Share

Tujuh

Dimas menegur Ferdi yang sejak tadi terdiam menatap Alika tanpa berkedip. Dimas berpikir jika temannya terpesona dengan wanita di depannya. Akan tetapi, dugaannya salah. Ferdi bukan terpesona, melainkan dia sedang berpikir apa wanita di hadapannya adalah kekasih sang kakak atau sekadar mirip nama.

“Kalian sudah saling kenal?” tanya Dimas.

“Belum.” Ferdi cepat menjawab.

Dimas memperkenalkan mereka berdua. Keduanya bersalaman, sama halnya dengan Ferdi, Alika pun seperti sangat familier dengan wajah pria di depannya. Alika seperti pernah melihatnya dan ia malah lupa melihatnya di mana.

Dimas memesankan minuman untuk Alika, tapi ia pamit sebentar untuk memeriksa dapur. Sementara, Ferdi dan Alika bingung harus bicara apa. Keduanya masih duduk sembari menyaksikan live musik. Sesekali Ferdi memerhatikan Alika, setelah itu ia semakin penasaran apa dia wanita yang membuat Bastian jatuh cinta.

“Dari mana?” Pertanyaan basa basi membuat Alika menoleh heran.

“Aku?” Alika menunjuk dirinya saat Ferdi bertanya.

“Iya kamu, masa Dimas,” ujar Ferdi.

Alika tersenyum, lalu ia membenarkan posisi duduk. Terlalu memikirkan masalah Bastian, membuat ia tak fokus dalam keseharian. Ia sedang menunggu pesan atau telepon dari Bastian, tapi sayangnya pria itu sama sekali tidak menghubunginya.

“Aku pulang dari rumah sakit.”

“Kamu sakit? Sakit apa?” tanya Ferdi sok cemas.

“Oh, aku nggak sakit, tapi memang aku bekerja di sana.” Alika menjawab seraya merapikan rambut.

Ferdi sedikit terpikat saat Alika mengibaskan rambut. Ia suka dengan wanita berambut panjang, seperti Sandrina.

“Dokter?”

“Iya, aku Dokter Kandungan. Kalau istri kamu sedang hamil, bisa kontrol ke aku,” tutur Alika.

Ferdi terkekeh mendengar ucapan Alika. Adanya ia membawa Sandrina yang sedang hamil untuk kontrol. Alika terlihat ramah dan mudah bergaul. Sementara, Ferdi, wanita mana pun akan takluk dengan pribadi Ferdi yang terlihat baik dari kemasannya.

“Aku masih bujang,” ujar Ferdi.

“Sungguh? Maaf. Kukira sudah ada yang punya,” ucap Alika.

Ferdi kembali tertawa melihat Alika tersenyum. Pria itu pun memang mengakui jika Alika memang cantik, tapi entah mengapa ia tidak bisa berpaling dari Sandrina.

Sementara, dari kejauhan Dimas memerhatikan mereka berbincang. Ia ingin sekali Ferdi berjodoh dengan Alika. Sejak beberapa hari pun Alika sering bercerita tentang kekasihnya yang menikah dengan wanita lain.

***

Sandrina masih merasa ngilu luar biasa akibat dorongan Bastian. Ia merebahkan tubuh di sofa, untuk berjalan ke kamar pun Sandrina tidak mampu. Ia mencoba memanggil Bastian, tapi pria itu tak menjawabnya.

“Aw,” rintih Sandrina.

Bastian ke luar dari kamar karena haus, ia melihat Sandrina berada di sofa. Sengaja ia menghampiri ingin memakinya karena tak kunjung datang saat ia memanggil.

“Kamu tidak dengar aku memanggil?” tanya Bastian.

“Bagaimana aku bisa mendengar kamu, berjalan saja aku tidak bisa, apalagi ke kamar kamu.” Sandrina membela diri.

“Jangan manja kamu, jangan berpura-pura sakit.”

Bastian menarik Sandrina kasar, tapi sang istri berhasil menampiknya. Netranya memerah menatap sang suami, air matanya pun sudah habis saat menangisi kebodohannya.

“Kamu suami yang nggak punya perasaan, kamu pikir aku pura-pura? Karena ulah kamu, perutku sakit, awas saja kalau terjadi sesuatu dengan anak ini. Kupastikan kamu menyesal, Bas,” tutur Sandrina.

Bastian bergeming melihat Sandrina dengan wajah pucat, wanita itu masih sempat mengumpat padanya padahal memang kondisinya sangat lemas. Bastian bingung harus melakukan apa dengan kondisi sang istri.

Mendengar ucapannya, seolah-olah ia mendengar sang ibu berbicara. Jika terjadi sesuatu dengan bayi dalam kandungan Sandrina, pastilah ia akan habis oleh ibunya. Apa pun yang terjadi dengan Sandrina, ibunya pastilah akan menyalahkan dirinya.

“Mas, to—tolong aku. Perutku semakin sakit.”

Bastian mulai cemas, ia menghampiri Sandrina. Ia kikuk harus melakukan apa. Akhirnya ia menelepon ibunya.

“Mas, tolong aku!” teriak Sandrina.

“Sebentar, aku telepon ibu dulu,” ujar Bastian.

“Kalau aku mati sekarang apa kamu mau nunggu ibu?” Sandrina meninggikan suara, tapi kembali ia merintih kesakitan.

Bastian lalu menghampiri Sandrina dan membopongnya ke mobil lalu langsung melaju menuju rumah sakit.

**

“Kandungan Ibu tidak ada masalah, mungkin saat jatuh agak syok. Tapi, lain kali hati-hati, ya. Bapak juga tolong dijaga istrinya, kehamilan 5 Minggu masih sangat rawan.” Dokter kandungan itu kembali menasihati Bastian.

Bastian hanya mengangguk, sebenarnya ia tidak peduli jika anak itu mau selamat atau tidak. Di pikirannya hanya ada Alika, apa ia masih marah atau tidak. Setelah itu, Sandrina dan Bastian gegas kembali pulang.

“Kamu tunggu sini, aku mau ke administrasi dan menebus obat.”

“Aku ikut saja, biar nggak bolak balik.”

“Aku sudah bilang diam di sini, kalau terjadi sesuatu lagi, aku yang repot. Satu lagi, jangan cerita sama ibu masalah ini.”

Sandrina kembali duduk. Rasanya ia sudah tidak kuat menghadapi pria dingin seperti itu. Hari-harinya penuh dengan tekanan dan emosi. Demi merebut hati suaminya, ia pun rela menahan pedih dan lara. Seperti saat ini, ia pun merasa lelah harus berpura-pura kuat.

Ia merebahkan tubuh di kursi, sembari menunggu Bastian, Sandrina memainkan ponsel. Tidak sengaja ia menemukan foto masa lalu bersama dengan Ferdi. Cinta yang ia pikir tulusz nyatanya terasa pahit.

“Ayo.”

Sandrina kaget saat Bastian tiba-tiba datang, gegas ia menutup aplikasi sosial medianya dan pelan-pelan bangkit dan melangkah menuju mobil.

Bastian membuka ponsel, ia sedikit kesal karena ada pekerjaan dadakan di hari libur. Sebuah pesan yang mengatakan harus bertemu dengan klien di sebuah kafe untuk membahas masalah pekerjaan.

Sekali lagi ia melihat jam di tangan, sepertinya waktu tidak akan cukup untuk memulangkan Sandrina lebih dulu. Tangannya cepat memesan aplikasi, tapi ia mengurungkan niat itu.

Jika terjadi sesuatu dengan Sandrina, apa yang akan dikatakan sang ibu. Akhirnya Bastian memutuskan untuk membawa Sandrina bertemu dengan kliennya. Walau berat hati, terpaksa ia melakukan itu.

Sekali lagi Bastian menoleh ke arah Sandrina. Ia masih memegangi perutnya, padahal tadi sudah di periksa Dokter dan tidak terjadi hal yang bahaya.

“Kamu kenapa lagi?” tanya Bastian.

“A—aku lapar.”

Bastian menarik napas, lalu menarik Sandrina agar lebih cepat berjalan menuju mobil.

“Aku lapar.”

“Nanti saja makannya, aku terburu-buru.”

Langsung saja Bastian masuk ke mobil dan gegas menarik Sandrina untuk cepat masuk dan tidak bisa menunggu lama.

Jarak rumah sakit dengan kafe tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai. Namun, bagi Sandrina itu waktu yang cukup lama karena ia harus menahan lapar. Ia terus menggerutu pada Bastian.

“Aku mau langsung makan, kamu pikir dengan keadaan kelaparan aku bisa tenang? Kamu lupa aku sedang hamil?”

“Bawel. Tinggal pesan saja makanan,” tutur Bastian kesal.

Sandrina begitu semangat karena ia ini ingin cepat memesan makanan, tapi semangat itu pupus karena melihat ada Ferdi dan seorang wanita.

“Kenapa berhenti?” tanya Bastian yang langsung melongok ke dalam.

Netranya menemukan wanita yang sejak tadi membuatnya galau. Sudah berpuluh-puluh kali ia menelepon Alika, ternyata sang kekasih ada bersama Ferdi—adik kandungnya.

“Apa-apaan ini?”

Tangannya mengepal keras, emosinya pun memuncak. Namun, ia lupa jika ada Sandrina di sampingnya kali ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status