang pria yang cukup berbahaya, dikenal luas di dunia bisnis dengan cara-cara keras dan tanpa kompromi. Namun, bagi Lily, itu bukanlah h
"Yang aku tahu, sosok pria sepertimu tidak suka menghabiskan waktu terlalu lama untuk membuat keputusan," ucap Lily dengan nada datar namun tajam, membuyarkan lamunan Damian. Pria itu mengerjap pelan, terhentak sejenak seolah baru tersadar dari perjalanan panjang dalam pikirannya sendiri. Tatapan kosongnya sebelumnya tampak penuh beban, seolah bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. "Ya, aku menyepakatinya," gumam Damian akhirnya, suaranya rendah dan berat. Ia memutar badannya sehingga membelakangi Lily. "Bagus," balas Lily sambil tersenyum, senyum yang terpatri anggun di wajahnya seperti topeng tak tergoyahkan. Di balik senyum itu, ada ribuan helai niat tersembunyi. Rencana awalnya berjalan nyaris sempurna. Layaknya rubah kecil yang lihai, Lily tahu betul kapan harus bergerak, kapan harus diam, dan kapan harus mencabik. Ia bukan hanya cantik, tapi cerdik—sangat cerdik. Tak. Tak. Tak. Ketukan sepatu hak tingginya terdengar begitu nyaring, Lily mendekati Damian yang mas
Lily melangkah dengan sensual melewati Bianca yang tengah menunggu Damian. Tatapan Bianca tampak sinis, penuh ketidaksabaran, sementara Lily terlihat jauh lebih tenang, seolah kemenangan sudah ada di tangannya. Langkahnya ringan dan percaya diri, seperti seorang ratu yang baru saja menaklukkan mangsanya.Apa yang dilakukan Lily di sana? Bianca sama sekali tidak tahu bahwa Lily berada di tempat yang sama dengan kekasihnya.Setelah melewati Bianca beberapa meter, Lily akhirnya berhenti. Ia menoleh perlahan, menatap wanita itu dengan senyum tipis yang penuh arti."Hm, kasihan sekali. Dibuat menunggu oleh kekasihmu sendiri," ucapnya dengan nada manis, tetapi penuh racun."Moretti bekerja sama dengan Richi Group. Apa kau tidak tahu, wahai wanita sialan?"Bianca tampak berpikir keras. Damian tidak pernah memberitahunya bahwa Richi Group bekerja sama dengan Moretti. Siapa yang lebih dulu menawarkan kerja sama?"Kau tidak pantas menjalin kerja sama dengan Richi Group."Lily terkekeh kecil. "H
"Damian Richi, aku perlu membuktikan ucapanmu itu. Aku tidak peduli dengan siapa kau di masa lalu. Yang jelas, menghancurkan Bianca adalah tujuanku."Lily menatap bayangannya di cermin besar di hadapannya. Gaun mewah berkelas dan mahal sudah melekat sempurna di tubuhnya. Kali ini, ia memilih gaun yang sedikit lebih terbuka—tentu saja, untuk menyelinap dan menggagalkan makan malam Bianca dengan pria itu.Senyum tipis terukir di bibirnya. Jemarinya dengan perlahan menyusuri garis lehernya, merasakan kain lembut yang membungkus kulitnya."Aku hanya penasaran... apa kau akan tetap bersama wanita itu, atau malah meninggalkannya dan menarikku ke atas ranjangmu, seperti yang sudah pernah kau katakan sebelumnya?Lily menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinganya, memperhatikan pantulan dirinya di cermin dengan penuh percaya diri. Ia tahu apa yang ia lakukan berbahaya, tetapi itu justru yang membuatnya semakin bersemangat.Dengan langkah anggun, ia mengambil tas tangan kecilnya lalu berjal
Tidak terdengar lagi suara Bianca di luar sana. Dengan itu, Damian langsung bergegas keluar dari dalam toilet. Tujuannya jelas, yaitu mengejar buruannya yang telah kabur entah ke mana."Kau pikir kau bisa pergi begitu saja, Nona Moretti? Kau yang lebih dulu membangkitkanku. Jangan pikir aku hanya pria biasa seperti yang ada di pikiranmu," gumam Damian dengan senyum tipis.Dengan cepat, ia melajukan mobilnya, meninggalkan Bianca yang masih sibuk mencari keberadaannya. Ia tahu betul di mana Lily. Damian adalah orang berkuasa yang tidak mudah dikelabuhi begitu saja—memiliki anak buah di mana-mana yang bisa memberikan informasi apa pun.Mobil Damian berhenti di salah satu klub mewah. Buruannya ada di dalam sana.Lily duduk di sofa VIP dengan anggun, jemarinya memainkan gelas wine merah yang berputar perlahan di tangannya. Sorot matanya penuh kepuasan saat mengamati kerumunan di lantai dansa, seolah yakin pria itu akan segera tiba.Dan benar saja.Damian melangkah masuk ke klub dengan lang
"Damian Richi, aku perlu membuktikan ucapanmu itu. Aku tidak peduli dengan siapa kau di masa lalu. Yang jelas, menghancurkan Bianca adalah tujuanku."Lily menatap bayangannya di cermin besar di hadapannya. Gaun mewah berkelas dan mahal sudah melekat sempurna di tubuhnya. Kali ini, ia memilih gaun yang sedikit lebih terbuka—tentu saja, untuk menyelinap dan menggagalkan makan malam Bianca dengan pria itu.Senyum tipis terukir di bibirnya. Jemarinya dengan perlahan menyusuri garis lehernya, merasakan kain lembut yang membungkus kulitnya."Aku hanya penasaran... apa kau akan tetap bersama wanita itu, atau malah meninggalkannya dan menarikku ke atas ranjangmu, seperti yang sudah pernah kau katakan sebelumnya?Lily menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinganya, memperhatikan pantulan dirinya di cermin dengan penuh percaya diri. Ia tahu apa yang ia lakukan berbahaya, tetapi itu justru yang membuatnya semakin bersemangat.Dengan langkah anggun, ia mengambil tas tangan kecilnya lalu berjal
Lily melangkah dengan sensual melewati Bianca yang tengah menunggu Damian. Tatapan Bianca tampak sinis, penuh ketidaksabaran, sementara Lily terlihat jauh lebih tenang, seolah kemenangan sudah ada di tangannya. Langkahnya ringan dan percaya diri, seperti seorang ratu yang baru saja menaklukkan mangsanya.Apa yang dilakukan Lily di sana? Bianca sama sekali tidak tahu bahwa Lily berada di tempat yang sama dengan kekasihnya.Setelah melewati Bianca beberapa meter, Lily akhirnya berhenti. Ia menoleh perlahan, menatap wanita itu dengan senyum tipis yang penuh arti."Hm, kasihan sekali. Dibuat menunggu oleh kekasihmu sendiri," ucapnya dengan nada manis, tetapi penuh racun."Moretti bekerja sama dengan Richi Group. Apa kau tidak tahu, wahai wanita sialan?"Bianca tampak berpikir keras. Damian tidak pernah memberitahunya bahwa Richi Group bekerja sama dengan Moretti. Siapa yang lebih dulu menawarkan kerja sama?"Kau tidak pantas menjalin kerja sama dengan Richi Group."Lily terkekeh kecil. "H
"Yang aku tahu, sosok pria sepertimu tidak suka menghabiskan waktu terlalu lama untuk membuat keputusan," ucap Lily dengan nada datar namun tajam, membuyarkan lamunan Damian. Pria itu mengerjap pelan, terhentak sejenak seolah baru tersadar dari perjalanan panjang dalam pikirannya sendiri. Tatapan kosongnya sebelumnya tampak penuh beban, seolah bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. "Ya, aku menyepakatinya," gumam Damian akhirnya, suaranya rendah dan berat. Ia memutar badannya sehingga membelakangi Lily. "Bagus," balas Lily sambil tersenyum, senyum yang terpatri anggun di wajahnya seperti topeng tak tergoyahkan. Di balik senyum itu, ada ribuan helai niat tersembunyi. Rencana awalnya berjalan nyaris sempurna. Layaknya rubah kecil yang lihai, Lily tahu betul kapan harus bergerak, kapan harus diam, dan kapan harus mencabik. Ia bukan hanya cantik, tapi cerdik—sangat cerdik. Tak. Tak. Tak. Ketukan sepatu hak tingginya terdengar begitu nyaring, Lily mendekati Damian yang mas
"Selamat pagi, Tuan Damian. Maaf telah membuat Anda menunggu lama." Lily melangkah dengan anggun, setiap gerakan tubuhnya dipenuhi kepercayaan diri yang terlatih. Tumit tingginya mengetuk lantai marmer dengan irama halus, sementara gaun formalnya membalut tubuh dengan sempurna, menonjolkan siluet yang tak bisa diabaikan. Ia duduk di hadapan Damian. Tatapannya tajam, lekat tertuju pada pria itu yang tampak dingin dan kaku—tak tergoyahkan sedikit pun oleh Lily yang tengah berusaha memancing perhatiannya. Lily menyunggingkan senyum tipis. Pikirannya berlarian liar, mencoba memikirkan kembali cara untuk menaklukkan pria yang jauh dari apa yang ia perkirakan. "Tidak masalah, Nona Moretti. Kita tidak perlu terlalu formal." Nada suara Damian terdengar santai, tapi Lily menangkap sesuatu di balik senyumnya yang samar. Ia tahu siapa Damian Richi. Seorang pria yang cukup berbahaya, dikenal luas di dunia bisnis dengan cara-cara keras dan tanpa kompromi. Namun, bagi Lily, itu bukanlah h