"Mereka adalah orang yang terus-menerus berinfak di jalan Allah, baik di waktu lapang, mempunyai kelebihan harta setelah kebutuhannya terpenuhi, maupun sempit, yaitu tidak memiliki kelebihan, dan orang-orang yang menahan amarahnya akibat faktor apa pun yang memancing kemarahan dan memaafkan kesalahan orang lain" ( Ali Imran : 134 )
***Setiap hari aku belajar. Belajar bagaimana cara memperbaiki diri, terutamanya belajar bagaimana menahan emosi. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.***"Teteh! Teteeeh!" Suara Ana memanggilku keras dari dalam kamarnya selepas aku sholat shubuh."Naon?" ucapku menghampiri. Didepan gadis itu sudah ada setumpukan baju kotor beserta dalamannya."Nih, cucian kotor aku," dia berkata sambil menyentuh baju kotor dilantai dengan menggunakan kaki.Aku menatap tajam tepat dikedua matanya dan masih diam. Nyatanya perbuatanku membuat gadis itu salah tingkah."Apa liat-liat? Cepet tuh cuciin!" Dia membalikkan badannya bersiap untuk pergi.Aku manusia, dan ada kalanya aku tidak bisa diam saja saat merasa diperlakukan buruk. Dengan cepat kukumpulkan seluruh pakaian kotor dan melemparkannya tepat mengenai kepala gadis itu."Anak kuliahan kok ngga tau caranya bersikap ke orang yang lebih tua!" aku berkata dengan nada pelan dan tajam.Gadis itu membalikkan badannya menghadapku, dan ya, seperti yang sudah kuprediksi, dia menjerit memanggil ibunya."Ibuuu!"Dengan cepat aku menghampiri Ana dan meremas bibirnya keras."Gausah teriak-teriak! Ini masih pagi! Kamu udah tau kan gimana teteh kalau marah!? Percaya deh, teteh bukannya ngga bisa marah karena takut pada kalian! Teteh cuma sedang berbaik hati menahan diri agar tidak melukai kalian sekeluarga! Jika teteh mau, dengan mudah teteh bisa menghantam kalian semua! Teteh bahkan ngga peduli jika itu bisa membuat hubungan teteh dengan mas Yandri hancur! Silakan mengadu, tapi dimata teteh, kamu akan menjadi seorang pecundang!"Mata gadis itu membelalak kaget. Setelah beberapa saat, aku melepas tanganku dari bibirnya."Pungut itu baju kotor kamu dan taruh dibelakang dengan rapi. Pisahkan bagian dalaman karena teteh ngga mau nyuci barang pribadi kamu!"Aku segera keluar kamar dan membanting pintu keras.Ibu mertua yang baru keluar kamarnya menegurku,"Rere! Kamu apa-apaan sih banting pintu?! Ibu kaget tau! Dasar perempuan kasar!"Masih dengan menahan emosi, aku sebisa mungkin berkata lembut,"Maapkan neng, ibu mertuaku sayang, tadi ada tikus lewat, jadi neng kaget."Apakah kalian tau? Sejujurnya aku sudah tidak tahan. Aku ingin meledak. Ingin melampiaskan emosiku yang tertahan sejak pertama kali masuk ke rumah ini. Namun, aku masih berpikir jernih. Jangan sampai luapan emosiku justru merugikanku sendiri.***"Teteh! Teteh! Ish dimana sih si teteh?!" Kali ini Lita berteriak memanggilku dari meja makan. Aku yang sedang mengucek baju kotor pun segera membilas tangan dan menghampirinya."Naon Lita? Teriak-teriak aja kaya di hutan," ucapku.Gadis itu mendelikkan matanya tajam. "Lita mau sekolah teh, mau sarapan!""Lah itu ada nasi goreng di depan kamu! Kamu pikir itu apa? Sesajen?"Masih dengan mata mendelik gadis itu menggebrak meja. Oh wow, anak SMA yang bahkan untuk memasak saja kurasa belum bisa, berani menggebrak meja didepan seorang Rere? Benar-benar harus diberi paham!"Coba kasi tau teteh, kenapa kamu ribut nyari sarapan padahal di depan kamu ada nasi goreng?""Lita pengen makan yang lain! Bosen nasi goreng terus!"Sebenarnya Lita bukan gadis menyebalkan. Dia cenderung tidak pernah menggangguku sejak aku datang ke rumah ini. Sikapnya yang menyebalkan bisa kupastikan karena dia meniru sikap yang Ana dan ibu mertua lakukan padaku."Iya sok mau makan apa? Bilang ke teteh." Semakin lama kemampuanku untuk bersabar semakin berkurang."Terserah, pokonya yang lain.""Iya apa,Lita?""Terserah!"Oke cukup, kesabaranku sudah minus. Dengan cepat aku mencengkeram pipinya."Kalo teteh tanya kamu mau apa, jawabannya harus yang bikin teteh ngerti! Teteh bukan pacar kamu yang tiap kali nanya, kamu bisa jawab dengan kata terserah!"Mata gadis itu melotot, aku rasa aku mencengkeram pipinya cukup kuat."Kamu udah diceritain Ana 'kan gimana kalau teteh marah. Tolong, jangan pancing teteh! Karena kalau sampai teteh menyerah, teteh bisa hajar kalian satu-satu. Ngerti?!"Mata Lita sudah mulai berembun."Satu lagi! Jangan berani-beraninya kasar sama orang kalau dikasarin balik kamu ga kuat! Cemen itu mah! Norak!" Aku melepaskan cengkeraman.Muka dihadapanku terlihat cukup kaget. Manusia pada dasarnya makhluk yang baik. Hanya saja, jika ada sesuatu yang berjalan tidak sesuai kemauan, manusia cenderung melampiaskan emosi pada manusia lain yang mereka pikir lebih lemah. Aku mengerti itu. Itu sudah menjadi kebiasaan manusia dimanapun berada. Sayangnya, manusia dihadapanku salah sasaran dalam melampiaskan emosi."Cepet bilang mau apa?! Sok-sok'an gamau nasi goreng, ditanya mau apa juga gabisa jawab! Emang nyari perkara kamu mah!"Mulut dihadapanku bergetar sebentar sebelum mengeluarkan suara, "Mau gorengan aja teh...."Aku tersenyum dengan satu sisi bibir terangkat. "Nah gitu! Kan enak kalo ngejawabnya bener!"Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan uang sepuluh ribu. "Sana beli gorengan sendiri, teteh ga tau kamu maunya apa!"Gadis itu mengangguk dan menerima uang dariku. "Makasih teh...," ucapnya lirih tapi bisa terdengar oleh telingaku."Aku menuruti perintah agar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku bisa menyalahkan si pemberi perintah." - Neng Rere***Hari ini rumah ibu mertuaku kedatangan tamu jauh. Bukan tamu, lebih tepatnya keluarga. Sepasang suami istri dengan bayi mereka yang berumur 3 bulan mengetuk pintu rumah tepat setelah subuh. Sang suami adalah sepupu mas Yandri. Mereka datang dalam rangka ikhtiar berobat di rumah sakit terbesar dikota ini karena perlengkapan pemeriksaan di kota mereka tidak lengkap. "Budhe, maaf lho ya merepotkan. Kami berniat menitipkan Dinda disini. Karena mungkin pemeriksaan di rumah sakit bisa sampai sore." Sepupu mas Yandri berucap. Sepupu suamiku itu ingin memeriksakan benjolan yang tiba-tiba muncul di perutnya. Istrinya seorang wanita yang ramah dan murah senyum. Hariku membaik saat melihat senyumannya. Bagaimana tidak, biasanya orang-orang dirumah ini hampir setiap hari berwajah murung. Jam 8 kurang Mas Yandri berangkat ke kantor, tidak lama kemudian pasangan suam
Mas Yandri pulang dengan wajah yang kusut. Aku menyuruhnya membersihkan diri, makan dan kemudian beristirahat. Sejujurnya, aku ingin menanyakan apa yang terjadi ketika tiba-tiba teringat pesan mama saat terakhir kali meneleponku. "Kalau suami pulang kerja sebisa mungkin jangan banyak ditanya dulu. Bawain minum, sediakan makan, perhatikan kebutuhannya. Jika semua sudah teteh lakukan, lihat moodnya. Jika terlihat masih lelah, urungkan bertanya. Terkadang, bertanya di saat yang tidak tepat bisa memicu pertengkaran. Ini hal yang sepele, tapi berarti. Mama harap teteh bisa belajar untuk peka dan sadar situasi." Saat ini kami hanya berdua dirumah. Mertua dan kedua iparku sedang pergi mengunjungi tante mas Yandri yang sedang sakit. "Mas mau ngopi ngga?" Aku bertanya pada mas Yandri yang sedang menonton televisi. Saat sedang mencuci piring bekas makan kami, aku mendengar gelak tawanya. Raut wajahnya pun tidak sekusut saat ia pulang kerja. "Boleh deh neng, jangan kopi item tapi ya. Cappuc
"Seperti yang sudah kubilang. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Akan selalu ada hal baru yang dipelajari setiap harinya." - Neng Rere***Aku melemparkan pandang ke sudut ruangan dimana terdapat koper dan dus-dus bertumpuk. Isinya sebagian besar adalah pakaianku dan Mas Yandri. Sebagian kecil lagi berupa alat-alat dapur yang merupakan kado pernikahanku dulu dan sama sekali belum pernah kugunakan. Kakiku menjejak bumi Lancang Kuning sesaat setelah lewat waktu Maghrib hari kemarin. Mas Yandri dan aku dijemput oleh seseorang yang memperkenalkan diri sebagai anak buah mas Yandri dikantor. Di kota ini kami diberikan fasilitas rumah dinas dan juga kendaraan. Setelah makan malam dan berkeliling melihat megahnya kota ini, kami diantar menuju rumah dinas. Rumah dinas ini disewakan full furnish yang artinya, sudah beserta barang-barangnya. Yes! Aku tidak perlu dipusingkan dengan sofa serta kawan-kawannya. Terletak di sebuah cluster yang aku pikir bergengsi membuatku jatuh c
Aku membersihkan taman sesaat setelah mas Yandri berangkat kerja. Mataku tidak sengaja melihat ke arah rumah depan. Beberapa ibu-ibu sudah duduk didepan pagar tepat disisi jalan dengan menggunakan bangku panjang yang entah mereka bawa dari mana. Tidak lama terdengar suara tukang sayur. Rupanya ibu-ibu tersebut sedang menunggu datangnya tukang sayur. Karena penasaran, aku keluar pagar menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sudah mengelilingi dagangan tukang sayur. Teringat beberapa bumbu dapur yang tidak ada, aku berusaha mencari dan mengambil apa yang kubutuhkan. "Pak, bumbu dapurnya boleh beli sedikit-sedikit?" tanyaku. Bapak penjual mengiyakan peetanyaanku dengan ramah. Beliau membantuku mengambilkan apa yang kubutuhkan."Rere masak apa hari ini?" Seorang ibu dengan dandanan yang wow bertanya padaku. Aku ingat, ibu ini yang berbicara sinis padaku saat pertama kali memperkenalkan diri kemarin."Masih belum tau bu, kayanya bikin ayam goreng aja deh yang gampang." Aku menjawab dengan
Setelah seminggu tinggal di sini aku tau jika rumah bu Jejen hanya berselisih 3 rumah dari rumahku. Sedangkan rumah anggota gengnya yang lain, tepat berada di depan rumah beliau. Aku tipe orang yang jarang keluar rumah kecuali untuk hal yang penting seperti pergi menengok jika ada tetangga atau orang yang kukenal sakit, pergi ke warung, dan pada saat ada undangan untuk menghadiri suatu acara. Urusan sosialisasiku dengan tetangga sekitar juga seperlunya saja. Sesekali aku ikut duduk di warung setelah berbelanja untuk mengobrolkan hal-hal yang ringan.Sejak kejadian pengajian di rumahku, bu Jejen tidak pernah lagi menegurku walaupun kami bertemu di jalan. Aku tidak peduli, aku tetap menyapanya walaupun berkali-kali beliau mendiamkan aku. Aku mengerti, mungkin dia marah karena aku membalas ucapannya waktu itu. ***Pintu rumahku diketuk saat aku sedang fokus menonton. Ketukan pintu yang berulang-ulang tanpa jeda membuatku sedikit senewen."Bentar!" Aku terkejut melihat seraut wajah mil
Setelah makan malam, aku dan mas Yandri menghabiskan waktu berdua di depan televisi dengan gelas kopi ditangan masing-masing. Mas Yandri memberitahuku jika weekend minggu depan akan ada acara serah terima jabatan dari kepala cabang yang lama. Aku diminta hadir untuk menemaninya dalam acara tersebut.Selama beberapa saat, kami membahas hal yang random. Sampai akhirnya, aku menceritakan tentang kunjungan bu Jejen. "Mas percaya kok, Neng bisa dengan gampang menghadapi Bu Jejen," Mas Yandri tertawa saat aku selesai bercerita. "Neng jaga diri aja selama di rumah. Walaupun konon katanya tetangga adalah keluarga terdekat, tapi tetap hati-hati juga ya." Aku mengangguk mengiyakan. ***Ibu-ibu di tukang sayur menatap kedatanganku. Ada yang berbeda dari pandangan mereka. Beberapa yang berdiri agak jauh, melihatku seraya berbisik-bisik. Aku langsung tau, ini pasti ada hubungannya dengan kedatangan bu Jejen kemarin. Tanpa mempedulikan itu semua, aku tetap bersikap ramah pada mereka. Setelah
[Saya, Jejen Marisa meminta maaf atas kebohongan yang sudah saya ceritakan kemarin di grup ini. Kejadian sebenarnya bukan seperti apa yang saya ceritakan. Saya melebih-lebihkan cerita karena emosi kepada Ibu Rere. Untuk Ibu Rere, saya minta maaf sebesar-besarnya atas perbuatan saya.]Ponselku berkali-kali berdenting tanda banyak notifikasi yang masuk. Rupanya berasal dari WA Grup warga. Setelah diam beberapa saat, aku mengetik kalimat balasan. [Saya, Rere Demian memberikan maaf setulus hati sesuci kalbu kepada Bu Jejen. Saya pribadi juga minta maaf untuk kata yang tidak berkenan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua kedepannya.]WA grup warga kembali ramai. Beberapa dari mereka menanyakan kronologi yang sebenarnya padaku. Namun, karena sudah saling bermaaf-maafan, aku tidak menggubris pertanyaan mereka. ***Aku sedang memulas bibir dengan sentuhan akhir dari merk liptint favoritku saat mas Yandri masuk ke kamar. "Ayo Neng, siap?" Setelah beberapa saat, aku berdiri da
Pukul 10 lebih saat suara mobil mas Yandri terdengar. Aku segera membuka pintu dan melihatnya sedang membuka pagar."Neng kenapa belum tidur?" Mas Yandri menyapaku. "Gimana neng bisa tidur atuh mas, kalau mas baru pulang jam segini. Pulang malem ngga ngasi kabar." Aku berucap seraya tersenyum.Dari tadi aku mati-matian menahan emosi dan ingin segera mendapatkan penjelasan. Namun, suamiku itu baru pulang kerja. Jika aku nekat bertanya, yang ada kami akan bertengkar dan tujuanku untuk mengetahui hal yang sebenarnya bisa gagal. "Mas mandi dulu sana, Neng angetin makannya." Mas Yandri mengangguk dan berjalan menuju kamar kami. ***"Neng ngga enak badan? Kok kaya yang lesu?" Tanya mas Yandri kepadaku saat ia telah selesai makan. Aku hanya tersenyum dan menawarinya kopi seperti biasa. Memang, sudah terlalu malam untuk menikmati secangkir kopi, tapi karena besok mas Yandri libur, ia pun tidak menolak. "Mas, lihat ini," aku membuka suara saat kami sudah sama-sama menghabiskan setengah g