Share

Perlakuan Ibu Mertua

Pagi-pagi sekali Nayna kembali mendapat telepon dari Ibu Mas Bagus. 

“Bawakan bajunya Bagus. Kemarin itu dia pinjam kemeja sama tetangga. Aduh malu-maluin banget! Ini semua gara-gara kamu! Ya suami itu dibaikin, dibujuk, dirayu-rayu jangan malah kamu yang ngambek! Bawain ke sini!”

Nayna sudah biasa mendapat bentakan seperti itu dari sang ibu mertua. Ibu Mas Bagus selalu memanjakan Mas Bagus. Apa pun masalahnya, Nayna yang akan disalahkan.

Karena itu setiap ada masalah, sekecil apapun itu, Mas Bagus selalu mengadu ke ibunya katanya ‘Sama siapa lagi aku bersandar kalau bukan ke ibuku?’

“Heh! Denger nggak kamu! Mana anak saya nggak dimasakin lagi! Dia sekarang jadi kurus semenjak nikah sama kamu! Kerja banting tulang tapi nggak dikasih makan enak sama istri. Gajinya kamu apakan?”

Nayna hanya bisa menggigit bibir. Di saat seperti ini dia hanya bisa mengingat nasihat ibunya bahwa kesabaran adalah kunci dari semua permasalahan hidup.

Sabar adalah pintu dari hadiah-hadiah yang sudah disiapkan oleh Allah. 

“Iya, Bu. Akan saya bawakan.”

“Jangan lupa diseterika!”

“Baik, Bu.”

Telepon dimatikan secara kasar dan lagi-lagi Nayna hanya mampu menghela napas.

Padahal untuk mencukup-cukupi kebutuhan sehari-hari dengan gaji Mas Bagus yang tidak seberapa, Nayna harus rela memakai daster bekas ibu dan ibu mertuanya setiap hari yang sekarang sudah bolong-bolong dan pudar warnanya. 

Gaji Mas Bagus yang tidak seberapa itu biasanya akan lebih dulu sampai ke rumah ibunya. Ibu akan mengambil seenak hati dan memberikan sisanya kepada Mas Bagus.

Sisa itu akan dibagi lagi untuk pegangan Mas Bagus dan sisanya untuk Nayna. Buat membayar sewa rumah, beban air dan listrik lalu sisanya untuk belanja kebutuhan berdua setiap hari. Uang yang kurang itu harus dicukup-cukupkan setiap hari.

Tidak jarang Mas Bagus meminta dibelikan kemeja dari uang sisa yang diberikan kepada Nayna. Jadi Nayna harus menyisihkan lagi. 

Dia melakukan itu selama bertahun-tahun, berharap suatu saat nanti kehidupan mereka bisa berbalik arah. 

Kesabaran adalah kunci dari semua permasalahan. Dia selalu menjunjung tinggi kesabaran itu, meski kali ini ujiannya adalah kesetiaan.

Nayna berangkat ke rumah Ibu mertuanya yang tidak begitu jauh. Biasanya dia akan jalan kaki saja untuk menghemat ongkos, tapi akan memakan waktu lama karena Mas Bagus harus segera ke kantor.

Untunglah sudah ada ojek di pangkalan yang tidak jauh dari rumah sewanya. 

“Mau ke mana pagi-pagi begini, Neng Nayna?”

Nayna memang selalu dipanggil Neng oleh orang-orang meskipun dia sudah lama menikah, mungkin karena wajahnya yang awet mudah dan tubuhnya yang langsing tidak pernah berubah meskipun penampilannya selalu tenggelam oleh daster kumal setiap hari.

“Mau ke rumah mertua, Bang.”

“Oh, pagi-pagi amat.”

Nayna hanya menanggapi dengan senyuman tipis sebelum naik ke atas motor. Bungkusan kemeja dan celana Mas Bagus dia peluk erat-erat.

Namun, di tengah perjalanan hujan malah mengguyur dengan deras.

“Aduh, Neng. Hujan nih. Mau menepi dulu nggak?” Suara Bang Rauf teredam oleh hujan, tapi Nayna masih bisa mendengarnya dengan samar.

Bang Rauf menepikan motor di salah satu kios yang belum terbuka dan mengajak Nayna ikut berteduh. Seketika dingin langsung menembus kulitnya yang hanya berbalut daster tipis.

Tukang ojek bertubuh pendek itu membuka helm-nya. Raut wajah ramahnya terlihat santai dan tidak terpengaruh dengan hujan karena barangkali di luar sana dia sudah sering mengalami hal yang serupa.

“Bang, kita nggak bisa terus jalan?” Kening Nayna berkerut gelisah.

Sekilas Bang Rauf melirik daster yang dikenakan Nayna. “Waduh, mohon maaf nih, Neng. Saya nggak bawa jas hujan karena niatnya cuma mau ngojek sebentar. Nggak tahunya malah hujan.”

“Nggak papa, Bang. Nggak usah pakai jas hujan kalau Abang nggak keberatan.”

“Kalau saya mah nggak keberatan, Neng. Sudah biasa saya mah. Jangankan hujan, angin badai pun saya terjang. Tapi ‘kan Eneng nanti bisa sakit. Kasian atuh, jangan sampai sakit.” Bang Rauf menatap Nayna dengan sorot kebapakan. Mengingatkan Nayna pada almarhum Bapak.

“Memang sudah jam berapa sekarang, Bang?”

Bang Rauf mengintip jam tangannya dari balik lengan jaket. “Sudah jam tujuh pas, Neng.”

Nayna menjadi cemas. Mas Bagus akan ke kantor pukul 7.20.

“Ya udah, Bang. Kita terobos aja ya?”

Ada kilat khawatir di mata Bang Rauf. “Nggak papa nih, Neng?”

“Nggak papa, Bang.”

“Ya udah. Neng bisa pakai jaket saya.” Bang Rauf bersiap membuka jaket hitamnya yang lumayan tebal, tapi Nayna menahan.

“Nggak usah, Bang. Nanti Abang sakit nggak bisa ngojek. Saya nggak papa, begini aja.”

“Eh, jangan dong, Neng. Masa saya pakai jaket penumpang saya hujan-hujanan di belakang. Itu melanggar kode etik per-ojekan. Lagian saya ini laki-laki kuat, nggak bakal sakit kalau cuma kena hujan sebantar.”

Bang Rauf mengulurkan jaketnya kepada Nayna. “Sekalian untuk bungkusan Neng supaya nggak basah.”

Nayna menerimanya dengan ekspresi tidak enak. “Makasih, Bang.”

“Sama-sama, Neng. Cuman maafin ya jaket saya belum dicuci tiga hari ehehe ….”

Nayna tersenyum tipis sebelum memakai jaket Bang Rauf dan kembali naik ke motor.

Motor tiba di depan rumah Ibu Mas Bagus lebih lambat karena hujan semakin deras. Nayna turun dan langsung merasa bersalah melihat Bang Rauf yang basah kuyup. Kaos hitamnya sudah melengket ke badan.

“Maaf, Abang jadi basah kuyup karena saya.”

Bang Rauf tersenyum ramah sambil menaikkan jempolnya. “Nggak papa, Neng. Cepetan masuk nanti hujannya makin deras.”

Nayna membuka jaket yang juga basah itu dan memberikannya kepada Bang Rauf berikut dengan ongkos ojek. “Makasih ya, Bang.”

“Sama-sama, Neng. Hati-hati ya.”

Nayna tersenyum heran sambil menyaksikan motor Bang Rauf yang menjauh. Semestinya dia yang mengatakan hati-hati kepada lelaki yang umurnya hampir mencapai setengah abad itu.

Atau mungkin dirinya memang pantas diberikan peringatan itu karena semua orang tahu bagaimana hubungannya dengan mertuanya.

Nayna menarik napas berat seolah akan meluncur ke arena pertandingan. Di dalam sana ada sesuatu yang akan kembali menguji kesabaran dan kewarasannya.

Nayna masuk ke dalam rumah Ibu yang berkali lipat lebih bagus dari rumah sewanya. Cat merah tua berpadu dengan putih, sama sekali tidak pudar dan tidak dirayapi lumut. Lantai yang mengkilap dan tidak retak-retak serta pintu kokoh yang cantik.

Ruang tengah dengan sofa besar dan empuk, gorden yang senada dengan sofa, tampak mewah dan mahal. Jauh dari sofa ada meja makan dengan kitchen set yang indah.

Di pertengahan antara ruang tamu dan ruang makan ada empat kamar yang saling berhadapan.

Mas Bagus keluar dari salah satu kamar dengan sarung dan baju dalam berwarna putih. Keningnya berkerut-kerut sambil menatap jam tangan di pergelangan kirinya, lalu mendecak kesal.

Dari arah ruang makan, suara Ibu sudah terdengar nyaring. “Heh! Baru datang kamu?!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Heri Susanto
asik cweitanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status