Nomor kamar. Hati Nayna tercubit keras. Diam-diam dia memohon dalam hati semoga adegan-adegan yang terlintas dalam pikirannya tidak terjadi.
“Sini!” Vina menarik tangan Nayna memasuki lift.
Tentu saja penampilan kucel Nayna mengundang lirikan orang-orang yang lalu lalang di lobi, untunglah lift sedang kosong. Pegangan Vina di pergelangannya cukup kencang. Sahabatnya sejak sekolah dasar itu mengerjap gelisah dan tak sabar menunggu pergantian lift menuju lantai tujuh.
“Kamu … yakin itu Mas Bagus?” Suara Nayna mencicit. Air matanya tak berhenti mengalir seperti pipa yang bocor.
“Ya ampun, Nay. Seratus persen aku yakin. Mas Bagus-mu yang tidak terlalu tinggi, dandanan kayak anak muda, rambut dibikin mirip badboy dan muka yang nggak ganteng-ganteng amat. Aku yakin betul itu dia.”
“Tapi Mas Bagus gak seperti itu. Dia pergi dengan kemeja rapi dan rambut yang ditata biasa. Dia hanya pergi ke acara pindahan rumah teman sekantornya.”
“Oh ya?” Vina tersenyum miring mengejek kenaifan Nayna, tapi matanya menyuratkan kejengkelan yang luar biasa. “Enggak ada salahnya juga kita pastikan, 'kan?”
Vina terlihat sangat yakin dan semakin membuat hati Nayna meragu.
Pintu lift akhirnya terbuka di lantai tujuh. Dengan terburu-buru Vina menyambar tangannya dan menariknya melewati lorong panjang sampai akhirnya tiba di depan kamar bertuliskan 707. Sebuah angka yang cantik tapi tidak dengan isi di dalamnya.
Tubuh Nayna bergetar saat tangan Vina terulur untuk mengetuk pintu. Beberapa kali ketukan tapi tidak ada jawaban dari dalam. Jantung Nayna bergemuruh sakit. Dia memohon-mohon dalam hati semoga ketakutannya tidak menjadi nyata.
“Makanan Anda sudah datang, Sir~”
Nayna memandang Vina bingung, haruskah mereka bertindak senekat ini? Tapi Vina memberinya tatapan jika dirinya akan selalu menemani Nayna apa pun yang terjadi di dalam sana.
Dua menit kemudian pintu di hadapan mereka akhirnya terbuka. Seorang perempuan cantik bermata tajam muncul dengan balutan bathrobe yang diikat asal-asalan. Rambut lurusnya berantakan dan di lehernya ada bekas ciuman yang memerah dan menyebar sampai ke atas dada.
“Kenapa lama sekali? Semestinya sejak tadi makanannya—tunggu. Apa pegawai di hotel ini memang tidak berseragam? Mana makanannya?” Perempuan serupa model ini memicing tajam pada tangan Vina yang kosong. Ia lalu berganti menatap curiga Nayna.
“Siapa kalian?”
“Gue cari orang, namanya Bagus.”
Saat itu Nayna melihat mata Vina yang tak kalah tajam dan raut wajah perempuan cantik di depan mereka yang tiba-tiba mengerut bingung. “Saya tanya siapa kalian? Ada perlu apa dengan Bagus?”
Vina menyeringai. “LIhat ‘kan, Nay. Dia kenal Mas Bagusmu.”
“Siapa sih kali—“
“Minggir!”
Vina mendorong perempuan berwajah mulus itu dengan kasar lalu memberondong masuk begitu saja sambil menarik Nayna.
“Heh! Apa-apaan kalian! Mau saya laporin polisi?!”
Langkah Vina berhenti, begitu pun dengan Nayna. Kakinya terpaku begitu saja. Sepasang mata serupa almond itu membelalak dan hampir jatuh dari kelopaknya.
Di depan sana, pada ranjang berseprei putih Mas Bagus berbaring nyaman dengan sebelah tangan menyangga belakang kepala. Ia hanya memakai boxer dan tak kalah terkejut saat melihat kehadiran Nayna bersama Vina.
“Nay?” Suaranya mencicit, raut wjahnya luar biasa kaget.
Dan sebelum kaki Mas Bagus meninggalkan ranjang, Vina sudah menerjangnya, memberondongnya dengan kata makian yang mengabsen semua isi kebun binatang.
“KURANG AJAR! SETAN LO, BAGUS! BEJAT!” Vina menghajar Bagus dengan bantal sampai semua isinya berhamburan keluar.
Bagus berusaha menghindar dengan mata tertuju pada Nayna. Dalam bola mata hitam itu ada kegelisahan yang amat sangat, sementara Nayna tak lagi peduli pada pertengkaran itu, sebab hatinya sudah teramat sakit, seperti pedang yang dipanaskan lalu dihunjamkan ke jantungnya. Untuk beberapa lama ia lupa bernapas.
Sedang perempuan yang belahan dadanya mengintip terang-terangan di balik jubah mandi hotel itu menukik ngeri. Lisa, wanita cantik yang juga sudah bersuami dan mencari kesenangan dengan pria lain.
Pertengkaran sengit itu masih terjadi. Vina berteriak kesetanan sementara Nayna mematung.
“HENTIKAN! JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN RUMAH TANGGA ORANG!” teriak Bagus. Wajahnya memerah dan badannya penuh dengan kapas dari bantal.
Vina belum ingin berhenti. Api yang berkobar di dadanya belum padam, saat sekilas ia melihat luka yang begitu dalam di mata sahabatnya, ia semakin berang.
Maka Vina mundur dan meraih ponselnya. Dalam sekali tekan, semua kegiatan dalam kamar itu sudah dia rekam.
“HEH! NGAPAIN REKAM-REKAM!” Bagus berusaha keras menutupi wajah dan tubuhnya.
“KENAPA? MALU KELAKUAN BEJAT LO INI GUE SEBARKAN! LIHAT! LIHAT PAKE MATA LO GIMANA TERLUKANYA SAHABAT GUE!” Vina mengarahkan ponselnya ke depan wajah Nayna yang bersimbah air mata dan tak mampu berkata apa-apa.
“DAN LIHAT SELINGKUHAN ALIAS TEMAN TIDUR LO ITU, BERENGSEK!” Kamera Vina berganti menyorot Lisa.
Dengan refleks Lisa membelakangi ponsel Vina, menunduk dan sebisa mungkin menghindari semua bukti digital itu.
Sial, dia sudah seperti dirazia polisi.
“PAKAI JUBAH MANDI SEKSI DAN ELO, BAGUS WARSONO TIDUR DI RANJANG CUMA PAKAI BOXER. MAU MENGELAK APA LAGI KALIAN, HAH?!”
“Lenyapkan bukti itu, Bagus! Aku nggak mau namaku ikut-ikutan!”
“HEH PELAKOR! NAMA ELO MEMANG HARUS IKUT, PEREMPUAN NGGAK TAHU MALU!”
Hampir saja Vina refleks menjambak rambut Lisa jika Nayna tidak menahana lengannya.
“Kenapa kamu tahan aku, Nay? Perempuan pelakor ini harus dikasih pelajaran!”
“Cukup, Vin.” Bibir Nayna bergetar dan ia yakin sebentar lagi isak tangisnya akan membahana di dalam kamar hotel ini.
Sebelum itu terjadi, ia menarik tangan Vina keluar sampai sang sahabat tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya.
“Tunggu, Nay! Kita harus kasih pelajaran ke mereka. Mereka nggak bisa melakukan ini ke kamu!”
Saat mereka masuk ke lift, pegangan Nayna pada lengan Vina terlepas. Bahunya merosot dan serta merta dia luruh ke lantai lift yang dingin.
Nayna kehabisan pijakan. Rasanya dunianya benar-benar runtuh. Tak pernah ia menyangka Mas Bagus akan mengkhianatinya dengan telak.
“Nay?” Suara Vina merendah. Ia ikut berjongkok sambil menepuk pelan punggung Nayna. Dia juga merasakan sakit hati yang dirasakan Nayna.
Sebagai sahabat sejak kecil, cuma Nayna yang betul-betul dia miliki sejak kedua orang tuanya meninggal secara bergantian dan ia memilih jalan yang salah setelah lulus SMA.
Semua temannya menjauhinya saat Vina memutuskan terjun ke dunia prostitusi. Dari bar satu ke bar lain bahkan sampai ke jalanan, Vina bekerja setiap malam untuk melunasi utang-utang yang ditinggalkan orang tuanya.
Tapi Nayna tetap sudi menjadi sahabatnya dan tidak pernah mempermasalahkan pekerjaannya kendati keluarga maupun orang-orang juga ikut menghujatnya, Nayna tidak pernah sekalipun risih dengan pilihan Vina.
Karena itu, Nayna adalah orang terakhir di dunia ini yang ia harapkan terluka. Vina tidak rela ketika Bagus yang sudah merampas masa depan Nayna yang cerah sekarang dengan tidak tahu malunya berselingkuh di belakang Nayna.
“Nay. Aku nggak akan minta maaf karena membongkar perselingkuhan Bagus. Dia sudah terlalu banyak merampas kebahagiaan kamu.”
Isak tangis Nayna melebur. Ia menyerahkan banyak hal kepada Bagus, termasuk pendidikannya dan masa mudanya yang seharusnya ia nikmati dengan layak. Lebih daripada itu, ia menyerahkan hatinya sepenuhnya, bersabar kala Mas Bagus belum mampu memberinya kehidupan yang layak, tapi sekarang dia malah dikhianati.
Hatinya dihancurkan sedemikian rupa.
Nayna diantar pulang oleh Vina. Sahabatnya itu menawarkan diri untuk menginap dan menemani Nayna.“Nggak usah, Vin. Aku perlu bicara berdua dengan Mas Bagus.”“Kamu yakin? Sebenarnya, Nay. Orang kayak Bagus nggak perlu dikasih waktu bicara berdua dari hati ke hati. Dia bakal kasih kamu seribu satu alasan berikut janji-janji kosongnya. Pokoknya apa pun yang terjadi jangan tergoda. Aku nggak mau lihat kamu menderita lagi.”Nayna memaksakan senyum. Memang saat ini hanya Vina-lah yang bisa dia jadikan sandaran. “Makasih, Vin.”“Nggak masalah, Nay. Kalau dia macam-macam ke kamu, tinggal telepon aku aja, oke?”Nayna mengangguk dengan mata sembab. Melihat kepergian Vina dari teras rumahnya.Setelah tubuh Vina tak lagi terlihat, air mata Nayna kembali meluncur jatuh. Rasanya sangat pedih seperti seluruh dunianya hancur. Dia tak pernah membayangkan Mas Bagus akan mengkhianatinya. Berdua dengan per
Pagi-pagi sekali Nayna kembali mendapat telepon dari Ibu Mas Bagus.“Bawakan bajunya Bagus. Kemarin itu dia pinjam kemeja sama tetangga. Aduh malu-maluin banget! Ini semua gara-gara kamu! Ya suami itu dibaikin, dibujuk, dirayu-rayu jangan malah kamu yang ngambek! Bawain ke sini!”Nayna sudah biasa mendapat bentakan seperti itu dari sang ibu mertua. Ibu Mas Bagus selalu memanjakan Mas Bagus. Apa pun masalahnya, Nayna yang akan disalahkan.Karena itu setiap ada masalah, sekecil apapun itu, Mas Bagus selalu mengadu ke ibunya katanya ‘Sama siapa lagi aku bersandar kalau bukan ke ibuku?’“Heh! Denger nggak kamu! Mana anak saya nggak dimasakin lagi! Dia sekarang jadi kurus semenjak nikah sama kamu! Kerja banting tulang tapi nggak dikasih makan enak sama istri. Gajinya kamu apakan?”Nayna hanya bisa menggigit bibir. Di saat seperti ini dia hanya bisa mengingat nasihat ibunya bahwa kesabaran adalah kunci dari semua
Bagus menoleh pada Nayna lalu mendelik kesal.“Aku sudah telat, Nay.” Ia menghampiri Nayna dengan cepat lalu merebut bungkusan di tangan sang istri. “Nggak basah ‘kan bajunya?”Mas Bagus bahkan tak repot-repot menanyakan keadaannya yang setengah basah.Mungkin baru kali ini Mas Bagus kesal padanya perihal pakaian, karena sejak dulu Nayna selalu mengurus pakaian Mas Bagus dengan baik. Jika ia mengambek dan pulang ke rumah ibunya pun tidak sampai berhari-hari. Biasanya hanya semalam dan akan pulang besok paginya.“Kenapa terlambat kamu! Saya bilang ‘kan cepetan.” Kedua alis Ibu yang rapi hasil sulaman bergerak-gerak seiring dengan matanya yang melotot-lotot. Sanggup membuat Nayna ciut.“Tadi hujan deras banget, Bu.”“Aduh, pantas baju kamu basah. Airnya nggak kena lantai, kan? Barusan habis saya pel loh!”“Maaf, Bu.” Nayna menunduk pahit.
Nayna betul-betul pulang dengan berjalan kaki. Tak ada yang peduli untuk sekadar menahannya atau mungkin menawarkan payung. Ibu dan adik adik-adik Mas Bagus tak acuh saat ia bilang akan pulang.Sandal jepitnya sudah hampir putus. Rasanya matahari tepat berada di atas kepalanya. Nayna bahkan tak pernah lagi memikirkan apakah kulitnya yqng putih akan gosong atau lecet.Tidak apa. Dia bisa punya waktu memikirkan masalah rumah tangganya. Meskipun merasa marah, Nayna tak bisa melampiaskannya kepada keluarga Mas Bagus. Dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri bersama lelaki itu.“Eh, Neng Nayna. Kok jalan sendirian di siang bolong begini? Nggak kepanasan?”Motor Bang Jali ternyata sudah berhenti beberapa menit yang lalu di samping Nayna. Sepertinya lamunannya sudah terlmpau jauh sampai baru menyadari keberadaan tukang ojek tinggi berwajah sedikit sangar itu.Nayna memberikan senyum. “Iya, Bang. Habis dari rumah Ibu.”&ldqu
Semua kantung belanjaan Nayna terjatuh. Dia membeku. Luar biasa kaget ketika perempuan yang berdiri angkuh di teras itu menyorotnya dingin.Nayna ingat betul wajah perempuan yang ia dapati bersama Mas Bagus di dalam kamar hotel. Wajah yang tirus dan mulus, tubuh yang ramping dan tinggi bak model. Rambut lurus berkilau. Sekilas mirip aktris yang wara-wiri di sinetron. Semua anggota tubuhnya terawat dengan baik, tidak seperti Nayna.Apa karena itu Mas Bagus berpaling? Karena rupa yang lebih indah?“Nay? Kok belanjaannya sampai jatuh? Sini biar Ibu saja, temun teman kamu sana.”Ingin rasanya Nayna berteriak bahwa perempuan itu bukan temannya. Dia temannya Mas Bagu—-teman tidur.Kenapa dia datang ke sini?“Biar aku saja, Bu.” Nayna membereskan semua belanjaannya dan meletakkannya di teras. Dalam waktu yang cukup lama, ia terpaku berhadapan dengan perempuan yang sedang bersedekap dingin itu.“Temannya di
“NAY!!” Vina berteriak parau saat melihat Nayna tersungkur di atas aspal. Dia tidak habis pikir mengapa Nayna sampai memohon-mohon kepada perempuan pelakor itu.Lalu dia melirik Ibu Nayna yang melemah dalam papahannya. Nayna melakukan semua itu untuk ibunya. Meski hati nurani Vina bisa menerima, tapi akal sehatnya tidak. Nayna tidak perlu membuang ego dan harga diri seperti itu. Vina memapah Ibu untuk menghampiri Nayna yang masih sangat terkejut di atas aspal. “Apa yang kamu lakukan, Nay? Kenapa kamu sampai—“ Ucapan Vina terpotong saat melihat luka robekan di kedua lutut Nayna, dan juga bekas air aneh di wajahnya. “Apa itu di muka kamu?” Vina melotot ngeri. “Apa itu, Nay?” Wajah dan lehernya mengeras. Nayna kehilangan kata-kata. Ia tak mampu menjawab. Yang ia lakukan hanya menatap kosong aspal kasar yang sudah melukai kedua lututnya. “Nay! Sadar! Lihat ibu kamu. Ibu melihat semua yang ka
Nayna tidak menduga bahwa meskipun dia memberikan kabar mengejutkan tentang ibunya, tapi wanita paruh baya di depannya ini sama sekali tidak berubah. Ekspresi maupun nada suaranya masih sama.Bedanya Nayna tidak lagi ciut. Ia malah merasa muak, sebab dia tidak menemukan sedikit pun kepedulian di mata mertuanya itu. Setidaknya dia menanyakan di mana ibu Nayna dirawat.“Saya perlu uang seratus juta. Uang Ibu tidak cukup, jadi saya meminta tanah ini. Sertifikatnya juga ada pada Ibu, kan? Katanya waktu itu mau digadai untuk biaya kuliah Randy.”“Kamu nggak usah sok tahu, itu urusan saya sama ibu kamu. Memangnya ibu kamu nggak punya BPJS? Pakai itu aja, repot banget sih!”Subhanallah. Mengapa Nayna baru menyadari jika tabiat mertuanya seburuk ini?Dalam keadaan yang mendesak seperti ini, Nayna merasa tidak bisa menghalau semua prasangka dan pikiran buruknya.“BPJS Ibu mati. Saya mau menggadaikan sertifika
Nayna tidak punya cara lain selain menggadaikan sertifikat rumah orang tuanya. Ia kembali berhambur ke dalam rumah dan mencari sertifikat itu. Berbagai sudut sudah ia jelajahi, tapi tak jua ketemu.Napas Nayna terengah-engah. Waktunya tidak banyak, dia harus segera membawa uangnya. Maka ia membongkar semua lemari yang ada dan memeriksa setiap ruangan. Hasilnya nihil.Entah di mana Ibu menyimpan semua surat penting rumah. Nayna sangat panik, berlari keluar menuju rumah Pak RT. Ia butuh bantuan dan juga tempat sandar sebentar saja, fisik dan batinnya benar-benar lelah.Pak RT adalah teman baik Ayah dan merupakan orang yang peduli kepada kepada keluarganya. Pukul dua siang, Nayna mengetuk pintu rumah Pak RT yang sudah bergaya modern.Seorang perempuan paruh baya membuka pintu dan menemukan Nayna dengan ekspresi yang begitu gelisah.“Nayna? Lho? Ayo masuk sini.”Wanita yang perawakannya mirip dengan ibu mertuanya itu memanggil masuk