Share

Yang Selingkuh yang Menyalahkan

Nayna diantar pulang oleh Vina. Sahabatnya itu menawarkan diri untuk menginap dan menemani Nayna. 

“Nggak usah, Vin. Aku perlu bicara berdua dengan Mas Bagus.”

“Kamu yakin? Sebenarnya, Nay. Orang kayak Bagus nggak perlu dikasih waktu bicara berdua dari hati ke hati. Dia bakal kasih kamu seribu satu alasan berikut janji-janji kosongnya. Pokoknya apa pun yang terjadi jangan tergoda. Aku nggak mau lihat kamu menderita lagi.”

Nayna memaksakan senyum. Memang saat ini hanya Vina-lah yang bisa dia jadikan sandaran. “Makasih, Vin.”

“Nggak masalah, Nay. Kalau dia macam-macam ke kamu, tinggal telepon aku aja, oke?”

Nayna mengangguk dengan mata sembab. Melihat kepergian Vina dari teras rumahnya.

Setelah tubuh Vina tak lagi terlihat, air mata Nayna kembali meluncur jatuh. Rasanya sangat pedih seperti seluruh dunianya hancur. Dia tak pernah membayangkan Mas Bagus akan mengkhianatinya. Berdua dengan perempuan lain di kamar hotel dalam keadaan telanjang.

Astagfirullah, Mas Bagus!

Nayna masuk ke rumah sewa yang sudah lima tahun ditinggalinya bersama Mas Bagas. Uang sewanya tidak sampai satu juta, karena itu kondisi rumahnya tidak begitu memadai. Kamar hanya satu, tak ada tempat untuk tamu menginap. Dinding sudah mengelupas catnya dan berlumut di bagian bawah. Pintu kamar mandi sudah lepas engselnya dan diganti dengan gorden.

Dulu Nayna berpikir tak apa, toh rumah tangga memang banyak cobaan, termasuk kekurangan ekonomi.

Ia bersabar. Dengan kondisi Mas Bagus yang baru lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan. Tak kunjung mendapat kerja selama setahun akhirnya membuat Mas Bagus bekerja serabutan sampai ia dipanggil ke kantor desa menjadi pegawai honorer kemudian melamar pekerjaan di perusahaan kecil.

Nayna terpaksa memutus kuliahnya, semata untuk tak membebani Mas Bagus meskipun orang tuanya ingin membiayai, tapi Bapak sedang berjuang melawan sakit. Biarlah uangnya dipakai untuk berobat Bapak.

Bapak meninggal dua tahun yang lalu, meninggalkan warisan berupa sepetak tanah dan juga uang tabungan. Katanya untuk biaya masa tua Ibu dan membantu keperluan Nayna. Barangkali ada urusan mendesak dan Mas Bagus tidak sanggup menyediakan uang.

Nayna tidak apa menjalani masa-masa kemiskinan bersama Mas Bagus selama lima tahun ini, tapi rasanya dia tidak sanggup jika harus menerima pengkhianatan. 

Mas Bagus tidak lagi ingin berjuang dengannya, jadi untuk apa Nayna berjuang lagi?

Malam itu ia menunggu Mas Bagus di kursi plastik dengan meja kecil di ruang tengah. Semalaman ia menunggu dan mengharapkan penjelasan dari pria itu, tapi Mas Bagus tak kunjung datang.

Hati Nayna luar biasa perih. Kekecewaannya menjadi berkali kali lipat. 

Ia menunggu Mas Bagus selama dua malam, tapi lelaki itu tak kunjung datang. Benar-benar tak kelihatan batang hidungnya tak juga terdengar sedikit pun kabarnya.

Entah bagaimana nasib rumah tangganya nanti. 

Nayna menghela napas. Pakaian yang sudah dicuci menumpuk dan tidak dilipat. Ia tak masak dan hanya makan indomie rebus saja. Nasi hanya seadanya dan yang ia ingat-ingat belum pernah menyapu selama dua hari ini.

Rasanya tidak mood lagi. 

Dulu dia selalu semangat mengerjakan pekerjaan rumah karena jika Mas Bagus pulang, pikiran lelaki itu akan tenang mendapati rumah yang bersih dan rapi, masakan yang sudah tersedia di meja makan dan seulas senyum dari Nayna.

Sekarang untuk siapa dia mengerjakan semua ini?

Ponselnya berbunyi dan ia melirik malas. Nama Ibu Mas Bagus terpampang di layar panggilan.

Dengan gontai ia mengangkat ponsel yang bergetar di atas meja kayu ruang tengah.

“Assalamualaikum, Bu?”

Bukannya mendapat balasan salam, ia malah disemprot. 

“Heh, Nayna! Kamu apakan Bagus sampai nggak berani pulang ke rumah kalian? Dia nggak mau ke sana!”

Kedua alis Nayna menukik ke bawah. “Mas Bagus ada di rumah Ibu?”

“Ya iya! Memang mau di mana lagi? Kamu jadi istri baik-baik sama suami! Jangan dimarahin mulu, dia sampai takut pulang ke rumah kamu!”

“Saya nggak marahin Mas Bagus.”

“Kamu mungkin nggak marahin, tapi bisa saja pelayanan kamu nggak memuaskan sebagai istri. Yang rajin kamu bersihin rumah, masak, nyenengin suami! Jangan kelayapan sama temen kamu itu. Mau kamu dipengaruhin biar kerja jadi l*nte juga?”

Nayna mengurut dada yang tiba-tiba terasa sesak. Bukannya pulang dan menjelaskan kesalahannya, Mas Bagus malah bersembunyi di rumah ibunya.

“Ibu, tolong suruh Mas Bagus pulang. Saya mau dengar penjelasan dia.”

“Saya mana mungkin nelepon kamu kalau dia mau pulang. Sudah puluhan kali saya suruh. Itu tugas kamu! Jangan bikin repot orang tua.”

“Kalau begitu kasih teleponnya ke Mas Bagus. Saya mau bicara.”

“Haduh, ribet banget! Kamu langsung ke sini aja jemput dia, ngapain main kucing-kucingan begitu.”

Meski begitu suara Ibu tak lagi terdengar dan sepertinya dia sudah memberikan teleponnya ke Mas Bagus. 

“Halo, Mas?”

Lama tak terdengar suara apa pun sampai Nayna mengira teleponnya sudah mati.

“Ya, Nay?” Suara Mas Bagus terlalu kecil. Nayna menyalakan loudspeaker ponselnya.

"Mas, kenapa kamu ada di rumah Ibu? Kenapa nggak pulang?"

“Memang kenapa? Aku nggak boleh nginap di rumah ibuku?” Mas Bagus terdengar ketus.

“Aku menunggu kamu pulang dan jelasin semuanya.”

Hening lalu terdengar suara langkah kaki dari seberang telepon, sepertinya Mas Bagus berjalan menjauh untuk mencari tempat yang tenang.

“Aku ‘kan sudah bilang mau jelasin waktu itu di hotel, tapi kamu malah pergi gitu aja. Gimana sih?” Mas Bagus mendecak kesal.

Padahal Nayna ingin mendengar permintaan maaf sedikit saja jika memang Mas Bagus terlalu malu mengakui kesalahananya. Tapi ia malah berbalik kesal. Sebenarnya siapa yang bersalah di sini?

“Mas pasti tahu aku terlalu syok. Aku menunggu Mas di rumah tapi Mas malah sembunyi di rumah Ibu. Bukan begitu caranya menyelesaikan masalah, Mas.”

Nayna semakin kecewa.

“Terus bagaimana? Aku pulang pun kamu nggak bakal percaya sama aku. Biar mulutku berbusa untuk menjelaskan, kamu pun nggak bakal percaya.”

Nada suara Mas Bagus terdengar capek dan putus asa. Pikiran Nayna kembali berkecamuk. Di mana salahnya di sini? Mengapa dia yang disudutkan?

“Iya, kan? Kamu diam begitu berarti kamu memang nggak akan percaya sama aku. Walaupun aku kejar kamu kayak apapun, kamu nggak bakal maafin aku. Jadi ngapain capek-capek usaha kalau sudah tahu hasilnya?”

“Bukan begitu, Mas. Aku—"

“Sudahlah, Nay. Besok aku masuk kerja, aku capek. Gara-gara nggak pulang pakaianku nggak karuan. Kemejaku ada di sana semua.”

Telepon diputuskan begitu saja. Nayna tidak mengerti mengapa Mas Bagus jadi seperti ini. Dia seharusnya pulang dan meluruskan masalah mereka, bukannya malah berbalik memarahinya.

“Ada apa dengan kamu, Mas?” 

Air mata Nayna kembali tumpah. Selama ini dia selalu mengalah jika ada masalah dengan Mas Bagus, semata agar lelaki itu tak datang ke ibunya untuk mengadu dan memperbesar masalah mereka.

Tapi bukankah masalah besar seperti ini tidak baik jika melibatkan orang tua masing-masing?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status