Share

Episode 5

"Aku menuruti perintah agar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku bisa menyalahkan si pemberi perintah." - Neng Rere

***

Hari ini rumah ibu mertuaku kedatangan tamu jauh. Bukan tamu, lebih tepatnya keluarga. Sepasang suami istri dengan bayi mereka yang berumur 3 bulan mengetuk pintu rumah tepat setelah subuh. Sang suami adalah sepupu mas Yandri. Mereka datang dalam rangka ikhtiar berobat di rumah sakit terbesar dikota ini karena perlengkapan pemeriksaan di kota mereka tidak lengkap.

"Budhe, maaf lho ya merepotkan. Kami berniat menitipkan Dinda disini. Karena mungkin pemeriksaan di rumah sakit bisa sampai sore." Sepupu mas Yandri berucap.

Sepupu suamiku itu ingin memeriksakan benjolan yang tiba-tiba muncul di perutnya. Istrinya seorang wanita yang ramah dan murah senyum. Hariku membaik saat melihat senyumannya. Bagaimana tidak, biasanya orang-orang dirumah ini hampir setiap hari berwajah murung.

Jam 8 kurang Mas Yandri berangkat ke kantor, tidak lama kemudian pasangan suami istri sepupunya pun ikut pergi. Aku sudah bersiap untuk berbelanja saat ibu memanggilku.

"Rere sini!"

Saat aku tiba dihadapannya, ia terlihat kerepotan memangku Dinda yang baru saja bangun. "Mau coba gendong ngga?" tawar ibu mertua paduka ratu padaku.

Aku menggelengkan kepala, "Neng mau ke warung bu, belanja terus masak."

"Udahlah ngga usah masak, beli aja masakan mateng di warteg depan. Nih kamu nyobain gendong Dinda nih."

Aku tersenyum mengerti kemana arah tujuan ibu mertua. "Ibu cape ya? Bilang dong bu, to the point gitu biar neng ngerti. Ibu nawarin neng gendong Dinda, padahal sebenernya nyuruh kan?"

Ibu mertua memasang wajah juteknya, "Kalo ngerti cepet nih ambil bayinya! Tangan ibu pegel tau!"

Saat aku berbalik menuju dapur, seketika beliau teriak. "Rere! Mau kemana?! Mantu nyebelin kamu! Apa susahnya sih gantian gendong Dinda?! Susah banget dimintain tolong!"

Teriakan ibu mertua membuat Dinda yang rewel karena baru bangun menjadi kaget dan menangis keras.

"Shhhhh, ibu berisik banget. Tuh bayinya nangiis." Aku muncul kembali di hadapan ibu.

"Kamu sih! Disuruh gantian gendong malah pergi!" Beliau bersungut dengan ketus.

"Ya neng mau cuci tangan dulu ibu sayaang. Mau pegang bayi masa kotor. Ibu aja yang ngga sabaran."

"Kamu ini ya! Ngelawan terus! Ngebantah terus! Bla bla bla! Bla bla bla!"

"Yaudah mau jadi gantian gendong ngga? Kalau ibu marah-marah terus neng males ah, mending ke belakang aja beresin dapur." Aku berkata di sela omelan ibu mertua yang tidak terputus.

Ajaib, perkataanku menghentikan omelannya. Dengan segera ia mengangsurkan Dinda padaku. Butuh tujuh kali putar ke kanan dan tiga kali ke kiri sampai akhirnya bayi itu tenang. Ibu mertua yang masih duduk disofa menatapku dan membuka suara,

"Kamu itu Re, bayi kok diajak puter-puter. Nanti pusing dia."

"Pelan ini bu, neng muternya. Nih, udah mau tidur lagi nih kayanya. Tapi tangan neng pegel, bu." Bayi itu lumayan berat jika sudah agak lama digendong.

"Nanti kalo tidur taruh aja Re. Biar kamu juga bisa beres-beres rumah. Masih berantakan nih! Kamu sih, ngga gesit! Banyak leletnya!"

Aku memilih tidak menjawab perkataan ibu mertua. Jika menjawab, bisa dipastikan akan terjadi adu suara pada saat ini. Salah-salah, Dinda bisa bangun lagi dan pastinya, aku juga yang nanti akan menggendongnya.

***

Jam 4 Mas Yandri pulang bersama dengan Ana. Keduanya berganti baju dan kemudian makan. Sedangkan Dinda, sedang bermain bersama ibu di kasur bulu depan televisi.

"Neng udah makan?" tanya Mas Yandri.

"Ya udahlah mas, neng kalo laper makan sendiri kok. Ga usah nunggu disuruh." Kami berdua lalu mengobrolkan hal-hal yang ringan.

"Teh ambilin itu minum!" Ana dengan ketus menyela obrolan kami. Anak ini rupanya sudah lupa shock therapy yang kuberikan padanya.

"Mas ambilin neng minum!" aku berkata ketus kepada mas Yandri. Mas Yandri mengerutkan keningnya dan menatapku. Tidak lama, Ana juga melakukan hal yang sama. Yeah, it's show time!

"Kamu kok ngomong kasar kaya gitu ke mas sih neng?! Pake nyuruh lagi! Kamu kan liat mas baru beres makan! Lagian teko air juga masih di meja ini. Tinggal bangun bentar bisa kan?! Ga diajarin ya sama orang tua neng?! Ngga sopan tau neng! Mas ngga suka!"

"Tau tuh mas! Bisa-bisanya nyuruh mas! Ngga diajarin adab sama orang tuanya kali mas! Timbang ambil minum aja nyuruh! Judes pula!" Ana menimpali perkataan mas Yandri.

Aku menyenderkan punggung dikursi dan melipat tangan.

"Udah selesai ngomongnya? Kalau masih mau diterusin, sok neng tungguin. Terusin aja dulu sampe puas."

Wajah Mas Yandri sudah merah, tanda emosinya sedang naik. Untung makanan dalam piringnya sudah habis. Setidaknya dia dalam keadaan kenyang. Karena sesungguhnya untuk marah-marah diperlukan energi yang besar.

"Kalo udah, gantian neng ngomong. Mas tadi denger Ana nyuruh neng ambil minum kan?" Tanyaku.

Mas Yandri mengangguk.

"Mas denger dia nyuruh neng yang dirumah ini berstatus sebagai istri kakaknya, kakak iparnya, orang yang lebih tua darinya dengan bahasa dan nada memerintah, yakan?"

Mas Yandri kembali mengangguk.

"Kenapa Ana ngga ditegur sedangkan Neng ditegur?!" Aku menggebrak meja.

"Padahal apa yang neng lakuin itu karena mencontoh Ana! Mungkin dirumah ini udah biasa memerintah ke orang yang lebih tua dengan bahasa ketus! Giliran neng ikutin, kenapa neng yang kena marah?!

Inget mas, kelakuan Ana juga akan berimbas pada mas! Tau 'kan kalau lelaki akan bertanggung jawab atas ibunya, istrinya, anak dan saudara perempuannya?! Kalau kelakuan Ana yang kaya gitu mas biarkan, sampai mana mas akan kuat memikul tanggung jawab di akhirat kelak?!

Garis bawahi ya mas, Neng cuma mencontoh kelakuan Ana! Mas ngga tegur dia, ya berarti sudah tradisi disini kan ngomong ke yang lebih tua kaya gitu! Salah kalo neng ikutin?!

Dan ini ngga ada hubungannya sama sekali dengan orang tua neng! Karena apa?! Karena neng sudah dalam tanggung jawab mas! Jadi, jika ada perbuatan salah yang neng lakukan, itu bukan karena orang tua neng, tapi karena mas yang ngga bisa mendidik neng!

Kalau mau diperlakukan menyenangkan, maka berikan juga perlakuan yang menyenangkan! Paham sampai sini?! Kakak adik pinter keblinger! Pada kuliah tapi ngga ngerti adab!" Aku berdiri dengan menyentakkan kursi dan berlalu ke kamar diiringi tatapan kaget suami dan adik iparku.

***

Kami sekeluarga berkumpul mengerubungi Dinda. Sudah hampir setengah jam bayi itu rewel. Susu formula yang dibawa ibunya pun sudah habis.

"Kayanya masih lapar ya neng?" Mas Yandri bertanya padaku.

"Kayanya iya sih mas, beliin susunya atuh ke alfa. Barangkali orang tuanya masih lama pulang," jawabku. Seperti itulah aku, setelah emosi tersalurkan, moodku bisa dengan sangat cepat membaik. Itu kenapa aku kembali bersikap biasa kepada mas Yandri dan Ana.

"Udah ngga usah, pake susu juga ngga akan kenyang. Harus dikasi makan ini. Coba ambil pisang Re," ibu mertua memerintahkan aku.

Aku tidak beranjak. Walaupun belum mempunyai anak, aku tau jika waktu yang tepat untuk memberikan makan pada bayi adalah jika umurnya sudah 6 bulan. Itu juga bubur dengan tekstur encer dan bertahap.

"Cepet ambil! Lelet sih kamu! Susah banget kalau disuruh!"

Aku menjelaskan pada ibu jika bayi yang sudah bisa diberi makan harus berumur sekurang-kurangnya 6 bulan.

"Alah, aturan mana itu! Anak-anak ibu semua dikasih makan sebelum 6 bulan kok! Sok tau kamu! Punya anak aja belum! Cepet bangun! Ambilin pisang terus suapin nih! Cepet bangun, nurut sama ibu!" sentakan ibu mertua semakin membuat Dinda gelisah.

"Neng, denger kata ibu kan? Sana ambil, suapin Dinda." Mas Yandri pun memerintahkan aku.

Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus berpikir cepat untuk menghindarkan Dinda dari bahaya. Mas Yandri dan ibu semakin gencar menyuruhku. Sampai akhirnya aku berdiri.

"Yaudah neng nurut. Sama neng disuapin juga. Tapi, kalau nanti Dinda kenapa-kenapa, ibu sama mas Yandri yang tanggung jawab. Ana, Lita! Kalian jadi saksi ya, ibu sama mas Yandri yang nyuruh teteh ngasi pisang ke Dinda."

Wajah-wajah dihadapanku melongo. Aku tidak peduli, rasa-rasanya tidak tepat jika aku diam saja padahal aku tau resiko pemberian makan dini pada bayi. Saat aku baru membalikkan badan, pintu depan diketuk.

Tok tok tok!

Ternyata sepupu mas Yandri sudah kembali. Keduanya meminta maaf karena telah merepotkan dengan terlalu lama meninggalkan Dinda.

"Tadi Dinda nangis terus, lapar kayanya. Mau budhe kasih pisang tapi ngga boleh sama Rere."

Wajah orang tua Dinda kaget. Dengan pelan, sepupu mas Yandri bertanya,

"Udah dikasih pisang?"

"Belum, tadi nyuruh Rere tapi dia ngga mau," ibu mertua mendelik sinis padaku.

Diluar dugaan, kedua orang tua Dinda mengucapkan Hamdalah. Hal ini membuat ibu mertua melongo untuk kedua kalinya.

"Alhamdulillah. Sebaiknya memang jangan dulu budhe, belum cukup umur. Banyak resiko pemberian makan diusia yang belum tepat. Salah satunya kematian. Kan ngga lucu, kami kesini niat mau berobat papanya Dinda malah jadinya Dinda juga ikut masuk rumah sakit." Ibu Dinda berkata dengan lembut.

Dengan kedua mataku, aku melihat ibu mertua menunduk malu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status