Dimas menegur Ferdi yang sejak tadi terdiam menatap Alika tanpa berkedip. Dimas berpikir jika temannya terpesona dengan wanita di depannya. Akan tetapi, dugaannya salah. Ferdi bukan terpesona, melainkan dia sedang berpikir apa wanita di hadapannya adalah kekasih sang kakak atau sekadar mirip nama.
“Kalian sudah saling kenal?” tanya Dimas.
“Belum.” Ferdi cepat menjawab.
Dimas memperkenalkan mereka berdua. Keduanya bersalaman, sama halnya dengan Ferdi, Alika pun seperti sangat familier dengan wajah pria di depannya. Alika seperti pernah melihatnya dan ia malah lupa melihatnya di mana.
Dimas memesankan minuman untuk Alika, tapi ia pamit sebentar untuk memeriksa dapur. Sementara, Ferdi dan Alika bingung harus bicara apa. Keduanya masih duduk sembari menyaksikan live musik. Sesekali Ferdi memerhatikan Alika, setelah itu ia semakin penasaran apa dia wanita yang membuat Bastian jatuh cinta.
“Dari mana?” Pertanyaan basa basi membuat Alika menoleh heran.
“Aku?” Alika menunjuk dirinya saat Ferdi bertanya.
“Iya kamu, masa Dimas,” ujar Ferdi.
Alika tersenyum, lalu ia membenarkan posisi duduk. Terlalu memikirkan masalah Bastian, membuat ia tak fokus dalam keseharian. Ia sedang menunggu pesan atau telepon dari Bastian, tapi sayangnya pria itu sama sekali tidak menghubunginya.
“Aku pulang dari rumah sakit.”
“Kamu sakit? Sakit apa?” tanya Ferdi sok cemas.
“Oh, aku nggak sakit, tapi memang aku bekerja di sana.” Alika menjawab seraya merapikan rambut.
Ferdi sedikit terpikat saat Alika mengibaskan rambut. Ia suka dengan wanita berambut panjang, seperti Sandrina.
“Dokter?”
“Iya, aku Dokter Kandungan. Kalau istri kamu sedang hamil, bisa kontrol ke aku,” tutur Alika.
Ferdi terkekeh mendengar ucapan Alika. Adanya ia membawa Sandrina yang sedang hamil untuk kontrol. Alika terlihat ramah dan mudah bergaul. Sementara, Ferdi, wanita mana pun akan takluk dengan pribadi Ferdi yang terlihat baik dari kemasannya.
“Aku masih bujang,” ujar Ferdi.
“Sungguh? Maaf. Kukira sudah ada yang punya,” ucap Alika.
Ferdi kembali tertawa melihat Alika tersenyum. Pria itu pun memang mengakui jika Alika memang cantik, tapi entah mengapa ia tidak bisa berpaling dari Sandrina.
Sementara, dari kejauhan Dimas memerhatikan mereka berbincang. Ia ingin sekali Ferdi berjodoh dengan Alika. Sejak beberapa hari pun Alika sering bercerita tentang kekasihnya yang menikah dengan wanita lain.
***
Sandrina masih merasa ngilu luar biasa akibat dorongan Bastian. Ia merebahkan tubuh di sofa, untuk berjalan ke kamar pun Sandrina tidak mampu. Ia mencoba memanggil Bastian, tapi pria itu tak menjawabnya.
“Aw,” rintih Sandrina.
Bastian ke luar dari kamar karena haus, ia melihat Sandrina berada di sofa. Sengaja ia menghampiri ingin memakinya karena tak kunjung datang saat ia memanggil.
“Kamu tidak dengar aku memanggil?” tanya Bastian.
“Bagaimana aku bisa mendengar kamu, berjalan saja aku tidak bisa, apalagi ke kamar kamu.” Sandrina membela diri.
“Jangan manja kamu, jangan berpura-pura sakit.”
Bastian menarik Sandrina kasar, tapi sang istri berhasil menampiknya. Netranya memerah menatap sang suami, air matanya pun sudah habis saat menangisi kebodohannya.
“Kamu suami yang nggak punya perasaan, kamu pikir aku pura-pura? Karena ulah kamu, perutku sakit, awas saja kalau terjadi sesuatu dengan anak ini. Kupastikan kamu menyesal, Bas,” tutur Sandrina.
Bastian bergeming melihat Sandrina dengan wajah pucat, wanita itu masih sempat mengumpat padanya padahal memang kondisinya sangat lemas. Bastian bingung harus melakukan apa dengan kondisi sang istri.
Mendengar ucapannya, seolah-olah ia mendengar sang ibu berbicara. Jika terjadi sesuatu dengan bayi dalam kandungan Sandrina, pastilah ia akan habis oleh ibunya. Apa pun yang terjadi dengan Sandrina, ibunya pastilah akan menyalahkan dirinya.
“Mas, to—tolong aku. Perutku semakin sakit.”
Bastian mulai cemas, ia menghampiri Sandrina. Ia kikuk harus melakukan apa. Akhirnya ia menelepon ibunya.
“Mas, tolong aku!” teriak Sandrina.
“Sebentar, aku telepon ibu dulu,” ujar Bastian.
“Kalau aku mati sekarang apa kamu mau nunggu ibu?” Sandrina meninggikan suara, tapi kembali ia merintih kesakitan.
Bastian lalu menghampiri Sandrina dan membopongnya ke mobil lalu langsung melaju menuju rumah sakit.
**
“Kandungan Ibu tidak ada masalah, mungkin saat jatuh agak syok. Tapi, lain kali hati-hati, ya. Bapak juga tolong dijaga istrinya, kehamilan 5 Minggu masih sangat rawan.” Dokter kandungan itu kembali menasihati Bastian.
Bastian hanya mengangguk, sebenarnya ia tidak peduli jika anak itu mau selamat atau tidak. Di pikirannya hanya ada Alika, apa ia masih marah atau tidak. Setelah itu, Sandrina dan Bastian gegas kembali pulang.
“Kamu tunggu sini, aku mau ke administrasi dan menebus obat.”
“Aku ikut saja, biar nggak bolak balik.”
“Aku sudah bilang diam di sini, kalau terjadi sesuatu lagi, aku yang repot. Satu lagi, jangan cerita sama ibu masalah ini.”
Sandrina kembali duduk. Rasanya ia sudah tidak kuat menghadapi pria dingin seperti itu. Hari-harinya penuh dengan tekanan dan emosi. Demi merebut hati suaminya, ia pun rela menahan pedih dan lara. Seperti saat ini, ia pun merasa lelah harus berpura-pura kuat.
Ia merebahkan tubuh di kursi, sembari menunggu Bastian, Sandrina memainkan ponsel. Tidak sengaja ia menemukan foto masa lalu bersama dengan Ferdi. Cinta yang ia pikir tulusz nyatanya terasa pahit.
“Ayo.”
Sandrina kaget saat Bastian tiba-tiba datang, gegas ia menutup aplikasi sosial medianya dan pelan-pelan bangkit dan melangkah menuju mobil.
Bastian membuka ponsel, ia sedikit kesal karena ada pekerjaan dadakan di hari libur. Sebuah pesan yang mengatakan harus bertemu dengan klien di sebuah kafe untuk membahas masalah pekerjaan.
Sekali lagi ia melihat jam di tangan, sepertinya waktu tidak akan cukup untuk memulangkan Sandrina lebih dulu. Tangannya cepat memesan aplikasi, tapi ia mengurungkan niat itu.
Jika terjadi sesuatu dengan Sandrina, apa yang akan dikatakan sang ibu. Akhirnya Bastian memutuskan untuk membawa Sandrina bertemu dengan kliennya. Walau berat hati, terpaksa ia melakukan itu.
Sekali lagi Bastian menoleh ke arah Sandrina. Ia masih memegangi perutnya, padahal tadi sudah di periksa Dokter dan tidak terjadi hal yang bahaya.
“Kamu kenapa lagi?” tanya Bastian.
“A—aku lapar.”
Bastian menarik napas, lalu menarik Sandrina agar lebih cepat berjalan menuju mobil.
“Aku lapar.”
“Nanti saja makannya, aku terburu-buru.”
Langsung saja Bastian masuk ke mobil dan gegas menarik Sandrina untuk cepat masuk dan tidak bisa menunggu lama.
Jarak rumah sakit dengan kafe tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai. Namun, bagi Sandrina itu waktu yang cukup lama karena ia harus menahan lapar. Ia terus menggerutu pada Bastian.
“Aku mau langsung makan, kamu pikir dengan keadaan kelaparan aku bisa tenang? Kamu lupa aku sedang hamil?”
“Bawel. Tinggal pesan saja makanan,” tutur Bastian kesal.
Sandrina begitu semangat karena ia ini ingin cepat memesan makanan, tapi semangat itu pupus karena melihat ada Ferdi dan seorang wanita.
“Kenapa berhenti?” tanya Bastian yang langsung melongok ke dalam.
Netranya menemukan wanita yang sejak tadi membuatnya galau. Sudah berpuluh-puluh kali ia menelepon Alika, ternyata sang kekasih ada bersama Ferdi—adik kandungnya.
“Apa-apaan ini?”
Tangannya mengepal keras, emosinya pun memuncak. Namun, ia lupa jika ada Sandrina di sampingnya kali ini.
***
Ferdi sama dengan Bastian, pria itu pun terkesiap melihat sang kakak bersama dengan wanita yang sangat ia suka. Begitu juga Alika, hawa panas menyelimuti hatinya melihat Bastian bersama dengan sang istri.Sandrina menatap Ferdi, ia mengenali Alika sebagai Dokter Kandungan yang memeriksa dirinya. Akan tetapi, ia tidak tahu jika wanita itu adalah kekasih sang suami.“Kalian datang ke sini juga? Tumben?” Ferdi menyapa untuk mengurangi rasa gugup.Wajah Bastian sudah tidak bersahabat melihat sang kekasih kini bersama dengan Ferdi. Sejak tadi ia mencoba menghubungkan, ternyata Alika bersama Ferdi dan seperti sedang bersenang-senang.“Nggak usah basa-basi.” Bastian menarik Sandrina menjauh, tapi langkah terhenti saat Ferdi kembali memanggilnya.“Ka, tenang saja. Aku nggak akan mengganggu istrimu lagi, kenalkan calon istriku.”Wajah Alika langsung memerah, sama halnya dengan Bastian yang sejak tadi menatap dengan
“Aw!”Bastian menjerit kala Sandrina menendang keperjakaannya. Peria itu langsung melepas cengkeramannya dan terduduk sembari memegangi yang sakit. Sementara, Sandrina masih menatap bengis pria yang menjadi suaminya itu.“Sakit, kan?”Sandrina kembali tersenyum melihat Bastian yang tak bisa menjawab karena ia sedang merasakan nyeri di sesuatu yang paling berharga baginya. Sang istri tak peduli betapa sakitnya Bastian, sedangkan suaminya itu bersumpah akan membuat Sandrina menyesali perbuatannya kali ini.“Awas, ka—kamu!” Bastian mengucapkan kalimat terbata-bata juga hanya bisa menunjuk Sandrina dengan telunjuknya.“Rasakan, rasa sakit itu nggak sebanding dengan sakitnya hati aku saat suami bercinta denganku, mulutmu masih memanggil namanya!”Akhirnya Sandrina bisa mengutarakan apa yang ia rasakan kali ini. Walau pernikahan mereka berjalan karena perjodohan, bukan berarti Bastian bisa mela
Wajah Bastian memerah mendengar ucapan Sandrina. Entah apa yang merasuki sang istri hingga bisa berbicara seperti itu. Apalagi mengenai hal sensitif mengenai pria. Bastian menggebrak meja, tapi Sandrina tak kaget sama sekali.Sandrina masih terlihat santai, berbeda dengan ia yang dulu. Ia semakin kuat menghadapi Bastian yang berlaku seenaknya pada dirinya.Semenjak kehamilannya, Sandrina bertekad untuk mengembalikan Bastian pada kodratnya. Pria yang seharusnya menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab. Bukan pria yang masih bermain-main dengan wanita lain padahal tahu dirinya akan menjadi seorang ayah.“Anggap saja tidak terjadi sesuatu malam tadi.”“Terserah kamu, aku tidak peduli. Aku mau merapikan baju, ibu akan memesankan aku taxi jam 13.00.”“Sampai kapan?”“Mungkin sampai anak ini lahir.” Sandrina menjawab singkat.Bastian dibuat melongok dengan jawaban asal sang istri. Selama
Alika menarik napas dalam, sudah pasti pria di hadapannya tak bisa menjawab atau memang tak bisa memilih. Harusnya sejak lama mereka berpisah, tapi diri mu ya terllau mencintai Bastian hingga rela menunggu sang kekasih menduda.Bastian terus memutar otak, apalagi saat ia mengingat perkataan sang istri. Kalau ia meninggalkan Sandrina, sudah pasti harta akan jatuh ke tangan calon anaknya karena sesuai perjanjian, jika Bastian menceraikan Sandrina tiba-tiba dan memilih wanita lain, jika sudah memiliki anak, otomatis harta itu jatuh ke darah dagingnya. Jika tidak, akan menjadi milik Sandrina.Pria itu memukul tembok dengan emosi, bagaimana hidupnya begitu sulit dan harus ada pilihan. Lagi, ucapan Sandrina terngiang di kepalanya. Belum tentu Alika menerimanya saat ia jatuh miskin. Dia seorang Dokter dan mudah mendapatkan pria yang ia mau, termaksud sang adik.“Aku tahu kamu tak akan bisa memilih karena kamu memang sudah mencintai wanita itu. Lebih baik kamu per
Bastian pamit pulang sebentar pada Alika karena banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan. Ia pulang untuk mengambil laptop di rumah dan berjanji akan kembali lagi tidak lama.Sesampainya di rumah, ia berteriak memanggil nama sang istri. Akan tetapi, Sandrina tak juga muncul di hadapannya. Bastian menepuk menepuk kening karena ia lupa jika Sandrina sepertinya sudah berada di rumah sang ibu. Pantas saja tak ada jawaban atau wajah sang istri yang selalu muncul saat kedatangannya.“Kenapa aku ini,” gumam Bastian.Pria itu terduduk di meja makan, ia membuka tudung nasi. Ada beberapa lauk dan juga sambal. Tidak ketinggalan ada sebuah surat dari Sandrina seperti biasa.Mas, aku ke rumah ibu dulu. Ada sayur dan lauk untuk makan sore ini. Di kulkas pun sudah kupenuhi telur dan susu untuk kamu makan. Akan tetapi, kalau kamu rindu aku bisa datang atau menelepon. Dari aku, istri yang tak pernah di anggap.Bastian meremas kertas itu da
Sang ibu memberikan teh hangat pada Ferdi. Keduanya duduk memandang langit di halaman rumah. Sebelumnya, Bu Hana memang ingin bicara berdua dengan anak keduanya itu.Ferdi sepertinya paham apa yang akan dibicarakan sang ibu.“Apa ibu akan membicarakan masalah Bastian dan Sandrina?” tanya Ferdi.Bu Hana mengangguk, memang ia akan membicarakan anak pertamanya itu. Karena Sandrina akan pindah bersamanya, ia pun memohon agar Ferdi mencari kontrakan.“Sepertinya kamu tahu yang akan ibu bicarakan,” tutur Bu Hana.Ferdi mengangguk, memang ia tahu jika sang ibu memintanya ke luar dari rumah. Akan tetapi, pria itu malah ingin tetap di rumah itu.“Bu, mencari kontrakan atau kosan susah, aku pun jarang di rumah. Apa harus pindah?” tanya Ferdi.“Tapi ada Sandrina di sini, Ibu tak mau membuat dirinya tidak nyaman. Kasihan ia sedang hamil dan butuh perhatian ibu, apa kamu nggak mau membantu?” Bu
Bu Hana datang saat Sandrina mengatakan jika Bastian sakit. Ia terburu-buru datang karena panik. Untung saja Ferdi bisa mengantarnya hingga ke rumah sang kakak. Bu Hana langsung menghampiri Bastian yang sudah bisa duduk di sofa.“Nak, kamu baru sehari ditinggal Sandrina saja sudah sakit. Bagaimana dia tinggal lama dengan ibu. Bisa kelaparan setiap hari kamu,” oceh sang ibu.“Aku bukan anak kecil lagi, Bu. Bisa pesan online juga,” jawab Bastian.Sandrina terlihat membawakan teh untuk ibu dan Ferdi. Wanita itu duduk di samping sang suami. Walau belum menandatangani kontrak perjanjian mereka, Bastian mencoba belajar berlama-lama duduk di samping sang istri.Terlebih, jika melihat Ferdi yang menatap tidak biasa pada sang istri. Tidak tahu perasaan apa, ingin sekali tangannya memukul dan mencongkel matanya.“Bu, teh ibu yang ini. Itu buat Ferdi karena gulanya sedikit lebih banyak. Punya tidak memakai gula, kan?” Sandr
Dimas tertawa melihat Ferdi yang tak hentinya menggalau. Apalagi saat ini live band di kafe sedang mengalunkan lagu melow. Sepulang mengantar ibu dan Sandrina, Ferdi kembali melajukan mobil menuju tempat di mana ia bisa menemukan teman ngobrol.Dimas kembali terkekeh melihat sahabatnya datang dengan wajah sangat kusut. Dimas pun bisa menduga jika semua ini ada hubungannya dengan mantan kekasih jadi ipar.“Minum ini, dijamin langsung segar.” Dimas memberikan segelas hot coffie pada Ferdi.Ferdi mengambil gelasnya dan langsung meneguknya. Sekilas kenangan muncul saat terdengar lagi yang pernah menjadi jargon Sandrina dan dirinya.“Bisa gila gua ini. Baru aja mengantar ibu dan dia, lu pikir enak bertemu setiap hari sama dia. Gila kepala ini,” ujar Ferdi sembari mengoceh.“Dia siapa yang lu maksud?” Dimas bertanya seolah-olah tidak mengerti walau ia menduga sepertinya adalah mantan kekasih Ferdi.“Sandri