"Neng, liat nih, mantan Mas ngirim pertemanan di sosmed." Aku yang sedang duduk di sebelah Mas Yandri dan menonton drama favoritku pun mengangkat wajah. "Mantan yang mana Mas? Mantan Mas 'kan banyak, Neng ga hapal satu-satu."Mas Yandri menyodorkan ponselnya padaku. "Ini si Mega," ucapnya Aku melihat foto sosok seorang wanita dengan latar belakang pemandangan alam di profilnya. "Oh itu," ucapku pendek. "Diterima atau ngga usah ya, Neng?" Aku menoleh menatap Mas Yandri. "Mas, kira-kira dong kalo nanya!" Aku menghembuskan nafas dan meliriknya tajam."Kalau Mas berniat mancing reaksi Neng dengan bertanya seperti itu, Sorry to Say ya mas, neng biasa aja. Mas pikir Neng akan terharu? Wah, aku terharu karena suamiku terbuka banget, sampe mantannya ngirim pertemanan juga aku dikasih tau. Gitu kan?"Mas Yandri nyengir. "Lain lagi kalau niat Mas ngasi tau ke Neng biar Neng sekedar tau dan ga mikir macem-macem. Kalau gitu ya Neng balikin ke Mas. Terserah Mas aja. Mau diterima boleh, ng
"Kalau menurut Neng mah ya biarin aja dia nikah. Dengan satu catatan, kuliahnya tahun depan harus beres. Eh Mas, ngomong-ngomong calonnya si Ana ini anak mana? Kuliah atau kerja?"Keingintahuanku berlipat ganda karena hal ini baru kali ini kusaksikan sendiri. Ana memang tipe anak yang suka membantah, tapi ia tetap patuh pada perkataan ibu. Jika sekarang Ana sudah tidak mendengarkan ibu, entah situasi apa yang sebenarnya terjadi disana. "Kata Ibu sih udah kerja, cuma ya itu, Ibu berat aja kalau sampai kuliah Ana ngga beres." Aku terdiam dan kemudian berkata,"Ya udah kalau kaya gitu nikahin aja. Tapi seperti kata Neng tadi. Kuliah harus beres. Entah nikahnya ditunda sampai Ana lulus. Atau nikah sekarang tapi ya tetap kuliah. Tapi Mas, maap nih ya Neng nanya. Tapi Ana ngga gimana-gimana 'kan? Maksudnya gimana ya, kan kalo nikah ngedadak itu orang mikirnya karena udah terjadi sesuatu gitu, Mas." Mas Yandri menghela nafas."Mas juga nanya itu tadi ke Ibu. Kata Ibu sih, Ana bilang ga k
"Rere! Habis ini kamu beresin meja makan, terus rendam cucian di sumur belakang. Jangan pakai mesin cuci, boros listrik. Setelahnya pergi ke warung bu Dadi, catatannya sudah ibu taruh di meja makan. Beli semua yang sudah ibu catat pakai uangmu dulu. Setelah itu masak dan siapkan sarapan untuk Ana dan Lita. Jangan lupa semuanya dibereskan kembali, dan jangan lupa untuk menyetrika. Setelahnya masak lagi untuk makan malam. Ibu mau pergi sebentar, pokonya saat pulang semua harus sudah dikerjakan ya!"Perintah dari mertuaku akan selalu sama setiap harinya. ***Hidup satu atap dengan mertua bukanlah keinginanku. Sudah berkali-kali aku meminta pada suamiku untuk hidup mandiri, namun berkali-kali pula ditolak. Alasannya adalah karena dia anak laki-laki sulung satu-satunya. Aku berprinsip, sebisa mungkin anak yang sudah menikah seharusnya tidak membebani orang tua. Selain itu, aku ingin mengatur kehidupan baru kami sebagai suami istri tanpa ada intervensi dari pihak manapun termasuk keluarga
Saat mendengar suara langkah-langkah kaki sedang mendekat ke kamarku, dengan segera aku membelakangi pintu dan memasang headset.Brak!"Rere! Keterlaluan kamu! Kamu apain Ana tadi pagi sampai dia nangis?!"Aku tidak menjawab pertanyaan paduka ratu ibu mertua dan perlahan, aku mulai menggelengkan kepalaku. "Neng!" Mas Yandri memanggilku cukup keras"Rere! Budeg kamu ya?!" tambah ibu mertua.Posisiku masih membelakangi pintu dan mempercepat gelengan kepala. "Menantu laknat! Durhaka!" Ibu mertua masih saja berteriak. "Neng! Neng Rere!" Mas Yandri ikutan berteriak. Teringat Trio Maung dengan gerakan ikoniknya, aku membungkuk dan memutar kepalaku seperti baling-baling pesawat. 'Yihaaaa' teriakku dalam hati.Teriakan ibu mertua dan mas Yandri terhenti saat ponselku di atas nakas berbunyi. Setelah dering berhenti, mereka kembali berteriak. "Neng!""Menantu gila!"Aku melepaskan headset saat merasa keduanya mendekatiku dari belakang. Dengan gerakan cepat aku memutar tubuh dan berteriak
"Karena pada hakikatnya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan proses pembelajaran seumur hidup. Aku tidak akan mudah menyerah. Aku akan merubah diri dan berusaha membawa orang-orang disekitarku berubah menuju jalan yang baik. Jika tidak berhasil, barulah aku akan mundur tanpa perlu menoleh lagi dan tanpa rasa menyesal karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa." - Neng Rere***"Neng, nih mas udah gajian. Ayok! Mau jalan kemana kita?" Sepulang kerja mas Yandri langsung menuju kamar menemuiku yang sedang memasukkan baju ke dalam lemari. "Mau belanja bulanan mas, banyak yang udah abis. Ke supermarket yuk?" aku menyambut ajakan mas Yandri dengan gembira. Keseharianku yang hanya dirumah dengan segala pekerjaannya membuat kegiatan rutin belanja bulanan sebagai cara untuk merefresing pikiran. Tidak perlu belanja berlebih, cukup melihat lampu dan jalanan saja aku sudah senang."Iya hayu, kamu siap-siap sana. Mas mau ke ibu dulu ngasi jatah bulanan." Mas Yandri keluar kamar me
"Mereka adalah orang yang terus-menerus berinfak di jalan Allah, baik di waktu lapang, mempunyai kelebihan harta setelah kebutuhannya terpenuhi, maupun sempit, yaitu tidak memiliki kelebihan, dan orang-orang yang menahan amarahnya akibat faktor apa pun yang memancing kemarahan dan memaafkan kesalahan orang lain" ( Ali Imran : 134 )***Setiap hari aku belajar. Belajar bagaimana cara memperbaiki diri, terutamanya belajar bagaimana menahan emosi. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. ***"Teteh! Teteeeh!" Suara Ana memanggilku keras dari dalam kamarnya selepas aku sholat shubuh. "Naon?" ucapku menghampiri. Didepan gadis itu sudah ada setumpukan baju kotor beserta dalamannya. "Nih, cucian kotor aku," dia berkata sambil menyentuh baju kotor dilantai dengan menggunakan kaki. Aku menatap tajam tepat dikedua matanya dan masih diam. Nyatanya perbuatanku membuat gadis itu salah tingkah. "Apa liat-liat? Cepet tuh cuciin!" Dia membalikkan badannya bersiap untuk pergi.
"Aku menuruti perintah agar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku bisa menyalahkan si pemberi perintah." - Neng Rere***Hari ini rumah ibu mertuaku kedatangan tamu jauh. Bukan tamu, lebih tepatnya keluarga. Sepasang suami istri dengan bayi mereka yang berumur 3 bulan mengetuk pintu rumah tepat setelah subuh. Sang suami adalah sepupu mas Yandri. Mereka datang dalam rangka ikhtiar berobat di rumah sakit terbesar dikota ini karena perlengkapan pemeriksaan di kota mereka tidak lengkap. "Budhe, maaf lho ya merepotkan. Kami berniat menitipkan Dinda disini. Karena mungkin pemeriksaan di rumah sakit bisa sampai sore." Sepupu mas Yandri berucap. Sepupu suamiku itu ingin memeriksakan benjolan yang tiba-tiba muncul di perutnya. Istrinya seorang wanita yang ramah dan murah senyum. Hariku membaik saat melihat senyumannya. Bagaimana tidak, biasanya orang-orang dirumah ini hampir setiap hari berwajah murung. Jam 8 kurang Mas Yandri berangkat ke kantor, tidak lama kemudian pasangan suam
Mas Yandri pulang dengan wajah yang kusut. Aku menyuruhnya membersihkan diri, makan dan kemudian beristirahat. Sejujurnya, aku ingin menanyakan apa yang terjadi ketika tiba-tiba teringat pesan mama saat terakhir kali meneleponku. "Kalau suami pulang kerja sebisa mungkin jangan banyak ditanya dulu. Bawain minum, sediakan makan, perhatikan kebutuhannya. Jika semua sudah teteh lakukan, lihat moodnya. Jika terlihat masih lelah, urungkan bertanya. Terkadang, bertanya di saat yang tidak tepat bisa memicu pertengkaran. Ini hal yang sepele, tapi berarti. Mama harap teteh bisa belajar untuk peka dan sadar situasi." Saat ini kami hanya berdua dirumah. Mertua dan kedua iparku sedang pergi mengunjungi tante mas Yandri yang sedang sakit. "Mas mau ngopi ngga?" Aku bertanya pada mas Yandri yang sedang menonton televisi. Saat sedang mencuci piring bekas makan kami, aku mendengar gelak tawanya. Raut wajahnya pun tidak sekusut saat ia pulang kerja. "Boleh deh neng, jangan kopi item tapi ya. Cappuc