แชร์

Perlakuan Ibu Mertua

ผู้เขียน: Mustacis
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-02-15 18:58:31

Pagi-pagi sekali Nayna kembali mendapat telepon dari Ibu Mas Bagus. 

“Bawakan bajunya Bagus. Kemarin itu dia pinjam kemeja sama tetangga. Aduh malu-maluin banget! Ini semua gara-gara kamu! Ya suami itu dibaikin, dibujuk, dirayu-rayu jangan malah kamu yang ngambek! Bawain ke sini!”

Nayna sudah biasa mendapat bentakan seperti itu dari sang ibu mertua. Ibu Mas Bagus selalu memanjakan Mas Bagus. Apa pun masalahnya, Nayna yang akan disalahkan.

Karena itu setiap ada masalah, sekecil apapun itu, Mas Bagus selalu mengadu ke ibunya katanya ‘Sama siapa lagi aku bersandar kalau bukan ke ibuku?’

“Heh! Denger nggak kamu! Mana anak saya nggak dimasakin lagi! Dia sekarang jadi kurus semenjak nikah sama kamu! Kerja banting tulang tapi nggak dikasih makan enak sama istri. Gajinya kamu apakan?”

Nayna hanya bisa menggigit bibir. Di saat seperti ini dia hanya bisa mengingat nasihat ibunya bahwa kesabaran adalah kunci dari semua permasalahan hidup.

Sabar adalah pintu dari hadiah-hadiah yang sudah disiapkan oleh Allah. 

“Iya, Bu. Akan saya bawakan.”

“Jangan lupa diseterika!”

“Baik, Bu.”

Telepon dimatikan secara kasar dan lagi-lagi Nayna hanya mampu menghela napas.

Padahal untuk mencukup-cukupi kebutuhan sehari-hari dengan gaji Mas Bagus yang tidak seberapa, Nayna harus rela memakai daster bekas ibu dan ibu mertuanya setiap hari yang sekarang sudah bolong-bolong dan pudar warnanya. 

Gaji Mas Bagus yang tidak seberapa itu biasanya akan lebih dulu sampai ke rumah ibunya. Ibu akan mengambil seenak hati dan memberikan sisanya kepada Mas Bagus.

Sisa itu akan dibagi lagi untuk pegangan Mas Bagus dan sisanya untuk Nayna. Buat membayar sewa rumah, beban air dan listrik lalu sisanya untuk belanja kebutuhan berdua setiap hari. Uang yang kurang itu harus dicukup-cukupkan setiap hari.

Tidak jarang Mas Bagus meminta dibelikan kemeja dari uang sisa yang diberikan kepada Nayna. Jadi Nayna harus menyisihkan lagi. 

Dia melakukan itu selama bertahun-tahun, berharap suatu saat nanti kehidupan mereka bisa berbalik arah. 

Kesabaran adalah kunci dari semua permasalahan. Dia selalu menjunjung tinggi kesabaran itu, meski kali ini ujiannya adalah kesetiaan.

Nayna berangkat ke rumah Ibu mertuanya yang tidak begitu jauh. Biasanya dia akan jalan kaki saja untuk menghemat ongkos, tapi akan memakan waktu lama karena Mas Bagus harus segera ke kantor.

Untunglah sudah ada ojek di pangkalan yang tidak jauh dari rumah sewanya. 

“Mau ke mana pagi-pagi begini, Neng Nayna?”

Nayna memang selalu dipanggil Neng oleh orang-orang meskipun dia sudah lama menikah, mungkin karena wajahnya yang awet mudah dan tubuhnya yang langsing tidak pernah berubah meskipun penampilannya selalu tenggelam oleh daster kumal setiap hari.

“Mau ke rumah mertua, Bang.”

“Oh, pagi-pagi amat.”

Nayna hanya menanggapi dengan senyuman tipis sebelum naik ke atas motor. Bungkusan kemeja dan celana Mas Bagus dia peluk erat-erat.

Namun, di tengah perjalanan hujan malah mengguyur dengan deras.

“Aduh, Neng. Hujan nih. Mau menepi dulu nggak?” Suara Bang Rauf teredam oleh hujan, tapi Nayna masih bisa mendengarnya dengan samar.

Bang Rauf menepikan motor di salah satu kios yang belum terbuka dan mengajak Nayna ikut berteduh. Seketika dingin langsung menembus kulitnya yang hanya berbalut daster tipis.

Tukang ojek bertubuh pendek itu membuka helm-nya. Raut wajah ramahnya terlihat santai dan tidak terpengaruh dengan hujan karena barangkali di luar sana dia sudah sering mengalami hal yang serupa.

“Bang, kita nggak bisa terus jalan?” Kening Nayna berkerut gelisah.

Sekilas Bang Rauf melirik daster yang dikenakan Nayna. “Waduh, mohon maaf nih, Neng. Saya nggak bawa jas hujan karena niatnya cuma mau ngojek sebentar. Nggak tahunya malah hujan.”

“Nggak papa, Bang. Nggak usah pakai jas hujan kalau Abang nggak keberatan.”

“Kalau saya mah nggak keberatan, Neng. Sudah biasa saya mah. Jangankan hujan, angin badai pun saya terjang. Tapi ‘kan Eneng nanti bisa sakit. Kasian atuh, jangan sampai sakit.” Bang Rauf menatap Nayna dengan sorot kebapakan. Mengingatkan Nayna pada almarhum Bapak.

“Memang sudah jam berapa sekarang, Bang?”

Bang Rauf mengintip jam tangannya dari balik lengan jaket. “Sudah jam tujuh pas, Neng.”

Nayna menjadi cemas. Mas Bagus akan ke kantor pukul 7.20.

“Ya udah, Bang. Kita terobos aja ya?”

Ada kilat khawatir di mata Bang Rauf. “Nggak papa nih, Neng?”

“Nggak papa, Bang.”

“Ya udah. Neng bisa pakai jaket saya.” Bang Rauf bersiap membuka jaket hitamnya yang lumayan tebal, tapi Nayna menahan.

“Nggak usah, Bang. Nanti Abang sakit nggak bisa ngojek. Saya nggak papa, begini aja.”

“Eh, jangan dong, Neng. Masa saya pakai jaket penumpang saya hujan-hujanan di belakang. Itu melanggar kode etik per-ojekan. Lagian saya ini laki-laki kuat, nggak bakal sakit kalau cuma kena hujan sebantar.”

Bang Rauf mengulurkan jaketnya kepada Nayna. “Sekalian untuk bungkusan Neng supaya nggak basah.”

Nayna menerimanya dengan ekspresi tidak enak. “Makasih, Bang.”

“Sama-sama, Neng. Cuman maafin ya jaket saya belum dicuci tiga hari ehehe ….”

Nayna tersenyum tipis sebelum memakai jaket Bang Rauf dan kembali naik ke motor.

Motor tiba di depan rumah Ibu Mas Bagus lebih lambat karena hujan semakin deras. Nayna turun dan langsung merasa bersalah melihat Bang Rauf yang basah kuyup. Kaos hitamnya sudah melengket ke badan.

“Maaf, Abang jadi basah kuyup karena saya.”

Bang Rauf tersenyum ramah sambil menaikkan jempolnya. “Nggak papa, Neng. Cepetan masuk nanti hujannya makin deras.”

Nayna membuka jaket yang juga basah itu dan memberikannya kepada Bang Rauf berikut dengan ongkos ojek. “Makasih ya, Bang.”

“Sama-sama, Neng. Hati-hati ya.”

Nayna tersenyum heran sambil menyaksikan motor Bang Rauf yang menjauh. Semestinya dia yang mengatakan hati-hati kepada lelaki yang umurnya hampir mencapai setengah abad itu.

Atau mungkin dirinya memang pantas diberikan peringatan itu karena semua orang tahu bagaimana hubungannya dengan mertuanya.

Nayna menarik napas berat seolah akan meluncur ke arena pertandingan. Di dalam sana ada sesuatu yang akan kembali menguji kesabaran dan kewarasannya.

Nayna masuk ke dalam rumah Ibu yang berkali lipat lebih bagus dari rumah sewanya. Cat merah tua berpadu dengan putih, sama sekali tidak pudar dan tidak dirayapi lumut. Lantai yang mengkilap dan tidak retak-retak serta pintu kokoh yang cantik.

Ruang tengah dengan sofa besar dan empuk, gorden yang senada dengan sofa, tampak mewah dan mahal. Jauh dari sofa ada meja makan dengan kitchen set yang indah.

Di pertengahan antara ruang tamu dan ruang makan ada empat kamar yang saling berhadapan.

Mas Bagus keluar dari salah satu kamar dengan sarung dan baju dalam berwarna putih. Keningnya berkerut-kerut sambil menatap jam tangan di pergelangan kirinya, lalu mendecak kesal.

Dari arah ruang makan, suara Ibu sudah terdengar nyaring. “Heh! Baru datang kamu?!”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sabar tanpa ada tindakan itu juga goblok. sebagai istri koq cuma bisa nerima dan ngeluh aja.
goodnovel comment avatar
Heri Susanto
asik cweitanya
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Merebut Suami Pelakor   EXTRA PART - Terima Kasih, Sayang

    EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai

  • Merebut Suami Pelakor   Lamaran (END)

    Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung

  • Merebut Suami Pelakor   Jawaban untuk Rama

    Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say

  • Merebut Suami Pelakor   Langkah Balas Dendam Terakhir

    “Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m

  • Merebut Suami Pelakor   Pendekatan

    Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa

  • Merebut Suami Pelakor   Mau Salat Bareng?

    Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status