Share

Episode 4

"Mereka adalah orang yang terus-menerus berinfak di jalan Allah, baik di waktu lapang, mempunyai kelebihan harta setelah kebutuhannya terpenuhi, maupun sempit, yaitu tidak memiliki kelebihan, dan orang-orang yang menahan amarahnya akibat faktor apa pun yang memancing kemarahan dan memaafkan kesalahan orang lain" ( Ali Imran : 134 )

***

Setiap hari aku belajar. Belajar bagaimana cara memperbaiki diri, terutamanya belajar bagaimana menahan emosi. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.

***

"Teteh! Teteeeh!" Suara Ana memanggilku keras dari dalam kamarnya selepas aku sholat shubuh.

"Naon?" ucapku menghampiri. Didepan gadis itu sudah ada setumpukan baju kotor beserta dalamannya.

"Nih, cucian kotor aku," dia berkata sambil menyentuh baju kotor dilantai dengan menggunakan kaki.

Aku menatap tajam tepat dikedua matanya dan masih diam. Nyatanya perbuatanku membuat gadis itu salah tingkah.

"Apa liat-liat? Cepet tuh cuciin!" Dia membalikkan badannya bersiap untuk pergi.

Aku manusia, dan ada kalanya aku tidak bisa diam saja saat merasa diperlakukan buruk. Dengan cepat kukumpulkan seluruh pakaian kotor dan melemparkannya tepat mengenai kepala gadis itu.

"Anak kuliahan kok ngga tau caranya bersikap ke orang yang lebih tua!" aku berkata dengan nada pelan dan tajam.

Gadis itu membalikkan badannya menghadapku, dan ya, seperti yang sudah kuprediksi, dia menjerit memanggil ibunya.

"Ibuuu!"

Dengan cepat aku menghampiri Ana dan meremas bibirnya keras.

"Gausah teriak-teriak! Ini masih pagi! Kamu udah tau kan gimana teteh kalau marah!? Percaya deh, teteh bukannya ngga bisa marah karena takut pada kalian! Teteh cuma sedang berbaik hati menahan diri agar tidak melukai kalian sekeluarga! Jika teteh mau, dengan mudah teteh bisa menghantam kalian semua! Teteh bahkan ngga peduli jika itu bisa membuat hubungan teteh dengan mas Yandri hancur! Silakan mengadu, tapi dimata teteh, kamu akan menjadi seorang pecundang!"

Mata gadis itu membelalak kaget. Setelah beberapa saat, aku melepas tanganku dari bibirnya.

"Pungut itu baju kotor kamu dan taruh dibelakang dengan rapi. Pisahkan bagian dalaman karena teteh ngga mau nyuci barang pribadi kamu!"

Aku segera keluar kamar dan membanting pintu keras.

Ibu mertua yang baru keluar kamarnya menegurku,

"Rere! Kamu apa-apaan sih banting pintu?! Ibu kaget tau! Dasar perempuan kasar!"

Masih dengan menahan emosi, aku sebisa mungkin berkata lembut,

"Maapkan neng, ibu mertuaku sayang, tadi ada tikus lewat, jadi neng kaget."

Apakah kalian tau? Sejujurnya aku sudah tidak tahan. Aku ingin meledak. Ingin melampiaskan emosiku yang tertahan sejak pertama kali masuk ke rumah ini. Namun, aku masih berpikir jernih. Jangan sampai luapan emosiku justru merugikanku sendiri.

***

"Teteh! Teteh! Ish dimana sih si teteh?!" Kali ini Lita berteriak memanggilku dari meja makan. Aku yang sedang mengucek baju kotor pun segera membilas tangan dan menghampirinya.

"Naon Lita? Teriak-teriak aja kaya di hutan," ucapku.

Gadis itu mendelikkan matanya tajam. "Lita mau sekolah teh, mau sarapan!"

"Lah itu ada nasi goreng di depan kamu! Kamu pikir itu apa? Sesajen?"

Masih dengan mata mendelik gadis itu menggebrak meja. Oh wow, anak SMA yang bahkan untuk memasak saja kurasa belum bisa, berani menggebrak meja didepan seorang Rere? Benar-benar harus diberi paham!

"Coba kasi tau teteh, kenapa kamu ribut nyari sarapan padahal di depan kamu ada nasi goreng?"

"Lita pengen makan yang lain! Bosen nasi goreng terus!"

Sebenarnya Lita bukan gadis menyebalkan. Dia cenderung tidak pernah menggangguku sejak aku datang ke rumah ini. Sikapnya yang menyebalkan bisa kupastikan karena dia meniru sikap yang Ana dan ibu mertua lakukan padaku.

"Iya sok mau makan apa? Bilang ke teteh." Semakin lama kemampuanku untuk bersabar semakin berkurang.

"Terserah, pokonya yang lain."

"Iya apa,Lita?"

"Terserah!"

Oke cukup, kesabaranku sudah minus. Dengan cepat aku mencengkeram pipinya.

"Kalo teteh tanya kamu mau apa, jawabannya harus yang bikin teteh ngerti! Teteh bukan pacar kamu yang tiap kali nanya, kamu bisa jawab dengan kata terserah!"

Mata gadis itu melotot, aku rasa aku mencengkeram pipinya cukup kuat.

"Kamu udah diceritain Ana 'kan gimana kalau teteh marah. Tolong, jangan pancing teteh! Karena kalau sampai teteh menyerah, teteh bisa hajar kalian satu-satu. Ngerti?!"

Mata Lita sudah mulai berembun.

"Satu lagi! Jangan berani-beraninya kasar sama orang kalau dikasarin balik kamu ga kuat! Cemen itu mah! Norak!" Aku melepaskan cengkeraman.

Muka dihadapanku terlihat cukup kaget. Manusia pada dasarnya makhluk yang baik. Hanya saja, jika ada sesuatu yang berjalan tidak sesuai kemauan, manusia cenderung melampiaskan emosi pada manusia lain yang mereka pikir lebih lemah. Aku mengerti itu. Itu sudah menjadi kebiasaan manusia dimanapun berada. Sayangnya, manusia dihadapanku salah sasaran dalam melampiaskan emosi.

"Cepet bilang mau apa?! Sok-sok'an gamau nasi goreng, ditanya mau apa juga gabisa jawab! Emang nyari perkara kamu mah!"

Mulut dihadapanku bergetar sebentar sebelum mengeluarkan suara, "Mau gorengan aja teh...."

Aku tersenyum dengan satu sisi bibir terangkat. "Nah gitu! Kan enak kalo ngejawabnya bener!"

Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan uang sepuluh ribu. "Sana beli gorengan sendiri, teteh ga tau kamu maunya apa!"

Gadis itu mengangguk dan menerima uang dariku. "Makasih teh...," ucapnya lirih tapi bisa terdengar oleh telingaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status