"Oh, Damian..." Lily melolong panjang.Kedua rahangnya dicengkeram kasar oleh tangan pria itu, memaksanya mendongak. Ia tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa semua perlakuan Damian begitu memabukkan, bahkan saat pria itu memperlakukannya dengan caranya sendiri—kasar dan menguasai."Lebih keras lagi. Aku suka mendengar bagaimana erangan seksi itu keluar dari mulutmu, Lilyana." desis Damian, tubuhnya terus bergerak, mendominasi Lily sepenuhnya.Tubuh Lily menggelinjang hebat, terombang-ambing dalam permainan yang tak memberinya waktu untuk bernapas. Sementara Damian terlihat begitu puas, seolah ini adalah kemenangan mutlaknya."Sekarang giliranmu. Jadilah wanita simpanan yang liar, sayang."Damian melepas ikatan di kedua pergelangan tangan Lily. Sejenak matanya menatap tubuh wanita itu yang penuh bekas kemerahan hasil cambukan kecil tadi. Bekas air mata Lily masih terlihat, namun justru itulah yang membangkitkan gairah liar di mata pria itu.Kini Lily berada di atas Damian. Ia tertegu
Lily masih tertegun dengan apa yang baru saja terjadi. Pria itu melenyapkan seseorang tanpa ragu, dan sekarang lengan kekarnya bertengger di pinggul Lily, membawanya masuk ke dalam lift. Apa yang sebenarnya terjadi? Mulut Lily seolah terkunci rapat. Ia ingin bertanya, tetapi tak mampu. Damian adalah seorang pembunuh, dan kemungkinan besar ia bisa melenyapkan Lily kapan saja jika menginginkannya. "Lilyana..." panggil Damian. Namun, suara itu tak mampu membuyarkan Lily yang tengah berpikir keras, mencoba mencerna semuanya. Ting! Pintu lift terbuka. Kaki Damian melangkah lebih dulu keluar, dan Lily mengikuti di belakangnya. Tubuhnya terasa dingin. Ia memaksa dirinya melangkah, meski kaki-kakinya terasa berat. "Kau takut padaku?" tanya Damian, langkahnya terhenti, membuat Lily ikut berhenti. Perlahan, Lily menghadap ke arahnya, namun tak berani menatap langsung ke mata pria itu—mata yang masih menyala dengan amarah. "Sepertinya aku harus kembali ke kantorku, Damian. Aku lup
"Apa kau setuju dengan penawaranku ini, Bianca?" tanya Tuan Marcello, senyum miring menghiasi wajahnya. Ia tahu, Bianca tak memiliki pilihan lain."Padahal aku bisa saja memberikan bagianmu tanpa harus—""Ssst… tidak ada tawaran lain selain yang sudah kusebutkan tadi," potong Tuan Marcello, suaranya berbisik di telinga Bianca, begitu dekat hingga napasnya terasa di kulitnya. "Jika kau menolak, kau bisa segera pergi dari kediamanku."Tangan pria paruh baya itu terulur pelan, jemarinya yang kasar menyentuh sisi lengan Bianca, lalu turun perlahan, mencari titik yang diinginkan."Jadi, bagaimana?" ulang Tuan Marcello, suaranya rendah dan menekan.Bianca menggigit bibir, tak menjawab. Tubuhnya menegang, namun tidak bergerak menjauh. Hanya desah halus lolos dari bibirnya, ambigu—antara penolakan dan kepasrahan.Sentuhan Tuan Marcello bagaikan bara api yang menyengat di kulitnya. Sentuhan itu kian liar, dan sedikit pun Bianca tidak berniat untuk menepisnya."Oh, Tuan Marcello…"Kedua mata wa
"Sungguh sangat tidak masuk akal." Bianca menggeleng keras, tangannya meremas kuat ujung gaun yang dikenakan."Apa pun bisa masuk akal. Termasuk Damian sendiri yang merobeknya," jawab Lily santai."LILYANA!"Tangan Bianca menggantung di udara. Amarahnya meledak-ledak, tapi ia tak bisa menampar Lily karena disaksikan banyak orang. Jika ia melakukannya, itu hanya akan merusak reputasinya. Apa pun yang terjadi saat ini bisa dengan mudah tersebar di media."Mengapa berhenti? Kau bisa menamparku," ucap Lily tenang, tatapannya tajam namun tetap menantang.Bianca menatap Lily dengan kobaran api yang semakin melalap habis dirinya. Tangannya yang sempat menggantung di udara perlahan turun kembali. Jemarinya mengepal lebih kuat, berusaha sekuat tenaga menahan dorongan untuk tidak melayangkan tamparan itu ke wajah Lily.Gumaman lirih terdengar dari beberapa pegawai yang melintas. Mereka mulai berbisik, memperhatikan ketegangan yang menyeruak di antara ketiga orang itu. Beberapa pura-pura sibuk,
Zio berdiri di hadapan sahabatnya dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Pria itu terus menggeleng pelan, nyaris tak percaya pada setiap kata yang keluar dari mulut Lily."Apa kau benar-benar tidak bisa memilih cara lain?" tanya Zio dengan nada penuh kekhawatiran. Ia takut rencana kehancuran Bianca yang disusun Lily justru akan berbalik menyakiti wanita itu sendiri."Tidak bisa, Zionathan. Aku sudah melangkah terlalu jauh. Dan tentu saja, aku tidak akan berbalik hanya untuk menghentikan semuanya. Meski Damian berbahaya, justru itu yang membuat semuanya terasa menantang."Zio menghela napas berat. "Kau mengatakan dia merusakmu, memborgolmu, bahkan ada senjata ilegal... itu lebih dari sekadar berbahaya, Lilyana.""Damian tidak akan menyakitiku," sahut Lily cepat. Senyum tipis mengembang di wajahnya saat ia kembali mengingat bagaimana pria itu bisa bersikap cukup manis setelah menyelesaikan permainan itu."Kau tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," sahut Zio. Ia tidak bisa m
"Di mana Lily?" tanya Nyonya Lombardi santai, menyelipkan pertanyaan itu di tengah momen sarapan mereka yang tenang.Bianca mendadak meletakkan alat makannya dengan kasar. Dentingnya menggema, mengganggu keheningan pagi. Matanya menyipit tajam ke arah sang ibu."Apa Ibu tidak salah menanyakan wanita itu?" katanya dingin, "Damian menghilang. Tidak ada kabar dan tidak bisa dihubungi. Dan itu jauh lebih membuatku frustrasi."Nyonya Lombardi hanya menghela napas pelan, seolah tak terpengaruh oleh kemarahan putrinya."Ibu bertanya bukan karena peduli," ujarnya tenang, "Tapi sudah dua hari dia menghilang dari mansion. Bukankah itu seharusnya menjadi kabar baik?""Tentu saja kabar baik. Tapi sayangnya, ini rumahku. Dan sampai kapan pun, aku tidak akan pergi dari sini."Suara yang tiba-tiba menyela percakapan itu membuat keduanya menoleh refleks.Lily berdiri dengan tegak dan tenang di ambang pintu ruang makan.Namun bukan kehadiran Lily yang membuat Bianca dan Nyonya Lombardi terpaku, melain