Share

Merebut Suamiku Dari Kekasihnya
Merebut Suamiku Dari Kekasihnya
Author: Galuh Arum

Satu

“Aku hamil, Mas.” Wajah Sandrina terlihat bahagia saat memberitahu dirinya sedang berbadan dua.

Akan tetapi, Bastian—suaminya tak bereaksi lebih. Pria berkemeja putih itu sekilas melihat, lalu hanya berdehem saja.

Wajah semringah Sandrina berubah menjadi sendu. Ia hanya berharap sang suami terlihat bahagia dengan kehamilannya. Namun, semua di luar dugaan, Bastian tak bisa menghilangkan sikap dinginnya pada sang istri.

“Mas, apa kamu tidak bahagia?” tanya Sandrina.

“Kamu pikir sendiri saja.” Bastian berjalan meninggalkan Sandrina yang masih berdiri mematung di ruang tv.

Enam bulan pernikahan mereka berlalu begitu saja tanpa kebahagiaan. Apalagi Bastian yang selalu bersikap dingin pada Sandrina, juga ucapan demi ucapan ketusnya yang selalu membuat kesabaran wanita itu teruji.

Sandrina menarik napas, ia berusaha tahan dengan sikap sang suami. Bagaimana pun, wasiat yang dibuat oleh ayah mertuanya itu harus dijalani dengan ikhlas dan tabah.

Sandrina melangkah ke kamar dan menemui Bastian yang sedang berbaring di ranjang.

“Aku tahu kamu tidak senang dengan kehamilan ini. Tapi, tolong, antarkan aku ke Dokter. Setidaknya, aku bisa di hargai sebagai seorang istri walau nyatanya suamiku tidak pernah menganggap aku.” Bibir Sandrina bergetar saat mengutarakan isi hatinya.

Wajah Bastian begitu datar, bahkan seolah-olah ia tak menggubris kehadiran Sandrina. Pikirannya hanya tertuju pada sebuah penyesalan kala ia pulang mabuk dan menggauli sang istri.

“Kamu tidak lihat aku sedang beristirahat?” ujar Bastian dengan suara meninggi.

“Setelah kamu beristirahat, bisa, kan?” tanya Sandrina lagi.

“Aku tidak punya waktu, besok pagi-pagi aku harus ke luar kota. Tolong keluar, biar aku beristirahat.”

Hati Sandrina kembali perih menerima perlakuan sang suami. Sebuah kebahagiaan harusnya dirasakan keduanya. Akan tetapi, Bastian masih saja  bersikap kaku dan dingin.

Sandrina menahan tangis, air matanya sudah habis selama ia menikah dengan Bastian. Ia bergegas ke luar karena mendengar suara bel berbunyi. Sebelum itu, ia menoleh ke arah sang suami. Tetapi, Bastian tetap memunggunginya.

Tangan itu kembali mengusap wajah, sebelum ia membuka pintu.

“Ibu,” ujar Sandrina saat melihat ibu mertuanya muncul di depan pintu.

“Ibu senang kamu akhirnya hamil.” Ibu mertua Sandrina memeluk sang menantu dengan bahagia. Akhirnya, Sandrina bisa tersenyum saat ada orang yang bahagia dengan kehamilannya.

“Selamat, Kak.” Suara bas Ferdi—adik ipar Sandrina sangat familiar di telinga Sandrina.

Ferdi menjabat tangan Sandrina yang terlihat bahagia. Pria itu pun ikut senang dengan berita yang sangat di tunggu oleh keluarga mereka. Namun, saat Sandrina dan sang ibu melangkah masuk, senyum d bibir Ferdi sirna begitu saja.

Ferdi menarik napas, lalu melangkah masuk mengikuti kedua wanita itu.

***

Bu Hana menghampiri Bastian yang tertidur di kamar. Sabrina sudah mengatakan jika suaminya sedang tidak mau di ganggu, tapi ibu mertuanya tidak menggubris larangannya.

Wanita dengan gamis syar’i itu masuk ke kamar sang anak. Dilihatnya Bastian tertidur pulas, langsung saja Bu Hana menarik selimut Bastian.

“Bas, bangun,” ujar Bu Hana.

Bu Hana menggoyang-goyangkan tubuh Bastian. Namun, pria itu tak kunjung terbangun.

“Bas, bangun!”

“Apa, sih. Sudah gua bilang jangan pernah ganggu gua tidur!”

Bastian terdiam saat melihat bukan Sandrina yang ada di hadapannya. Bu Hana menggeleng melihat kelakuan Bastian yang membuatnya malu di depan menantunya.

“Cepat ganti baju kamu, kita antar Sandrina ke Dokter Kandungan!” titah sang ibu.

Bastian mengusap wajah dengan kasar. Kepalanya masih terasa berat saat tidurnya harus terganggu hingga membuat pening.

“Ibu saja, aku malas. Lagi pula, aku lelah bekerja seharian di kantor,” tolak Bastian.

“Tidak ada alasan apa pun untuk menolak. Harusnya kamu bahagia dengan kehamilan Sandrina. Bukan malah acuh seperti ini,” cecar Bu Hana.

“Cukup, Bu. Aku lelah untuk keadaan seperti ini. Antar saja dia dengan ibu dan Ferdi. Jangan mengganggu aku.” Bastian kembali menutup tubuh dengan selimutnya.

Bu Hana emosi melihat tingkah anak pertamanya itu. Lagi, ia menarik selimut putih itu dan menarik lengan sang anak.

“Cepat bangun atau—“

“Atau apa? Ibu selalu saja mengancamku. Cukup, Bu. Dengan menikahinya, apa kurang baktiku? Aku tidak mencinta dia, untuk apa aku peduli dengannya.”

“Jika kau tidak mencintainya, bagaimana bisa dia hamil? Tak mencintai, tapi menghamili. Munafik!”

“Bu, saat itu aku sedang mabuk, jadi tidak tahu aku melakukan hal itu. Lagi pula, hanya sekali aku melakukannya. Bagaimana mungkin bisa hamil secepat itu?” Kini Bastian malah meragukan anak dalam kandungan Sandrina.

Sandrina yang sejak tadi berdiri di ambang pintu langsung masuk dengan emosi.

“Boleh kamu nggak mengakui aku sebagai seorang istri. Tapi, tolong jangan berpikir jelek tentangku. Demi Allah, ini anak kamu Mas, hanya kamu yang pernah menyentuhku.” Sandrina berlinang air mata. Dadanya bergetar hebat, sekujur tubuhnya terasa dingin begitu juga emosi yang kuat memuncak.

“Alah, nggak usah sok suci,” ujar Bastian.

“Aku bukan sok suci, tapi setidaknya aku berusaha menjadi istri yang baik. Kamu pikir, hanya kamu yang tidak bahagia? Aku juga, Mas! Saat bercinta pun nama wanita lain yang kau sebut!”

Dada Sandrina bergemuruh hebat, netranya menatap tajam sang suami yang terlihat pucat saat ia menyebut nama wanita lain.

“Alika. Nama wanita itu yang kau sebut selama kamu menggauli aku.”

Tamparan keras mengenai pipi Bastian. Bu Hana tidak tega melihat luka yang ditorehkan sang anak pada menantunya.

“Siapa itu Alika, Bas?”

Bastian menoleh ke arah Sandrina. Karena sang istri, ibunya harus tahu tentang wanita idaman lain yang membuat jantungnya seolah-olah berhenti saat ia sedang bersama wanita itu.

“Katakan, Bas!” Bu Hana mendesak sang anak.

Ferdi gegas menghampiri sang ibu saat melihat wanita itu mulai memegangi dadanya yang terasa sakit.

“Bu, jangan berteriak terus. Mereka sudah menikah, biarkan menyelesaikan masalahnya sendiri,” bujuk Ferdi.

“Alika itu, kekasih Bastian. Benar, bukan, Bang?” Ferdi mengulas senyum saat Bastian mengangkat kepala.

Bastian terperangah dengan ucapan sang adik. Ia melihat mimik wajah sang ibu yang merah padam. Netranya berulang kali mengerjap, tangannya sudah mengepal keras dan siap menerkam  Ferdi.

“Sialan!”

Bastian mengangkat tangan dan ingin memberikan hantaman untuk Ferdi. Namun sayang, Sandrina yang berniat menghalangi niat Bastian, malah ia yang terkena pukulan tangan sang suami.

Bu Hana histeris saat Sandrina luruh ke lantai, apalagi Ferdi yang langsung gegas membangunkan Sandrina yang pingsan.

Bu Hana langsung mengambilkan air untuk mengompres wajah Sandrina yang terkena pukulan Bastian. Lalu, Ferdi mengambil minyak angin agar Sandrina cepat sadar.

Sementara, Bastian sama sekali tidak merasa cemas melihat keadaan sang istri. Pria itu malah melangkah masuk.

“Tunggu!”

Ferdi menarik lengan Bastian, sang kakak menghentikan langkah dan membalikkan badan.

“Lo nggak punya hati, apa?” Ferdi berteriak kencang.

Bastian terlihat tenang menghadapi sang adik. Walau hatinya sudah merasa dongkol dengan kehadiran Ferdi di rumah itu.

“Yang nggak punya hati, gua apa elu?” Bastian tersenyum sinis.

“Jangan memutar balikkan fakta. Apa maksudnya?”

“Dua tahun pacaran, lalu lu selingkuh dan menggantungkan Sandrina. Di sini siapa yang nggak punya hati?”

Wajah Ferdi memerah, rahasia ia dan Sandrina ternyata diketahui sang kakak. Kini, semua menjadi tegang. Termaksud Bu Hana yang kini melangkah mendekat.

“Jelaskan apa yang dikatakan kakakmu, Ferdi?”

Ferdi terdiam, ia menyadari wajah pengungkapan Sandrina yang kini terbaring tak berdaya.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mega Dewi
kerennnnnn
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status