Tindakan itu berhasil memancing kemarahan Damian.
"Heh... kau..." Belum sempat Lily menyentuh kenop pintu, tangan kekar Damian telah lebih dulu meraih tengkuknya dari belakang dengan kasar. Cengkeramannya kuat dan mendominasi, membuat Lily tersentak dan mengerang pelan karena tekanan mendadak itu. "Ke mana kau pikir kau akan pergi, hah?" suara Damian rendah dan dingin, nyaris seperti geraman binatang buas yang baru saja kehilangan kesabarannya. Lily tak sempat menjawab. Dalam sekejap, Damian menarik tubuhnya ke belakang dan menyeretnya dengan langkah cepat, seperti membawa barang miliknya sendiri. Tidak ada kelembutan, hanya kemarahan dan hasrat yang meledak-ledak. "Aku belum selesai denganmu," gumamnya penuh amarah sebelum ia menjatuhkan tubuh Lily ke atas ranjang dengan keras, membuat wanita itu memantul sedikit karena benturan. Lily terengah, napasnya berat, rambutnya terurai berantakan menutupi sebagian wajah. Tapi ia tetap menatap Damian dengan sorot mata menantang, meskipun tubuhnya jelas tak bisa melawan kekuatan pria itu. Damian berdiri di tepi ranjang, dadanya naik turun karena emosi yang menggebu. “Kau pikir kau bisa mempermainkanku lalu pergi begitu saja, hah? Aku bukan pria yang bisa kau tarik dan dorong sesukamu, Lilyana.” Tangannya kembali bergerak cepat, mencengkeram pergelangan tangan Lily dan menahannya di atas kepala, tubuhnya kini menindih wanita itu sepenuhnya. Wajah mereka nyaris bersentuhan dan tatapan mereka terkunci dalam perang dingin yang membakar. Lily masih tersenyum tipis, "Kalau begitu… buktikan kalau kau memang tidak bisa dipermainkan." Damian menggeram pelan, "Jangan menantang iblis, Lilyana. Kau tidak akan sanggup menanggung akibatnya." Dan tanpa memberi Lily kesempatan bicara lagi, bibirnya kembali menekan milik wanita itu dengan kasar, mendalam, dan penuh amarah yang tak bisa lagi dibendung. "Hey, lepaskan aku, Damian!" Lily memberontak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. Suaranya terdengar tajam, namun napasnya tersengal karena posisi tubuhnya yang terjepit dan sulit bergerak. "Lepaskan? Jangan lupa, kau sendiri yang menawarkan dirimu padaku. Dan ingat baik-baik, kau menjadi wanita simpananku karena pilihanmu sendiri. Sekarang, aku pastikan kau tak akan bisa melangkah keluar dari kamar ini," ucapnya tajam, suaranya dingin seperti es tapi menyala oleh bara amarah yang tertahan. Cengkeramannya di pergelangan tangan Lily justru menguat. Ia menunduk, wajahnya semakin dekat, hingga bibir mereka hanya terpisah satu helaan napas. "Tentu saja aku tak akan menyia-nyiakan wanita simpananku. Aku akan menidurimu, persis seperti yang pernah kau katakan sendiri. Dan percayalah, aku akan memanfaatkan setiap detiknya sebaik mungkin." "Damian…." Damian menunduk, menekan tubuhnya sepenuhnya di atas tubuh wanita itu. Dalam satu gerakan cepat, tangannya meraih ujung gaun wanita itu dan—srak!—suara robekan kain menggema di kamar mewah itu, membuat Lily menahan napas. "Apa yang kau—Damian!" serunya, sedikit terkejut. Namun pria itu tak mengindahkannya. Jemarinya yang panas menyusuri bahu terbuka Lily, lalu berhenti di leher jenjangnya. Ia menunduk, menyentuh bibir wanita itu dengan ibu jarinya, gerakannya perlahan namun penuh intensitas. "Ini mulut kecilmu," bisiknya serak, "Terlalu sering berkata hal yang mengundang masalah, padahal kau sendiri takut jika aku memangsamu." Lily membuka mulutnya, hendak melawan dengan kata-kata tajam seperti biasanya, namun suara itu tertahan ketika Damian menekan bibirnya sekali lagi Lily kembali terkejut, tangannya mengepal di seprai, tapi ia tak memalingkan wajahnya. Bukan karena lemah tapi karena ada bagian dalam dirinya yang ingin tahu, seberapa jauh pria berbahaya ini akan melangkah. Dan Damian tahu itu. Tangannya menjelajah dengan dominasi yang tak bisa disangkal, setiap sentuhannya adalah peringatan bahwa ia tidak bermain-main. Ia memeluk tubuh Lily erat, membuktikan pada wanita itu, bahwa ia bukanlah pria seperti yang ada di dalam pikirannya. "Lilyana Moretti," desisnya di telinga wanita itu, "Malam ini, kau milikku. Aku pastikan setelah ini kau tidak akan bisa keluar dari jeratanku." Mata Lily perlahan terbuka, menatap pria yang kini menguasainya dari jarak begitu dekat. Detik itu juga, ia tahu: inilah titik balik dari rencana panjang yang telah ia siapkan sejak hari pertama Bianca memperkenalkan Damian padanya. Udara di dalam kamar itu terasa berat, penuh napas dan desahan yang saling bertaut dalam irama yang tidak lagi bisa dibedakan antara hasrat dan permainan kuasa. Damian tak lagi sekadar menyentuh Lily—dia menuntut, mengambil, menguasai. Namun di balik cengkeraman dan ciuman panas itu, Lily justru tersenyum dalam diam. Ia menang. Setiap sentuhan Damian yang semakin liar, setiap panggilan bernada rendah yang memanggil namanya dengan suara parau, menjadi bukti bahwa pria itu—lelaki milik Bianca—kini sepenuhnya jatuh dalam jaring yang ia rajut dengan licin. Lily tidak lagi hanya sekadar "buruan". Ia kini menjadi kecanduan bagi pria seberbahaya Damian. Tubuh mereka bersatu dalam permainan yang semakin panas dan Lily membiarkan semuanya terjadi—karena inilah saat yang ia tunggu. Ia bisa merasakan betapa Damian tak mampu berhenti menyentuhnya, menyebut namanya, dan menahan diri untuk tidak terus-menerus menariknya ke dalam pelukan yang menggila. Sementara Damian mendesah berat, menatapnya seolah dunia tak punya ruang untuk wanita lain, Lily menatap balik dengan senyum tipis di bibirnya. "Bagus," bisiknya pelan. "Kau milikku sekarang, Tuan Richi." Ia mengecup rahang pria itu dengan penuh kemenangan. Tak peduli berapa kali Damian mencumbunya malam ini—yang terpenting, pria itu kini terikat padanya, bukan pada Bianca. Dalam pikirannya, Lily bersorak penuh puas."Oh, Damian..." Lily melolong panjang.Kedua rahangnya dicengkeram kasar oleh tangan pria itu, memaksanya mendongak. Ia tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa semua perlakuan Damian begitu memabukkan, bahkan saat pria itu memperlakukannya dengan caranya sendiri—kasar dan menguasai."Lebih keras lagi. Aku suka mendengar bagaimana erangan seksi itu keluar dari mulutmu, Lilyana." desis Damian, tubuhnya terus bergerak, mendominasi Lily sepenuhnya.Tubuh Lily menggelinjang hebat, terombang-ambing dalam permainan yang tak memberinya waktu untuk bernapas. Sementara Damian terlihat begitu puas, seolah ini adalah kemenangan mutlaknya."Sekarang giliranmu. Jadilah wanita simpanan yang liar, sayang."Damian melepas ikatan di kedua pergelangan tangan Lily. Sejenak matanya menatap tubuh wanita itu yang penuh bekas kemerahan hasil cambukan kecil tadi. Bekas air mata Lily masih terlihat, namun justru itulah yang membangkitkan gairah liar di mata pria itu.Kini Lily berada di atas Damian. Ia tertegu
Lily masih tertegun dengan apa yang baru saja terjadi. Pria itu melenyapkan seseorang tanpa ragu, dan sekarang lengan kekarnya bertengger di pinggul Lily, membawanya masuk ke dalam lift. Apa yang sebenarnya terjadi? Mulut Lily seolah terkunci rapat. Ia ingin bertanya, tetapi tak mampu. Damian adalah seorang pembunuh, dan kemungkinan besar ia bisa melenyapkan Lily kapan saja jika menginginkannya. "Lilyana..." panggil Damian. Namun, suara itu tak mampu membuyarkan Lily yang tengah berpikir keras, mencoba mencerna semuanya. Ting! Pintu lift terbuka. Kaki Damian melangkah lebih dulu keluar, dan Lily mengikuti di belakangnya. Tubuhnya terasa dingin. Ia memaksa dirinya melangkah, meski kaki-kakinya terasa berat. "Kau takut padaku?" tanya Damian, langkahnya terhenti, membuat Lily ikut berhenti. Perlahan, Lily menghadap ke arahnya, namun tak berani menatap langsung ke mata pria itu—mata yang masih menyala dengan amarah. "Sepertinya aku harus kembali ke kantorku, Damian. Aku lup
"Apa kau setuju dengan penawaranku ini, Bianca?" tanya Tuan Marcello, senyum miring menghiasi wajahnya. Ia tahu, Bianca tak memiliki pilihan lain."Padahal aku bisa saja memberikan bagianmu tanpa harus—""Ssst… tidak ada tawaran lain selain yang sudah kusebutkan tadi," potong Tuan Marcello, suaranya berbisik di telinga Bianca, begitu dekat hingga napasnya terasa di kulitnya. "Jika kau menolak, kau bisa segera pergi dari kediamanku."Tangan pria paruh baya itu terulur pelan, jemarinya yang kasar menyentuh sisi lengan Bianca, lalu turun perlahan, mencari titik yang diinginkan."Jadi, bagaimana?" ulang Tuan Marcello, suaranya rendah dan menekan.Bianca menggigit bibir, tak menjawab. Tubuhnya menegang, namun tidak bergerak menjauh. Hanya desah halus lolos dari bibirnya, ambigu—antara penolakan dan kepasrahan.Sentuhan Tuan Marcello bagaikan bara api yang menyengat di kulitnya. Sentuhan itu kian liar, dan sedikit pun Bianca tidak berniat untuk menepisnya."Oh, Tuan Marcello…"Kedua mata wa
"Sungguh sangat tidak masuk akal." Bianca menggeleng keras, tangannya meremas kuat ujung gaun yang dikenakan."Apa pun bisa masuk akal. Termasuk Damian sendiri yang merobeknya," jawab Lily santai."LILYANA!"Tangan Bianca menggantung di udara. Amarahnya meledak-ledak, tapi ia tak bisa menampar Lily karena disaksikan banyak orang. Jika ia melakukannya, itu hanya akan merusak reputasinya. Apa pun yang terjadi saat ini bisa dengan mudah tersebar di media."Mengapa berhenti? Kau bisa menamparku," ucap Lily tenang, tatapannya tajam namun tetap menantang.Bianca menatap Lily dengan kobaran api yang semakin melalap habis dirinya. Tangannya yang sempat menggantung di udara perlahan turun kembali. Jemarinya mengepal lebih kuat, berusaha sekuat tenaga menahan dorongan untuk tidak melayangkan tamparan itu ke wajah Lily.Gumaman lirih terdengar dari beberapa pegawai yang melintas. Mereka mulai berbisik, memperhatikan ketegangan yang menyeruak di antara ketiga orang itu. Beberapa pura-pura sibuk,
Zio berdiri di hadapan sahabatnya dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Pria itu terus menggeleng pelan, nyaris tak percaya pada setiap kata yang keluar dari mulut Lily."Apa kau benar-benar tidak bisa memilih cara lain?" tanya Zio dengan nada penuh kekhawatiran. Ia takut rencana kehancuran Bianca yang disusun Lily justru akan berbalik menyakiti wanita itu sendiri."Tidak bisa, Zionathan. Aku sudah melangkah terlalu jauh. Dan tentu saja, aku tidak akan berbalik hanya untuk menghentikan semuanya. Meski Damian berbahaya, justru itu yang membuat semuanya terasa menantang."Zio menghela napas berat. "Kau mengatakan dia merusakmu, memborgolmu, bahkan ada senjata ilegal... itu lebih dari sekadar berbahaya, Lilyana.""Damian tidak akan menyakitiku," sahut Lily cepat. Senyum tipis mengembang di wajahnya saat ia kembali mengingat bagaimana pria itu bisa bersikap cukup manis setelah menyelesaikan permainan itu."Kau tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," sahut Zio. Ia tidak bisa m
"Di mana Lily?" tanya Nyonya Lombardi santai, menyelipkan pertanyaan itu di tengah momen sarapan mereka yang tenang.Bianca mendadak meletakkan alat makannya dengan kasar. Dentingnya menggema, mengganggu keheningan pagi. Matanya menyipit tajam ke arah sang ibu."Apa Ibu tidak salah menanyakan wanita itu?" katanya dingin, "Damian menghilang. Tidak ada kabar dan tidak bisa dihubungi. Dan itu jauh lebih membuatku frustrasi."Nyonya Lombardi hanya menghela napas pelan, seolah tak terpengaruh oleh kemarahan putrinya."Ibu bertanya bukan karena peduli," ujarnya tenang, "Tapi sudah dua hari dia menghilang dari mansion. Bukankah itu seharusnya menjadi kabar baik?""Tentu saja kabar baik. Tapi sayangnya, ini rumahku. Dan sampai kapan pun, aku tidak akan pergi dari sini."Suara yang tiba-tiba menyela percakapan itu membuat keduanya menoleh refleks.Lily berdiri dengan tegak dan tenang di ambang pintu ruang makan.Namun bukan kehadiran Lily yang membuat Bianca dan Nyonya Lombardi terpaku, melain